Anda di halaman 1dari 10

A.

Inkontinensia Urin Tekanan (Stres Urinary Incontinensia)

Inkontinensia urin merupakan kondisi keluarnya urin secara volunter yang terlihat jelas
secara objektif sehingga menimbulkan masalah higienis dan sosial. Inkontinensia urin sendiri,
dapat dibagi menjadi 5 kondisi, yakni1:

 IU tekanan (Stress Urinary Incontinence)


 IU desakan (Urge Urinary Incontinence)/Overactive bladder
 IU Campuran (Mixed Urinary Incontinence)
 IU Fungsional (Functional Urinary Incontinence)
 IU luapan (Overflow Urinary Incontinence)

Salah satu jenis keluhan yang paling dikeluhkan pasien dan terjadi hampir 10-39% adalah
inkontinensia urin tekanan (Stress Urinary Incontinence), dimana kondisi inkontinesia ini
terjadi apabila urin dengan secara tidak terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam
perut, melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penuru- nan estrogen. 5 Pada gejalanya
antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal yang lain yang
mening- katkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan dengan tanpa operasi
(misalnya dengan Kegel exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun dengan operasi.

B. Faktor resiko

Saat ini ada minat yang cukup besar untuk mengidentifikasi factor resiko untuk terjadinya
SUI. Upaya ini merupakan hasil dari tumbuhnya kesadaran akan dampak besar terhadap
kualitas hidup. Keadaan ini membuat para peneliti untuk meneliti dampak dari factor-faktor
seperti penuaan, kehamilan, Riwayat persalinan, obesitas, merokok dan kondisi lain yang bisa
membuat terjadinya peningkatan morbiditas.12
Gambar 1. Faktor resiko

C. Patofisiologi

Ada beberapa mekanisme patofisiologi yang mendasari dari terjadinya stress inkontinesia,
intrinsic sphincter dysfunction (ISD) adalah adanya gangguan pada sphincter uretra sehingga
tidak mampu melawan tekanan dari kandung kemih terutama saat terjadi tekanan dari
abdomen yang menekan kandung kemih. Banyak factor resiko yang berhubungan dengan
defisiensi faktor sphincter intrinsic dalam mekanisme ini, namun yang paling mendukung
dari data ini adalah peningkatan usia dan Riwayat operasi organ panggul.2,3

Teori lain yang saat ini diadopsi dalam mekanisme patofisiologi inkontinesia urin tekanan
adalah adanya hipermobilitas uretra, dimana pada uretra yang mobile, maka metode sling
memiliki prognosis yang cukup baik. 2,3

Distensi kandung kemih oleh urin dengan jumlah kurang lebih 250 cc akan merangsang
reseptor tekanan yang terdapat pada dinding kandung kemih. Akibatnya akan terjadi refleks
kontraksi dinding kandung kemih oleh otot detrusor, pada saat yang sama terjadi relaksasi
sfingter internus, diikuti oleh relaksasi sfingter eksternus, dan akhirnya terjadi pengosongan
kandung kemih. Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan relaksasi
sfingter interus dihantarkan melalui serabut-serabut parasimpatik (Apabila parasimpatis
dirangsang akan dikeluarkan neurotransmitter asetilkolin, bila asetilkolin deiterima oleh
resptor muskarinik, kandung kemih akan berkontraksi. Nikotinik berada di otot
rhabdosfingter, levator ani dan sfingter ani ektsterna relaksasi rhabdosfingter uretra, levator
ani dan sfingter ani ekterna). Kontraksi sfingter eksternus secara volunter bertujuan untuk
mencegah atau menghentikan miksi. Kontrol volunter ini hanya dapat terjadi bila saraf-saraf
yang menangani kandung kemih uretra medula spinalis dan otak masih utuh. Bila terjadi
kerusakan pada saraf-saraf tersebut maka akan terjadi inkontinensia urin (kencing keluar
terus-menerus tanpa disadari).4

Blavias dan Olsson membagin inkontinensia urin tekanan kedalam 3 tipe, yaitu dijelaskan
pada gambar dibawah ini. 2,3

