Anda di halaman 1dari 29

ENDOMETRIOSIS DAN INFERTILITAS

I.

PENDAHULUAN Endometriosis merupakan suatu keadaan terdapatnya jaringan yang mirip

endometrium, yang tersusun dari kelanjar dan stroma, di luar uterus.Bila jaringan mirip endometrium tersebut terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis, dan bila terdapat di luar miometrium disebut endometriosis. Lokasi yang paling sering terkena adalah organ-organ pelvis dan peritoneum, walaupun bagian tubuh lain seperti paru-paru kadang-kadang bisa terkena. Penyakit endometriosis bervariasi dari lesi yang sedikit, yang kecil pada organ pelvis yang normal sampai massa padat yang menginfiltrasi dan kista endometriosis ovarium (endometrioma) sering disertai pembentukan fibrosis dan adesi yang meluas yang menyebabkan tanda distorsi pada anatomi pelvis. Endometriosis seharusnya dicurigai pada wanita subfertilitas, dismenore berat, dispareunia berat, dan nyeri pelvis kronis. Bagaimanapun, banyak wanita yang terkena endometriosis tidak memiliki gejala (asimptomatis) dimana diagnosis kasus hanya dibuat ketika pelvis diperiksa untuk hal yang tidak ada kaitannya, misalnya tindakan sterilisasi.1,2

II.

EPIDEMOLOGI Endometriosis merupakan suatu kondisi jinak yang prevelensinya antara 10

dan 25%. Paling sering diantara wanita Eropa dan nulipara serta memiliki puncak insidensnya antara umur 30 dan 45. Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukkan angka kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5 - 15% dapat ditemukan diantara semua operasi pelvis.2,3 Prevalensi diperkirakan 8 10% pada wanita pada masa reproduksi, walaupun angka yang tepat pada populasi umum tidak diketahui karena pelvis harus diperiksa pada pembedahan untuk membuat diagnosis definitif.1

III. FAKTOR RISIKO Faktor risiko meliputi usia, peningkatan lemak tubuh perifer, dan paparan terhadap menstruasi yang lebih besar (misalnya, siklus haid pendek, durasi haid

panjang, dan kehamilan kurang), sedangkan merokok, olahraga, dan penggunaan kontrasepsi oral (yang paling baru) dapat menjadi pelindung. Tidak ada bukti, namun demikian, bahwa sifat riwayat penyakit dapat dipengaruhi dengan mengendalikan faktor-faktor ini. Predisposisi genetik kemungkinan akibat endometriosis terjadi 6 9 kali lebih sering pada tingkat I keluarga wanita yang terkena daripada kelompok kontrol. Heritabilitas (keterwarisan) penyakit juga tampak pada primata bukan manusia, yang memperluas penyakit secara spontan. Data-data ini menunjukkan bahwa endometriosis diturunkan sebagai sifat genetik yang kompleks seperti diabetes atau asma, yang berarti bahwa sejumlah gen berinteraksi satu sama lain untuk memberikan kerentanan penyakit tetapi fenotip mungkin timbul hanya dengan adanya faktor risiko lingkungan. Baru-baru ini, penelitian hubungan genom pada1176 keluarga pasangan kakak perempuan yang terkena telah mengidentifikasi lokus kerentakan signifikan terhadap endometriosis pada kromosom 10q26 dan tempat hubungan yang memberi kesan lain pada kromosom 20p13.1

IV. ETIOLOGI Etiologi pasti dari endometriosis sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Banyak teori yang diusulkan untuk menjelaskan penyebab endometriosis, antara lain:4 1. Menstruasi Retrograde. Teori original Sampsonyang mengemukakan bahwa endometriosis berhubungan dengan menstruasi retrograde jaringan

endometrium melalui tuba Fallopi ke dalam rongga peritoneum. Dukungan bagi teori ini adalah sebagai berikut 4,5: a. Aliran darah dari ujung fimbria tuba Fallopi telah divisualisasikan selama laparoskopi. Hal ini telah ditemukan pada 90% wanita dengan paten tuba fallopi. b. c. Endometriosis paling sering ditemukan tergantung pada bagian pelvis. Insiden endometriosis lebih tinggi pada wanita dengan obstruksi terhadap aliran menstruasi keluar yang normal. Hal ini telah ditemukan pada pasien denganstenosis serviks.

d.

Endometriosis lebih sering terjadi pada wanita dengan siklus menstruasi yang lebih pendek atau durasi lebih panjang, yang memberikan lebih banyak kesempatan untuk implantasi endometrium.

2.

Faktor Imunologi. Peningkatan data menunjukkan bahwa faktor imunologi spesifik pada lokasi implan endometrium yang memainkan peran utama dalam menentukan apakah pasien akan mengembangkan penyakit dan sampai sejauh mana. Faktor-faktor ini diperkirakan menjelaskan keterikatan dan proliferasi sel-sel endometriosis. Dokter merasa bahwa faktor-faktor imunologik ini berperan dalam subfertilitas/infertilitas pada pasien-pasien ini. 4,5 a. Vascular endothelial growth factor (VEGF). Penelitian telah menunjukkan bahwa makrofag yang teraktivasi menghasilkan VEGF pada endometriosis yang diketahui merupakan faktor pertumbuhan angiogenik yang poten. b. Kadar Migration Inhibitory Factor (MIF). Produk utama dari makrofag yang teraktivasi dan limfosit yang telah ditemukan menjadi tiga kali lebih tinggi dalam cairan peritoneal pada perempuan dengan endometriosis. 4,5 1) MIF juga diperkirakan memberikan kontribusi terhadap peningkatan jumlah makrofag sekitar lesi endometriotik, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi terhadap

peningkatan aktivitas sitotoksik proinflamasi. 2) Sel Natural Killer (NK) biasanya akan tertarik ke lingkungan ini, tetapi bukti-bukti menunjukkan bahwa mereka mengalami penurunan aktivitas sitotoksik pada endometriosis. Peningkatan kadarTGF- juga telah diamati, yang akan memfasilitasi proses inflamasi ini. 3. Faktor Inflamasi a. Beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan kadar interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor- (TNF-) dalam cairan peritoneal pada pasien endometriosis. 4,5

b.

