Anda di halaman 1dari 15

Endometriosis

Octaviyana Nadia Nitasari Simatupang


1806262392
PPDS Tahap 3B

Pembimbing :
Prof. Dr. dr. TZ Jacoeb, SpOG-KFER

Departemen Obstetri dan Ginekologi


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo
Agustus 2021
Pendahuluan
Endometriosis merupakan suatu gangguan giekologi yang ditandai adanya jaringan
mirip endometrium (endometrium-like tissue) di luar kavum uteri yang dapat memicu sebuah
reaksi inflamasi yang kronik. Definisi ini tidak mencakup sifat simptomatik, patobiologis dan
multisistemik yang kompleks dari gangguan tersebut. Lesi endometriosis dapat berupa lesi
peritoneum, implan superfisial atau kista pada ovarium (endometrioma), maupun lesi/ nodul
infiltrasi dalam. Walaupun tidak ada etiologi pasti pada endometriosis, namun terdapat
beberapa hipotesis mengenai penyebab berkembanganya endometriosis yang akan dibahas
kemudian.1,2
Prevalensi endometriosis sekitar 10-15 % dari semua perempuan usia reproduksi dan
70% dari semua perempuan dengan nyeri panggul kronis. Beberapa kasus sering terjadi
keterlambatan dalam diagnosis endometriosis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan
penurunan kualitas hidup. Gejala klinis endometriosis bervariasi, pasien biasanya datang
dengan keluhan nyeri haid (dismenorea), perdarahan intermentrual, nyeri sanggama
(disparenia), nyeri buang air besar (diskezia), dan nyeri berkemih (disuria). Nyeri panggul
dapat terjadi sebelum menstruasi. Seringkali endometriosis tanpa gejala, dan menjadi
perhatian saat pasien datang untuk evaluasi infertilitas.3
Diagnosis endometriosis didasarkan pada riwayat, gejala, dan tanda klinis; diagnosis
dikuatkan dengan pemeriksaan fisik dan teknik pencitraan, dan dibuktikan dengan
pemeriksaan histologi baik lesi yang dibiopsi langsung, dari bekas luka, atau jaringan yang
dikumpulkan selama laparoskopi. Pengenalan visual endometriosis selama laparoskopi saja
memiliki nilai yang terbatas karena memiliki tingkat positif palsu yang tinggi.1
American Society for Reproductive Medicine (ASRM) membagi klasifikasi gejala
nyeri terkait endometriosis berdasarkan morfologi nodul/ implan peritoneal dan panggul.
Rongga pelvik dievaluasi secara sistematis searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam.
Jumlah, ukuran, dan lokasi implan endometrium, plak, endometrioma, dan perlengketan
harus dicatat. Endometriosis di usus, saluran kemih, tuba fallopi, vagina, leher rahim, kulit,
atau lokasi lain harus didokumentasikan sesuai pedoman ASRM. Stadium endometriosis
menurut pedoman ASRM adalah stadium I, II, III, dan IV ditentukan berdasarkan skor poin
dan sesuai dengan endometriosis minimal, ringan, sedang dan berat.4