Gambar 2. Klasifikasi SUI


D. Diagnosis
Untuk menentukan tipe Inkontinensia Urine anamensis adalah hal yang krusial karena dapat
menentukan terapi serta prognosis pada pasien, pada pasien dengan inkontinensia urin
tekanan, biasanya pasien mengetahui kapan dan kegiatan apa yang dapat memicu terjadinya
inkontinensia urin.
Namun dari anamnesis kita juga harus menanyakan hal hal penting yang dapat menjadi factor
resiko dan komorbid pada pasien, serta pentingnya melakukan Bladder diary jika ada
kecurigaan inkontinensia tipe lain. Patologi lainnya yang dapat menjadi penyebab
inkontinensia (DIAPPERS), yaitu:

a) Delirium atau kebingungan - pada kondisi berkurangnya kesadaran baik karena pengaruh
dari obat atau operasi, kejadian inkontinensia dapat dihilangkan dengan mengidentifikasi dan
menterapi penyebab delirium.

b) Infection – infeksi saluran kemih seperti urethritis dapat menyebabkan iritasi kandung
kemih dan timbul frekuensi, disuria dan urgensi yang menyebabkan seseorang tidak mampu
mencapai toilet untuk berkemih.

c) Atrophic Uretritis atau Vaginitis – jaringan teriritasi dapat menye- babkan timbulnya
urgensi yang sangat berespon terhadap pemberian terapi estrogen.

d) Pharmaceuticals –dapat karena obat-obatan, seperti terapi diuretik yang meningkatkan


pembebanan urin di kandung kemih.

e)Psychological Disorder – seperti stres, depresi, dan anxietas.


f) Excessive Urin Output– karena intake cairan, alkoholisme diuretic, pengaruh kafein.
g) Restricted Mobility – dapat penurunan kondisi fisik lain yang mengganggu mobilitas untuk
mencapai toilet.
h) Stool Impaction – dapat pengaruh tekanan feses pada kondisi konstipasi akan mengubah
posisi pada kandung kemih dan menekan saraf.
E. Pemeriksaan fisik dan penunjang

Selain melakukan anamnesa, pada pemeriksaan fisik harus dilakukan, pemeriksaan status
generalis, indeks massa tubuh (obesitas memiliki resiko yang lebih besar), status
kardiopulmonologi (tanda-tanda gagal jantung), pemeriksaan abdomen, panggul, distensi
kandung kenmih dan POP jika didapatkan adanya masalah lain yaitu prolaps organ panggul.
Pemeriksaan khusus pada pasien stress inkotinensia juga dapat membantu kita menegakkan
diagnosis, pemeriksaan cough stress test untuk melihat adanya urin yang keluar secara
involunter saat batuk, juga dapat dilakukan pemeriksaan pad test untuk melihat tingkat
keparahan pada pasien dengan inkontinesia terutama untuk pasien dengan jenis inkontinensia
lainnya atau dapat dilakukan pemeriksaan Q-tip test, dimana menggunakan kapas swab yang
dimasukkan ke dalam uretra hingga pada baldder bagian leher, kemudian pasien diminta
untuk batuk dan akan terjadi pergerakan swab kapas lebih dari 30 derajat yang menunjukkan
adanya hipermobilisasi uretra.6-7
Pemeriksaan imaging seperti ultrasonography juga dibutuhkan untuk melihat penyebab
lainnya. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan urodinamik,
dimana dapat dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, sistometri dan pengukuran urin residu
postvoid.
Pada uroflowmetri, digunakan untuk pengukuran kecepatan aliran urine, dengan kecepatan
normal 15-25 ml/s, dimana komponen kecepatan urine dapat dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu kontraktilitas detrusor dan resistensi uretra, namun kelemahan dari alat ini yaitu tidak
dapat membedakan penyebab utamanya, dan untuk mengatasi kekurangan ini, dapat
dilakukan pemeriksaan sistometri untuk lanjutan pemeriksaan. 6,9
Pada sistometri, tujuan utama menilai fungsi kandung kemih dan uretra saat proses pengisian
urine dan mikturisi, dimana terdapat 2 jenis sistometri yakni single channel dan multi
channel, diamna yang membedakan dari pemeriksaan ini adalah pada multi channel dapat
mengukur tekanan intraabdominal dan tekanan detrusor. 6,9
Pada pemeriksaan pengukuran residu urin postvoid, dapat dilakukan dengan menggunakan
ultrasonography dan kateterisasi, namun pemeriksaan ultrasonography dianggap lebh baik
karena non invasive serta lebih akurat. Pada pemeriksaan ini pasien akan dilakukan
pemeriksaan volume urin dalam kandung kemih dalam kurang dari 10 menit setelah
berkemih, dan hasil 50-200 cc dianggap normal.10
F. Tatalaksana
Pada pasien dengan inkontinesia urin tekanan, dalam dilakukan beberapa pilihan terapi, yaitu
terapi konservatif, farmakoterapi dan terapi pembedahan.
Pada penanganan konservatif, dilakukan terapi kebiasaan dengan membatasi intake cairan,
kencing berkala, melakukan latihan pelvic floor muscle training (PTMS), mengurangi berat
badan. Sedangkan untuk farmakoterapi, factor yang berkontribusi terhadap penutupan uretra
termasuk tonus otot polos uretra. Ada beberpa bukti bahwa Sebagian besar tonus otot polos
uretra dimediasi melalui adrenoreseptor di otot polos uretra oleh noradrenalin. Pengobatan
farmakologis dari SUI bertujuan untuk meningkatkan penutupan uretra dengan meningkatkan
tonus otot polos dan lurik uretra. Dibawah ini merupakan terapi farmakoterapi pilihan yang
direkomendasikan, yaitu duloxetine (B), midodrine (C).8
Jika diagnosis SUI sudah ditegakkan, dan tatalaksana operasi menjadi pilihan, harus
dipikirkan adanya factor lain pada pasien yang menyertai yang akan berpengaruh terhadap
keberhasilan dari operasi tersebut. Pada kasus SUI, tatalaksana operatif tidak sepenuhnya
menjadi pilihan utama dan tidak semua direkomendasikan, pada tabel 3 dijelaskan operasi
apa saja yang direkomendasikan pada kasus SUI. 8

