INKONTINENSI URIN
Oleh :
FSM C 2014
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
A. Fisiologis normal urinisasi
Pengendalian kandung kemih dan pengeluaran air kemih melalui sistem simpatis dan
parasimpatis. Ketika volume kandung kemih mencapai 200-400cc maka tubuh akan
mengeluarkan asetilkolin dimana, asetilkolin tersebut akan menempel pada reseptor
muskarinik dan mestimulasi sistem saraf parasimpatif. Parasimpatis akan menyebabkan
kontraksi pada otot-otot detrusor dan dilatasi sfingter internal. Sedangkan saraf simpatis terdiri
dari reseptor dan . Reseptor terletak di bagian leher kandung kemih dan otot polos sekitar
pangkal uretra yang menyebabkan kontraksi bagian bawah kandung kemih, sehingga
menghambat pengosongan kandung kemih. Reseptor berada di korpus kandung kemih,
perangsangan reseptor ini mengakibatkan relaksasi otot-otot detrusor sehingga terjadi
pengisian.
Refleks berkemih terjadi dengan cara:
Impuls pada medulla spinalis dikirim ke otak dan menghasilkan impuls parasimpatis yang
menjalankan melalui saraf splanknik pelvis ke kandung kemih.
Refleks perkemihan menyebabkan otot detrusor kontraksi dan relaksasi sfingter internal
dan eksternal (Sloane, 2003).
Selama miksi (berkemih), proses yang terjadi :
Refleks detrusor meregang (terisi oleh urin), mencetuskan refleks kontraksi dari otot-otot
tersebut sehingga timbul keinginan untuk miksi.
Relaksasi otot sfingter uretra eksternal memungkinkan kandung kemih untuk
mengosongkan isinya dan dapat dibantu dengan tindakan valsava.
Pada akhir proses miksi, kontraksi kuat dari otot sfingter uretra eksternal dan dasar panggul
akan mengeluarkan sisa urin dalam uretra, setelah itu otot detrusor relaksasi kembali untuk
pengisian urin selanjutnya.
Gangguan pada sistem saraf pusat atau komponen saluran kemih bagian bawah dapat
menyebabkan tidak sempurnanya pengeluaran dan retensi urin atau tidak dapat menahan miksi,
atau gejala-gejala kompleks kandung kemih yang berlebihan dengan karakteristik berupa sesak
dan miksi berulang-ulang dengan atau tanpa inkontinensia urin (Abrams et al, 2002 dalam
Andersson, 2008).
D. Patofisiologi
Inkontinensi urin merupakan keadaan dimana berkemih tanpa disadari. Inkontinensi
urin terjadi akibat dari otot detrusor mengalami penurunan fungsi, selain itu terjadi kerusakan
pada sfingter. Leher vesika dan struktur uretra berperan penting dalam kontinensia. Leher
vesika merupakan area di dasar kandung kemih. Hilangnya stimulasi adrenergik atau kerusakan
pada area ini menyebabkan leher vesika gagal menutup rapat sehingga memicu inkontinensia.
Ketika otot detrusor berelaksasi maka akan terjadi proses pengisian kandung kemih,
sebaliknya jika otot ini berkontraksi maka proses berkemih sedang terjadi. Kontraksi otot
detrusor kandung kemih disebabkan karena adanya aktivitas saraf parasimpatis. Apabila terjadi
perubahan-perubahan pada mekanisme normal ini maka akan mengganggu proses berkemih.
Pada otot uretra, terjadi perubahan vaskularisasi pada lapisan submukosa, atrofi mukosa dan
penipisan otot uretra. Keadaan ini mengakibatkan tekanan penutupan uretra berkurang. Selain
itu, otot dasar panggul juga mengalami perubahan berupa melemahnya fungsi dan kekuatan
otot (Junizaf, 2002).
a. Penilaian gejala
Tanda dan gejala UI tergantung pada patofisiologi yang mendasari ( Tabel 81-2 ) .
Pada pasien dengan SUI umumnya mengeluhkan adanya aktivitas fisik berlebih seperti
kebocoranurin (mengompol), sedangkan pasien dengan UUI mengeluhkan frekuensi,
urgensi, volume inkontinensia yang tinggi, nokturia dan inkontinensia nokturnal.
Aktivitas uretra berlebih atau kandung kemih dengan aktivitas rendah merupakan
penyebab yang jarang namun penting dari UI. Pasien mengeluh perut bagian bawah terasa
penuh, cemas, mengendan untuk buang air kecil, adanya penurunan pengeluaran urine,
aliran pengeluaran urine tidak lancar, dan adanya rasa tidak nyaman pada saat
pengosongan kandung kemih seperti masih adanya sisa urine yang belum dikeluarkan.
Pasien juga dapat memiliki frekuensi kencing, urgensi, dan sakit perut.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen untuk menghindari distensi kandung kemih, pemeriksaan
panggung pada wanita mencari adanya prolaps atau kekurangan hormon dan genital, dan
pemeriksaan prostat pada pria.