Patogenesis
Perkembangan endometriosis melibatkan interaksi endokrin, imunologi, proinflamasi,
dan proses proangiogenik. Patogenesis pasti endometriosis belum diketahui dengan pasti.
Beberapa teori utama, antara lain menstruasi retrograd, perubahan imunitas, metaplasia
selomik dan metastasis secara vascular dan limfatik.2,5
Pada tahun 1920-an, Sampson mengajukan teori menstruasi retrograd sebagai
patogenesis terjadinya endometriosis. Menstruasi retrograde mengacu pada refluks debris
menstruasi yang mengandung sel-sel endometrium viabel melalui saluran tuba ke dalam
rongga peritoneum. Teori ini didukung dengan adanya fenomena ditemukannya darah
menstrual pada cairan peritoneal pada 90% dari perempuan sehat dengan tuba falopi paten
yang diperiksa secara laparoskopi selama waktu perimenstruasi di setiap siklus. Menstruasi
retrograde sebagai asal endometriosis didukung oleh penelitian yang menunjukkan hubungan
risiko dengan siklus menstruasi yang pendek dan aliran menstruasi yang terhambat serta oleh
penelitian seluler yang menelusuri asal muasal mutasi genetik somatik yang diamati pada lesi
endometrium hingga endometrium eutopik. Pendarahan uterus neonatus, yang mengandung
sel induk endometrium, dapat menjelaskan endometriosis premenarche yang jarang.2,5
Ferguson mengusulkan bahwa metaplasia selomik juga dapat berkontribusi pada
pertumbuhan endometriosis. Ini berasal dari teori bahwa peritoneum mengandung sel tidak
berdiferensiasi yang dapat berdiferensiasi menjadi sel endometrium. Metaplasia coelomic
dikatakan adanya transformasi mesothelium peritoneal menjadi endometrium kelenjar yang
ditemukan pada perempuan dengan defek duktus mullerian.2,6
Teori lain berpendapat bahwa jaringan menstruasi bergerak dari rongga endometrium
melalui saluran limfatik dan vena ke tempat yang jauh, yang dapat dikaitkan dengan implan
yang ditemukan di luar rongga panggul.2
Lesi endometriotik superfisial dan dalam terbentuk dan dipertahankan melalui
interaksi mekanisme molekuler yang mendorong adhesi dan proliferasi seluler,
steroidogenesis sistemik dan lokal, respon inflamasi lokal dan disregulasi imun, serta
vaskularisasi dan persarafan. Sel stroma endometrium dari wanita dengan endometriosis
menunjukkan kapasitas adhesi sebagai akibat dari profil integrin yang berubah, dan respon
inflamasi lokal pada endometriosis mendukung adhesi seluler. Proliferasi deposit
endometriosis membutuhkan estradiol yang disediakan secara sistemik dan dari peningkatan
ekspresi aromatase dan protein regulator steroidogenik dan penurunan ekspresi 17β-
hidroksisteroid dehidrogenase 2 oleh lesi endometriosis. Lesi endometriosis ditandai dengan
peningkatan ekspresi estrogen reseptor β melalui inhibisi TNF- α, peningkatan kadar
interleukin-1β, peningkatan adhesi dan proliferasi seluler, dan transisi epitelial mesenkim.
Supresi dari reseptor B progesteron pada endometrium eutopik dan ektopik ditingkatkan
dalam sel stroma endometrium ektopik oleh metilasi diferensial epigenetik dari gen faktor
transkripsi keluarga PR-B, HOX, dan GATA. Hal ini menyebabkan gangguan sinyal
progesteron (“resistensi progesteron”) , dan menghambat pertumbuhan sel epitel yang
bergantung pada estrogen dan disregulasi desidualisasi endometrium.2
Sel endometriosis juga mencetuskan respon imun dan inflamasi lokal dengan produksi
sitokin, chemokin, dan prostaglandin. Respon inflamasi melibatkan monosit dan makrofag,
neutrofil, sel T dan eosinofil yang ditarik olek Chemokin CC dan CXC yang diproduksi oleh
endometrium ektopik. Dalam sel imun innate, respon neutrofil dimediasi oleh ekspresi CXC
interleukin-8 dan CCLC 2 oleh sel stroma endometriosis. Monosit, eosinofil dan sel T ditarik
oleh produksi CCLC5 dan CCL2 pada lesi ektopik dan cairan peritoneum. Aktivitas sel
natural killer juga terganggu pada pasien dengan endometriosis, menyebabkan penurunan
kekebalan sel endometrium. Makrofag pada cairan peritoneum menunjukkan adanya
penurunan kapasitas fagositosis dan peningkatan aktiviasi sitokin proinflamasi (TNF- α,
interleukin-1β, dan interleukin-6) dan faktor proangiogenik (faktor pertumbuhan endotel
vaskular), serta faktor pertumbuhan dan molekul adhesi.2
Pengaruh endokrin dan lingkungan proinflamasi pada lesi endometriosis tidak hanya
meningkatkan proliferasi dan vaskularisasi namun juga nosiseptif. Lesi endometrium dan
endometriosis mengandung serabut saraf yang dirangsang oleh mediator inflamasi. Makrofag
yang berkolonisisasi dengan serabut saraf, dipengaruhi oleh estradiol memproduksi nerve-
sensitizing insulin-like growth factor 1. Peningkatan sinyal nosiseptif yang diterima di sistem
saraf pusat dapat meningkatkan respon neuron nosiseptif terhadap input aferen normal atau di
bawah ambang batas (sensitisasi sentral) dan perubahan dalam proses nyeri.2
Gambar 1. Berbagai teori pathogenesis endometriosis2