Interleukin-8

mungkin

membantu

dalam

perlekatan

implan

endometrium pada peritoneum dan juga merupakan suatu agen angiogenik. 4. Faktor Hormonal. Produksi aromatase, suatu enzim yang penting dalam produksi estrogen, telah terbukti dalam implan endometriotik, sedangkan aromatase belum terbukti diproduksi dalam jaringan endometrium normal.Produksi estrogen di luar ovarium ini mungkin juga menjelaskan mengapa endometriosis dapat kambuh pada wanita yang telah menjalani histerektomi dan salpingo-ooforektomi bilateral. Selain itu, kontribusi terhadap sifat proinflamasi keseluruhan proliferasi endometriosis

,prostaglandinE2 (PGE2) telah terbukti menjadi penginduksi kuat aktivitas aromatase pada implant endometriotik. 4,5

Gambar 1. Aktivasi COX-2 pada sel-sel stroma endometrium mengakibatkan peningkatan regulasiPGE2, suatu stimulator poten aromatase pada sel-sel stroma endometrium. Aktivitas aromatase mengakibatkan aromatisasi intraselular androgen untuk meningkatkan estradiol intraseluler melalui mekanisme intracrine. a = androgen; E2 = estradiol; COX-2 = cyclooxygenase 2; PGE2 = prostaglandin E2; IL-1= interleukin 1; VEGF = vascular endothelial growth factor. 5

5.

Metaplasia Soelomik. Teori ini mempostulatkan bahwas el-sel totipotensial ovarium dan peritoneum diubah menjadi lesi endometriotik oleh rangsangan hormonal atau infeksi berulang. Penulis percaya bahwa hal itu menjelaskan penemuan endometriosis pada teratoma mature dan mungkin pembentukan endometrioma pada daerah terpencil dan lokasi ekstraperitoneal. 4,5

6.

Penyebaran

Limfatik.

Suatu

penelitian

menunjukkan

bahwa

29%

perempuan, dengan endometriosis ditemukan pada otopsi memiliki kelenjar getah bening pelvis yang positif terhadap penyakit. Ini mungkin mekanisme lain untuk menjelaskan bagaimana endometriosis dapat ditemukan di daerah anatomi yang terpencil, seperti paru-paru. 4,5 7. Faktor Genetik. Wanita yang memiliki keluarga utama dengan

endometriosis memiliki risiko tujuh kali lipat lebih besar terkena endometriosis. Belum ada cacat genetik tunggal diidentifikasi pada endometriosis. Penulis percaya bahwa mode keterwarisan kemungkinan besar multifaktorial. 4,5

V.

PATOLOGI Endometriosis hampir selalu berisi endometrium fungsional, dimana

mengalami perdarahan siklik. Karena darah berkumpul pada pusat lokasi yang tidak semestinya ini, biasanya tampak secara kasat mata sebagai nodul atau implantasi yang berwarna merah kebiru-biruan sampai kuning kecoklatan. Ukurannya bervariasi dari mikroskopik sampai diameter 1 sampai 2 cm dan berada di atas atau tepat di bawah permukaan serosa organ yang terkena. Lesi-lesi tunggal sering bergabung membentuk massa yang lebih besar. Ketika ovarium terkena, lesinya dapat membentuk kista besar yang berisi darah yang diubah menjadi sesuatu yang disebut kista coklat sesuai umur darah. Rembesan dan kumpulan darah menyebabkan fibrosis yang luas, mengikuti struktur pelvis, penutupan ujung fimbria tuba, dan distorsi saluran telur dan ovarium. Diagnosis histologik pada semua lokasi bergantung pada penemuan dua dari tiga gambaran dalam lesi berikut: kelenjar endometrium, stroma, atau pigmen hemosiderin.6

Gambar 2. Tempat asal yang berpotensial untuk implantasi endometrium.6

Gambar 3. Gambaran histologis endometriosis: epitel kelenjar endometrium,yang dikelilingi oleh stroma pada lesi yang khas dan vesikel yang jelas.7

VI. LOKASI ENDOMETRIOSIS 1. Ovarium Ovarium merupakan tempat yang paling sering terhadap penyakit, yang dapat berbentuk:8 a. b. Sejumlah kista endometrium yang berisi darah. Kista cokelat atau kista besar berwarna ter, padat yang melekat ke jaringan sekitarnya. Pemeriksaan histologis tidak selalu memperlihatkan kelenjar endometrium khas karena kelenjar endometrium ini mungkin telah hancur dalam kista besar.10

2.

Peritoneum pelvis Peritoneum pelvis sangat sering terkena melalui bagian belakang uterus,

tuba fallopi, ligamen uterosakral dan kavum Douglas. Endapan peritoneum sering timbul sebagai nodul hitam yang luas disertai skar dan mengerutkan permukaan peritoneum. Adesi dapat terbentuk antara skar dan bagian belakang uterus, yang menyebabkan terfiksasi retroversi.8

3.

Ligamen uterus Ligamen uterosakral dan septum rektovaginal umumnya terlibat.

Endometriosis pada ligamen rotundum dapat ditemukan di dalam kavum abdominal atau dapat timbul sebagai suatu tumor pada lipat paha jika ujung inguinal dari ligamen terlibat.8

4.

Usus Usus dan rektum semuanya dapat menjadi terinfiltrasi dengan

endometriosis. Akibat yang paling sering yaitu fibrosis pada dinding usus yang menyebabkan pembentukan striktur dan oleh karena itu menyebabkan obstruksi. Perdarahan ke dalam lumen usus jarang.8

5.

Sistem urinarius Endometriosis dapat terjadi pada kandung kemih yang menyebabkan

hematuria dan nyeri ketika buang air kecil. Fibrosis sekitar ureter dapat memperlanjut endometriosis yang berlangsung lama yang menyebabkan obstruksi aliran ginjal.8

6.

Dinding abdomen Endometriosis dapat terjadi sebagai lesi yang terisolasi pada umbilikus yang

mungkin dengan berjalan ke atas urakus paten; ini timbul sebagai perdarahan siklik. Ini terjadi pada skar setelah operasi pada uterus, terutama dimana kavum uterus dibuka, seperti operasi miomektomi atau seksio Caesarea.8

7.

