Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai
tempat untuk menampung produksi urine dan sebagai fungsi ekskresi. Selama
kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan fisiologi. Perubahan
fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan
predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa hari post
partum. Retensia urin pada wanita paling mungkin terjadi pada postpartum atau
setelah bedah pelvis. Penyebab-penyebab lainnya meliputi obstruksi uretra oleh
uterus gravid yang inkarserta dan herpes genitalis
Perubahan ini juga dapat memberikan gejala dan kondisi patologis yang
mungkin memberikan dampak pada perkembangan fetus dan ibu. Residu urine
setelah berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml, jika residu urine ini
lebih dari 200 ml dikatakan abnormal dan dapat juga dikatakan retensi urine. Insiden
terjadinya retensi urine post partum berkisar 1,7% sapai 17,9%. Secara umum
penanganannya diawali dengan kateterisasi. Jika residu urine lebih dari 700 ml,
antibiotik profilaksis dapat diberikan karena penggunaan kateter dalam jangka
panjang dan berulang..
Retensi urine post partum dapat terjadi pada pasien yang mengalami kelahiran
normal sebagai akibat dari peregangan atau trauma dari dasar kandung kemih dengan
edema trigonum. Faktor-faktor predisposisi lainnya dari retensio urine meliputi
epidural anestesia, pada gangguan sementara kontrol saraf kandung kemih ,dan
trauma traktus genitalis, khususnya pada hematoma yang besar, dan sectio cesaria.
Bila kandung kemih menjadi sangat mengembung, pasien tidak dapat
berkemih atau hanya dapat mengeluarkan sedikit urin. Pada pemeriksaan abdomen
uterus lebih tinggi dari yang diperkirakan karena tergeser ke atas oleh kandung kemih
yang mengembung.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian dari retensi urin post partum ?
1.2.2 Apa saja etiologi dari retensi urin post partum ?
1.2.3 Bagaimana patofisiologi retensi urin post partum ?
1.2.4 Bagaimana gambaran klinis dari retensi urin post partum ?

Retensi Urine Post Partum Page 1


1.2.5 Apa penyebab insiden retensi urin post partum ?
1.2.6 Apa diagnosis yang diperoleh dari retensi urin post partum ?
1.2.7 Bagaimana penatalaksanaan pada pasien dengan retensi urin post
partum ?
1.2.8 Apa saja komplikasi dari retensi urin post partum ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk memahami pengertian dari retensi urin post partum.
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi dari retensi urin post partum.
1.3.3 Untuk memahami patofisiologi retensi urin post partum.
1.3.4 Untuk mengetahui gambaran klinis retensi urin post partum.
1.3.5 Untuk mengetahui insiden retensi urin post partum.
1.3.6 Untuk mengetahui diagnosis retensi urin post partum.
1.3.7 Untuk memahami penetalaksanaan retensi urin post partum.
1.3.8 Untuk mengetahui komplikasi retensi urin post partum.

Retensi Urine Post Partum Page 2


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Retensio urine adalah tertahannya urine didalam kandung kemih, dapat terjadi
secara akut maupun kronis. Pada keadaan akut miksi berhenti secara mendadak, klien
tidak bisa BAK. Dalam keadaan kronis retensi urine terjadi akibat adanya obstruksi
yang terus-menerus pada uretra.

2.2 Etiologi
Berkemih yang normal melibatkan relaksasi uretra yang diikuti dengan
kontraksi otot-otot detruser. Pengosongan kandung kemih secara keseluruhan
dikontrol didalam pusat miksi yaitu diotak dan sakral. Terjadinya gangguan
pengosongan kandung kemih akibat dari adanya gangguan fungsi di susunan saraf
pusat dan perifer atau didalam genital dan traktus urinarius bagian bawah.
Pada wanita, retensi urine merupakan penyebab terbanyak inkontinensia yang
berlebihan. Dalam hal ini terdapat penyebab akut dan kronik dari retensi urine. Pada
penyebab akut lebih banyak terjadi kerusakan yang permanen khususnya gangguan
pada otot detrusor, atau ganglion parasimpatis pada dinding kandung kemih. Pada
kasus yang retensi urine kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan
intravesical yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas
dan penurunan fungsi ginjal.
Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak
menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung
kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural
anestesi, obat-obat narkotik, kalkulus pada lumen uretra ,striktur uretra, penekanan
kepala janin, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi
episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung
kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik
sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.

