Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

INKONTINENSI URIN

Oleh :

Angela Marselly Br Barus 148114099

Kalvin Halimawan Susanto 148114100

Kurnia Yogyanti 148114101

Mercy Tiara Kezia Zebua 148114102

Aprithalia Theresia 148114103

Satriavi Yanuar Deny 148114104

Novia Ariella Rangkai 148114105

Maria Kusuma Wahyu Pervitasari 148114106

FSM C 2014

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
A. Fisiologis normal urinisasi
Pengendalian kandung kemih dan pengeluaran air kemih melalui sistem simpatis dan
parasimpatis. Ketika volume kandung kemih mencapai 200-400cc maka tubuh akan
mengeluarkan asetilkolin dimana, asetilkolin tersebut akan menempel pada reseptor
muskarinik dan mestimulasi sistem saraf parasimpatif. Parasimpatis akan menyebabkan
kontraksi pada otot-otot detrusor dan dilatasi sfingter internal. Sedangkan saraf simpatis terdiri
dari reseptor dan . Reseptor terletak di bagian leher kandung kemih dan otot polos sekitar
pangkal uretra yang menyebabkan kontraksi bagian bawah kandung kemih, sehingga
menghambat pengosongan kandung kemih. Reseptor berada di korpus kandung kemih,
perangsangan reseptor ini mengakibatkan relaksasi otot-otot detrusor sehingga terjadi
pengisian.
Refleks berkemih terjadi dengan cara:
Impuls pada medulla spinalis dikirim ke otak dan menghasilkan impuls parasimpatis yang
menjalankan melalui saraf splanknik pelvis ke kandung kemih.
Refleks perkemihan menyebabkan otot detrusor kontraksi dan relaksasi sfingter internal
dan eksternal (Sloane, 2003).
Selama miksi (berkemih), proses yang terjadi :
Refleks detrusor meregang (terisi oleh urin), mencetuskan refleks kontraksi dari otot-otot
tersebut sehingga timbul keinginan untuk miksi.
Relaksasi otot sfingter uretra eksternal memungkinkan kandung kemih untuk
mengosongkan isinya dan dapat dibantu dengan tindakan valsava.
Pada akhir proses miksi, kontraksi kuat dari otot sfingter uretra eksternal dan dasar panggul
akan mengeluarkan sisa urin dalam uretra, setelah itu otot detrusor relaksasi kembali untuk
pengisian urin selanjutnya.
Gangguan pada sistem saraf pusat atau komponen saluran kemih bagian bawah dapat
menyebabkan tidak sempurnanya pengeluaran dan retensi urin atau tidak dapat menahan miksi,
atau gejala-gejala kompleks kandung kemih yang berlebihan dengan karakteristik berupa sesak
dan miksi berulang-ulang dengan atau tanpa inkontinensia urin (Abrams et al, 2002 dalam
Andersson, 2008).

B. Pengertian inkontinensi urin


Inkontinensia urin (IU) oleh International Continence Society (ICS) didefinisikan
sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol. Hal ini sering disertai
masalah saluran kemih bagian bawah lainnya, seperti urgensi, peningkatan frekuensi buang air
kecil siang hari dan nokturia. Biasanya IU umum terjadi dan tidak terdeteksi/ tidak disadari
dengan baik namun IU merupakan masalah kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup
(Dipiro, 2008).