G. Tujuan Terapi
Ada beberapa tujuan terapi yang dilakukan untuk pengobatan Inkontinensi Urin adalah
:
a. Untuk mengurangi tanda-tanda dan gejala yang membahayakan pasien.
b. Pemulihan penahanan urine,
c. Mengurangi jumlah peristiwa terjadinyaUI,
d. Pencegahan komplikasi
H. Terapi Nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi pada Inkontinensi Urin merupakan rekomendasi utama pada level
perawatan. Pada pasien yang tidak mampu untuk menggunakan pengobatan secara farmakologi
ataupun operasi, pasien yang mempunyai efek samping jangka panjang jika diberikan
perawatan farmakologi ataupun operasi, dan pasien dengan level inkontinensi urin dengan
tingkat ringan hingga sedang maka pilihan terapi nonfarmakologi adalah salah satu cara untuk
mengobati inkontinensi urin.
Menurut Dipiro, dkk (2011) intervensi nonfarmakologi pada inkontinensi urin dibagi
menjadi 5 :
a. Time voiding
Pergi ke kamar kecil dengan jadwal yang tetap dimana interval atau jangka waktu tidak
berubah, biasanya setiap 2 jam sejak waktu bangun.
b. Habit retraining
Pergi ke kamar kecil secara terjadwal dengan penyesuaian interval waktu buang air kecil
(lebih lama atau lebih pendek) tergantung dari pola buang air kecil pasien.
c. Prompted voiding
Pergi ke kamar kecil terjadwal yang membutuhkan pentunjuk atau tanda untuk buang air
kecil dari pengasuh, biasanya setiap 2 jam. Pasien dibantu dalam pergi ke kamar kecil hanya
jika responnya positif, digunakan bersamaan dengan tekhnik pengkondisian operan untuk
mempertahankan kontinensia dan pergi ke kamar kecil secara tepat.
d. Bladder training
Pergi ke kamar kecil terjadwal dengan interval buang air kecil yang progresif, termasuk
mengajarkan teknik penekanan dorongan menggunakan teknik relaksasi dan pengalihan,
monitoring mandiri, dan penggunaan teknik penguatan, kadang dikombinasikan dengan terapi
obat.
b. Biofeedback
Penggunaan instrumen elektronik atau mekanik untuk menampilkan informasi visual atau
auditori tentang aktivitas neuromuskuler atau kandung kemih; digunakan untuk mengajarkan
kontraksi otot dasar panggul yang benar dan / atau penghambatan dorongan; menyediakan
pelatih di rumah.
d. Acupuntur
Melibatkan penyisipan jarum baja halus yang steril ke titik titik pada kulit yang
diperkirakan untuk menekan atau menstimulasi tulang belakang dan atau merangsang reflex
supraspinal ke kandung kemih dan uretra.
a. Pessaries
e. Catheters
5. Supportive Intervention
Modifikasi pada intervensi suportif ini dapat menjadi salah satu pilihan terapi non
farmakologi karena dengan adanya intervensi tersebut penderita inkontinensi urin tidak perlu
repot untuk bolak-balik ke toilet sehingga dampak dari inkontinensi urin dapat berkurang.
I. Terapi Farmakologi
Bladder overactivity : Urge Urinary Incontinence
Pilihan pertama : obat anticholinergic/antispasmodic
Trospium chloride IR, antikolinergik kuarterner ammonium. Mekanisme kerja obat ini
adalah menurunkan kontraksi otot polos kandung kemih, dengan antagonis efek acetilkolin
di resepor muskarinik. Trospium chloride IR menyebabkan efek samping antikolonergik
yang diinginkan, dengan meningkan frekuensi urinasi pada pasien 75 tahun keatas. Produk
extended-release obat ini juga dapat digunakan saat perut kosong.
Solifenacin succinate dan darifenacin merupakan generasi kedua agen antimuskarinik.
Solifenacin succinate merupakan antagonis kompetitif reseptor muskarinik. Keduanya
dapat meningkatkan domain kualitas hidup. Interaksi obat dapat terjadi jika inhibitor CYP
3A4 diberikan bersamaan dengan solifenacin succinate atau CYP 2D6 atau inhibitor 3A4
dengan darifenacin.
Mirabegron merupakan alternatif agonis 3-adrenergic untuk obat
anticholinergic/antimuscarinic untuk mengatur UUI. Efek samping yang biasa terjadi
adalah hipertensi, nasofaringitis, infeksi saluran kemih dan sakit kepala. Obat ini
merupakan moderate inhibitor dari CYP2D6.
Botulinum toxin A, melumpuhkan otot halus untuk sementara. Obat ini terbukti untuk
pengobatan refractory UUI yang berhubungan dengan neurogenic detrusor overactivity.
