Anda di halaman 1dari 8

Missdiagnosis Gambaran Mikroskopis Polip Endometrium dengan Kanker

Endometrium pada terapi Progesteron – Gyn Review


Thannia F1, Anindhita2
1
Departemen Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Persahabatan, Universitas Indonesia,
Email: febbthann@yahoo.com

Abstrak
Latar Belakang: Polip endometrium sering ditemukan pada wanita usia reproduktif maupun
pasca menopause. Meskipun umumnya bersifat jinak, sebagian kecil polip dapat bersifat
ganas. Pemberian progesteron potensi tinggi dapat merubah morfologi endometrium,
sehingga mempersulit penilaian histologis.
Laporan Kasus: Seorang wanita 40 tahun dengan menorrhagia diberikan terapi progesteron
selama 7 bulan. Ketika dilakukan pemeriksaan histologis pertama, ditemukan sel-sel
endometrium yang mengarah ke keganasan. Ketika dilakukan pemeriksaan histologis kedua
dua bulan setelah pemeriksaan pertama, ditemukan gambaran serupa polip endometrium
jinak yang mengalami perdarahan. Perbedaan penemuan histologis ini dapat disebabkan oleh
pemberian progesteron potensi tinggi yang berkepanjangan, ataupun perbedaan dalam
penilaian klinisi yang membaca hasil mikroskopi jaringan.
Kesimpulan: Pemberian progesteron dapat mempengaruhi struktur histologis endometrium
dan penilaian patologi anatomi. Akan tetapi , mengingat jarak antar pemeriksaan yang dekat,
maka hasil evaluasi mikroskopik dapat sangat dipengaruhi subjektivitas pemeriksa.

Latar Belakang
Polip endometrium seringkali ditemukan baik pada wanita usia subur dan wanita
pascamenopause. Sebanyak 25% spesimen patologi endometrium pada pasien dengan
perdarahan uterin menunjukkan hasil polip endometrium.1 Meskipun umumnya bersifat jinak,
sebanyak 0,8-4,8% polip dapat bersifat ganas.2 Oleh karena itu, pemeriksaan histologi
dibutuhkan untuk mengkonfirmasi polip endometrium. Akan tetapi, gambaran histologi polip
dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, termasuk hormon estrogen dan progesteron. Pemberian
hormon tersebut dalam dosis atau potensi yang tinggi dapat mengubah struktur histologis
polip dan memberikan gambaran serupa dengan keganasan. Perubahan tersebut berpengaruh
pada penilaian diagnosis mikroskopik.3–5
Kasus
Seorang wanita berinisial LS, usia 40 tahun, datang ke Rumah Sakit (RS) Persahabatan atas
rujukan dari RS Islam Sukapura. Pasien mengalami menorrhagia sejak 8 bulan sebelum
masuk rumah sakit (SMRS). Sejak 7 bulan SMRS, pasien amenorea selama 4 bulan dengan
test pack negatif. Sejak saat itu, pasien mengkonsumsi pil hormonal Primolut N ® 1 x 5 mg
yang diberikan oleh spesialis obstetri dan ginekologi. Empat bulan SMRS, pasien kemudian
kembali mengalami menorrhagia. Riwayat menstruasi pasien sebelumnya baik, pasien
menikah satu kali, memiliki dua anak hidup yang lahir spontan. Pasien juga tidak pernah
menggunakan kontrasepsi.

Dua minggu SMRS pasien dikuret untuk pemeriksaan patologi anatomi (PA). Pada
pemeriksaan mikroskopik endometrium (Gambar 1), didapatkan kelenjar proliferatif dan
displastik dengan inti sel yang relatif membesar, bulat oval dengan kromatin halus dan
sitoplasma eosinofilik. Kesimpulan pemeriksaan adalah metaplasia endometrium dengan
clear cells, dengan diagnosis banding clear cell carcinoma.

Gambar 1. Gambaran mikroskopik spesimen yang diambil 2 minggu sebelum masuk RS


Persahabatan.

