Anda di halaman 1dari 12

INKONTINENSI URINE

Disusun oleh kelompok 10 :

Sintia Rosdiana (3020041117)


Inama Septiana Sari (3020041060)
Alfarizi Kausar Hidayatullah (3020041140)
Vivi Hasan Lutfi (3020041135)
Pengertian
Inkontinensia urin adalah gangguan fungsi kandung kemih yang membuat
anda tidak dapat mengontrol keluarnya urin (air kencing). Akibatnya, urin keluar
tiba-tiba tanpa dikehendaki sehingga mengganggu kegiatan sehari-hari. Gangguan
kontrol kandung kemih yang tidak ditangani dapat mengakibatkan sejumlah
komplikasi. Masalah kesehatan ini bisa meningkatkan risiko infeksi saluran kemih
dan penyakit kandung kemih, serta mengurangi kualitas hidup penderitanya.
Terdapat beberapa jenis inkontinensia urine, antara lain :
• Inkontinensia stress: inkontinensia akibat aktivitas yang meningkatkan
tekanan intraabdomen, seperti batuk, bersin, olahraga, dan tertawa.
• Inkontinensia urgensi (urge): inkontinensia yang didahului oleh rasa ingin
berkemih yang tidak dapat ditahan.
• Inkontinensia luapan (overflow): inkontinensia akibat retensi urine yang
menyebabkan overdistensi vesika urinaria.
• Inkontinensia campuran (mixed): gabungan dari beberapa tipe inkontinensia,
umumnya gabungan dari inkontinensia stress dan urgensi.
• Inkontinensia fungsional: inkontinensia akibat gangguan fisik atau kognitif
yang tidak berhubungan dengan kelainan genitourinaria.
Etiologi
Etiologi inkontinensia urine berbeda-beda tergantung jenis inkontinensia
yang terjadi. Secara umum, inkontinensia terjadi akibat kelainan struktur
ataupun sistem saraf yang mengatur miksi.

• Gangguan Struktur. Gangguan struktur dapat mengganggu proses miksi dan


menyebabkan inkontinensia. Contoh penyebab gangguan struktur adalah :
a) Trauma: proses partus, trauma pelvis
b) Hipoestrogenisme: defisiensi estrogen, pascamenopause.
c) Kelainan otot detrusor: obesitas, hiperplasia prostat
d) Gangguan traktus urinarius: infeksi, batu ginjal, involusi uretra.
e) Kelainan kongenital: spina bifida, meningocele, agenesis sakrum,
epispadia.
f) Keganasan: karsinoma renal, buli, prostat
g) Terapi radiasi pelvis
h) Iatrogenik: prosedur urologi, prosedur obstetrik, pembedahan abdomen
bagian bawah
i) Lainnya : penuaan, kehamilan, idiopatik
• Faktor Neurologis. Kelainan neurologis yang dapat menyebabkan inkontinensia urine, misalnya :
a) Lesi serebral: stroke, tumor, aneurisma, perdarahan, penurunan kesadaran
b) Lesi medulla spinalis: herniasi, kompresi, neuropati, Sindrom cauda equina, mielodisplasia
c) Sklerosis multipel
d) Penyakit Parkinson

• Faktor Psikologis
a) Demensia dan enuresis juga dapat menyebabkan inkontinensia urine.

• Obat-obatan. Obat yang dapat menimbulkan inkontinensia urine, misalnya agonis alfa adrenergik,
antikolinergik, antagonis alfa, diuretik, calcium channel blockers, ACE inhibitor, dan obat sedatif.