Perineum dan vagina Endapan endometriosis dapat ditemukan pada skar perineum dan pada

dinding vagina, meskipun ini merupakan hal yang berbeda.8

Lokasi Intrapelvis (sering) Ovarium, ligamen uterosakral, permukaan peritoneum pelvis

Gejala Dismenore, nyeri abdomen bawah, nyeri pelvis, dispareunia, nyeri punggung bawah, infertilitas

Ekstrapelvis (jarang)

Usus Halus Appendiks Rektum

Obstruksi Pseudoappendisitis Perdarahan rektum siklik, tenesmus, nyeri ketika defekasi siklik, perubahan pola defekasi

Ureter Kandung kemih

Obstruksi ureter Hematuria siklik, disuria siklik

Paru-paru Umbilikus Anggota gerak Sendi Kulit Jaringan parut bekas operasi

Hemoptisis siklik Nyeri dan perdarahan siklik Nyeri dan perdarahan siklik Nyeri dan perdarahan siklik Nyeri dan perdarahan siklik Nyeri dan perdarahan siklik

Tabel 1. Endometriosis berdasarkan lokasinya3

VII. KLASIFIKASI ENDOMETRIOSIS Beberapa sistem telah dirancang untuk mengklasifikasikan derajat berat ringannya penyakit. Yang paling digunakan secara luas adalah yang

dikembangkan oleh American Society for Reproductive Medicine (ASRM), dimana poin-poin dialokasikan untuk lesi endometriotik, adesi periovarian dan obliterasi kavum Douglas.Sistem ini berdasarkan gambaran, ukuran, dan kedalaman implantasi ovarium dan peritoneum; keberadaan, keluasaan, dan jenis adesi adneksa; dan derajat obliterasi cul-de-sac.1,4.9

Total skor kemudian digunakan untuk menggambarkan penyakit sebagai minimal (stadium 1), ringan (stadium 2), sedang (stadium 3) atau berat (stadium 4). Sistem ini dirancang untuk membantu dalam prognosis dan penatalaksanaan pasien yang menjalani operasi untuk subfertilitas.1

Gambar 4.Klasifikasi endometriosis berdasarkan revisi American Society for Reproductive Medicine9

VIII. DIAGNOSIS Pasien yang menderita endometriosis umumnya berada pada pertengahan usia 30 tahunan, nulipara, infertil involunter, dan menderita dismenore sekunder dan nyeri pelvis. Diagnosis endometriosis dapat sulit karena sepertiga kasus endometriosis asimptomatik, tidak ada hubungannya dengan tingkat penyakit dan gejala yang timbul (penyakit minimal dapat menyebabkan nyeri berat, sedangkan endometrioma besar dapat asimptomatik), endometriosis sering timbul pada

kondisi yang tidak khas (misalnya remaja, multigravida, dan tumor ovarium asimptomatik), dan gejala bervariasi sesuai lokasi anatomi endometriosis.10

Gambar 5. Diagnosis dan penatalaksanaan endometriosis11

1. Gejala Gejala-gejala yang sering ditemukan pada endometriosis, antara lain nyeri perut bawah yang progresif yang terjadi pada dan selama haid (dismenore), nyeri pelvis, dispareunia, nyeri waktu defekasi, khususnya pada waktu haid, polimenore, hipermenore, dan infertilitas.2,10 1. Nyeri pelvis. Nyeri pelvis merupakan gejala utama endometriosis. Secara khas, nyerinya kronik dan berulang dan timbul sebagai dismenore didapat atau sekunder. Nyeri biasanya terjadi 24 48 jam sebelum menstruasi dan berkurang sesaat setelah onset menstruasi; bagaimanapun, ketidaknyamanan dapat meliputi seluruh interval menstruasi. Nyerinya karakteristik sebagai nyeri konstan, biasanya pada pelvis atau punggung bawah (sakrum) bagaimanapun, nyeri dapat unilateral atau bilateral dan dapat menjalar ke tungkai atau lipat paha. Bila dibandingkan dengan dismenore primer, nyerinya lebih konstan dan kurang sering pada garis tengah. Gejala pelvis

10

yang lain meliputi rasa kram yang berat, rasa berat pada pelvis, dan rasa tekanan pada pelvis.10 2. Gejala gastrointestinal dapat terjadi, apakah usus benar-benar terlibat atau tidak (misalnya nyeri perut siklik, konstipasi intermiten, diare, diskezia, dan darah dalam tinja). Gejala urinarius meliputi frekuensi, disuria, hematuria perimenstrual, atau hidronefrosis. Penetrasi dalam pada hubungan seksual dapat menimbulkan nyeri berat (dispareunia), yang dapat berlangsung selama 1 2 jam. Gejala yang jarang mengenai waktu menstruasi telah dilaporkan: seizure (implantasi sistem saraf pusat) dan hemotoraks (implantasi paru-paru) atau hematemesis.10 3. Infertilitas. Endometriosis didiagnosis hampir dua kali lebih sering pada wanita tidak subur seperti pada wanita yang subur. Dengan demikian, itu harus dicurigai pada setiap kasus infertilitas.4Ada korelasi yang nyata antara endometriosis dan infertilitas. 30 40% wanita dengan endometriosis mengalami infertilitas. Faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada endometriosis ialah apabila motilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan di sekitarnya.2 4. Dismenore biasanya merupakan rasa nyeri sewaktu haid yang semakin lama semakin menghebat. Sebab dari dismenore ini tidak diketahui, tetapi mungkin ada hubungannya dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid. Nyeri tidak selalu didapatkan pada endometriosis walaupun kelainan sudah luas, sebaliknya kelainan ringan dapat menimbulkan nyeri yang berat.2 5. 6. Dispareunia disebabkan karena adanya endometriosis di kavum Douglasi.2 Defekasi yang sulit dan sakit (diskesia) terutama pada waktu haid disebabkan karena adanya endometriosis pada dinding retrosigmoid.2 7. Gangguan siklus haid terjadi pada endometriosis ovarium apabila kelainannya demikian luas sehingga fungsi ovarium terganggu.2