Pada pemeriksaan fisis dan inspekulo, ditemukan tidak ada perdarahan atau kelainan pada
vagina dan serviks. Pada pemeriksaan dalam vagina, teraba CUT yang membesar. Pada
pemeriksaan laboratorium, didapatkan anemia mikrositik hipokrom, ß-hCG <1,2, dan
penanda tumor alfa fetoprotein (AFP) 2,47 ng/ml dan CA-125 12,8 U/L. Pada pemeriksaan
ultrasonografi (USG) abdomen (Gambar 2), didapatkan massa padat berukuran 90 x 81 mm
dengan arus darah intramassa tipe venous, suspek neoplasma non-ginekologik pada adneksa
kanan. Pada pemeriksaan CT scan abdomen, ditemukan massa di uterus 9.8 x 8 x 10 cm
menempel dengan korpus uteri. Densitas massa homogen, sedikit dibawah densitas korpus

uteri, dengan kesimpulan suspek mioma uteri.


Gambar 2. Hasil USG abdomen.

Pada pemeriksaan PA ulang (Gambar 3), didapatkan gambaran jaringan endometrium yang
sebagian polypoid, dan tampak kelenjar masa sekresi yang mengalami infark hemoragik.
Tidak ada gambaran keganasan atau clear cell. Kesimpulan pemeriksaan adalah polip
endometrium yang sebagian mengalami infark hemoragik.

Gambar 3. Hasil pemeriksaan review slide PA di RS Persahabatan.


Dikarenakan gambaran hasil patologi anatomi yang berbeda, 2 bulan setelahnya pasien
direncanakan untuk dilakukan kuretase ulang di Rumah Sakit Persahabatan untuk konfirmasi,
dilakukan pula histeroskopi dilanjutkan kuretase, dengan hasil ortio licin, dinding vagina
tidak tampak kelainan, OUE dan OUI dalam batas normal, kedua ostium tuba dalam batas
normal Dinding endometrium tampak menebal dan polypoid, diputuskan dilakukan kuretase
dan jaringan dikirim untuk pemeriksaan patologi anatomi. Berdasarkan hasil PA didapatkan
Sediaan terdiri atas keping keping jaringan endometrium berbentuk polypoid, mengandung
kelenjar massa proliferasi, tampak daerah daerah infark hemoragik, kesimpulan: Polip
endometrium dengan bagian yang mengalami infark hemoragik, tidak tampak keganasan
seperti pada Gambar 4

Gambar 4. Hasil Pemeriksaan PA kuretase di RS Persahabatan (Kanan pembesaran 10x, kiri


pembesaran 5x)

Diskusi

Polip endometrium adalah kelainan yang banyak ditemukan pada pemeriksaan ginekologi,
dengan prevalensi 16%-34%, tergantung pada populasi yang diteliti. 2 Sebanyak 25%
specimen histologi endometrium dari pasien dengan perdarahan uterin abnormal berasal dari
polip endometrium. Gejala yang menyertai adalah perdarahan dan infertilitas, akan tetapi,
banyak wanita yang asimtomatik.1
Polip adalah lesi endometrium bifasik yang jinak, noduler, dan terdiri dari kelenjar
endometrium dan stroma yang terdistribusi secara ireguler. 2 Secara histologi, perubahan
kelenjar pada polip berbeda-beda, mulai dari kelenjar atrofik yang berdilatasi membentuk
semacam kista, kelenjar hiperplastik, atau karsinoma endometrial ganas atau metastatik yang
jarang terjadi. Penilaian atipia nukleus sangatlah subjektif. Apabila ditemukan nukleus
vesicular bulat yang kehilangan polaritasnya, maka sel dicurigai ganas. Akan tetapi, bila
ditemukan nukleus yang berbeda-beda antara normal dan atipik, maka polip mungkin adalah
suatu neoplasia intraepitel endometrium (EIN). Apabila terdapat temuan atipia nukleus dan
nucleoli yang jelas, dengan aktivitas mitotik yang aktif, maka curiga karsinoma intraepiel
endometrium (EIC).1