C. Faktor resiko dan alasannya


1. Kehamilan
Ketika sel telur dibuahi oleh sperma dan tertanam dalam dinding rahim, janin yang
terbentuk mulai mengeluarkan hormone human chorionic gonadotropin atau hCG, yang dapat
terdeteksi oleh alat tes kehamilan. Hal ini dapat mempengaruhi urin yang akan mengeluarkan
bau yang kuat dan tajam. Setelah kehamilan berjalan beberapa minggu, wanita hamil akan lebih
sering buang air kecil baik itu di waktu pagi, siang dan bahkan di tengah malam yang
mengganggu waktu tidur. Penyebabnya adalah ginjal harus bekerja lebih keras untuk
menghilangkan produk-produk limbah dari tubuh ibu dan janin. Ketika kehamilan bertambah
besar, tekanan pada kandung kemih dari rahim yang berkembang juga semakin besar. Sehingga
hal ini membuat wanita hamil lebih sering buang air kecil daripada sebelumnya sebelum hamil.
2. Usia
Bertambahnya usia telah diterima sebagai salah satu faktor risiko inkontinensia urin
dalam konsensus inkontinensia urin oleh National Institutes of Health pada tahun 1988. Banyak
penelitian menunjukkan peningkatan prevalensi IU dengan bertambahnya usia. Peningkatan
prevalensi pada wanita manula mungkin disebabkan oleh kelemahan otot pelvis dan jaringan
penyokong uretra terkait usia. Apalagi, faktor-faktor pada manula seperti gangguan mobilitas
dan/atau kemunduran status mental yang dapat meningkatkan risiko inkontinensia.
3. Obesitas
Beberapa penelitian epidemiologik telah menunjukkan bahwa peningkatan Indeks
Massa Tubuh (IMT) merupakan faktor risiko yang signifikan dan independen untuk
inkontinensia urin semua tipe. Fakta menunjukkan bahwa prevalensi inkontinensia urge
maupun stres meningkat sebanding dengan IMT. Secara teori, peningkatan tekanan intra-
abdominal sebanding dengan peningkatan IMT yang sebanding dengan tekanan intravesikal
yang lebih tinggi. Tekanan yang tinggi ini mempengaruhi tekanan penutupan uretra dan
menyebabkan terjadinya inkontinensia.
4. Menopause
Estrogen dapat mempertahankan kontinensia dengan meningkatkan resistensi uretra,
meningkatkan ambang sensoris kandung kemih, dan meningkatkan sensitivitas -
adrenoreseptor pada otot polos uretra.
Penurunan estrogen saat menopause menyebabkan penipisan dinding uretra sehingga
penutupan uretra tidak baik. Defisiensi estrogen juga membuat otot kandung kemih melemah.
Selain itu, defisiensi estrogen yang menyebabkan atrofi urogenital sehingga sedikit responsif
terhadap rangsangan berkemih dan merupakan gejala yang menyertai menopause. Kadar
estrogen yang rendah menyebabkan mukosa uretra dan trigonum menjadi atropi sehingga rasa
berkemih menjadi lemah.
5. Merokok
Batuk kronis yang konstan memberi tekanan pada sphicnter kemih, yang mengarah ke
stres inkontinensia. Nikotin yang menempel pada reseptor nikotinik juga dapat meningkatkan
risiko kandung kemih terlalu aktif dengan menyebabkan kontraksi kandung kemih.

D. Patofisiologi
Inkontinensi urin merupakan keadaan dimana berkemih tanpa disadari. Inkontinensi
urin terjadi akibat dari otot detrusor mengalami penurunan fungsi, selain itu terjadi kerusakan
pada sfingter. Leher vesika dan struktur uretra berperan penting dalam kontinensia. Leher
vesika merupakan area di dasar kandung kemih. Hilangnya stimulasi adrenergik atau kerusakan
pada area ini menyebabkan leher vesika gagal menutup rapat sehingga memicu inkontinensia.

Ketika otot detrusor berelaksasi maka akan terjadi proses pengisian kandung kemih,
sebaliknya jika otot ini berkontraksi maka proses berkemih sedang terjadi. Kontraksi otot
detrusor kandung kemih disebabkan karena adanya aktivitas saraf parasimpatis. Apabila terjadi
perubahan-perubahan pada mekanisme normal ini maka akan mengganggu proses berkemih.
Pada otot uretra, terjadi perubahan vaskularisasi pada lapisan submukosa, atrofi mukosa dan
penipisan otot uretra. Keadaan ini mengakibatkan tekanan penutupan uretra berkurang. Selain
itu, otot dasar panggul juga mengalami perubahan berupa melemahnya fungsi dan kekuatan
otot (Junizaf, 2002).

1. Inkontinensia stres (Stress Incontinence)


Inkontinensia stres disebabkan karena lemahnya mekanisme penutupan dari uretra.
Biasanya, keluhan khas yang dirasakan adalah mengeluarkan urin saat batuk, bersin, berdiri
setelah berbaring, dan melakukan gerakan yang mendadak. Gerakan seperti itu dapat
meningkatkan tekanan dalam abdomen. Otot uretra tidak dapat melawan gerakan ini dan
menyebabkan keluarnya urin.