Diagnosis
Beberapa penelitian melaporkan adanya keterlambatan dalam diagnosis
endometriosis. Hal ini disebabkan penggunaan kontrasepsi intermiten yang menyebabkan
penekanan gejala hormonal, kesalahan doagnosis, sikap terhadap menstruasi dan normalisasi
nyeri menstruasi oleh perempuan, orang sekitar, bahkan oleh tenaga medis.1

1. Anamnesis
Gejala pelvik seperti nyeri pelvik siklik, dismenorea, dan disparenia merupakan gejala
klasik endometriosis. Gejala endometriosis sendiri tergantung pada lokasi lesi. Endometriosis
susukan dalam panggul posterios dikaitkan dengan keluhan diskezia, sedangkan pada lesi
septum rektovagina seringkali dengan diskezia dan disparenia. Keluhan intestinal seperti rasa
kembung, diare atau konstipasi merupakan gejala endometriosis yang sering diabaikan. 1
Secara umum, gejala yang sering ditemukan antara lain: nyeri abdominopelvic siklik dan non
siklik, dismenore, perdarahan menstruasi berat, infertilitas, dispareunia, perdarahan pasca
sanggama, diagnosis kista ovarium sebelumnya, sindrom iritasi usus besar dan penyakit
radang panggul.1-3
Riwayat klinis harus diambil untuk semua wanita dengan dugaan endometriosis,
dengan penekanan khusus pada gejala yang dapat dikaitkan dengan endometriosis. Hal-hal
berikut ini harus diperhatikan secara spesifik: usia; tinggi; berat badan; asal etnis; paritas;
pola perdarahan (teratur, tidak teratur atau amenorea); periode menstruasi terakhir; operasi
sebelumnya untuk endometriosis (jenis, efek); miomektomi sebelumnya atau persalinan sesar
(ini menyebabkan peningkatan risiko DIE di kandung kemih); riwayat keluarga
endometriosis; perawatan non-bedah sebelumnya untuk endometriosis (jenis, durasi, efek);
subfertilitas termasuk durasi subfertilitas; perawatan untuk infertilitas dan hasil dari
perawatan kesuburan; nyeri (dismenore, dispareunia, disuria, dyschezia, nyeri panggul
kronis); hematochezia dan / atau hematuria. Onset dan durasi gejala harus dicatat dan, jika
mungkin, intensitas nyeri dicatat dengan membiarkan pasien menggunakan skala analog
visual atau menginvestigasinya dengan skala peringkat numerik naratif 0-10.7

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan klinis pada endometriosis ditujukan untuk memudahkan diagnosis dan
pengobatan penyakit, antara lain pemeriksaan inspeksi vagina menggunakan spekulum serta
palpasi bimanual dan pemeriksaan rektovaginal. Tujuan pemeriksaan panggul adalah untuk
menentukan ada atau tidak adanya endometriosis vagina dan / atau rektal. Pemeriksaan
panggul harus mencakup pemeriksaan spekulum (visualisasi langsung dari vagina atau
serviks DIE) dan palpasi vagina. Pemeriksaan vagina dapat memudahkan deteksi infiltrasi
atau nodul pada vagina, ligamen uterosakral atau pouch of Douglas. Pemeriksaan digital
rektovaginal memungkinkan deteksi infiltrasi atau massa yang melibatkan kolon
rektosigmoidal atau massa adneksa. Mobilitas, fiksasi dan / atau nyeri tekan uterus harus
dievaluasi dengan hati-hati. Nyeri di lokasi tertentu di panggul juga harus dievaluasi. 1,3,7

