Anda di halaman 1dari 5

Retensi urin pada wanita paling mungkin terjadi pada periode post partum atau setelah

pembedahan pelvis. Retensio urin adalah ketidak-mampuan berkemih selama 24 jam yang
membutuhkan pertolongan kateter, dimana keadaan tidak dapat mengeluarkan urin ini lebih
dari 25-50 % kapasitas kandung kemih.
Adapun etiologi dari terjadinya retensi urin adalah :
1. Trauma saat persalinan
Retensi urin terjadi akibat penekanan pada pleksus sakrum yang menyebabkan
terjadinya inhibisi impuls oleh bagian terendah janin saat memasuki rongga
panggul dan dapat dipengaruhi pula oleh posisi oksipito posterior kepala janin.
Kandung kemih penuh tetapi tingkat timbul keinginan untuk berkemih tidak ada.
Hal ini disertai den gan distensi yang menghambat saraf reseptor pada dinding
kandung kemih . Tekanan dari bagian terendah janin terjadi pada kandung kemih
dan uretra, terutama pada daerah pertemuan keduanya. Tekanan ini mencegah
keluarnya urin meskipun ada keinginan untuk berkemih.
2. Refleks kejang (cramp) sfingter uretra
Hal ini terjadi apabila pasien post partum tersebut merasa ketakutan akan
timbul perih dan sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi sewaktu berkemih.
Gangguan ini bersifat sementara.
3. Hipotonia selama masa kehamilan dan masa nifas
Tonus otot-otot (otot detrusor) detrusor vesika urinaria sejak hamil dan post
partum terjadi penurunan karena pengaruh hormonal progesteron dan efek
relaksan pada serabut-serabut otot polos menyebabkan terjadinya dilatasi,
pemanjangan dan penekukan ureter. Penumpukan urin terjadi dalam ureter bagian
bawah dan penurunan tonus kandung kemih dapat menimbulkan pengosongan
kandung kemih yang tidak tuntas dan meningkatkan terjadinya infeksi salurah
kemih.
4. Posisi tidur telentang pada masa intrapartum
Kebanyakan penelitian dilakukan selama kehamilan tua dengan subjek dalam
posisi telentang dapat menimbulkan perubahan hemodinamik sistemik yang
mencolok, yang menimbulkan perubahan pada beberapa aspek fungsi ginjal.
Misalnya aliran urin dan eksresi natrium sangat dipengaruhi oleh postur tubuh.

1
Kecepatan eksresi pada posisi telentang rata-rata kurang dari separuh
dibandingkan dengan posisi telentang.
Patofisiologi Retensi Urin
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan
bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan
dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase
pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi
bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin
dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor
yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan
proksimal uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan
otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf
parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen
kolinergik.
Patofisiologi dari retensi urin post partum sangat sedikit dimengerti. Pada
bulan ketiga kehamilan, otot destrusor kehilangan tonusnya dan kapasitas buli-buli
meningkat perlahan-lahan. Akibatnya wanita hamil biasanya merasa ingin berkemih
ketika buli-buli berisi 250-400 ml urin. Ketika wanita hamil berdiri, uterus yang
membesar menekan buli-buli. Tekanan menjadi dua kali lipat ketika usia kehamilan
memasuki usia 38 minggu. Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan
dilahirkan, memungkinkan terjadinya trauma intra partum pada uretra dan buli-buli
sehingga menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan,
menyebabkan buli-buli tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya buli-
buli menjadi hipotonik. Perubahan ini dapat berlangsung selama beberapa hari sampai
beberapa minggu.
Retensi urin saat persalinan terjadi bila tekanan pada pleksus sacrum
menyebabkan terjadinya inhibisi implus. Kandung kemih penuh, tetapi tidak timbul
keinginan untuk berkemih. Hal ini disertai dengan distensi yang menghambat saraf
reseptor pada dinding buli-buli. Tekanan pada bagian terendah janin terjadi pada buli-

2
buli dan uretra, terutama pada daerah pertemuan keduanya. Tekanan ini mencegah
keluarnya urin, meskipun ada keinginan untuk berkemih.
Pada keadaan post partum kapasitas kandung kemih meningkat, tonus otot
menurun dan kurang sensitif terhadap tekanan vesikel, serta cepatnya pengsian
kandung kemih karena penggunaan oksitosin yang mempunyai efek diuretik yang
menyebabkan peregangan kandung kemih yang berlebihan.

