Overactive bladder (OAB) adalah suatu kumpulan gejala, yang meliputi urgensi,
frekuensi, inkontinensia biasanya dan nokturia.1 Berdasarkan International Continence Society
and International Urogynecologic Association, OAB didefinisikan sebagai kompleks gejala, yaitu
urgensi, biasanya disertai frekuensi dan nokturia, dengan atau tanpa inkontinensia urin tipe
urgensi (urge incontinence). OAB terjadi pada sekitar 12% populasi dewasa dan sangat
berpengaruh pada kualitas hidup. Inkontinesia urin tipe urgensi dimana seseorang merasa
desakan tiba – tiba untuk berkemih yang sulit untuk ditahan, merupakan salah satu fitur utama
OAB. Diagnosis OAB ditegakkan berdasarkan anamnesis riwayat gejala pada pasien,
pemeriksaan fisik dan penunjang seperti urinalisis untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi
atau etiologi potensial lainnya. Pemeriksaan penunjang direkomendasikan pada kasus dengan
kecurigaan infeksi traktur urinarius, hematuria mikroskopik, obstructive voiding symptoms dan
kasus refrakter setelah pengobatan sebelumnya.
1. Anamnesis
Anamnesis mengenai riwayat dan gejala merupakan pilar utama diagnosis dan evaluasi OAB.
Perlu dilakukan pemeriksaan secara kualitatif dan kuantitatif terhadap gejala seperti
inkontinesia urin tipe urgensi, diari berkemih, nokturia atau episode – episode inkontinensia
urin. Pemeriksaan berat ringannya gejala dapat dinilai dari jumlah pad, pengaruh pada kualitas
hidup, durasi gejala, total intake cairan atau obat yang bersifat bladder irritants ( seperti
minuman bersoda, pemanis buatan, kafein dan alkohol), peggunaan obat – obatan diuretik
juga harus dicantumkan dalam anamnesis pasien. Gejala lain seperti disfungsi usus, prolaps
organ panggul/disparenia bisa muncul bersamaan. Riwayat penyakit neurologis sebelumnya
seperti : sklerosis multipel, cedera korda spinalis, parkinson, atau cedera cerebrovaskular harus
terdokumentasi dengan baik. Riwayat operasi sebelumnya yang harus diperhatikan adalah
prosedur anti-inkontinensia (pemasangan sling uretra, injeksi uretrhal bulking agent atau
suspensi retropubik).
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, yang harus dilakukan adala pemeriksaan abdomen dan genitourinaria.
Pemeriksaan kekuatan otot dasar panggul dan gejala stress inkontinensia juga harus dievaluasi
dengan seksama. Pemeriksaan fisik umum di bidang fungsi kognitif dan neurologi juga
dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium awal untuk OAB adalah urinalisis. Hal yang harus diperhatikan
adalah ada tidaknya nitrit/LEA pada urinalisis. Jika terdapat kecurigaan klinis terhadap ISK,
kultur urin dapat dilakukan. Hematuria mikroskopik perlu dialnjutkan dengan pemeriksaan
sistoskopi dan imaging traktus urinarius bagian atas. Post-void residual (PVR) perlu dilakukan
pada pasien dengan sindrom obstruksi (pancar lemah, urinary hesitancy, intermintent, riwayat
pembedahan anti-inkontinensia dan kecurigaan kelainan neurologi yang tidak diobati). PVR
harus dilakukan sebelum pemberian obat antimuskarinik pada pasien dengan resiko tinggi
retensio urin. Derajat keparahan gejala dapat dinilai dengan kuesioner OAB symptom score.
Pada kasus dengan komplikasi seperti riwayat operasi sebelumnya, refrakter OAB dapat
dilakukan pemeriksaan urodinamik. Sedangkan pada kasus tanpa komplikasi, pemeriksaan
sistoskopi dan sitolog urin tidak rutin dilakukan.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik, Urinalisis dan sistoskopi
(jika curiga massa hingga biopsi)
eksklusi patologis lainnya (keganasan, infeksi)
Bladder diary
Kultur urin Rujuk Onkologi
Edukasi pasien:
Diskusi mengenai penyakit dan pilihan-pilihan terapi serta
efek samping terapi Terapi empirik
Keluhan
Evaluasi bladder diary setelah 1 bulan membaik Keluhan menetap;
gagal terapi kombinasi
medikamentosa -- refrakter
Edukasi pasien:
Melanjutan terapi gaya hidup (frekuensi berkemih dan
Urodinamik
urgensi menjadi normal)
Behavioral therapy merupakan terapi lini pertama berdasarkan efektifitasnya dan minimal
resiko. Pada terapi ini, melibatkan modifikasi gaya hidup termasuk pada reduksi intake cairan
jika terdapat gejala polidpsi, target cairan 1.5-2L, menghindari obat – obatan bladder irritants,
manajemen konstipasi, penurunan berat badan, bladder training dengan scheduled voiding.