3. Pemeriksaan sonografi
Tujuan dilakukannya pemeriksaan USG pada wanita yang diduga endometriosis
adalah untuk mencoba menjelaskan gejala yang mendasari, memetakan lokasi penyakit dan
menilai tingkat keparahan penyakit sebelum terapi medis atau intervensi bedah.7 Dengan
menggunakan transvaginal sonografi sebagai alat pencitraan lini pertama, operator harus
memeriksa uterus dan adneksa. Mobilitas uterus harus dievaluasi: normal, berkurang atau
tetap (question mark sign). Tanda-tanda sonografi adenomiosis harus dicari dan dijelaskan
menggunakan istilah dan definisi yang dipublikasikan dalam opini konsensus Morphological
Uterus Sonographic Assessment.7
Pemeriksaan juga harus mencakup ada atau tidak adanya endometrioma, ukurannya,
diukur secara sistematis dalam tiga bidang ortogonal, jumlah endometrioma dan penampilan
USG harus dicatat. Karakteristik sonografi dari setiap endometrioma harus dijelaskan
menggunakan terminologi Analisis Tumor Ovarium Internasional. Endometrioma atipikal
didefinisikan sebagai massa unilokuler dengan ekogenisitas “ground glass” dengan proyeksi
papiler, color score 1 atau 2 dan tidak ada aliran di dalam proyeksi papiler.

Gambar 2. Empat langkah dasar sonografi untuk memeriksa wanita dengan tanda klinis curiga sebuah
DIE.

4. Pemeriksaan laparoskopik
Standar baku emas untuk menegakkan diagnosis endometriosis memerlukan bukti
histologi dari adanya kelenjar dan stroma endometrium ektopik yang dibiopsi dari
laparoskopi, namun penegakkan diagnosis dengan jaringan tidak diperlukan, karena
karakteristik fisik penyakit ini telah diketahui dan mudah dikenali. Namun, meskipun
pengetahuan mengenai pathogenesis endometriosis secara substansial telah mengalami
kemajuan, hingga saat ini belum ada metode non-invasif yang dapat diandalkan selain
laparoskopi untuk mendiagnosis endometriosis.1,3

Tatalaksana
Tatalaksana endometriosis menitikberatkan pada penanganan 2 masalah utama yaitu nyeri
kronik dan infertilitas. Terapi nyeri terkait endometriosis sendiri dibagi menjadi tatalaksana
empirik dengan menggunakan analgetik, perawatan medis dengan pemberian terapi
hormonal, pembedahan, pencegahan sekunder pasca pembedahan dan manajemen non
medis.1,8