2. Inkontinensia desakan (Urgency Incontinence)


Inkontinensia desakan adalah keluarnya urin secara involunter dihubungkan dengan
keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (berkemih). Inkontinensia desakan terjadi
karena kandung kemih tidak stabil. Pada saat pengisisan, otot detrusor berkontraksi tanpa sadar
secara spontan maupun karena adanya rangsangan (misalnya bersin atau batuk).

3. Inkontinensia luapan (Overflow incontinence) --> hiperplasia prostate


Terjadi karena kandung kemih mengalami distensi secara berlebihan sehingga tekanan
intra abdominal melebihi tekanan maksimal uretra. Inkontinensia luapan terjadi karena otot
detrusor mengalami underactivity, sehingga pada saat kandung kemih sudah terisi penuh oleh
urin namun pasien tidak meraskan sensasi untuk berkemih.

E. Tanda dan Gejala


F. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa:
Kulture urine dan urinalisis : Untuk mengetahui adanya cystitis yang dapat
menghasilkan gejala iritasi berkemih dan inkontinensia
Sitologi Urine : untuk mengetahui pasien tersebut menderita karsinoma in situ dari
kandung kemih sehingga dapat diketahui gejala frekuensi kencing dan urgensi
Uji 7 kimia : untuk mengetahui fungsi ginjal, ureter, dan retensi urin dari pasien.
Pasien yang mengalami UI harus menjalani pemeriksaan medis berupa :

a. Penilaian gejala
Tanda dan gejala UI tergantung pada patofisiologi yang mendasari ( Tabel 81-2 ) .
Pada pasien dengan SUI umumnya mengeluhkan adanya aktivitas fisik berlebih seperti
kebocoranurin (mengompol), sedangkan pasien dengan UUI mengeluhkan frekuensi,
urgensi, volume inkontinensia yang tinggi, nokturia dan inkontinensia nokturnal.

Aktivitas uretra berlebih atau kandung kemih dengan aktivitas rendah merupakan
penyebab yang jarang namun penting dari UI. Pasien mengeluh perut bagian bawah terasa
penuh, cemas, mengendan untuk buang air kecil, adanya penurunan pengeluaran urine,
aliran pengeluaran urine tidak lancar, dan adanya rasa tidak nyaman pada saat
pengosongan kandung kemih seperti masih adanya sisa urine yang belum dikeluarkan.
Pasien juga dapat memiliki frekuensi kencing, urgensi, dan sakit perut.

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen untuk menghindari distensi kandung kemih, pemeriksaan
panggung pada wanita mencari adanya prolaps atau kekurangan hormon dan genital, dan
pemeriksaan prostat pada pria.

c. Penilaian neurologis singkat ektremitas bagian bawah dan perineum


Pada penderita SUI, tes diagnostik yang dilakukan adalah pengamatan meatus uretra
saat pasien batuk atau strain. Untuk UUI, tes diagnostik yang dilakukan adalah studi
urodinamik. Studi ini menganalisis urin dan kultur urin yang harus dilakukan untuk
menghindari adanya infeksi saluran kemih. Untuk uretra yang memiliki aktivitas berlebih
atau kandung kemih dengan aktivitas yang rendah, dilakukan pemeriksaan digital rektal
atau USG transrektal harus untuk menghindari adanya pembesaran prostat. Selain itu,
dilakukan juga tes fungsi ginjal untuk menghindari adanya gagal ginjal.

G. Tujuan Terapi
Ada beberapa tujuan terapi yang dilakukan untuk pengobatan Inkontinensi Urin adalah
:
a. Untuk mengurangi tanda-tanda dan gejala yang membahayakan pasien.
b. Pemulihan penahanan urine,
c. Mengurangi jumlah peristiwa terjadinyaUI,
d. Pencegahan komplikasi

H. Terapi Nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi pada Inkontinensi Urin merupakan rekomendasi utama pada level
perawatan. Pada pasien yang tidak mampu untuk menggunakan pengobatan secara farmakologi
ataupun operasi, pasien yang mempunyai efek samping jangka panjang jika diberikan
perawatan farmakologi ataupun operasi, dan pasien dengan level inkontinensi urin dengan
tingkat ringan hingga sedang maka pilihan terapi nonfarmakologi adalah salah satu cara untuk
mengobati inkontinensi urin.