• Faktor Risiko. Faktor risiko inkontinensia urine antara lain :


a) Usia tua
b) Penyakit kelainan jaringan ikat
c) Metabolik: diabetes mellitus, defisiensi vitamin D.
d) Peningkatan tekanan intraabdomen berkepanjangan: konstipasi kronis, batuk kronis.
e) Kelainan neurologis: penyakit Parkinson, penyakit serebrovaskular, sklerosis multipel,
gangguan kognitif
f) Gangguan mobilitas
g) Operasi abdomen bawah atau operasi urologi
h) Lainnya: obesitas, merokok
Patofisilogi
Patofisiologi inkontinensia urin terjadi akibat disfungsi mekanisme interaksi aktivitas otot detrusor,
fungsi sfingter uretra, dan sistem saraf, sehingga fungsi kontinensia saat penyimpanan (storage) atau
pengeluaran (voiding) tidak berlangsung dengan baik.

• Fisiologi Berkemih
Fungsi berkemih sangat tergantung pada struktur anatomi (vesika urinaria, uretra, dan otot
pelvis), jaringan penyokongnya, serta sistem persarafan traktus urinarius bawah. Traktus urinarius
bawah berfungsi untuk menyimpan (storage/filling) dan mengeluarkan urine (voiding). Kelainan pada
mekanisme ini akan menyebabkan gangguan miksi dan terkadang menyebabkan inkontinensia.
Refleks miksi diatur pada pusat miksi di pons dan korteks serebri, kemudian stimulus
dihantarkan ke detrusor, sfingter, dan vesika urinaria melalui saraf somatik, parasimpatik, dan
simpatik medula spinalis. Pons berfungsi untuk mengatur relaksasi sfingter uretra dan kontraksi otot
detrusor, sedangkan korteks serebri berfungsi untuk menginhibisi refleks miksi. [4,9]
Pada fase filling atau storage, terjadi inhibisi parasimpatik (S2-4) dan stimulasi saraf simpatik
(T6) untuk kontraksi leher buli dan relaksasi dinding buli. Saraf somatik pada nukleus onuf
merangsang relaksasi rhabdosfingter dan mempertahankan tonus otot periuretra serta otot dasar
pelvis. Vesika urinaria mempertahankan kondisi relaksasi, ekspansi adekuat, outlet tetap tertutup,
mukosa uretra intak, tekanan intravesika rendah, serta tekanan uretra tinggi.
Ketika vesika urinaria penuh, dinding buli akan mengalami distensi, sehingga otot detrusor
merangsang medulla spinalis dan pons untuk inhibisi simpatik, inhibisi saraf somatik, dan stimulasi
parasimpatik. Fase pengosongan (voiding) dimulai saat terjadi relaksasi rhabdosfingter, relaksasi leher
buli, dan kontraksi otot detrusor, sehingga resistensi uretra menurun dan urine dapat dikeluarkan.
• Inkontinensia Stress

Inkontinensia stress terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan gradien tekanan uretra


dan vesika urinaria, terutama pada saat terjadi kenaikan tekanan intraabdomen,
seperti pada saat batuk atau tertawa. Inkontinensia stressdisebabkan oleh 2
mekanisme utama, yaitu hipermobilitas uretra dan defisiensi sfingter interna saat
terjadi kenaikan tekanan intraabdomen.
Hipermobilitas uretra terjadi ketika struktur penyokong vesika urinaria mengalami
kelemahan, sehingga leher vesika urinaria dan uretra bagian proksimal dapat
mengalami disposisi, terutama saat terjadi peningkatan tekanan intraabdomen. Batuk
ringan menyebabkan kenaikan tekanan intraabdomen transien, sehingga bagian
proksimal uretra mengalami pergeseran kaudodorsal sekitar 10 mm. Perubahan
posisi ini menyebabkan tekanan yang dihantarkan ke vesika urinaria dan uretra
proksimal tidak seimbang, sehingga tekanan intravesika lebih tinggi dibandingkan
uretra.
Sfingter interna berfungsi untuk menjaga tekanan uretra tetap tinggi pada saat terjadi
peningkatan tekanan intraabdomen dengan cara berkontraksi, sehingga tidak terjadi
perubahan gradien tekanan. Bila terjadi defisiensi sfingter interna, kontraksi sfingter
melemah, sehingga tidak adekuat untuk mempertahankan tekanan uretra terhadap
peningkatan tekanan intraabdomen dan terjadi inkontinensia
• . Inkontinensia Urgensi