Gambar 3. Rekomendasi farmakoterapi


Gambar 4. Faktor pengganggu pada Gambar 5. Rekomendasi prosedur operasi
pasien SUI yang akan operasi

Gambar 6. Algoritma tatalaksana SUI


Referensi

1. Irwin DE, Kopp ZS, Agatep B, Milsom I, Abrams P. Worldwide prevalence estimates
of lower urinary tract symptoms, overactive bladder, urinary incontinence and bladder
outlet obstruction. BJU Int. 2011 Oct;108(7):1132-8.
2. McBride AW. Pathophysiology of Stress Urinary Incontinence. J Pelvic Med Surg.
2004;10(1):1–7.
3. Cundiff GW. The pathophysiology of stress urinary incontinence: a historical
perspective. Rev Urol [Internet]. 2004;6 Suppl 3:S10-8. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16985860%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.g
ov/articlerender.fcgi?artid=PMC1472864
4. Luis F, Moncayo G. Textbook of Female Urology and Urogynecology. second
edition. vol 1: 2001
5. Abrams P, Cardozo L, Khoury S, Wein A. Incontinence (5th Edition) 2013. Health
Publication Ltd. 2013. 429–55 p.
6. Sharma N, Chakrabarti S. Clinical Evaluation of Urinary Incontinence. J Midlife
Health. 2018;9(2):55-64. doi:10.4103/jmh.JMH_122_17
7. Tran LN, Puckett Y. Urinary Incontinence. [Updated 2021 Aug 11]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559095/
8. Thüroff JW, Abrams P, Andersson KE, Artibani W, Chapple CR, Drake MJ,
Hampel C, Neisius A, Schröder A, Tubaro A. EAU guidelines on urinary
incontinence. Eur Urol. 2011 Mar;59(3):387-400. doi:
10.1016/j.eururo.2010.11.021. Epub 2010 Nov 24. PMID: 21130559.
9. Bradley C Gill MD. Urodynamic studies for urinary incontinence [Internet].
Overview, Patient Selection for Urodynamic Studies, Test Components. Medscape;
2021 [cited 2021Sep20]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1988665-overview#a10
10. Ballstaedt L, Woodbury B. Bladder Post Void Residual Volume. [Updated 2021 May
10]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539839/
11. PERSSON J, WØLNER-HANSSEN P, RYDHSTROEM H. Obstetric Risk Factors
for Stress Urinary Incontinence. Obstet Gynecol. 2000;96(3):440–5.

SINOPSIS
Stress Urinary Incontinence

Fedrik Monte Kristo


Tahap T3B

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PEDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
JAKARTA
2022

Anda mungkin juga menyukai