11

Keluhan Nyeri Panggul Dismenorea Infertilitas Low Back Pain Dispareunia Konstipasi Disuria Dischezia Diare

Persentase 82,5 81 33,7 32,5 20,9 13,9 6,9 4,6 2,3

Tabel 2 : Keluhan pasien endometriosis di RSCM12

2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan ginekologik, khususnya pada pemeriksaan vagino-rektoabdominal, ditemukan pada endometriosis ringan massa padat sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum Douglasi dan pada ligamentum sakrouterinum dengan uterus retrofleksi dan terfiksasi. Ovarium dapat diraba sebagai tumor kecil, akan tetapi bisa membesar sampai sebesar kepalan tangan. Tumor ovarium seringkali terdapat bilateral dan sukar digerakkan.2 Pemeriksaan ginekologik:13 1. Inspekulo: lihat apakah ada lesi endometriosis di porsio, dan bila perlu kolposkopi, juga lesi di forniks posterior vagina. 2. Perabaan uterus: dugaan mioma uteri (tidak nyeri), dugaan adenomiosis (nyeri). Apakah satu atau kedua ovarium membesar dan nyeri pada penekanan. Apakah terdapat nyeri tekan daerah Cavum Douglasi dan ligamentum sakrouterina. 3. Pada dugaan endometriosis harus selalu dilakukan rektal touche untuk meraba adanya lesi endometriosis di Cavum Douglasi dan ligamentum

12

sakrouterina.Yang terpenting adalah untuk mengetahui adanya lesi rektovaginal.

Pemeriksaan pelvis pada wanita dewasa dengan endometriosis pada umumnya menunjukkan nodul yang nyeri tekan pada forniks vagina posterior (cul-de-sac) dan sepanjang ligamen uterosakral. Ovarium mungkin terlibat, dengan endometrioma atau adesi periovarium yang padat, dan uterus dapat terfiksasi dan retroversi. Sebaliknya, pemeriksaan pelvis remaja dengan endometriosis sering menunjukkan nyeri tekan ringan sampai sedang daripada nodul atau massa. Pemeriksaan pelvis tidak selalu menjadi rutinitas sebelum penanganan dan evaluasi nyeri pelvis karena sebagian besar remaja akan memiliki gejala yang minimal dan tidak ada temuan spesifik pada pemeriksaan.9

3. Pemeriksaan Penunjang 1. a. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan kadar CA-125 CA-125 merupakan glikoproteinyang diekspresikan pada permukaan sel dari beberapa turunan dari epitel soelomik(termasuk endometrium).Tes CA-125 merupakan tes untuk antigen permukaan sel yang ditemukan pada epitel soelomik, yang termasukendometrium. Tes ini berguna sebagai marker untuk respon terhadap pengobatan atau kekambuhan. CA-125 meningkat pada endometriosis. CA-125 bukan tes diagnostik untuk endometriosis karena kekurangan sensitivitas dan spesifisitas. Hal ini juga dapat meningkat pada kanker ovarium, PID, dan inflammatory bowel disease.14, 15,16 b. Pemeriksaan -HCG -HCG untuk menyingkirkan kehamilan sebelum pengobatan.15

2.

Pemeriksaan Laparoskopi Laparoskopi merupakan gold standar untuk diagnostic suatu endometriosis,

kecuali jika penyakit terlihat pada vagina atau tempat lain. Seluruh pelvis seharusnya diperiksa secara sistematis, dan tindakan yang baik yaitu

13

mendokumentasikan jenis, lokasi, dan luasnya semua lesi dan adesi secara rinci. Bergantung pada derajat keparahan penyakit yang ditemukan, tindakan terbaik yaitu menghilangkan/ablasi endometriosis pada waktu yang sama, dengan ketentuan bahwa persetujuan yang cukup telah diperoleh.1

Gambar 6. Lokalisasi endometriosis pada pelvis.7

Gambar 7. Endometriosis ovarium. Pseudokista (coklat) telah terbentuk (berisi darah yang berubah dan hasil pemecahan darah) yang dikelilingi oleh fibrosis padat 3

14

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 8. Gambaran laparoskopik endometriosis.(a) Endapan endometriotik - red 'flares',(b) Endometrioma yang utuh,(c) Lipatan uterovesical - cafe-aulait spots, (d) adesi halus seperti sarang laba-laba di atas kista ovarium3

3. a.

Pemeriksaan Radiologi USG USG hanya dapat digunakan untuk mendiagnosis endometriosis (kista

endometriosis) > 1 cm, tidak dapat digunakan untuk melihat bintik-bintik endometriosis ataupun perlengketan. Pada adenomiosis, dengan menggunakan USG kita dapat melihat adanya uterus yang membesar secara difus dan gambaran penebalan dinding Rahim terutama pada bagian posterior dengan focus-fokus ekogenik, rongga endometriosis eksentrik, adanya penyebaran dengan gambaran hipoechoik, kantung-kantung kistik 5-7 mm yang menyebar menyerupai gambaran sarang lebah.2 b. Pemeriksaan USG trans-vaginal Terdapat spektrum temuan sonografi pada endometriosis, bergantung pada ukuran dan jumlah endometrioma yang ada dan isi bagian dalamnya. Pada beberapa pasien dengan endometriosis, tidak ada temuan sonografi yang teridentifikasi akan diamati karena endometriosis berakibat fibrosis dan penebalan ligamen adneksa tanpa produksi massa yang jelas. Ketika endometrioma sendiri menjadi lebih besar dari 1 sampai 2 cm, mereka dapat teridentifikasi sebagai massa kistik multipel melalui sonografi. Ekho densitas rendah dapat diamati pada beberapa endometrioma yang berupa massa kistik berisi bekuan darah, yang memberikan gambaran ground glass appearance. Endometrioma intraovarian memiliki gambaran sonografik yang mirip dengan kista korpus luteum hemoragik dan,kadang-kadang sulit dibedakan secara pasti. Ruptur endometrioma yang berisi bekuan darah dapat mengakibatkan respons inflamasi peritoneal difus.