Menurut Dipiro, dkk (2011) intervensi nonfarmakologi pada inkontinensi urin dibagi
menjadi 5 :

1. Perubahan Pola Hidup


Strategi self-management ditargetkan dapat mengurangi atau menghilangkan faktor resiko
yang dapat menyebabkan atau memperburuk inkontinensi urin. Perubahan pola hidup ini
meliputi penghentian konsumsi rokok, reduksi berat badan pasien obesitas pada penderita
stress dan urgeinkontinence, prevensi konstipasi, reduksi kafein, merubah konsumsi air bagi
pasien dengan konsumsi air berlebih.

Hal tersebut sebaiknya dilakukan karena faktor-faktor tersebut dapat menstimulasi


kandung kemih untuk mengeluarkan cairan sehingga dapat merasakan urgensi untuk buang air
kecil yang lebih sering. Jika tetap merokok maka efek samping dari merokok adalah batuk
padahal batuk dapat menstimulasi kandung kemih untuk mengeluarkan cairan. Pasien dengan
konsumsi air berlebih dapat membuat kandung kemih untuk lebih cepat penuh dan akan lebih
cepat untuk memperbesar hasrat mengosongkan kandung kemih sehingga dalam jangka waktu
yang singkat dapat bolak balik untuk buang air kecil. Konstipasi dapat membuat cairan pada
feses diserap dan masuk ke dalam kandung kemih sehingga kandung kemih akan lebih cepat
penuh maka akan menstimulasi kandung kemih untuk mengeluarkan cairan.
2. Pengaturan Jadwal ke Toilet
Tujuan dari terapi ini adalah mencegah kandung kemih kepenuhan dan mengirim pesan
mendesak untuk mengosongkan. Hal ini memungkinkan individu dengan inkontinensia untuk
memiliki kontrol atas kandung kemih mereka, bukan sebaliknya kandung kemih mereka yang
memiliki kontrol.

a. Time voiding
Pergi ke kamar kecil dengan jadwal yang tetap dimana interval atau jangka waktu tidak
berubah, biasanya setiap 2 jam sejak waktu bangun.

b. Habit retraining
Pergi ke kamar kecil secara terjadwal dengan penyesuaian interval waktu buang air kecil
(lebih lama atau lebih pendek) tergantung dari pola buang air kecil pasien.

c. Prompted voiding
Pergi ke kamar kecil terjadwal yang membutuhkan pentunjuk atau tanda untuk buang air
kecil dari pengasuh, biasanya setiap 2 jam. Pasien dibantu dalam pergi ke kamar kecil hanya
jika responnya positif, digunakan bersamaan dengan tekhnik pengkondisian operan untuk
mempertahankan kontinensia dan pergi ke kamar kecil secara tepat.

d. Bladder training
Pergi ke kamar kecil terjadwal dengan interval buang air kecil yang progresif, termasuk
mengajarkan teknik penekanan dorongan menggunakan teknik relaksasi dan pengalihan,
monitoring mandiri, dan penggunaan teknik penguatan, kadang dikombinasikan dengan terapi
obat.

3. Rehabilitasi Otot Dasar Panggul


Latihan otot dasar panggul (Kegel) dapat membantu memperkuat beberapa otot-otot yang
mengontrol aliran urin.

a. Latihan otot dasar panggul (Kegel excercise)


Latihan teratur kontraksi otot dasar panggul; mungkin melibatkan penggunaan kontraksi
otot dasar panggul untuk pencegahan kebocoran stres dan penghambatan dorongan.

b. Biofeedback
Penggunaan instrumen elektronik atau mekanik untuk menampilkan informasi visual atau
auditori tentang aktivitas neuromuskuler atau kandung kemih; digunakan untuk mengajarkan
kontraksi otot dasar panggul yang benar dan / atau penghambatan dorongan; menyediakan
pelatih di rumah.

c. Vaginal weight training


Latihan menggunakan vaginal cones sebagai tambahan pada latihan otot dasar panggul
untuk wanita. Tujuan dari latihan ini adalah mempertahankan cone beban selama 15 menit 2
kali sehari.