1. Tatalaksana medikamentosa
Terapi empirik dapat menggunakan analgetik anti-inflamasi non steroid (NSAID).1
Dasar penggunaan terapi anti inflamasi non steroid adalah kadar COX-2 yang tinggi pada lesi
endometriosis. Enzim COX-1 dan COX-2 mempromosikan sintesis prostaglandin yang
terlibat dalam nyeri dan inflamasi terkait dengan endoemtriosis. Secara spesifik, jaringan
endometrium mempunyai kadar COX-2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan
endometrium yang terletak pada lokasi yang sesuai. Terapi yang bertujuan untuk menurunkan
level prostaglandin berdampak pada penurunan nyeri terkait endometriosis. NSAID sering
digunakan sebagai terapi lini pertama pada dismenorea primer atau nyeri pelvis pada
endometriosis atau suspek endometriosis1,10
Endometriosis dianggap penyakit yang bergantung pada estrogen. Penggunaan
kontrasepsi hormonal kombinasi terbukti mengurangi gejala. Preparat progestin,
antiprogestagen, GnRH agonist dan inhibitor aromatase juga digunakan sebagai salah satu
modalitas terapi.1
Pil kontrasepsi baik kombinasi atau pil progestin merupakan terapi lini pertama untuk
dismenorea atau nyeri pelvik kronik.9 Kontrasepsi hormonal kombinasi bekerja dengan
menekan LH dan FSH, mencegah terjadinya ovulasi, mengurangi jumlah darah menstruasi,
desidualisasi implant endometriosis dan meningkatkan apoptosis endometrium eutopik.
Preparat progestin mempunyai efek antagonis terhadap estrogen pada endometrium. Agen
progestasional menyebabkan desidualisasi dan atrofi endometrium. Beberapa pilihan preparat
progestin antara lain pil oral progestin, depot medroksiprogesteron asetat (DMPA),
noretindrone asetat atau intrauterine device yang melepaskan levonorgestrel.4,8,10
Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis adalah pengobatan lini kedua yang
secara substansial menekan kadar estrogen sistemik. Efek samping seperti menopause,
termasuk pengeroposan tulang, dapat dikurangi dengan menambahkan terapi penggantian
estrogen dosis rendah (add back therapy). GnRH bekerja dengan melakukan down regulation
ke hipofisis sehingga keadaan hipogonadotropin hipogonadisme akan memengaruhi lesi
endometriosis dengan menekan produksi steroid di ovarium yang menghasilkan gambaran
klinis pseudomenopause. GnRH memiliki beberapa mekanisme kerja diantaranya
meningkatkan apoptosis nodul dalam endometriosis, menyebabkan penurunan kadar mRNA
reseptor estrogen, VEGF, serta IL-1α. Beberapa sediaan GnRh antara lain Elagolix,
leuprolide, nafarelin, goserelin, buserelin dan triptorelin.2,8
Danazol sebagai androgen sintetik turunan 17 α etinil testosterone bekerja dengan
menginduksi amenorea melalui supresi aksis HPO, inhibisi steroidogenesis ovarium, dan
mencegah proliferasi endometrium dengan mengikat reseptor androgen serta progesterone
pada endometrium dan implant endometriosis. Efektifitas serupa dengan GnRG analog untuk
mengurangi nyeri pascapembedahan stadium III dan IV. Efek samping yang dapat timbul
diantaranya peningkatan berat badan, jerawat, nyeri kepala, perubahan distribusi kolesterol,
gangguan fungsi hati, atrofi vagina, perubahan endometrium dan siklus haid. Danazol dan
gestrinon sebaiknya tidak digunakan, kecuali pada wanita yang sudah dalam pengobatan dan
tidak timbul efek samping terhadapnya atau apabila terapi lain sudah terbukti tidak efektif.8
Penggunaan inhibitor aromatase digunakan untuk menghambat produksi aromatase
lokal dan pembentukan estradiol oleh lesi endometriosis. 11 Namun penggunaan jangka
panjang dibatasi karena berisiko menyebabkan hilangnya kepadatan tulang dan efek samping
terhadap regulasi vasomotor seperti flushing, hot flashes dan peningkatan kehamilan
multipel.2