15

Endometrioma dapat ditemukan pada pasien yang demam dan menderita abses tubo-ovarian karena dapat terjadi infeksi sekunder. Sonografi merupakan alat yang berguna untuk memonitor keefektifan terapi medis pada kasus yang lebih luas.17 c. MRI Dalam suatu studi, MRI menunjukkan sensitivitas 90-92 % dan spesifitas 91-98 % suatu endometrioma pada pasien dengan massa adneksa. Dengan demikian, MRI adalah metode pemeriksaan yang akurat dalam membedakan endometrioma dengan massa lainnya. MRI sangat membantu dalam mendeteksi suatu endometriosis rektovaginal dan telah terbukti di lebih dari 90 % kasus bila dibandingkan dengan USG Transvaginal yang hanya terbatas dalam

mengidentifikasi endometriosis dalam cavum pelvis. MRI juga bisa menunjukkan adanya komplikasi dari endometriosis, seperti implantasi usus dan obstruksi saluran kemih. Akan tetapi MRI tidak sensitive untuk endometriosis superfisial, sehingga modalitas ini tidak boleh semata-mata diandalkan untuk mendiagnosis endometriosis.18 c. CT Scan CT Scan biasanya tidak dilakukan dalam evaluasi radiologis pada endometriosis. Hal ini dikarenakan gambaran endometriosis dan endometrioma pada CT Scan yang tidak spesifik. Jika CT Scan dilakukan, endometrioma akan tampak sebagai massa kistik. Komplikasi endometriosis seperti obstruksi usus dan obstruksi saluran kemih cukup jelas pada CT Scan. Pada hasil CT Scan endometriosis dan endometrioma cukup mirip dengan Pelvic Inflamatory Disease serta tumor ovarium jinak atau ganas. Olehnya CT Scan tidak menjadi modalitas utama dalam mendiagnosis suatu endometriosis.18

16

IX. INFERTILITAS PADA ENDOMETRIOSIS

Infertilitas adalah kegagalan dari pasangan suami istri untuk mengalami kehamilan setelah melakukan hubungan seksual ,tanpa kontrasepsi ,selama satu tahun. 15 Ada korelasi yang nyata antara endometriosis dan infertilitas,30 40% wanita dengan endometriosis mengalami infertilitas. Faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada endometriosis ialah apabila motilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan di sekitarnya.2,15I Endometriosis bentuk sedang sampai berat diperkirakan menyebabkan infertilitas dengan menyebabkan adesi dan jaringan parut ovarium dan tuba Fallopi. Apakah endometriosis bentuk ringan menyebabkan infertilitas masih dalam penyelidikan.15 1. Pasien dengan endometriosis mungkin telah meningkatkan konsentrasi makrofag dibagian ampula tuba Fallopi. Makrofag, secara kemotaktik ditarik ke daerah dimana endometriosis timbul, dapat mengganggu ovulasi dan pembentukan korpus luteum dan dengan pembuahan melalui fagositosis gamet.Faktor-faktor yang diproduksi oleh makrofag dapat mengganggu motilitas sperma.15 2. ProstaglandinF2 meningkatkan tonus dan amplitudo dari otot-otot serviks dan uterus dan menyempitkan ostium serviks.Ini dapat meningkatkan venokonstriksi uterus dan intensitas kontraksi uterus, sehingga

meningkatkan derajat dismenore.Prostaglandin juga dapat mengganggu plasentasi atau implantasi.15 3. Interleukin juga disekresi oleh makrofag yang teraktivasi. Embrio yang terekspos kemungkinan kurang berkembang sampai stadium 8 sel pada 24 jam. Tumor necrosis factor dan sitokin lain dapat menstimulasi proliferasi sel endometrium.15

17

IX. DIAGNOSIS BANDING Pada saat mendiagnosis endometriosis perlu menyingkirkan diagnosis lain yang memberikan gejala yang sama. Terutama bila tidak adanya respon terhadap pengobatan. Beberapa diagnosis banding pada endometriosis antara lain kista ovarium, anomali muellerian, pelvic inflammatory disease (PID),dan keganasan ginekologi. Pada system urinarius juga perlu dipertimbangkan adanya sistitis interstitial dan vesikolitiasis. Dan juga pada system gastrointestinal perlu dipertimbangan suatu irritable bowel disease atau inflammatory bowel disease.16

X. 1.

PENATALAKSANAAN Farmakologi Faktor yang mempengaruhi pilihan obat, antara lain:1

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Umur wanita Status fertilitas Sifat gejala Derajat berat ringan penyakit Pengobatan sebelumnya Risiko pengobatan Faktor subfertilitas yang lain Lama pengobatan yang dimaksudkan Pengobatan medis tergantung pada terapi supresi selama 6 9 bulan, yang

membuat pseudopregnansi atau pseudomenopaus. Endapan endometrium regresi, tetapi akhirnya kambuh hingga sampai 60% kasus.3

a.

Pseudopregnansi Pseudopregnansi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan

kadar hormon estrogen dan progesteron dalam darah. Pseudopregnansi dilakukan dengan cara pemberian kombinasi hormon estrogen dan progesteron. Penggunaan kombinasi hormon estrogen dan progesteron pertama kali dilaporkan oleh Kistner pada tahun 1962.2

18

Dilaporkan bahwa dengan terapi pseudopregnansi, 30% penderita menyatakan keluhannya berkurang dan hanya 18% yang secara obyektif mengalami kesembuhan, 41% penderita tidak menyelesaikan terapinya karena mengalami efek samping, misalnya mual, muntah, dan perdarahan. Beberapa penderita justru menunjukkan keluhan yang meningkat, yang mungkin akibat efek estrogen yang lebih menonjol.2,3 1. Pil Kontrasepsi Pil kontrasepsi oral menyebabkan anovulasi dan desidualisasi, yang mengakibatkan atrofi jaringan endometrium. Pil kontrasepsi yang digunakan adalah pil kontrasepsi mini atau pil kontrasepsi kombinasi.2,4 a. Pil kontrasepsi mini. Pil kontrasepsi mini yang digunakan adalah Etinil Estradiol 20 30 mcg.4 b. Pil kontrasepsi kombinasi. Pil kontrasepsi kombinasi yang digunakan adalah Noriday (Mestranol 0,05 mg dan Noretisteron 1 mg), Microgynon (Etinil Estradiol 0,03 mg dan Norgestrel 0,015 mg), Marvelon (Etinil Estradiol 0,03 mg dan Desogestrel 0,015 mg), dan Eugynon (Etinil Estradiol 0,05 mg dan Norgestrel 0,05 mg). Pil kontrasepsi kombinasi digunakan setiap hari selama 6 9 bulan.2 2. Didrogesterone Didrogesterone diberikan 20 30 mg per oral setiap hari.7 3. Medroxyprogesterone asetat Atrofi dan desidualisasi jaringan endometrium, penekanan gonadotropin, menghambat ovulasi, amenore.4,15 Medroxyprogesteron acetate diberikan 30 50 mg per oral setiap hari selama 6 9 bulan, atau 150 mg per IM setiap 3 bulan.4,15 4. Noretisteron Noretisteron diberikan 2 4 kali 5 mg setiap hari. 5. Danazol Danazol merupakan suatu turunan steroid sintetik 17- etiniltestosteron. Danazol menekan pertengahan siklus LH surge, menghambat steroidogenesis dalam korpus luteum, dan menghasilkan suatu keadaan androgen tinggi dan