Polip endometrium bisa menjadi ganas atau pre-maligna pada 0,8-4,8% kasus. Tabrizi et al 2
melaporkan dua buah kasus wanita pascamenopause dengan polip endometrium yang
ternyata merupakan karsinoma serosa dan clear cell carcinoma. Pada pemeriksaan
mikroskopik ditemukan displasia nukleus dan sitoplasma yang jernih (displasia glandular sel
jernih/clear cell). Pada studi lain, ditemukan 13 kasus karsinoma endometrium serosa yang
tumbuh dari polip endometrium, 12 diantaranya hanya terbatas pada polip tersebut.6

Hormon estrogen dan progesteron iatrogenik dapat merubah struktur histologis endometrium.
Efek hormon pada endometrium tergantung pada dosis dan potensinya, dengan efek
progesteron melebihi efek dari estrogen. Hormon estrogen dan progesteron dosis tinggi/
potensi tinggi dapat menyebabkan perubahan proliferatif, sekretorik, hiperplasia sel stroma
dari sederhana hingga kompleks, reaksi atau transformasi desidual, serta metaplasia epitel
(eosinofilik, bersilia, atau musinosa). Hormon tersebut juga dapat menebalkan dinding
pembuluh darah (Gambar 1).3 Apabila dipakai secara terus-menerus, atrofi kelenjar dapat
terjadi. Hormon kontraseptif progesteron cenderung menyebabkan penampakan histologis
endometrium menjadi atrofik, dengan sel stroma yang tidak edematous seperti pada fase
sekretorik normal. Pembuluh darah nampak tipis.4

Pada wanita menopause yang diberikan terapi pengganti hormon, ditemukan bahwa kelenjar
sekretorik berproliferasi secara intens, dengan vakuola sub- dan supranuclear, sekresi
luminal, edema dan hiperplasia stroma, serta reaksi desidual. Penampakannya berupa
campuran proliferatif dan sekretorik, termasuk kelenjar hiperplastik yang padat, edema,
hiperplastik, atau terdesidualisasi, dengan pembuluh darah yang tebal. (Gambar 2) Selain itu,
dapat ditemukan gambaran metaplastia tubal, eosinofilik, musinosal, atau papiler yang
ireguler, meningkatkan kecurigaan terhadap keganasan.3

Gambar 1. Progesteron potensi tinggi yang diberikan pada wanita dengan hiperplasia
endometrium memberikan efek: kelenjar yang inaktif, stroma hiperplastik, dan hiperplasia
dinding pembuluh darah.3

Gambar 2. Gambaran mikroskopis endometrium wanita pascamenopause yang diberikan


terapi pengganti hormonal estrogen dan progesteron (Prempro). Tampak gambaran campuran
sekretorik dan hiperplastik.3

Menurut Wheeler dkk5, pada endometrium hiperplasia kompleks atipikal, pemberian


progesterone dapat merubah struktur histologis endometrium. Perubahan termasuk penurunan
rasio kelenjar dibanding stroma, penurunan selularitas kelenjar, penurunan atau tidak adanya
aktivitas mitotik, hilangnya atipia sitologik, dan munculnya perubahan sitoplasmik seperti
metaplasia eosinofilik, musinosa, sekretorik, atau skuamosa. Wheeler menganjurkan
pemberian terapi progesterone pada kasus ini dibatasi selama 6 bulan untuk evaluasi ulang
yang lebih akurat.5
Pada kasus, pemeriksaan histologis 2 minggu SMRS menemukan kelenjar endometrium yang
tampak proliferatif dan displastik, dengan inti sel yang relatif membesar, kromatin halus serta
sitoplasma eosinofilik seperti clear cells. Meskipun penilaian histologis bersifat subjektif,
penemuan pada saat ini sangat mendukung ke arah keganasan. Akan tetapi, seperti yang kita
tahu, pemberian progesterone dosis tinggi dalam waktu yang lama (pada kasus ini,
Norethisterone 5mg per hari selama kurang lebih 6 bulan) dapat menyebabkan berbagai
perubahan struktur histologis endometrium. Salah satunya adalah kemunculan metaplasia
eosinofilik pada sitoplasma. Selain itu, pemberian progesteron juga dapat menyebabkan
sekresi dan proliferasi kelenjar berlebihan, serta menyebabkan gambaran sel-sel atipik pada
endometrium. Sebuah penelitian oleh Pessina dkk7 menemukan bahwa pemberian hormon
ovarium pada tikus yang sudah diangkat ovariumnya, menyebabkan nukleus sel endometrium
(terutama pada sel-sel superfisial ) tampak lebih gelap, padat, dan gepeng, dengan sitoplasma
yang sedikit (Gambar x).