d. Acupuntur
Melibatkan penyisipan jarum baja halus yang steril ke titik titik pada kulit yang
diperkirakan untuk menekan atau menstimulasi tulang belakang dan atau merangsang reflex
supraspinal ke kandung kemih dan uretra.

e. Nonimplantable electrical stimulation


Penerapan arus listrik melalui vagina, anal, permukaan, atau elektroda jarum halus;
digunakan untuk menghambat kandung kemih overaktif dan meningkatkan kesadaran,
kontraktilitas, dan efektivitas kontraksi otot dasar panggul; stimulator genggam untuk
digunakan di rumah harus tersedia.

f. Extracorporeal magnetic stimulation


Stimulasi magnetic berdenyut ke otot dasar panggul menyebabkan depolarisasi neuron
motorik, sehingga merangsang kontraksi otot dasar panggul; stimulasi disediakan melalui kursi
yang dirancang khusus yang berisi perangkat untuk menghasilkan medan magnet berdenyut.
4. Alat Anti Inkontinensi
Alat-alat ini dapat mengurangi inkontinensi urin karena alat-alat ini dipasang dengan
tujuan untuk mengurangi buang air kecil ke kamar mandi terlalu sering dengan, menghentikan
stimulus ingin buang air kecil dan memberikan kenyamanan ketika ingin buang air kecil tetapi
tidak perlu pergi ke kamar mandi.

a. Pessaries

b. Bed or pant alarms

c. Urethral compression device (pria saja)


d. External collection device (pria saja)

e. Catheters

5. Supportive Intervention
Modifikasi pada intervensi suportif ini dapat menjadi salah satu pilihan terapi non
farmakologi karena dengan adanya intervensi tersebut penderita inkontinensi urin tidak perlu
repot untuk bolak-balik ke toilet sehingga dampak dari inkontinensi urin dapat berkurang.

a. Toileting substitutes & other environmental modifications


b. Absorbent products
c. Physical therapy
Intervensi pada pasien menjadi pilihan utama dari pengobatan inkontinensi urin. Intervensi
tersebut meliputi perubahan pola hidup, mengatur jadwal ke toilet, dan rehabilitasi dari otot
dasar panggul.Selain dari intervensi-intervensi tersebut, membangkitkan motivasi pada pasien
juga sangat diperlukan seperti memberikan ketenangan hati, dukungan, dan memonitor hasil
dari perawatan.

I. Terapi Farmakologi
Bladder overactivity : Urge Urinary Incontinence
Pilihan pertama : obat anticholinergic/antispasmodic

a. Oxybutynin (Antikolinergik di reseptor M2)


MK: menggunakan efek antipasmodik dan antimuskarinik pada otot polos; meningkatkan
kapasitas kantung kemih dan menurunkan kontraksi kadung kemih; menurunkan frekuensi
urinari dan urgensi.
Oxybutynin immediate-release (IR) merupakan pilihan utama untuk UUI dan
merupakan gold standard dibandingkan dengan obat lain.
Oxybutynin IR karena memiliki efek samping seperti: seperti mulut kering, konstipasi,
kebingungan disfungsi konjungtifitas, gangguan penglihatan dan takikardi, inhibisi -
adrenergic; seperti orthostatic hypotension dan inhibisi histamine H1; seperti sedasi dan
kenaikan BB.
Oxybutynin extended-release (XL) lebih ditoleransi daripada oxybutynin IR dan
memiliki keefektifan terapi yang sama. Efek maksimum dapat terlihat hingga 4 minggu
setelah awal terapi atau peningkatan dosis.
Oxybutynin transdermal system (TDS) memiliki efikasi yang hampir sama, namun
ditoleransi lebih baik daripada oxybutynin IR karena rute obat ini tidak melalui first-pass
metabolism di hati, hal tersebut yang dapat menimbulkan efek samping, khususnya mulut
kering.
Oxybutynin gel juga digunakan setiap hari.
b. Tolterodine
MK: antagonis kompetitif reseptor muskarinik (M2), menurunkan kontraksi kantung kemih;
lebih spesifik untuk kantung kemih daripada oxybutynin.
Tolterodine antagonis kompetitif reseptor muskarinik, dipertimbangkan sebagai terapi
lini pertama pada pasien dengan urinary frequency, urgency, atau urge incontinence.
Tolterodine dimetabolisme di hati, yaitu cytochrome (CYP) 2D6 dan 3A4 isoenzymes.
Eliminasi obat ini diganggu oleh inhibitor CYP 3A4, termasuk fluoxetine, sertraline,
fluvoxamine, antibiotik makrolida, antifungi azole, dan jus anggur.
Tolterodine memiliki efek samping seperti mulut kering, dyspepsia, sakit kepala,
konstipasi, mata kering.
Tolterodine long acting (LA) digunakan once-daily dosing dan dapat digunakan selama
8 minggu setelah awal penggunaan dan peningkatan dosis untuk melihat terapi maksimum.
Fesoterodine fumarate merupakan prodrug untuk tolterodine dan digantikan sebagai
alternative lini pertama terapi untuk UI pada pasien dengan urinary frequency, urgency,
atau urge incontinence.