2.3 Patofisiologi:
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan
bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan
dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase
pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi

Retensi Urine Post Partum Page 3


bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin
dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor
yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan
proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan
otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf
parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen
kolinergik.
Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada
ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak.
Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral
spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis
sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada
otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk
merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine
dengan resistensi saluran yang minimal.
Retensi postpartum paling sering terjadi. Setelah terjadi kelahiran pervaginam
spontan, disfungsi kandung kemih terjadi 9-14 % pasien; setelah kelahiran
menggunakan forcep, angka ini meningkat menjadi 38 %. Retensi ini biasanya terjadi
akibat dari dissinergis antara otot detrusor-sphincter dengan relaksasi uretra yang
tidak sempurna yang kemudian menyebabkan nyeri dan edema. Sebaliknya pasien
yang tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya setelah sectio cesaria biasanya
akibat dari tidak berkontraksi dan kurang aktifnya otot detrusor.

WOC

Retensi Urine Post Partum Page 4


Persalinan lama

Penekanan sfinnter uretra oleh kepala janin

Trauma Jaringan Pembengkakan Nyeri perineal

Penurunan sensitivitas Kontrol saraf terhambat

Mengalami kesulitan berkemih
¯
Apabila urin tertahan lama (N.T/D meningkat--Cemas)
¯
Pertumbuhan kuman/Bakteri –Resiko infeksi
¯
Sistitis / Pielonefritis Nyeri perut bgn bawah
¯
Apabila tidak diobati bisa terjadi kerusakan kortek renalis dan fungsi ginjal
terganggu.

2.4 Gambaran Klinis


Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya
kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus; ada
rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada
suprapubik saat berkemih.
Suatu penelitian melaporkan bahwa gejala yang paling bermakna dalam
memprediksikan adanya gangguan berkemih adalah pancaran kencing yang lemah,
pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna, mengedan saat berkemih, dan
nokturia.

2.5 Insiden
Sistitis penyebabnya adalah Escherichia coli 73 %-90% dari kasus dan
pielonefritis (Infeksi pelvis renalis) penyebabnya terbanyak dari kasus oleh infeksi
asenden.

2.6 Diagnosis

Retensi Urine Post Partum Page 5


Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan
neurologik, jumlah urine yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan
urinalisis dan kultur urine, pengukuran volume residu urine, sangat dibutuhkan.
Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat digunakan
uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan voiding
cystourethrography.
Dikatakan normal jika volume residu urine adalah kurang atau sama dengan
50ml, sehingga jika volume residu urine lebih dari 200ml dapat dikatakan abnormal
dan biasa disebut retensi urine. Namun volume residu urine antara 50-200ml menjadi
pertanyaan, sehingga telah disepakati bahwa volume residu urine normal adalah 25%
dari total volume vesika urinaria.

2.7 Penatalaksanaan
Ketika kandung kemih menjadi sangat menggembung diperlukan kateterisasi,
kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga
kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan
kembali tonus normal dan sensasi.
Bila kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu
4 jam. Setelah berkemih secara spontan, kandung kemih harus dikateter kembali
untuk memastikan bahwa residu urine minimal. Bila kandung kemih mengandung
lebih dari 100 ml urine, drainase kandung kemih dilanjutkan lagi.

2.8 Komplikasi
Karena terjadinya retensi urine yang berkepanjangan, maka kemampuan
elastisitas vesica urinaria menurun, dan terjadi peningkatan tekanan intra vesika yang
menyebabkan terjadinya reflux, sehingga penting untuk dilakukan pemeriksaan USG
pada ginjal dan ureter atau dapat juga dilakukan foto BNO-IVP.