Gambar x. Gambaran mikroskopis epitel endometrium tikus yang telah dilakukan


ooforektomi. Gambar P adalah endometrium tikus yang diberikan progesteron 300µg/hari,
dan gambar EP yang diberikan estradiol 5µg/hari dan progesteron 300µg/hari.7
Pemberian progesteron dosis tinggi dalam jangka waktu yang lama dapat sangat
mempengaruhi penilaian mikroskopis endometrium. Maka dari itu, ketika dilakukan
pemeriksaan ulang, didapatkan hasil yang berbeda dan kesimpulan bahwa gambaran
spesimen berupa polip endometrium. Akan tetapi, perlu diingat bahwa jarak antara kedua
pemeriksaan hanya dua minggu, sementara pemberian progesteron sudah dilakukan selama 7
bulan. Hal ini memperlihatkan perbedaan penilaian klinisi yang sangat penting dalam
menentukan hasil patologi anatomi. Mengarah pada pemeriksaan hasil PA pada kasus pasien
berikutnya 2 bulan setelah pasien menghentikan terapi Progesteron lebih jelas dapat terlihat
pada pembesaran 10x, kelenjar kelenjar yang tampak aktif dan focus fokus nekrotik di sekitar
bagian poliop dan tampak inti sel yang lebih gelap namun tidak terdapat perubahan pada
bentuk inti sel pada sediaan, pada hal tersebut pasien telah menghentikan terapi progesterone
sehingga kelenjar kelenjar tampak lebih aktif menyerupai fase sekresi awal.

Kesimpulan

Polip endometrium umumnya jinak, tetapi sebagian kecil dapat bersifat ganas. Pemberian
progesteron jangka panjang dapat merubah struktur histologis jaringan endometrium,
terutama endometrium yang hiperplasia, salah satunya adalah polip endometrium. Hal ini
perlu diingat ketika melakukan pemeriksaan mikroskopik agar evaluasi lebih akurat.

Daftar Pustaka
1. Dastranj Tabrizi A. Histologic Features and Differential Diagnosis of Endometrial
Polyps; An Update and Review. IJWHR 2016; 4: 152–156.

2. Tabrizi AD, Vahedi A, Esmaily HA. Malignant endometrial polyps: Report of two cases
and review of literature with emphasize on recent advances. J Res Med Sci 2011; 16:
574–579.

3. Deligdisch L. Hormonal Pathology of the Endometrium. Mod Pathol 2000; 13: 285–294.

4. Dinh A, Sriprasert I, Williams AR, et al. A review of the endometrial histologic effects of
progestins and progesterone receptor modulators in reproductive age women.
Contraception 2015; 91: 360–367.

5. Wheeler DT, Bristow RE, Kurman RJ. Histologic Alterations in Endometrial Hyperplasia
and Well-differentiated Carcinoma Treated With Progestins. American Journal of
Surgical Pathology 2007; 31: 988–998.

6. Trahan S, Tetu B, Raymond P. Serous papillary carcinoma of the endometrium arising


from endometrial polyps: a clinical, histological, and immunohistochemical study of 13
cases. Human Pathology 2005; 36: 1316–1321.

7. Pessina MA, Hoyt RF, Goldstein I, et al. Differential Effects of Estradiol, Progesterone,
and Testosterone on Vaginal Structural Integrity. Endocrinology 2006; 147: 61–69.

Anda mungkin juga menyukai