TERAPI LAIN UNTUK URGE URINARY INCONTINENCE

Trospium chloride IR, antikolinergik kuarterner ammonium. Mekanisme kerja obat ini
adalah menurunkan kontraksi otot polos kandung kemih, dengan antagonis efek acetilkolin
di resepor muskarinik. Trospium chloride IR menyebabkan efek samping antikolonergik
yang diinginkan, dengan meningkan frekuensi urinasi pada pasien 75 tahun keatas. Produk
extended-release obat ini juga dapat digunakan saat perut kosong.
Solifenacin succinate dan darifenacin merupakan generasi kedua agen antimuskarinik.
Solifenacin succinate merupakan antagonis kompetitif reseptor muskarinik. Keduanya
dapat meningkatkan domain kualitas hidup. Interaksi obat dapat terjadi jika inhibitor CYP
3A4 diberikan bersamaan dengan solifenacin succinate atau CYP 2D6 atau inhibitor 3A4
dengan darifenacin.
Mirabegron merupakan alternatif agonis 3-adrenergic untuk obat
anticholinergic/antimuscarinic untuk mengatur UUI. Efek samping yang biasa terjadi
adalah hipertensi, nasofaringitis, infeksi saluran kemih dan sakit kepala. Obat ini
merupakan moderate inhibitor dari CYP2D6.
Botulinum toxin A, melumpuhkan otot halus untuk sementara. Obat ini terbukti untuk
pengobatan refractory UUI yang berhubungan dengan neurogenic detrusor overactivity.
Efek samping dari botulinum toxin A include dysuria, hematuria, infeksi saluran kemih
dan retensi urin (hingga 20%). Efek terapi dan efek samping dapat terlihat selama 3 sampai
7 setelah injeksi dan reda setelah 6 sampai 8 bulan.

J. Terapi Overflow (Atonic Bladder)


Pilihan pertama : Cholinomimetics
a. Bethanechol
MK: menstumulasi reseptor parasimpatis untuk meningkatkan kontraksi otot kandung kemih,
menyebabkan kontraksi dan stimulasi micturition.
Dosis yang digunakan adalah 10-50 mg PO 3 atau 4 kali sehari. Namun untuk untuk
beberapa pasien membutuhkan dosis 50-100 mg Po 2 kali sehari. Obat diminum 1 jam sebelum
maka atau 2 jam sesudah makan.