Edeme uretra dan trigonum disertai ekstravasasi darah di sub mukosa dinding
kandung kemih menyebabkan retensi urin. Hal ini disebabkan karena penekanan
kepala janin pada dasar panggul terutama kala II lama. Selain itu karena katerisasi
yang berulang dan kasar serta ISK dapat menyebabkan kontraksi otot detrusor tidak
adekuat.
Diagnosis Retensi Urin
Diagnosis retensi urin pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian
bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan neurologis,
jumlah urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan
kultur urin, serta pengukuran volume residu urin. Dikatakan normal jika volume
residu urine adalah kurang atau sama dengan 50 ml, sehingga jika volume residu urine
lebih dari 200 ml dapat dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urine. Namun
telah di sepakati bahwa volume residu urine normal adalah 25% dari total volume
vesika urinaria.
1. Penanganan Retensi Urin Post Partum
Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk mengembalikan
pola normal berkemih dengan menstimulasi pengeluaran urin. Ketika kandung kemih
menjadi sangat mengembang diperlukan kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam
kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan
memungkinkan kandung kemih menemukan kembali tonus otot normal dan sensasi.
Bila kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu 2-6
jam. Setelah berkemih secara spontan, kandung kemih harus dikateter kembali untuk
memastikan bahwa residu urin minimal. Bila kandung kemih mengandung lebih dari
200 ml residu urin , drainase kandung kemih dilanjutkan lagi. Residu urin setelah
berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml. Program latihan bladder

3
training meliputi : penyuluhan, upaya berkemih terjadwal, dan memberikan umpan
balik positif. Tujuan dari bladder training adalah melatih kandung kemih untuk
meningkatkan kemampuan mengontrol, mengendalikan, dan meningkatkan
kemampuan berkemih.
1. Secara umum, pertama kali diupayakan berbagai cara yang non invasif agar
pasien tersebut dapat berkemih spontan.
2. Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan jalan ke toilet untuk
berkemih spontan
3. Terapi medikamentosa
4. Diberikan uterotonika agar terjadi involusio uteri yang baik. Kontraksi uterus
diikuti dengan kontraksi kandung kemih.
5. Apabila semua upaya telah dikerjakan namun tidak berhasil untuk
mengosongkan kandung kemih yang penuh, maka perlu dilakukan kateterisasi
urin, jika perlu lakukan berulang.
Komplikasi
Karena terjadinya retensi urine yang berkepanjangan, maka kemampuan
elastisitas vesica urinaria menurun, dan terjadi peningkatan tekanan intra vesika yang
menyebabkan terjadinya reflux, sehingga penting untuk dilakukan pemeriksaan USG
pada ginjal dan ureter atau dapat juga dilakukan foto BNO-IVP.

4
Referensi
B Pribakti. 2006. Tinjauan Kasus Retensio Urin Post Partum du RSUD Ulin Banjarmasin
(2002-2003). Dexa Medica, vol 19, no. 1, hal. 10-13.

Ermiati, dkk. 2008. Efektivitas Bladder Training Terhadap Fungsi Eliminasi Buang Air Kecil
(BAK) pada Ibu Postpartum Spontan. Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia, vol. 32,
no. 4, hal. 206-211.

Junizaf. Santoso, Budi Iman. 2011. Buku ajar: Uroginekologi Indonesia. Jakarta: Himpunan
Uroginekologi FKUI. Hal 133-44

Anda mungkin juga menyukai