Medikamentosa merupakan terapi lini kedua pada OAB. Obat yang digunakan adalah
antimuskarinik dan b adrenergik. Pemilihan jenis obat bergantung pada toleransi pasien dan
kontraindikasi penggunaannya. Antimuskarinik yang digunakan adalah oxybutynin,
darifanecin, solifenacin, tolterodine, fesoterodine, and trospium. Pada suatu review
sistematik, tidak ada obat – obatan yang lebih superior. Beberapa efek samping yang
ditimbulkan diantaranya mulut kering, mata kering, konstipasi, pandangan kabur, dispepsia,
retensi urin dan gangguan fungsi kognitif. Pada data terkini disebutkan penggunaan
antimuskarinik berhubungan dengan penurunan kognitif, demensia, Alzheimer, terutama pada
penggunaan > 3 tahun. Kontraindikasi absolut pada antimuskarinik adalah kejadian glaukoma
sudut sempit, gangguan pengosongan lambung. Kontraindikasi relatif pada pasien meliputi
peningkatan PVR dan gangguan fungsi kognitif.
Jika pasien tidak menunjukkan adanya perbaikan kondisi dalam 4-8 minggu terapi dengan 1
obat, dapat dilakukan ekskalasi (selama efek samping masih bisa ditoleransi) atau perubahan
terapi. Prinsip penggunaan antimuskarinik adalah dimulai pada dosis terkecil dan dinaikkan
bertahap hingga pasien dapat mengkontrol gejala yang dialami dan bertoleransi pada efek
samping yang ditimbulkan.
Efek samping seperti mulut kering dapat dikurangi dengan penggunaan lubrikasi oral/obat
kumur non alkohol, minum, mengunyah permen bebas gula atau permen karet. Konstipasi
dapat dicegah dengan pengaturan supplementasi makanan tinggi serat, pelunak feses, laksatif
ataupun olahraga teratur.
Agonis B adrenergik yang dapat digunakan meliputi mirabegron. Keuntungan menggunakan b
adrenergik adalah dapat menimalisasi efek samping antikolinergik seperti konstipasi dan mulut
kering. Efek samping dari b adrenergik meliputi peningkatan tekanan darah, nasoparingitis, ISK
dan retensio urin.
Berikut mekanisme aksi obat – obatan golongan antimuskarinik dan efek samping yang sering
terjadi6 :
Berikut mekanisme aksi obat – obatan golongan antimuskarinik dan efek samping yang sering
terjadi :
• Physical changes
during menopause
that is related with
estrogen deficiency
can induce LUTS in
women
• Inhibits calcium
influx and modulates
intracellular calcium
to diminish muscle
spasm
• Antagonize the
effect of α1
receptors
FOLLOW UP
Follow up terapi OAB meliputi komplians, gejala yang masih dirasakan, efek samping dan
pendalaman mengenai opsi manajemen lain, pada 4-8 minggu setelah modifikasi gaya hidup
atau pengobatan medikamentosa dilakukan. Jika respon yang diberikan baik, tidak perlu
dilakukan penatalaksana lanjutan.
ADVANCED THERAPY
Terapi lanjutan pada kasus OAB yang ada saat ini meliputi :
1. Botulinum toxin injection terapi ini sudah mendapat izin layak coba dari FDA dan
direkomendasikan pada pasien dengan respon buruk pada pengobatan lini pertama dan
kedua. Injeksi diberikan dengan cystoscopic injection. Resiko prosedur ini meliputi
hematuria, UTI, dan retensio urin.
Gambar : Cystoscopic intradetrusor injection of onabotulinumtoxinA.
Gambar : Fully implanted sacral neuromodulation device, including stimulator and electrode
lead.
Kekurangan dari terapi ini adalah resiko infeksi cukup besar, membutuhkan penggantian baterai
(kurang lebih jangka waktu 3.5 tahun), resiko kerusakan elektroda dan sensasi tidak
menyenangkan saat stumulasi.
3. Percutaneous tibial nerve stimulation (PTNS) menggunakan jarum perkutan untuk
menstimulasi nervus tibialis posterior pada level malleolus medial. Jarum tersebut
kemudian dihubungkan pada generator. Stimulasi dilakukan 20 menit per sesi, dilakukan
mingguan hingga 12 minggu. Pada sistematik revies, PTNS memberikan efikasi yang
lebih baik dibandingkan medikamentosa antikolinergik. Kontraindikasi tindakan meliputi
resiko perdarahan, neuropati perifer, penggunaan pacemaker jantung dan pasien yang
hamil/ingin hamil selama terapi.
4. Laser therapy
5. Selective bladder denervation
6. Augmentation cystoplasty
7. Detrusor myomectomy
8. Urinary diversion
Referensi:
1. Abrams P, Cardozo L, Fall M, et al: The standardization of terminology of lower urinary tract
function: Report from the standardization Sub-committee of the internasional Continence society.
Neurourol Urodyn 21: 167-178, 20022.
2. Treatment pathway for overactive bladder and urinary incontinence. Waltham Forest and East
London Medicines Optimisation and Commissioning Committee. 2016.
4. Campbell JD, Gries KS, Watanabe JH, Ravelo A, Dmochowski RR, Sullivan SD. Treatment success for
overactive bladder with urinary urge incontinence refractory to oral antimuscarinics: a review of
published evidence. BMC Urology. 2009;9.
5. Corcos J, MacDiarmid S, Heesakkers J. Overactive Bladder: Practical Management: John Wiley &
Sons, Ltd.; 2015.
6. Budi Iman Santoso : New Updates on Management : Overactive Bladder Syndrome. HUGI Meet the
Experts. 2021.