Retensi Urine Post Partum Page 6


BAB III
ASKEP TEORI RETENSI URINE POST PARTUM

3.1 Pengkajian
Data Umum :
1) Identitas.
2) Data Obstetri, riwayat kehamilan, riwayat persalinan.
3) Riwayat kesehatan.
4) Status emosional dan kebiasaan.

Data Fokus :
Fisiologis (proses involusi, perubahan biophisik sistem tubuh, kesiapan proses
laktasi).

Pengkajian fisologis segera setelah lahir :


a. Kondisi uterus (Palpasi fundus, kontraksi dan tinggi fundus uteri.
b. Jumlah Darah (inspeksi perineum,laserasi,hematoma).
c. Kandung kemih (ada tidaknya residu).
d. Tanda-tanda Vital :
Suhu : 1 jam pertama setelah persalinan
TD/N : penyimpangan kardiovaskular

Pengkajian psikologis segera respon ibu dan keluarga terhadap bayi).

Pengkajian tahap lanjut :


1. Tanda-tanda vital :
Suhu : Sedikit meningkat tapi kurang dari 38c
Nadi : Bradikardi 40-70 x/menit masig dalam batas normal selama 6-10 hari post
partum.
Tensi : Agak menurun tapi tidak mengganggu (orthostatik hipotensi)
Pemeriksaan tanda-tanda vital dilakukan tiap 4-8 jam.

2. Perut dan Fundus :


Sebelum pem.fundus dan perut klien di minta kencing dulu.
Bila pada pem. Uterus lembek lakukan masase dan bayi ditetekkan.

Retensi Urine Post Partum Page 7


3. Lokhea :
Periksa tiap 4-8 jam
Perhatikan : frekuensi penggantian duk dan kebiasaan klien.
Sifat pengeluaran lokhea (menetes, merember, memancar)
Warna lokhea (rubra, serosa, sanguilenta,alba).

4. Eliminasi :
Diaphoresis
Tanda infeksi kandung kemih,distensi blader
Buang air besar (obstipasi karena takut sakit).

5. Buah dada :
Bentuk, besar, merah
Putting susu--- baik, masuk, lecet, sakit, kebersihan,
BH--- penyokong buah dada
Laktasi hari ke 2-3 kolostrum meningkat.

6. Perineum
Posisi sim kearah jahitan sehingga perineum terlihat jelas.

7. Ekstrimitas bawah
Tromboplebitis dan tromboemboli
Edema, Tenderness, suhu kulit meningkat.

Psikososial :
Sikap, kemampuan, keterampilan memelihara diri, Tingkat kelelahan,
Kepuasan,Tugas mengasuh anak.

Rentinsio Urine
Bila dicurigai infeksi kandung kemih dilakukan pengambilan spesimen urin bersih
untuk pemeriksaan mikroskopik dan pemeriksaan kultur serta berat jenis urin.
Frekuensi urin, keinginan berkemih, urin warna keruh, nyeri pelvik dan konsentrasi
bakteri 10.000 atau lebih permililiter urine.
Periksa suhu : mengginggil dan panas tinggi, mual dan muntah.

Retensi Urine Post Partum Page 8


3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan eliminasi BAK; Retensio urin berhubungan dengan trauma perineum,dan
sal.kemih.
2. Ketidakefektifan proses laktasi berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
perawatan payudara.
3. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan retensi urin yang lama.