19

estrogen rendah yang tidak mendukung pertumbuhan endometriosis.4Danazol merupakan suatu turunan testosteron androgenik yang menekan FSH dan LH dan juga estrogen ovarium dan produksi progesteron. Danazol juga secara langsung bekerja pada kelenjar endometrium untuk menghasilkan suatu endometrium yang atropik (tipis).16 Danazol diberikan 4 kali 200 mg setiap hari selama 4 sampai 9 bulan. Dosis dapat diturunkan sampai 100 sampai 600 mg setiap hari setelah onset amenore.16 Danazol, obat pertama yang pernah terbukti untuk pengobatan endometriosis di Amerika Serikat, turunan isoksazol 17-etiniltestosteron diberikan secara oral yang bekerja utama dengan menghambat siklus pertengahan LH surge urin dan merangsang keadaan anovulasi kronis, tetapi obat ini juga menghambat beberapa enzim steroidogenik dan meningkatkan kadar testosteron bebas. Banyak efek berbeda dari kombinasi danazol untuk menghasilkan androgen tinggi, lingkungan estrogen rendah yang menghambat pertumbuhan endometriosis. Amenore yang sering menyertai pengobatan danazol menurunkan bibit baru dari uterus ke dalam rongga peritoneal.19 6. Gestrinon Gestrinon adalah steroid turunan 19-nortestosteron yang memiliki kerja androgenik, antiprogestinik, dan antiestrogenik yang telah digunakan secara luas di Eropa untuk pengobatan endometriosis, tetapi saat ini tidak tersedia di AS.Efek samping klinis mirip dengan yang berhubungan dengan danazol tapi kurang jelas.3,19 Gestrinon diberikan 2 3 kali 2,5 10 mg setiap minggu selama 6 9 bulan..3,19

b.

Pseudomenopause Pseudomenopaus merupakan suatu keadaan dimana terjadi terjadi

penurunan kadar hormon estrogen dan peningkatan kadar hormon progesteron dan androgen dalam darah. Keadaan ini disebut hypogonadotrophic hypogonadism.2

20

Data laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis pada umumnya mengandung reseptor estrogen, progesteron, dan androgen. Pada percobaan dengan model endometriosis pada tikus dan kelinci, estrogen merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi, sedang pengaruh progesteron kontroversial. Progesteron sendiri mungkin merangsang pertumbuhan endometriosis, namun progesteron sintetik yang umumnya mempunyai efek androgenik tampaknya menghambat pertumbuhan endometriosis.2,3 Atas dasar tersebut di atas, maka: 1. Prinsip pertama terapi hormonal endometriosis adalah menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik. Kadar hormon estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Keadaan asiklik mencegah terjadinya haid, yang berarti tidak terjadi pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis.2 2. Prinsip kedua terapi hormonal endometriosis adalah menciptakan

lingkungan hormon tinggi androgen atau tinggi progesteron. Kadar hormon androgen atau progesteron yang tinggi menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Di samping itu, kadar hormon androgen atau progesteron yang tinggi menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik karena gangguan pada pertumbuhan folikel.2

Analog GnRH Agonis Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH). Obat-obat ini

merupakan metode yang paling sering digunakan untuk terapi medis endometriosis.16 GnRH merupakan senyawa dekapeptida yang mengontrol pelepasan hormone pituitari anterior (follicle-stimulating hormone [FSH] and luteinizing hormone [LH]). GnRH memiliki waktu paruh sangat singkat; GnRH dirusak secara cepat oleh endopeptidase pada hipotalamus dan kelenjar pituitari. Secara normal, pelepasan GnRH secara pulsatil. Perubahan kimia asam amino pada posisi 6 dan 10 menghasilkan turunan sintetik GnRH (GnRH analog, GnRH

21

Agonis),yang

menghambat

pemecahan

oleh

endopeptidases,tetapi

mempertahankan afinitas tinggi reseptor GnRH pituitari. Efeknya adalah penurunan regulasi dan desensitisasi pituitary dengan kurangnya hasil produksi estrogen ovarium.16 Agonis GnRH dapat diberikan secara intranasal, subkutan, atau

intramuskuler setiap hari atau sebagai suntikan setiap bulan atau setiap 3 bulan.Agonis GnRH ketika diberikan selama jangka panjang, menekan fungsi pituitari dengan menurunkan regulasi reseptor GnRH pituitari. Pemutusan aksis hipotalamus-pituitari-ovarium pseudomenopause.4,16 Prinsip dasar penggunaan analog GnRH, antara lain:13 1. Pada endometriosis berat dengan infertilitas sebaiknya Gn-RH analog diberikan 6 bulan. 2. Selama pemberian Gn-RH analog selalu diberikan addback therapydengan estrogen dan progestogen. 3. Pada pemberian Gn-RH agonis terjadi perdarahan (flare up) beberapa hari setelah suntikan pertama. 4. Pada penggunaan Gn-RH agonis, dapat terjadi amenorea beberapa bulan setelah suntikan terakhir. Analog GnRH yang digunakan, antara lain: 1. 2.. Leuprolide asetat 3,75 7,5 mg per IM selama 4 6 bulan. Synarel 2 kali 200 400 mcg intranasal setiap hari selama 4 6 bulan. menyebabkan ooforektomi medis atau