b. Golongan: 1-Adrenergic Receptor Antagonists


- Terazosin
MK: terazosin termasuk dalam long-acting 1-adrenergik receptor antagonist. Terazosin
secara khusus memblok reseptor 1 dengan efek minimal pada 2. Terazosin mengikat
reseptor 1-adrenergik dalam prostat dan trigonum kandung kemih, yang akibatnya
menurunkan resistensi outflow urin dan relaksasi otot halus pada leher kandung kemih.
Terazosin telah menunjukkan efek untuk menginduksi apoptosis sel otot polos prostat,
sehingga dapat mengurangi gejala-gejala inkontinensi urin.
Dosis: terazosin diberikan dengan dosis awal 1-5mg/hari, namun pada sebagian besar
pasien, terazosin perlu dinaikkan dosisnya menjadi 5-10mg/hari untuk mencapai outcome
yang diharapkan. Saat dilakukan penyesuaian dosis, ada kemungkinan terjadinya hipotensi
orthostatis.
Peringatan: jika pasien menghentikan terapi terazosin selama 2 hari atau lebih, maka terapi
harus di ulangi dengan hati-hati untuk mengurangi efek samping pengkonsumsian efek
pertama (syncope).
- Doxazosin
MK: doxazosin termasuk dalam long-acting 1-adrenergik receptor antagonist dan
merupakan derivat dari quinazoline. Sama seperti terazosin, doxazosin juga meningkatkan
laju alir urin dan menurunkan gejala pada pasien yang mengalami inkontinensia urin.
Doxazosin dijadikan obat primer dalam resep hipertensi, namun belakangan tidak lagi
dijadikan first-line agen antihipertensi.

Dosis: dosis awal doxazosin adalah 1mg/hari, setelah 1-2 minggu, dosis dapat dinaikkan
sampai beberapa minggu menjadi 8mg/hari.

Peringatan: Dosis pertama penggunaan doxazosin disarankan diambil menjelang tidur


malam untuk meminimalisir sakit kepala/kepala terasa berat dan syncope (efek dosis
pertama), dan tekanan darah pasien harus dimonitor selama terapi berjalan.

- Tamsulosin
MK: tamsulosin merupakan long-acting 1A-adrenergik reseptor. Tamsulosin dan
metabolitnya lebih spesifik untuk reseptor 1A-adrenergik yang ada di prostat
dibandingkan obat 1A-adrenergik receptor antagonist. Meskipun begitu, Tamsulosin
kurang spesifik untuk reseptor 1A-adrenergik yang ada di vascular, sehingga mempunyai
kemungkinan yang lebih kecil untuk menimbulkan hipotensi orthostatis dibandingkan
agen lainnya. Tamsulosin bekerja pada otot polos prostat, sehingga menurunkan resistensi
leher kandung kemih dan urethral.

Dosis: range dosis untuk Tamsulosin adalah 0.4-0.8 mg/hari.

K. Urethral underactivity (Stress Urinary Incontinence / SUI)


Pilihanpertama : Duloxetine
Golongan: Antridepressant
a. Duloxetine
Mk: menghambat re-uptake serotonin dan norepinephrine. Bagian pusat serotoninergic dan
noradrenergic berperan dalam menaikkan dan menurunkan control dari otot halus pada urethral
dan pada bagian luar sfingter urethral. Mekanisme ini kemudian memfasilitasi jalur dari
kandung kemih ke reflek simpatis, dan meningkatkan kemampuan otot urethral serta otot
sfingter uretral bagian luar selama masa penyimpanan / storage phase.

Duloxetine dimetabolisme secara intensif menjadi metabolit inaktif dengan reaksi


oksidasi, dan dilanjutkan dengan eliminasi pada urin sebagai metabolit konjugat. Oksidasi
duloxetine dilakukan dengan bantuan CYP 2D6 dan 1A2.

Efek samping: nausea, headache, insomnia, konstipasi, mulutkering, dizziness,


kelelahan, rasa ngantuk, mual-muntah, dan diare serta peningkatan kecil pada tekanan darah.

Dosis: 40-80mg/hari (dalam satu atau 2 dosis). Memulai terapi dengan pemberian 40
mg duloxetine setiap hari selama 2 minggu, dan kemudian ditingkatkan menjadi 80mg/hari
dapat menurunkan resiko nausea, dizziness dan premature drug discontinuation. Penghentian
penggunaan duloxetine dilakukan dengan cara menurunkan dosis pemakaiannya sebanyak
50% selama 2 minggu sebelum diskontinyu pemakaian obat, kecuali ada situasi tertentu yang
berpotensi membahayakan hidup pasien.

b. -Adrenergic Receptor Agonists


Mk: stimulasi pada reseptor -Adrenergic akan membuat otot berkontraksi sehingga
mengurangi aliran urine. Obat -Adrenergic Receptor Agonists menghambat reuptake
norephineprine dan serotonin dengan menyediakan lebih banyak reseptor untuk diduduki oleh
norephineprine dan serotonin, sehingga tidak di re-uptake oleh tubuh.
Contoh: Pseudoephedrine meningkatkan retensi urethra. Dosis: 15-60 mg, 3x sehari.

c. Imipramine hydrochloride (TCAs / tricyclic antidepressants)


Mk: meningkatkan kapasitas kandung kemih dan meningkatkan resistansi outlet kandung
kemih. Imipramine mempunyai efek antikolinergik secara sentral maupun perifer, namun tidak
pada semua tempat. Obat ini memblok system transport aktif pada akhir dari saraf presinapsis
dan mencegah uptake norephinephrine dan serotonin.