2. Tatalaksana pembedahan
Terapi pembedahan dibagi menjadi pembedahan konservatif dan pembedahan
definitif. Pembedahan konservatif dilakukan dengan mereseksi atau mendestruksi implan
endometrium, melisiskan adhesi, dan mengusahakan anatomi plevis kembali normal.
Pembedahan definitif dilakukan dengan pengangkatan kedua ovarium, uterus, dan lokasi-
lokasi ektopik endometriosis yang terlihat.12
Indikasi pembedahan pada endometriosis yaitu pasien dengan nyeri panggul yang
tidak respon pada terapi medis, adanya gangguan adneksa akut (torsi atau pecah kista
ovarium), penyakit invasif berat dan pasien dengan infertilitas. 8 Keuntungan utama
pembedahan untuk infertilitas yang berhubungan dengan endometriosis yaitu peningkatan
probabilitas untuk konsepsi alami. Pembedahan untuk infertilitas atau nyeri meningkatkan
angka kehamilan spontan pasca operasi. Di sisi lain, pembedahan untuk endometrioma dapat
menyebabkan penurunan fungsi ovarium dan kemungkinan hilangnya ovarium. Oleh karena
itu, keputusan pembedahan harus dibuat dengan hati-hati, terutama pada wanita dengan usia
lanjut, kista bilateral, gangguan cadangan ovarium, yang telah menjalani operasi sebelumnya
untuk endometrioma, atau infertilitas jangka panjang, yang tidak sesuai dengan konsepsi
alami karena faktor tuba atau pria.3
Teknik bedah termasuk eksisi atau pengangkatan implan endometrium, ablasi saraf
uterosakral dengan penggunaan endokoagulasi, elektrokauter atau perawatan laser,
neurektomi presacral, dan histerektomi dengan salpingooforektomi bilateral. Tingkat
keberhasilan terapi pembedahan yaitu antara 50-80% dalam mengurangi gejala. Sayangnya,
tingkat rekurensi endometriosis berkisar antara 5 sampai 15% kasus bahkan setelah
histerektomi dan ooforektomi bilateral.3

Diskusi Kasus
Nn. SM, 26 tahun, belum menikah, NO RM 4510706. Pasien pertama kali datang
berobat di RSCM pada tanggal 22 Januari 2021. Pasien mengatakan nyeri haid hebat sejak 2
tahun yang lalu. Nyeri haid dikatakan hingga VAS 10, pasien minum obat Ibuprofen atau
Paracetamol untuk mengurangi nyeri. Nyeri terutama dirasakan hari pertama haid,
mengganggu aktifitas. Pasien merupakan seorang karyawan swasta dan pasien selalu cuti
kerja pada hari 1-2 haid. Saat menstruasi, tidak ada nyeri saat BAK atau BAB. Haid teratur,
durasi sekitar 5-7 hari dengan ganti pembalut 3x per hari. Pasien mengatakan benjolan di
perut sejak 2 tahun, teraba keras dan nyeri bila haid. Pasien merasakan perut terasa begah dan
penuh, mual ada, muntah tidak ada. Benjolan dirasakan semakin besar, dan saat ini teraba
hingga sepusat. Hari pertama haid terakhir pasien 7 Juli 2021.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital normal. Dari pemeriksaan abdomen
teraba massa kistik hingga pusat, permukaan rata, mobilitas terbatas, bising usus positif. Dari
pemeriksaan rectal toucher didapatkan uterus kesan normal, teraba massa adneksa massa
kistik berdinding rata setinggi pusat, mobilitas terbatas, nyeri tidak ada, adneksa kiri teraba
massa kistik berdinding rata ukuran 6x6x4cm kesan menempel di belakang uterus
Pada pemeriksaan penunjang dari hasil pemeriksaan USG transrektal pada tanggal 27 Januari
2021 tampak uterus bentuk dan ukuran normal dengan uterus bentuk dan ukuran normal ,
tampak dua buah massa hipoekoik berbatas tegas pada korpus anterior masing-masing
berukuran 10x11 mm sesuai mioma uteri intramural FIGO type 4. Endometrium reguler tebal
7mm. Ovarium kanan dan kiri membesar kistik dengan echo interna ground glass berukuran
97x73 mm (kanan) dan 87x52 mm (kiri) sesuai gambaran kista endometriosis. Keduanya
membentuk kissing ovaries pada kranial uterus. Tampak pula massa kistik tubular dengan
septum inkomplit berukuran 31x13 mm kemungkinan berasal dari hidrosalping kiri dengan
diagnosis banding pseudokista, tampak obliterasi kavum douglas. Tidak tampak lesi
endometriosis susukan  dalam pada kompartemen anterior maupun posterior. Kadar CA-125
pasien adalah sebesar 186 dan AMH 3.05.
Pasien kemudian dilakukan laparoskopi operatif kistektomi bilateral dan miomektomi
pada Bulan Maret 2021. Saat ini terapi dilanjutkan dengan pengobatan medisinal dengan
menggunakan Dienogest 2 mg sebagai secondary prevention sejak April 2021.