Terapi Addback Therapy Sejumlah penelitian telah menunjukkan efektivitas penambahan kembali kombinasi estrogen/progesteron pada pasien yang menjalani terapi agonis GnRH. Dalam uji coba terkontrol random, pasien yang menerimaaddback therapyditemukan memiliki efek samping vasomotor kurang signifikan dan kehilangan densitas mineral tulang kurang selama periode 6 bulan sementara masih mendapatkan manfaat dari perbaikan nyeri dari endometriosisnya. Insiden perdarahan vagina secara signifikan lebih tinggi ditemukan pada kelompok yang

22

menerimaaddback therapy, tapi hal ini tergantung pada dosis yang digunakan. Regimen add-back estrogen-progesteron postmenopause dapat digunakan, seperti estrogen setiap hari.4 Inhibitor Aromatase Enzim aromatase mengkonversi prekursor androgen seperti androstenedion dan testosteron menjadi estrone dan estradiol. Inhibitor Aromatase seperti letrozole dan anastrazole akan menghambat produksi estrogen dalam lesi endometriotik. Inhibitor Aromatase akan meningkatkan FSH dan LH dengan memblok umpan balik negatif estrogen pada hipofisis.Peningkatan gonadotropin ini tinggi akan merangsang perkembangan folikel ovarium kecuali jika terdapat penggunaan bersama progestin atau pil kontrasepsi oral dosis rendah.Inhibitor Aromatase saat ini diindikasikan untuk pengobatan kanker payudara dan penggunaannya dalam endometriosis, sementara menjanjikan, harus terkonjugasi 0,625mg setiap hari bersama dengan

medroksiprogesteronasetat 2,5mg.Regimen lain adalah norethindroneasetat 2,5mg

dipertimbangkan diteliti pada saat ini. Penelitian telah menggunakan Ietrozol 2,5 mg atau Anastrazol 1 mg setiap hari. Terapi berlanjut selama 6 sampai 9 bulan.16 2. Bedah Pembedahan pada endometriosis adalah untuk menangani efek

endometriosis itu sendiri, yaitu nyeri panggul, subfertilitas, dan kista. Pembedahan kekambuhan.2 a. Konservatif Pembedahan ini bertujuan untuk mengangkat semua sarang endometriosis dan melepaskan perlengketan dan memperbaiki kembali struktur anatomi reproduksi. Sarang endometriosis dibersihkan dengan eksisi, evaporasi, dan ablasi. Sementara kista endometriosis < 3 cm didrainase dan dikauter dinding kista, kista > 3 cm dilakukan kistektomi dengan meninggalkan jaringan ovarium yang sehat. Pembedahan dapat dilakukan secara laparatomi ataupun laparoskopi. bertujuan menghilangkan gejala, meningkatkan kesuburan,

menghilangkan bintik-bintik dan kista endometriosis, serta menahan laju

23

Penanganan dengan laparaskopi menawarkan keuntungan lama perawatan yang singkat, nyeri pasca operatif minimal, lebih sedikit perlengketan, visualisasi operatif yang lebih baik terhadap bintik-bintik endometriosis. Penanganan konservatif ini menjadi pilihan pada perempuan yang masih muda, menginginkan keturunan, memerlukan hormone reproduksi, mengigat endometriosis ini merupakan penyakit yang lambat progresif, tidak cenderung ganas, dan akan regresi bila menopause.2 b. Radikal Dilakukan dengan histerektomi dan bilateral salfingo-oovorektomi.

Ditujukan pada perempuan yang mengalami penanganan medis ataupun bedah konservatif gagal dan tidak membutuhkan fungsi reproduksi. Setelah pembedahan radikal diberikan terapi sibstitusi hormon.2 c. Penanganan Pembedahan Simtomatis Dilakukan untuk menghilangkan nyeri dengan presacral neurectomy atau LUNA (Laser Uterosacral Nerve Ablation).2

Terapi Pengganti Hormon Setelah Pembedahan Pada pasien dengan penyakit derajat sedang sampai berat segera setelah histerektomi dan salfingo-ooforektomi bilateral, kita berikan obat terapi kombinasi estrogen/progesteron selama 3 sampai 6 bulan pertama post-operatif.13 Terapi pengganti estrogen penting pada pasien yang menjalani bedah radikal untuk mencegah osteoporosis dan mengobati gejala hipoestrogenik seperti muka merah dan panas, keringat malam, tidak dapat tidur, dan kekeringan vagina. Terapi pengganti estrogen hanya membawa risiko kecil yang memicu pertumbuhan sisa endometriosis.16,17

24

Nyeri Anamnesis PemeriksaaanFisikUmum PemeriksaanGinekologi Nyerihaidmenggangguaktivitas NyeriSenggama Nyeripanggulkronik (siklik, asiklik) Riwayatendometriotisdalamkeluarga Riwayatoperasisebelumnya

Belummenikah/ remaja Colokdubur: - Uterus terfiksasi - Nodulsakrouterina/ septorekto-vagina - Massa kistik USG Transabdominal/ Transrektal Petandadarahhaid MRI Massa (-) Terapiempirik NSAID empiriksatuharimenjelangh aidsampaihari 5 haidatauGnRHaempirik 1 siklus Nyerihilang PKK 3 bulankontinyuatau progesterone 3 bulan Gagal Laparaskopi, Biopsi&Ablasi/reseksi endometriosis Makroskopis (+)/Histologi (+) PKK Kontinyu Nyeripositif <18 tahun PKK kontinyu

Menikah Beluminginanak Periksadalam USG TV

Perimenopause

USG Abdomen/Transvaginal MRI (biladiperlukan) Massa (-) Terapiempirik Massa (+) (Endometrioma)

Kista (Endometrioma)

Kista< 4cm

Kista 4 cm

NSAID empiriksatuharimenjelang haidsampaihari 5 haidatauGnRHa empiric 1 siklus Nyerihilang Progesteron

Terapibedahk onservatifata uradikal (HT+SOB), TH (E+P)