Efek samping dari botulinum toxin A include dysuria, hematuria, infeksi saluran kemih
dan retensi urin (hingga 20%). Efek terapi dan efek samping dapat terlihat selama 3 sampai
7 setelah injeksi dan reda setelah 6 sampai 8 bulan.
Dosis: dosis awal doxazosin adalah 1mg/hari, setelah 1-2 minggu, dosis dapat dinaikkan
sampai beberapa minggu menjadi 8mg/hari.
- Tamsulosin
MK: tamsulosin merupakan long-acting 1A-adrenergik reseptor. Tamsulosin dan
metabolitnya lebih spesifik untuk reseptor 1A-adrenergik yang ada di prostat
dibandingkan obat 1A-adrenergik receptor antagonist. Meskipun begitu, Tamsulosin
kurang spesifik untuk reseptor 1A-adrenergik yang ada di vascular, sehingga mempunyai
kemungkinan yang lebih kecil untuk menimbulkan hipotensi orthostatis dibandingkan
agen lainnya. Tamsulosin bekerja pada otot polos prostat, sehingga menurunkan resistensi
leher kandung kemih dan urethral.
Dosis: 40-80mg/hari (dalam satu atau 2 dosis). Memulai terapi dengan pemberian 40
mg duloxetine setiap hari selama 2 minggu, dan kemudian ditingkatkan menjadi 80mg/hari
dapat menurunkan resiko nausea, dizziness dan premature drug discontinuation. Penghentian
penggunaan duloxetine dilakukan dengan cara menurunkan dosis pemakaiannya sebanyak
50% selama 2 minggu sebelum diskontinyu pemakaian obat, kecuali ada situasi tertentu yang
berpotensi membahayakan hidup pasien.
Dosis: dosis awal imipramine adalah 25 mg, dikonsumsi secara peroral sebelum tidur. Dosis
dapat ditingkatkan sebanyak 25 mg setiap 3 hari sampai pasien menjadi continent, atau sampai
muncul efek samping. Dosis maksimal penggunaan imipramine adalah 150 mg per hari.
Efek samping: anxiety, insomnia, kenaikan tekanan darah, sakit kepala, gemetar, lemah,
palpitations, cardiac aritmia, kesusahan napas.
d. Estrogens
Mk: terapi estrogen memfasilitasi penyimpanan urine pada pasien post-menopausal dengan
meningkatkan resistensi outlet urethral.
Dosis: dosis awal vaginal estrogen cream 0.5 g, 2-3x dalam seminggu. Dapat dinaikkan
menjadi 1 g dengan jumlah pemakaian yang sama, yakni 2-3x dalam seminggu.
L. Prognosis
a. Inkontinensi urin tipe stres biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar panggul,
dengan prognosis cukup baik.
b. Pada inkontinens stres, tingkat pemulihan dengan obat golongan alpha-agonis sebesar
19-74%; pemulihan dengan latihan otot dan operasi sekitar 87% hingga 88%.
c. Inkontinensi urin tipe urgensi atau overactive blader umumnya dapat diperbaiki
dengan obat-obat golongan antimuskarinik, tingkat pemulihan lebih tinggi dengan
pelatihan kandung kemih (75%) dibandingkan dengan penggunaan antimuskarinik
(44%).
d. Inkontinensi urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan
mengatasi sumbatan/retensi urin).
e. Tanpa pengobatan yang efektif, inkontinensia urin dapat memiliki hasil yang tidak
baik. Kontak lama urin dengan kulit yang tidak terlindung menyebabkan dermatitis
kontak dan kerusakan kulit. Jika tidak diobati, gangguan kulit ini dapat menyebabkan
luka dan bisul, mungkin mengakibatkan infeksi sekunder.
M. Komplikasi
a. Penyakit Kulit, iritasi dan infeksi pada kulit mudah berkembang ketika kulit dalam
keadaan lembab.
b. Infeksi Saluran Kencing, inkontinensi urin meningkatkan kekambuhan dari penyakit
ISK.
c. Terganggunya Kondisi Secara Emosional, inkontinensi urin menyebabkan beberapa
pasien mengalami gangguan emosional, karena merasa terisolasi.
DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 2012. Koda-Kimble and Youngs Applied
Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. Lippincott Williams &Wilkins, Philadelphia,
pp. 2395-2400.
Dipiro. JT., 2015, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York, pp. 1467,
1469
Dipiro. JT., 2015, Pharmacoterapy Handbook 9th edition, Mc Graw Hill, New York, pp. 867-
870
Junizaf, 2002, Buku Ajar Uroginekologi, FK UI, Jakarta, hal. 90-95.
Medscape, 2016, http://emedicine.medscape.com/article/452289-clinical, diakses tgl 19 agt
2016, pukul 21.00 WIB
NIH, 2016, https://www.nia.nih.gov/health/publication/urinary-incontinence#causes,
diakses tgl 18 agt 2016, pukul 19.00 WIB