Pasien merupakan seorang perempuan 26 tahun, belum menikah dengan keluhan saat
datang adalah dismenorea dan bejolan di perut yang semakin membesar. Keluhan dismenore
dirasakan sanggat mengganggu aktivitas pasien. Pasien menyangkal adanya keluhan
gangguan berkemih atau buang air besar akibat penekanan massa yang dirasakan semakin
membesar. Namun pasien merasa tidak nyaman dan begah. Berdasarkan literatur, sebanyak
83% perempuan dengan endometriosis mengeluhkan geajala dysmenorea, dysparenia,
dyskezia atau infertilitas. Dari gejala tersebut sekitar 62% pasien akan mengeluhkan
dismenorea. Endometriosis sendiri secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup dan
produktivitas kerja. Dari penelitian yang dilakukan pada 16 rumah sakit di 10 negara, tahun
2008 sampai 2010, pada 3 grup pasien, endometriosis, dan 2 grup kontrol yaitu pasien yang
mempunyai gejala namun tidak terdapat endometriosis, dan pasien yang telah menjalani
sterilisasi, didapatkan bahwa kesehatan fisik pasien dengan endometriosis lebih buruk
dibandingkan dengan pasien yang memiliki gejala yang sama namun tidak terdiagnosis
endometriosis. Biaya kesehatan juga meningkat pada pasien dengan endometrosis. Pasien
dengan endometriosis dapat kehilangan produktivitas kerja sekitar 10,8 jam per minggu, dan
angka ini setara dengan US $ 4 di Nigeria. 13
Pendekatan tatalaksana pada pasien dengan endometriosis dapat dilihat pada
algoritma dibawah. Pasien dengan nyeri pelvik disertai adanya massa adneksa berukusan > 4
cm dapat dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan pembedahan kistektomi. 8 Edukasi pada
pasien yang akan menjalankan terapi pembedahan meliputi diskusi mengenai gejala,
preferensi dan prioritas sehubungan dengan rasa sakit dan kesuburan, untuk memandu
pengambilan keputusan bedah. Laparotomi dan laparoskopi sama-sama efektif dalam
pengobatan nyeri terkait endometriosis. Laparoskopi operatif (eksisi/ablasi) lebih efektif
untuk pengobatan nyeri panggul yang berhubungan dengan semua stadium endometriosis,
dibandingkan dengan laparoskopi diagnostik saja. Laparoskopi biasanya dikaitkan dengan
rasa sakit yang lebih sedikit, masa rawat inap yang lebih pendek, pemulihan yang lebih cepat
dan kosmetik yang lebih baik, oleh karena itu biasanya lebih disukai daripada laparatomi.
Pada pasien dilakukan laparoskopi kistektomi atas indikasi bilateral endometrioma
ovarium. Berdasarkan penelitian RCT, kistektomi merupakan tindakan pembedahan pilihan
dan superior jika dibandingkan dengan pembedahan drainage dan koagulasi. Hal ini berkaitan
dengan angka rekurensi dismenorea dan disparenia juga tingkat rekurensi dari endometrioma
yang lebih rendah pada pendekatan eksisi lesi. Selain itu eksisi kapsul endometrioma juga
meningkatkan angka kehamilan spontan pada pasien yang menginginkan kehamilan. Namun
pasien sebelumnya juga harus diberikan edukasi meliputi risiko berkurangnya cadangan
ovarium pasca pembedahan.1
Terapi hormonal setelah operasi untuk endometriosis dapat diberikan dalam dua
situasi: terapi hormonal tambahan pasca operasi dalam waktu 6 bulan setelah operasi dapat
diresepkan dengan tujuan meningkatkan hasil operasi untuk mengatasi nyeri; dan pencegahan
sekunder, yang didefinisikan sebagai pencegahan terulangnya gejala nyeri atau kambuhnya
penyakit dalam jangka panjang (lebih dari 6 bulan setelah operasi).1
Pemberian Dienogest dengan dosis 2 mg telah terbukti bermakna dalam mengurangi
nyeri pelvik dan nyeri haid terkait endometriosis. Dienogest merupakan progestin selektif
yang hanya memberikan efek lokal pada jaringan endometrium. Efek androgenik Dienogest
rendah dan efek antiandrogeniknya memberi pengaruh yang minimal pada perubahan kadar
lemak dan karbohidrat.8 Pasien saat ini belum ada rencana untuk menikah dalam waktu dekat.
Pilihan terapi hormonal dapat diberikan pada pasien yang belum merencanakan kehamilan
setelah operasi endometrioma, pemberian terapi dapat menggunakan preparat progestin, IUD-
LNG atau pil kontrasepsi kombinasi selama 18-24 bulan.1
Algoritma Tatalaksana Endometriosis8
Daftar Pustaka
1. European Society of Human Reproduction and Embryology (ESHRE). ESHRE guideline:
management of women with endometriosis. Human Reproduction, Vol.29, No.3 pp. 400–
412, 2014