Inkontinensia urgensi terjadi akibat overaktivitas detrusor sehingga


menyebabkan sensasi urgensi dan keluarnya urine secara involunter. Dalam kondisi
normal, otot detrusor berkontraksi hanya pada saat proses voiding. Overaktivitas
detrusor adalah kontraksi involunter otot detrusor pada fase filling atau storage yang
terjadi akibat gangguan otot (miogenik) ataupun gangguan saraf (neurogenik).
Overaktivitas detrusor miogenik disebabkan akibat hipereksitabilitas otot,
sedangkan gangguan neurogenik disebabkan oleh hiperaktivitas refleks miksi akibat
denervasi spinal atau kortikal. Inkontinensia terjadi ketika overaktivitas detrusor
mengakibatkan tekanan intravesika lebih tinggi dibandingkan tekanan uretra.
Mekanisme inkontinensia urgensi dapat disebabkan berbagai hal, misalnya
denervasi otot detrusor dan penurunan inhibisi sentral. Pada otot detrusor terdapat
area yang mengalami denervasi secara tidak merata (patchy) dan bertambahnya
jaringan ikat otot polos, sehingga terjadi peningkatan aksi-potensial spontan dan
hipertrofi sel otot polos yang mengakibatkan coupling serabut otot dan aktivitas
elektrik meningkat.
lanjutan,,,
Peningkatan Kontraktilitas Spontan Otot Detrusor, Terjadi akibat
peningkatan coupling serabut-serabut otot detrusor, sehingga terjadi eksitasi
Reseptor otot detrusor mengalami regulasi naik, sehingga lebih sensitif
terhadap asetilkolin dan stimulus elektrik, sehingga terjadi overaktivitas
otot.
Peningkatan Aktivitas Fiber Aferen C, Neuron aferen fiber C
mengalami regulasi naik, sehingga mengaktifkan refleks miksi dan
menyebabkan kontraksi involunter dengan menimbulkan sensasi
urgensi. Nerve growth factor (NGF), neurotropin, dan sitokin juga
ditemukan meningkat pada detrusor overaktif dan meningkatkan aktivitas
neuron aferen.
Penurunan Inhibisi Sentral, Terjadi gangguan transmisi rangsang dari
sistem saraf pusat ke pusat miksi pada pons, sehingga refleks miksi diatur
oleh traktus spinobulbospinal medulla spinalis tanpa inhibisi korteks serebri.
Peningkatan Transduksi Mekanosensoris Urotelial, Ketika terjadi
deformasi atau stretch pada urotelium, neurotransmitter seperti ATP,
asetilkolin, dan neuropeptida dilepaskan, menyebabkan transduksi
neurotransmitter meningkat dan terjadi amplifikasi rangsang saraf.
Transmisi ini menyebabkan sensasi penuh buli, sehingga merangsang
• Inkontinensia Luapan (Overflow)
Inkontinensia luapan terjadi ketika kandung kemih mengalami
overdistensi akibat retensio urine ataupun gangguan pengosongan
kandung kemih (incomplete emptying) akibat menurunnya
kontraktilitas otot detrusor, obstruksi outlet kandung kemih (bladder
outlet obstruction / BOO), atau keduanya. Hal ini menjadikan
penderita inkontinensia luapan sering kali tidak merasakan sensasi
untuk berkemih ketika vesika urinaria telah mencapai kapasitas
maksimal, sehingga dinding kandung kemih yang elastis mengalami
distensi berlebih. Jika berlangsung secara kronis, overdistensi vesika
urinaria akan menyebabkan inkontinensia.