3.3 Intervensi Keperawatan


1. Perubahan eliminasi BAK; Retensio urin berhubungan dengan trauma perineum,dan
sal.kemih.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kep. selama 2 hari klien dapat kencing tanpa
menggunakan alat/kateter.
Kriteria Hasil :
S : Klien mengatakan sudah bisa kencing sendiri.
O : urine 2 cc/kg bb/menit,uspt +, urin residu <100 cc

INTERVENSI RASIONAL
Menjelaskan pada klien cara blader -Merangsang keinginan untuk kencing
training
Mengobservasi intake dan output -Menilai perkembangan miksi
Memasang kateter bila ada indikasi -Membantu mengeluarkan urin
Memberikan obat sesuai program terapi. -Membantu meperlancar sirkulasi dan
tangsangan saraf

2. Ketidakefektifan proses laktasi berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang


perawatan payudara.
Tujuan : Setelah diberikan penjelasan mengenai cara perawatan payudara Ibu dapat
merawat payudara sendiri.
Kriteria Hasil :
S : Ibu Mengatakan sudah bisa merawat payudara sendiri.
O : Ibu terlihat merawat payudaranya.
INTERVENSI RASIONAL
Mengajari dan menjelaskan pada ibu cara Agar Ibu mandiri dalam perawatan
perawatan payudara. payudara
Memperhatikan cara ibu merawat Menilai cara Ibu merawat payudaranya
payudaranya dengan benar.

3. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan retensi urin yang lama.

Retensi Urine Post Partum Page 9


Tujuan : Setelah diberikan tindakan kep. dan terapi Medis selama 3 hari resiko infeksi
tidak terjadi.
Kriteria Hasil : Suhu 36-37 c sakit perut bagian bawah tidak ada.

INTERVENSI RASIONAL
Kaji suhu tubuh Ibu Menilai tanda-tanda infeksi
Berikan kateterisasi dengan Membantu mengeluarkan urine
memperhatikan kesterilan
Berikan obat anti biotik sesuai program Membatasi perkembangbiakan bakteri
terapi penyebab infeksi SK/KK.

Retensi Urine Post Partum Page 10


BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Retensi urine post partum dapat terjadi pada pasien yang mengalami kelahiran normal
sebagai akibat dari peregangan atau trauma dari dasar kandung kemih dengan edema
trigonum. Faktor-faktor predisposisi lainnya dari retensio urine meliputi epidural anestesia,
pada gangguan sementara kontrol saraf kandung kemih ,dan trauma traktus genitalis,
khususnya pada hematoma yang besar, dan sectio cesaria.
Wanita dengan inkontinensia dan gejala gangguan kandung kemih yang lain
meningkatkan resiko terjadinya kesulitan berkemih dan dan retensi. Akibat dari retensi adalah
timbulnya infeksi traktus urinarius yang rekuren dengan kemungkinan gangguan pada traktus
urinarius bagian atas. Pendeteksian terhadap kondisi tersebut merupakan hal yang penting
dalam penanganan farmakologi dan pembedahan pada wanita dengan inkontinensia urine
yang cenderung menjadi eksaserbasi kesulitan berkemih dan retensi kronik.
Ketika kandung kemih menjadi sangat menggembung diperlukan kateterisasi selama
24-48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih
menemukan kembali tonus normal dan sensasi.
Bila kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu 4 jam.
Bila kandung kemih mengandung lebih dari 100 ml urine, drainase kandung kemih
dilanjutkan lagi.

4.2 Kritik dan Saran


Dengan terselesainya makalah ini, kami selaku penulis menyadari dalam penyusunan
makalah ini yang membahas tentang Retensi Urine Post Partum masih jauh dari
kesempurnaan baik dari segi tata cara penulisan dan bahasa yang dipergunakan maupun dari
segi penyajian materinya.
Untuk itu kritik dan saran dari pembimbing ataupun dosen yang terlibat dalam
penyusunan makalah ini yang bersifat kousteuktif dan bersifat komulatif sangat kami
harapkan supaya dalam penugasan makalah yang akan datang lebih baik dan lebih sempurna
lagi.

Retensi Urine Post Partum Page 11


Daftar Pustaka

file:///retensi-urine-post-partum.html

Marilynn E.Doenges et al, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC.

Taber, Ben-zion M.D.,1994, Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi, Jakarta :
EGC.

Persis Mary Hamilton, 1995, Dasar-dasar Kep Maternitas, Jakarta :

Retensi Urine Post Partum Page 12

Anda mungkin juga menyukai