PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk memahami pengertian dari retensi urin post partum.
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi dari retensi urin post partum.
1.3.3 Untuk memahami patofisiologi retensi urin post partum.
1.3.4 Untuk mengetahui gambaran klinis retensi urin post partum.
1.3.5 Untuk mengetahui insiden retensi urin post partum.
1.3.6 Untuk mengetahui diagnosis retensi urin post partum.
1.3.7 Untuk memahami penetalaksanaan retensi urin post partum.
1.3.8 Untuk mengetahui komplikasi retensi urin post partum.
2.1 Pengertian
Retensio urine adalah tertahannya urine didalam kandung kemih, dapat terjadi
secara akut maupun kronis. Pada keadaan akut miksi berhenti secara mendadak, klien
tidak bisa BAK. Dalam keadaan kronis retensi urine terjadi akibat adanya obstruksi
yang terus-menerus pada uretra.
2.2 Etiologi
Berkemih yang normal melibatkan relaksasi uretra yang diikuti dengan
kontraksi otot-otot detruser. Pengosongan kandung kemih secara keseluruhan
dikontrol didalam pusat miksi yaitu diotak dan sakral. Terjadinya gangguan
pengosongan kandung kemih akibat dari adanya gangguan fungsi di susunan saraf
pusat dan perifer atau didalam genital dan traktus urinarius bagian bawah.
Pada wanita, retensi urine merupakan penyebab terbanyak inkontinensia yang
berlebihan. Dalam hal ini terdapat penyebab akut dan kronik dari retensi urine. Pada
penyebab akut lebih banyak terjadi kerusakan yang permanen khususnya gangguan
pada otot detrusor, atau ganglion parasimpatis pada dinding kandung kemih. Pada
kasus yang retensi urine kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan
intravesical yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas
dan penurunan fungsi ginjal.
Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak
menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung
kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural
anestesi, obat-obat narkotik, kalkulus pada lumen uretra ,striktur uretra, penekanan
kepala janin, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi
episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung
kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik
sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.
2.3 Patofisiologi:
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan
bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan
dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase
pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi
WOC
2.5 Insiden
Sistitis penyebabnya adalah Escherichia coli 73 %-90% dari kasus dan
pielonefritis (Infeksi pelvis renalis) penyebabnya terbanyak dari kasus oleh infeksi
asenden.
2.6 Diagnosis
2.7 Penatalaksanaan
Ketika kandung kemih menjadi sangat menggembung diperlukan kateterisasi,
kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga
kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan
kembali tonus normal dan sensasi.
Bila kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu
4 jam. Setelah berkemih secara spontan, kandung kemih harus dikateter kembali
untuk memastikan bahwa residu urine minimal. Bila kandung kemih mengandung
lebih dari 100 ml urine, drainase kandung kemih dilanjutkan lagi.
2.8 Komplikasi
Karena terjadinya retensi urine yang berkepanjangan, maka kemampuan
elastisitas vesica urinaria menurun, dan terjadi peningkatan tekanan intra vesika yang
menyebabkan terjadinya reflux, sehingga penting untuk dilakukan pemeriksaan USG
pada ginjal dan ureter atau dapat juga dilakukan foto BNO-IVP.
3.1 Pengkajian
Data Umum :
1) Identitas.
2) Data Obstetri, riwayat kehamilan, riwayat persalinan.
3) Riwayat kesehatan.
4) Status emosional dan kebiasaan.
Data Fokus :
Fisiologis (proses involusi, perubahan biophisik sistem tubuh, kesiapan proses
laktasi).
4. Eliminasi :
Diaphoresis
Tanda infeksi kandung kemih,distensi blader
Buang air besar (obstipasi karena takut sakit).
5. Buah dada :
Bentuk, besar, merah
Putting susu--- baik, masuk, lecet, sakit, kebersihan,
BH--- penyokong buah dada
Laktasi hari ke 2-3 kolostrum meningkat.
6. Perineum
Posisi sim kearah jahitan sehingga perineum terlihat jelas.
7. Ekstrimitas bawah
Tromboplebitis dan tromboemboli
Edema, Tenderness, suhu kulit meningkat.
Psikososial :
Sikap, kemampuan, keterampilan memelihara diri, Tingkat kelelahan,
Kepuasan,Tugas mengasuh anak.
Rentinsio Urine
Bila dicurigai infeksi kandung kemih dilakukan pengambilan spesimen urin bersih
untuk pemeriksaan mikroskopik dan pemeriksaan kultur serta berat jenis urin.
Frekuensi urin, keinginan berkemih, urin warna keruh, nyeri pelvik dan konsentrasi
bakteri 10.000 atau lebih permililiter urine.
Periksa suhu : mengginggil dan panas tinggi, mual dan muntah.
INTERVENSI RASIONAL
Menjelaskan pada klien cara blader -Merangsang keinginan untuk kencing
training
Mengobservasi intake dan output -Menilai perkembangan miksi
Memasang kateter bila ada indikasi -Membantu mengeluarkan urin
Memberikan obat sesuai program terapi. -Membantu meperlancar sirkulasi dan
tangsangan saraf
3. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan retensi urin yang lama.
INTERVENSI RASIONAL
Kaji suhu tubuh Ibu Menilai tanda-tanda infeksi
Berikan kateterisasi dengan Membantu mengeluarkan urine
memperhatikan kesterilan
Berikan obat anti biotik sesuai program Membatasi perkembangbiakan bakteri
terapi penyebab infeksi SK/KK.
4.1 Kesimpulan
Retensi urine post partum dapat terjadi pada pasien yang mengalami kelahiran normal
sebagai akibat dari peregangan atau trauma dari dasar kandung kemih dengan edema
trigonum. Faktor-faktor predisposisi lainnya dari retensio urine meliputi epidural anestesia,
pada gangguan sementara kontrol saraf kandung kemih ,dan trauma traktus genitalis,
khususnya pada hematoma yang besar, dan sectio cesaria.
Wanita dengan inkontinensia dan gejala gangguan kandung kemih yang lain
meningkatkan resiko terjadinya kesulitan berkemih dan dan retensi. Akibat dari retensi adalah
timbulnya infeksi traktus urinarius yang rekuren dengan kemungkinan gangguan pada traktus
urinarius bagian atas. Pendeteksian terhadap kondisi tersebut merupakan hal yang penting
dalam penanganan farmakologi dan pembedahan pada wanita dengan inkontinensia urine
yang cenderung menjadi eksaserbasi kesulitan berkemih dan retensi kronik.
Ketika kandung kemih menjadi sangat menggembung diperlukan kateterisasi selama
24-48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih
menemukan kembali tonus normal dan sensasi.
Bila kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu 4 jam.
Bila kandung kemih mengandung lebih dari 100 ml urine, drainase kandung kemih
dilanjutkan lagi.
file:///retensi-urine-post-partum.html
Taber, Ben-zion M.D.,1994, Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi, Jakarta :
EGC.