• Inkontinensia Fungsional
Inkontinensia fungsional terjadi akibat gangguan fisik ataupun
psikologis, tidak terdapat kelainan dalam proses fisiologi berkemih.
Kelainan ini umumnya disebabkan karena faktor etiologi
nongenitourinari yang dapat berlangsung transien ataupun permanen.
Gejala dan Penyebab Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine disebabkan oleh banyak hal, mulai dari gaya hidup
hingga kondisi medis tertentu. Berikut ini adalah beberapa penyebab dari
inkontinensia urine berdasarkangejala yang ditimbulkan:
• Mengompol ketika ada tekanan (stress incontinence)
Penderita inkontinensi ajenis ini akan mengompol ketika kandung
kemih tertekan, seperti saat batuk, bersin, tertawa keras, atau mengangkat
beban. Kondisi ini disebabkan oleh otot saluran kemih yang terlalu lemah
untuk menahan urine ketika ada tekanan. Otot kandung kemih dapat melemah
karena berbagai faktor, misalnya karena proses persalinan, berat badan
berlebih, atau komplikasi pascaoperasi seperti rusaknya saluran kemih.
• Tidak dapatmenundabuang air kecil (urge incontinence)
Penderitainkontinensiajenisini tidak dapat menahan buang air kecil
ketika dorongan untuk itu muncul. Sering kali perubahan posisi tubuh atau
mendengar suara aliran air membuatpenderitamengompol. Kondisi ini
disebabkan oleh otot kandung kemih yang berkontraksi secara berlebihan.
Kontraksi dipicu oleh konsumsi kafein, soda, alkohol, dan pemanis buatan
secara berlebihan, infeksi saluran kemih, sembelit, serta gangguan saraf,
seperti stroke atau cederasaraftulangbelakang.
 Mengompol secara tiba-tiba (overflow incontinence)
Penderita inkontinensia jenis ini dapat ngompol sedikit-sedikit.
Kondisi ini terjadi akibat kandung kemih tidak dapat dikosongkan sampai
benar-benar kosong (retensi urine kronis), sehingga sisa urine di dalam
kandung kemihakan keluar sedikit-sedikit. Retensi urine kronisdapat terjadi
ketika kandung kemih atau saluran kemih mengalami penyumbatan,
sehingga mengganggu keluarnya urine. Penyumbatan ini umumnya
disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat, tumor atau batu pada
kandung kemih, ataukarenasembelit.

•  Sama sekali tidak bisa menahan urine (inkontinensia total)


Inkontinensia total terjadiketika kandung kemih sama sekali tidak
mampu menampung urine, sehingga penderitanyaakanterusmengompol.
Kondisiinibisadisebabkan oleh kelainan struktur kandung kemih atau
panggul sejak lahir, cedera saraf tulang belakang, atau munculnya lubang di
antara kandung kemih dan organ sekitarnya, misalnya vagina.
Penatalaksanaan inkontinensia
Penatalaksanaan inkontinensia urine sangat tergantung dari jenis dan penyebab
inkontinensia yang dialami. Tata laksana etiologi merupakan hal yang pertama kali
harus dilakukan karena dalam beberapa kasus, inkontinensia urine dapat reversibel
ketika etiologi telah teratasi. Apabila inkontinensia urine tetap terjadi, pilihan terapi
mencakup modalitas nonfarmakologi, farmakologi, dan pembedahan sesuai dengan
jenis inkontinensia urine. Tata laksana yang dapat dilakukan berdasarkan jenis
inkontinensia antara lain :

• Inkontinensia stress: latihan otot pelvis, farmakoterapi, atau pembedahan


• Inkontinensia urgensi: modifikasi diet dan gaya hidup, menurunkan berat badan,
terapi perilaku, farmakoterapi, atau pembedahan
• Inkontinensia luapan: kateterisasi intermiten, tata laksana sesuai etiologi, latihan
otot pelvis
• Inkontinensia campuran: latihan otot pelvis, farmakoterapi, atau
pembedahan, bladder training
• Inkontinensia fungsional: tata laksana faktor etiologi yang mendasari.
• Perlu diingat bahwa tujuan utama tata laksana inkontinensia urine adalah
mengurangi gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Merujuk pasien
inkontinensia urine ke dokter spesialis urologi atau bidang lain yang diperlukan
juga merupakan komponen penting dalam tata laksana.

Anda mungkin juga menyukai