Terapibedahkon servatif

Gagal

Keterangan: PKK = PilKontrasepsiKombinasi TH = TerapiHormon

Algoritma penanganan Endometriosis


18 tahunGnRHa + add back therapy 3-6 bulan Kliniknyeri Gagal

25

Algoritma Manajemen Infertilitas pada endometriosis

InginPunyaAnak

Laparaskopi

Stadium 1-2

Stadium 3-4

Ablasi

Ablasi, restorasi

< 35

> 35

Pemeriksaancadangano varium

Ekspektatif, Observasi (3 bulan)

Periksacadanganovarium (AMH dan AFC; FSH, E2)

GnRHa 3 siklus

IVF Stimulasi + IUI (3x) JikaBaik Jikatidakbaik


Keterangan: AMH : Anti MullerianHormon AFC :JumlahFolikelAntral

Gagal

IVF

Stimulasi minimal

IVF

26

XI. KOMPLIKASI Endometriosis dapat menyebabkan komplikasi sebagai berikut:18 1. 2. 3. Infertilitas atau subfertilitas Nyeri panggul kronil dan kecacatan Gangguan anatomi dari organ yang terlibat seperti adhesi, ruptur kista, dan ileus paralitik.

XII. PROGNOSIS Endometriosis sulit disembuhkan kecuali jika seorang perempuan sudah menaopause. Setelah diberikan penanganan bedah konservatif, angka kesembuhan 10-20 % per tahun. Endometriosis sangat jarang menjadi suatu keganasan.Angka kehamilan dapat meningkat setelah bedah konservatif untuk penyakit sedang dan berat. 15,18,19

XIII. FOLLOW UP 1. Penilaian gejala secara regular; pertimbangkan penyebab lain nyeri pelvis jika gejala tidak membaik dengan pengobatan percobaan 2. 3. Peran laparoskopi ulangan untuk memonitoring tidak diketahui Pemeriksaan densitas mineral tulang tahunan jika agonis GnRH dilanjutkan > 6 bulan; pertimbangkan terapi kalsium dan bisfosfonat.15

27

DAFTAR PUSTAKA

1.

Kennedy S, Koninckx P. Endometriosis. In: Edmonds DK, editor. Dewhursts Textbook of Obstetrics and Gynaecology. 7th ed. Massachusetts. Blackwell Publishing; 2007; 44 :430 8.

2.

Prabowo R. Endometriosis. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editors. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2007: 314 26.

3.

Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA. Obstetrics and Gynaecology An Illustrated Colour Text. New York: Churchill Livingstone; 2003; 128 9.

4.

Yates M, Vlahos N. Chapter 34. Endometriosis. In: Fortner KB, Szymanski LM, Fox HE, Wallach EE, editors. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. 3th Edition. Massachusetts: Lippincott Williams and Wilkins; 2007; 34:403-10

5.

Schorge, Schaffer, Halvorson, et all. Endometriosis. In: Williams Gynecology. 22th Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2008; 1 (10): 102-10

6.

Montag A, Kumar V. The Female Genital System and Breast. In: Kumar, Abbas, Fausto, et al, editors.Robbins Basic Pathology. 8th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007; 19: 722 DHooghe TM, Hill III JA. Endometriosis. In: Berek JS, Editor. Berek and Novaks Gynecology. 14th Edition. Massachusetts: Lippincott Williams and Wilkins; 2007; 29: 1138-57

7.

8.

Fairley HD. Pelvic Pain. In: Lecture Notes Obstetrics and Gynaecology. 2nd Edition. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2004; 17: 240-2

9.

Goldstein DP, Laufer MR, Emans JH. Gynecologic Pain. In: Pediatric and Adolescent Gynecology. 5th Edition. Massachusetts: Lippincott Williams &Wilkins; 2005; 11: 440-2 Pernoll ML. Endometriosis and Adenomyosis. In: Benson and Pernolls Handbook of Obstetrics and Gynaecology. 10th Edition. New York: The McGraw-Hill Companies; 2001; 28: 755 67.

10.

28

11.

Thorn SE. Endometriosis. In: Havens CS, Sullivan ND, Editors. Manual of Outpatient Gynecology. 4th Edition. Massachusetts: Lippincott Williams and Wilkins; 2002; 16: 154-8

12.

Situmorang H, Mutia K. Endometriosis: Penuntun Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Endometriosis. Dalam: Hestiantoro A, dkk, editors. Best Practices On IMPERIAL. Jakarta: Sagung Seto; 2012; 72-4

13.

Moeloek FA, Nuranna L, Wibowo N, Purbadi S, Editor. Endometriosis. Dalam: Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia; 2006;2 (7): 117 20.

14.

Stormen J. Endometriosis. In: Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP, Editors. Glass Office Gynecology. 6th Edition. Massachusetts: Lippincott Williams and Wilkins; 2006; 13: 311-3

15.

Hohenhaus MH. Endometriosis. In: McGarry KA, Tong IL, Editors. The 5Minute Consult Clinical Companion To Womens Health. 1th Edition. Massachusetts: Lippincott Williams and Wilkins; 2007; 109-10

16.

Edward SE, Tureck RW. Endometriosis. In: Pfeifer SM. NMS National Medical Series for Independent Study Obstetrics and Gynecology. 6th Edition. Massachusetts: Lippincott Williams and Wilkins; 2008; 25: 270-5

17.

Fleischer AC, Entman SS. Sonographic Evaluation of Pelvic Masses with Transabdominal and/or Transvaginal Sonography. In: Fleischer AC, Manning FA, Jeanty P, et al, Editors. Sonography in Obstetrics and Gynecology: Principles and Practice. 6th Edition.New York: The McGrawHill Companies, Inc; 2001;35: 905

18.

Daly S, Lin EC. Imaging in Endometrioma/Endometriosis. [online] 2011 Apr 12 [cited 2013 April 26]. Available from: URL:

http://emedicine.medscape.com/article/403435-overview 19. Speroff L, Fritz MA. Endometriosis. In: Clinical Gynecologic

Endocrinology and Infertility. 7th Edition. Massachusetts: Lippincott Williams and Wilkins; 2005; 29: 1104-21

29

Anda mungkin juga menyukai