2. Zondervan KT, Phil D, Becker CM, Missmer SA. Endometriosis. New England Journal of
Medicine 2020; 383: 1244-56.
3. Parasar P, Ozcan P, Terry KL. Endometriosis: Epidemiology, Diagnosis and Clinical
Management. Current Obstetric Gynecology Rep. 2017 March; 6(1): 34–41.
doi:10.1007/s13669-017-0187-1.
4. American Society for Reproductive Medicine. Revised American Society for Reproductive
Medicine classification of endometriosis: 1996. Fertil Steril. 1997; 67:817–21.
5. Fritz M, Speroff L. Clinical and Infertility Endocrinology Gynecologic. 8th ed. Lippincott
Williams & Wilkins, Wolter Kluwer; 2011. 1221-1248 p.
6. Macer ML, Taylor HS. Endometriosis and Infertility. A Review of the Pathogenesis and
Treatment of Endometriosis-associated Infertility. Obstet Gynecol Clin North Am.
2012;39(4):535–49.
7. Guerriero and Condous et al. Systematic approach to sonographic evaluation of the pelvis
in women with suspected endometriosis, including terms, definitions and measurements: a
consensus opinion from the International Deep Endometriosis Analysis (IDEA) group.
ISOUG, 2016.
8. Hestiantoro A. Konsensus Tata Laksana Nyeri Haid pada Endometriosis. HIFERI POGI
Jkt 2013;
9. Agarwal SK, Chapron C, Giudice LC, et al. Clinical diagnosis of endometriosis: a call to
action. Am J Obstet Gynecol 2019;220(4):354.e1-354.e12.
10. Hoffman BL, Schorge JO, Bradshaw KD, Halvorson LM, Schaffer JI, Corton MM.
Williams Gynecology. New York: McGraw Hill ; 2016.
11. Ferrero S, Gillott DJ, Venturini PL, Remorgida V. Use of aromatase inhibitors to treat
endometriosis-related pain symp- toms: a systematic review. Reprod Biol Endocrinol
2011;9:89.
12. Advincula A, Truong M, Lobo RA. Endometriosis etiology, pathology, diagnosis,
management. Elsevier; 2019.
13. Nnoaham KE, Hummelshoj L, Webster P, d'Hooghe T, de Cicco Nardone F, de Cicco
Nardone C, et al. Impact of endometriosis on quality of life and work productivity: a
multicenter study across ten countries. Fertil Steril. 2011;96(2):366-73 e8. Epub 2011/07/02.

Anda mungkin juga menyukai