Dosis: dosis awal imipramine adalah 25 mg, dikonsumsi secara peroral sebelum tidur. Dosis
dapat ditingkatkan sebanyak 25 mg setiap 3 hari sampai pasien menjadi continent, atau sampai
muncul efek samping. Dosis maksimal penggunaan imipramine adalah 150 mg per hari.

Efek samping: anxiety, insomnia, kenaikan tekanan darah, sakit kepala, gemetar, lemah,
palpitations, cardiac aritmia, kesusahan napas.

d. Estrogens
Mk: terapi estrogen memfasilitasi penyimpanan urine pada pasien post-menopausal dengan
meningkatkan resistensi outlet urethral.

Dosis: dosis awal vaginal estrogen cream 0.5 g, 2-3x dalam seminggu. Dapat dinaikkan
menjadi 1 g dengan jumlah pemakaian yang sama, yakni 2-3x dalam seminggu.

Efek samping: estrogen yang digunakan secara sistemik mastodynia, perdarahan


uterine, nausea, thromboembolism, kejadian iskemi cardiac dan cerebrovascular dan
peningkatan resiko beberapa jenis kanker. Estrogen yang digunakan dalam terapi SUI hanya
dapat digunakan dalam bentuk topical, dan paling baik digunakan ketika ada SUI yang disertai
dengan urethritis atau vaginitis yang disebabkan oleh defisiensi estrogen.

L. Prognosis
a. Inkontinensi urin tipe stres biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar panggul,
dengan prognosis cukup baik.
b. Pada inkontinens stres, tingkat pemulihan dengan obat golongan alpha-agonis sebesar
19-74%; pemulihan dengan latihan otot dan operasi sekitar 87% hingga 88%.
c. Inkontinensi urin tipe urgensi atau overactive blader umumnya dapat diperbaiki
dengan obat-obat golongan antimuskarinik, tingkat pemulihan lebih tinggi dengan
pelatihan kandung kemih (75%) dibandingkan dengan penggunaan antimuskarinik
(44%).
d. Inkontinensi urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan
mengatasi sumbatan/retensi urin).
e. Tanpa pengobatan yang efektif, inkontinensia urin dapat memiliki hasil yang tidak
baik. Kontak lama urin dengan kulit yang tidak terlindung menyebabkan dermatitis
kontak dan kerusakan kulit. Jika tidak diobati, gangguan kulit ini dapat menyebabkan
luka dan bisul, mungkin mengakibatkan infeksi sekunder.

M. Komplikasi
a. Penyakit Kulit, iritasi dan infeksi pada kulit mudah berkembang ketika kulit dalam
keadaan lembab.
b. Infeksi Saluran Kencing, inkontinensi urin meningkatkan kekambuhan dari penyakit
ISK.
c. Terganggunya Kondisi Secara Emosional, inkontinensi urin menyebabkan beberapa
pasien mengalami gangguan emosional, karena merasa terisolasi.

DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 2012. Koda-Kimble and Youngs Applied
Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. Lippincott Williams &Wilkins, Philadelphia,
pp. 2395-2400.
Dipiro. JT., 2015, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York, pp. 1467,
1469
Dipiro. JT., 2015, Pharmacoterapy Handbook 9th edition, Mc Graw Hill, New York, pp. 867-
870
Junizaf, 2002, Buku Ajar Uroginekologi, FK UI, Jakarta, hal. 90-95.
Medscape, 2016, http://emedicine.medscape.com/article/452289-clinical, diakses tgl 19 agt
2016, pukul 21.00 WIB
NIH, 2016, https://www.nia.nih.gov/health/publication/urinary-incontinence#causes,
diakses tgl 18 agt 2016, pukul 19.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai