Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

RETENSIO URINE PASCA PERSALINAN

Oleh :
dr. Alhoi Lesley Davidson

Pembimbing:
dr. I. Made Wijana Sp.OG

Dokter Pendamping :
dr. Hanno Ryanda
dr. Robert Marpaung

PROGRAM INTERNSHIP ANGKATAN IV


RUMAH SAKIT BAKTI TIMAH
KARIMUN
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu:

sebagai tempat untuk menampung produksi urin dan sebagai fungsi ekskresi.

Selama kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan

fisiologi. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan

berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urin satu jam pertama

sampai beberapa hari post partum. Perubahan ini juga dapat memberikan gejala

dan kondisi patologis yang mungkin memberikan dampak pada perkembangan

fetus dan ibu.1

Retensi urin merupakan masalah yang perlu diperhatikan pada masa

intrapartum maupun post partum. Pada masa intrapartum, Sebanyak 16-17 %

kasus retensio plasenta diakibatkan oleh kandung kemih yang distensi akibat

retensi urin.2

Sedangkan insiden terjadinya retensi urin pada periode post partum,

menurut hasil penelitian Saultz et al berkisar 1,7% sampai 17,9%. Penelitian

yang dilakukan oleh Yip et al menemukan insidensi retensi urin post partum

sebesar 4,9

% dengan volume residu urin 150 cc sebagai volume normal paska berkemih

spontan. Penelitian lain oleh Andolf et al menunjukkan insidensi retensi urin

post partum sebanyak 1,5%, dan hasil penelitian dari Kavin G et al sebesar

0,7%.3,4,5,6

Penelitian oleh Pribadi dkk secara restropektif di bagian Obstetri dan

Ginekologi RSUD Ulin Banjarmasin selama tahun 2002-2003 didapatkan

angka kejadian retensi urin post partum sebesar 0,38% dari sebanyak 1.891
persalinan spontan dan 222 persalinan dengan vakum ekstraksi. Dimana, usia

penderita terbanyak adalah kelompok usia 26-30 tahun (36,3%) dan paritas

terbanyak adalah paritas 1 (54,5%).2

Retensio urin post partum paling sering terjadi setelah terjadi persalinan

pervaginam. Penelitian oleh Yustini dkk di FKUI – RS. Cipto Mangunkusumo

tahun 2009 menunjukkan angka kejadian disfungsi kandung kemih post partum

sebanyak 9-14 % dan setelah persalinan menggunakan assisted labor (ekstraksi

forsep), meningkat menjadi 38 %.7

Berikut ini akan diberikan suatu laporan kasus P1A0 Post Partum Spontan

Belakang Kepala dengan Retensi Urin. Akan dibahas mengenai penyakit, gejala

klinis, pemeriksaan diagnosis, dan tatalaksana yang telah diberikan dan akan

dibandingkan dengan teori yang sudah ada.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Retensio urin postpartum merupakan tidak adanya proses berkemih

spontan setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan

dengan urin sisa kurang dari 150 ml. Menurut Stanton, retensio urin adalah

tidak bisa berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter,

dimana tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung

kemih.8 Literatur lain menyabutkan juga batas waktu kejadian retensio urin

adalah 6-10 jam postpartum.9

2.2 Etiologi dan Klasifikasi

a. Retensi urin akut.10,11

Merupakan retensi urine yang berlangsung ≤ 24 jam post partum.

Retensi urine akut lebih banyak terjadi akibat kerusakan yang permanen

khususnya gangguan pada otot detrusor berupa kontraksi dari otot

detrusor kurang atau tidak adekuat dalam fase pengosongan kandung

kemih. Adanya obstruksi pada uretra, karena overaktivitas otot uretra atau

karena oklusi mekanik. Kerusakan juga bisa pada ganglion parasimpatis

dinding kandung kemih. Pasien post operasi dan post partum merupakan

penyebab terbanyak retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari

trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan

atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau

trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau

abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung


kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya

membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang

adekuat. Retensio urine biasanya disebabkan oleh trauma kandung kemih.

Nyeri atau interfensi sementara pada persyarafan kandung kemih, nyeri

sering mengecilkan usaha volunter yang diperlukan untuk memulai

urinasi/ miksi. uretra,dinding kandung kemih kurang sensitif. Pada

keadaan ini, kandung kemih sangat mengembang ketika keinginan dan

kemampuan untuk berkemih sangat rendah. Walaupun sejumlah kecil

urine dapat dikeluarkan,kandung kemih banyak mengandung urine

residu.

1) Retensio urin pasca persalinan pervaginam

Trauma intrapartum menyebabkan udem dan hematom jaringan, selain

itu penekanan yang lama bagian terendah janin terhadap periuretra

menyebabkan gangguan kontraksi otot detrussor, sehingga terjadi

ekstravasasi ke otot kandung kemih Nyeri karena laserasi atau

episiotomi juga menyebabkan hambatan terhadap kontraksi detrusor .

2) Retensio urin pasca seksio sesaria :

 Seksio sesaria dengan riwayat partus lama menyebabkan udem dan

hematom jaringan periuretra

 Nyeri luka insisi pada dinding perut menyebabkan pasien enggan

mengkontraksikan otot dinding perut guna memulai pengeluaran urin

 Manipulasi kandung kemih selama seksio sesarea menyebabkan

spastik sfingter uretra


 Anestesi

b. Retensi urin kronik

Merupakan retensi urin yang berlangsung > 24 jam post partum.

Pada kasus retensi urine kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan

tekanan intravesical yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus

urinarius bagian atas dan penurunan fungsi ginjal.

Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu:10,11

a. Retensi urin covert (volume residu urin>150 ml pada hari pertama post

partum tanpa gejala klinis)

Retensi urin post partum yang tidak terdeteksi (covert) oleh

pemeriksa. Bentuk yang retensi urin covert dapat diidentifikasikan

sebagai peningkatkan residu setelah berkemih spontan yang dapat dinilai

dengan bantuan USG atau drainase kandung kemih dengan kateterisasi.

Wanita dengan volume residu setelah buang air kecil ≥ 150 ml dan tidak

terdapat gejala klinis retensi urin, termasuk pada kategori ini.

b. Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala klinis)

Retensi urin post partum yang tampak secara klinis (overt) adalah

ketidakmampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan.

Insidensi retensi urin postpartum tergantung dari terminologi yang

digunakan. Penggunaan terminologi tidak dapat berkemih spontan dalam

6 jam setelah persalinan, telah dilakukan penelitian analisis retrospektif

yang menunjukkan insidensi retensi urin jenis yang tampak (overt) secara

klinis dibawah 0,14%. Sementara itu, untuk kedua jenis retensi urin,

tercatat secara keseluruhan angka insidensinya mencapai 0,7%.


2.3 Patofisiologis

Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada saluran kemih,

sebagian disebabkan oleh efek hormon progesteron yang menurunkan tonus

otot detrusor. Pada bulan ketiga kehamilan, otot detrusor kehilangan tonusnya

dan kapasitas vesika urinaria meningkat perlahan-lahan. Akibatnya, wanita

hamil biasanya merasa ingin berkemih ketika vesika urinaria berisi 250-400 ml

urin. Ketika wanita hamil berdiri, uterus yang membesar menekan vesika

urinaria. Tekanan menjadi dua kali lipat ketika usia kehamilan memasuki 38

minggu. Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan dilahirkan,

memungkinkan terjadinya trauma intrapartum pada uretra dan vesika urinaria

dan menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan,

menyebabkan vesika urinaria tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus.

Akibatnya vesika urinaria menjadi hipotonik dan cenderung berlangsung

beberapa lama.13,14

Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat dissinergis dari otot

detrusor dan sfingter uretra. Terjadinya relaksasi sfingter uretra yang tidak

sempurna menyebabkan nyeri dan edema. Sehingga ibu post partum tidak dapat

mengosongkan kandung kemihnya dengan baik.3,4

2.4 Faktor Risiko11,13

1. Riwayat kesulitan berkemih

2. Primipara

3. Pasca anestesi blok epidural, spinal, atau pudenda

4. Persalinan yang lama dan/ atau distosia bahu

5. Kala II lama

6. Trauma perineal yang berat seperti sobekan para uretral, klitoris, episiotomy yang
besar, rupture grade 2 atau grade 3, oedem yang signifikan

7. Kateterisasi selama atau setelah kelahiran

8. Perubahan sensasi setelah berkemih

9. Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap

2.5 Gejala Klinis dan Diagnosis3,11

Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya:

 Kesulitan buang air kecil

 Pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus;

 Keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik

saat berkemih

 Rasa tidak puas setelah berkemih

 Kandung kemih terasa penuh ( distensi abdomen)

 Kencing menetes setelah berkemih

 Sering berkemih dengan volume yang kecil

 Nokturia lebih dari 2-3 kali yang tidak berhubungan dengan pemberian ASI

 Keterlambatan berkemih lebih dari 6 jam setelah persalinan

 Kesulitan dalam memulai berkemih setelah persalinan

 Letak fundus uteri tinggi atau tidak berpindah dengan kandung kenih

yang teraba ( terdeteksi melalui perkusi) dan kemungkinan sakit perut

bagian bawah.

Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis,

pemeriksaan neurologik, jumlah urine yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam,

pemeriksaan urinalisis dan kultur urine, pengukuran volume residu urine,

sangat dibutuhkan.
Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat digunakan

uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan voiding

cystourethrography.1

Dikatakan normal jika volume residu urine adalah kurang atau sama dengan

50ml, sehingga jika volume residu urine lebih dari 200ml dapat dikatakan

abnormal dan biasa disebut retensi urine. Namun volume residu urine antara

50-200ml menjadi pertanyaan, sehingga telah disepakati bahwa volume residu

urinenormal adalah 25% dari total volume vesika urinaria.1,8

2.6 Penatalaksanaan

A. Bladder Training

Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk

mengembalikan pola normal berkemih dengan menstimulasi pengeluaran

urin. Dengan bladder training diharapkan fungsi eliminasi berkemih

spontan pada ibu post partum spontan dapat terjadi dalam 2 - 6 jam post

partum.1

Ketika kandung kemih menjadi sangat mengembang diperlukan

kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48

jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan

kandung kemih menemukan kembali tonus otot normal dan sensasi. Bila

kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu

2-6 jam. Setelah berkemih secara spontan, kandung kemih harus dikateter

kembali untuk memastikan bahwa residu urin minimal. Bila kandung

kemih mengandung lebih dari 150 ml residu urin , drainase kandung

kemih.
dilanjutkan lagi. Residu urin setelah berkemih normalnya kurang atau

sama dengan 50 ml.1

Program latihan bladder training meliputi : penyuluhan, upaya

berkemih terjadwal, dan memberikan umpan balik positif. Tujuan dari

bladder training adalah melatih kandung kemih untuk meningkatkan

kemampuan mengontrol, mengendalikan, dan meningkatkan kemampuan

berkemih.7

a. Secara umum, pertama kali diupayakan berbagai cara yang non

invasif agar pasien tersebut dapat berkemih spontan.

b. Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan jalan ke toilet

untuk berkemih spontan

c. Terapi medikamentosa diberikan uterotonika agar terjadi involusio

uteri yang baik. Kontraksi uterus diikuti dengan kontraksi kandung

kemih.

d. Apabila semua upaya telah dikerjakan namun tidak berhasil

untuk mengosongkan kandung kemih yang penuh, maka perlu

dilakukan kateterisasi urin, jika perlu lakukan berulang.

B. Hidroterapi

Hidroterapi merupakan terapi alternatif yang sudah lama dikenal

dan dilakukan secara luas pada bidang naturopathy akhir-akhir ini.

Sejumlah penelitian dilakukan untuk mengetahui manfaat dari

hidroterapi. Dari beberapa literatur, diketahui manfaat dari hidroterapi

adalah untuk memperbaiki sirkulasi darah sehingga dapat memperbaiki

fungsi jaringan dan organ. Hidroterapi banyak digunakan sebagai terapi


alternatif untuk pemulihan, salah satunya dapat mencegah terjadinya

retensi urin pada masa post partum dengan pertimbangan non invasif,

mudah dilakukan, murah, efek samping minimal dan dapat dikerjakan

sendiri.15

a. Rasionalisasi hidroterapi dengan air hangat

Hidroterapi dengan air hangat dengan suhu 106-110°F (41-

43°C). Batas suhu tersebut dianggap fisiologis untuk hidroterapi

dan telah diuji melalui beberapa penelitian dengan risiko

terjadinya heatstroke yang minimal. Terapi air hangat pada kulit,

khususnya pada organ urogenitalia eksterna menimbulkan sensasi

suhu pada nerve ending (ujung saraf) pada permukaan kulit.

Sensasi ini mengaktivasi transmisi dopaminergik dalam jalur

mesolimbik sistem saraf pusat.15

Terapi air hangat memberikan efek “crowding process”

(proses pengacauan) pada sistem saraf karena mengakibatkan rasa

nyeri terhambat oleh sensasi suhu yang diterima oleh nerve ending

yang bertanggung jawab terhadap sensasi suhu (nerve endings

Ruffini dan Krause). sehingga memberikan efek penekanan atau

pengurangan rasa nyeri.16

Selain itu, manfaat paparan lokal air hangat dapat

mengakibatkan peningkatan kadar beta endorphin dalam darah.

Beta endorfin diketahui sebagai anti nyeri endogen yang dapat

menimbulkan perasaan relaksasi.


b. Rasionalisasi hidroterapi dengan air dingin

Hidroterapi dengan air dingin pada suhu 55 - 75°F (12 -

24°C) bermanfaat pada penyembuhan luka perineum. Hidroterapi

dengan air dingin mengakibatkan penurunan metabolisme sel dan

pengurangan penggunaan oksigen di sekitar jaringan yang tidak

luka. Beberapa penelitian juga telah menunjukkan terapi air dingin

menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan sirkulasi vena.

Dengan terjadinya vasokonstriksi vena, maka membantu proses

drainase pada jaringan edema oleh pembuluh limfe. Dengan

terjadinya vasokonstriksi pada jaringan edema, cairan intersellular

yang tertahan akan mengalir secara perlahan melalui jaringan ikat

di antara serabut otot ke dalam saluran limfe. Selain itu, proses

drainase ini juga difasilitasi oleh pompa yang terjadi akibat

kontaksi dan relaksasi otot.17

Karena itu, hidroterapi dengan air dingin pada ibu post

partum spontan yang mengalami laserasi perineum dapat menjadi

salah satu manajemen luka perineum untuk penanganan edema

perineum selain penanganan higienis perineum dan kuratif dengan

medisinal. Dari satu penelitian dilaporkan insidensi penyembuhan

luka laserasi perineum dengan hidroterapi sebesar 84 % pada

sepuluh hari periode post partum. Penyembuhan lambat sebesar

4,3 %, kejadian Infeksi perineum 1,2 % dan penyembuhan tidak

sempurna sebesar 4,8 %.


Sedangkan kejadian edema perineum ringan akan sembuh pada 3 – 4

hari post partum.16

Bagan penatalaksanaan dari Retensio Urin dengan Bladder training.7


BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas

Nama : Ny. Marisa

Umur : 27 tahun

Agama : Islam

Suku : Tionghua

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Sei Pasir

MRS tanggal : 4 April 2019 ( Jam 12.15)

II. Anamnesa

Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa tanggal 4-4-2019

1. Keluhan utama :

Keluar lendir darah

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien hamil G1P0A0 dengan taksiran persalinan 12 April 2019, datang

ke RSBT dengan keluhan keluar cairan lendir bercampur darah dari

kemaluan jam 10 tadi pagi. Keluhan disertai dengan perut mules yang

makin lama dirasakan makin berat. Riwayat kontrol di terakhir di

dokter kebidanan tanggal 18 Maret 2019 dengan perkiraan usia

kehamilan 36-37 minggu dan janin dalam kondisi sehat dan tidak ada

kelainan pada rahim dan cairan ketuban cukup. Riwayat berhubungan

suami istri tidak ada, riwayat keluar darah saat kehamilan tidak ada,

riwayat pemakaian kontrasepsi tidak ada


3. Riwayat Penyakit Dahulu

Os mengaku tidak pernah menderita darah tinggi, asma maupun kencing manis.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang lain yang menderita

tekanan darah tinggi, kencing manis maupun asma.

5. Riwayat Haid

Menarche umur 11 tahun, siklus haid tidak teratur, antara 28-35 hari, lama 5-7

hari, tidak ada keluhan selama haid.

HPHT : 5 Juli 2018

Umur kehamilan : Hamil 36-37 minggu

Taksiran Partus : 12-04-2019

7. Riwayat Perkawinan:

Pasien menikah 1 kali dan sudah 2 tahun lamanya.

8. Riwayat Kontrasepsi

Pasien tidak ada menggunakan kontrasepsi jenis apapun

9. Riwayat Obstetri:

Hamil pertama dan anak pertama

Pemeriksaan

A. Pemeriksaan Fisik Umum

1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

2. Kesadaran : Kompos mentis, GCS: 4-5-6


3. Tanda Vital

Tensi :120/80 mmHg

Nadi : 119 x/menit

Suhu : 36.8 oC

Pernapasan : 22 x/menit

BB : 59 kg TB: 153 cm

4. Kepala dan leher

Kepala : Bentuk normal

Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, palpebrae tidak

edem, pupil isokor, refleks cahaya +/+.

Telinga : Bentuk normal, tidak ada cairan yang keluar dari telinga, tidak

ada ganguan pendengaran.

Hidung : Bentuk normal, tidak tampak defiasi septum, tidak ada sekret,

tidak ada epistaksis, tidak ada pernapasan cuping hidung.

Mulut : Bibir dan mukosa tidak anemis, perdarahan gusi tidak ada, tidak

ada trismus, tidak ada pembesaran atau radang pada tonsil, lidah

tidak ada kelainan, tidak ada gigi palsu.

Leher : Tidak ada kaku kuduk, tidak tampak pembesaran kelenjar getah

bening dan tiroid, tidak ada pembesaran JVP.

5. Thoraks Paru

Inspeksi : bentuk normal, gerakan cepat dan simetris


Palpasi : fremitus raba +/+ simetris, tidak ada nyeri tekan.

Perkusi : sonor +/+, tidak ada nyeri ketuk.

Auskultasi : Vesikuler, tidak ada ronkhi atau wheezing.

Jantung

Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, bising jantung tidak ada.

6. Abdomen : Status Obstetri

7. Ekstremitas atas dan bawah :

Atas : Edema (-), gerak normal, nyeri gerak (-).

Bawah : Edema (-), gerak normal, nyeri gerak (-).

B. Pemeriksaan Obstetri :

1. Inspeksi : Perut tampak membuncit simetris


2. Palpasi : Leopold I : fundus uteri teraba 3 jari di bawah processus xyphoideus
(TFU = 33 cm)

Leopold II : punggung kiri

Leopold III : presentasi kepala

Leopold IV : sudah masuk PAP (4/5)

His : 3 kali dalam 10 menit lamanya 40 detik

TBJ : 3000 gram

3. Auskultasi : DJJ 159 x/menit.

4. Pemeriksaan Dalam :

Vaginal Touche : portio teraba lunak konsistensi kenyal, arah mendatar, ketuban

(+), pembukaan 2 cm, bagian terbawah kepala, penurunan

di Hodge I, penunjuk UUK

Kesan Panggul : luas


C. Pemeriksaan Penunjang

HEMATOLOGI
No Pemeriksaan Hasil Satuan Normal
1 Hemoglobin 12.1 g/dl 12.5 - 14.5
2 Leukosit 12.000 /mm3 5.000 - 11.000
3 Laju Endap Darah - mm/jam 0 - 20
4 Trombosit 397.000 /mm3 150000 – 450000
5 Hematocrit 39,4 % 30.5 - 45.0
6 Eritrosit 5,7 10^6/mm3 3.50 - 5.50
7 MCV 69,6 fL 75.0 - 95.0
8 MCH 21,3 pg 27.0 - 31.0
9 MCHC 30.7 g/dl 33.0 - 37.0
10 RDW 17 % 11.50 - 14.50
11 PDW 43,6 fL 12.0 - 53.0
12 BT 4 Detik 1’- 6’
13 CT 4 Detik 2’- 6’
14 Golongan darah A
15 Hitung Eosinofil % 1–3
Jenis Basofil 8,7 % 0-1
Lekosit Monosit % 2–8
Neutrofil 78,6 % 50 – 70
Limfosit 12,7 % 20-40
LUC - % 0–4
 Pemeriksaan Glukosa dan Infeksi
GLUKOSA DAN INFEKSI
No Pemeriksaan Hasil Satuan Normal
1 HbsAg Non reaktive - Non reaktive
2 B20 Non reaktive - Non reactive
3 GDS 125 mg/dl 110-150

IV. Diagnosa

G1P0A0, Hamil aterm inpartu kala I fase laten

JTHIU preskep

V. Penatalaksanaan
Observasi kemajuan persalinan, tanda vital di VK,
Pantau HIS dan DJJ pasang CTG

VI. Laporan Partus

 Pembukaan lengkap, Episiotomi mediolaeral, kepala di depan vulva, ibu

dipimpin mengedan saat his. Tangan kiri menahan kepala, kepala dilahirkan

spontan, terjadi paksi luar, tangan memegang kepala biparietal. Dilakukan


penarikan ke arah anterior, hingga bahu belakang lahir, kemudian dilakukan

penarikan sejajar lantai, berturut-turut lahir badan, bokong, kedua kaki, air

ketuban berwarna kehijauan.

 Lahir bayi perempuan, BB 3080 gr, PB 48 cm, As 8/9, Lk 32,5 cm, lilitan tali

pusat (+) anus (+), kelainan kongenital (-). Tanggal 5-4-19, pukul 01.05.

 Dilakukan klem 2 posisi pada tali pusat, tali pusat dipotong, dilakukan

penyuntikan oksitosin 10 iu (im) pada regio femur lateral.

 Setelah 5 menit, Dilahirkan plasenta kesan selaput tertinggal, dilakukan manual

plasenta, selaput rapuh, pemberian gastrul 800 mcg per rectal. Kontraksi rahim 60”

 Hecting luka episiotomi dan vaginal toilet

 Observasi perdarahan sekitar 100 cc

Follow up post partum Tanggal 5 April 2019 jam 02.00 WIB

S : Perdarahan post partum (<), nyeri post partum

(+) O: Tanda vital

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Nadi : 80x/menit

Respirasi : 20x/menit

Suhu : 36,60C

TFU : 2 jari diatas pusat

Kontraksi : Baik

Fluksus : (+) tidak aktif

A: P1A0 post partum

P : Po. Cefat 2x500 mg, B-com C 1x1,Osteolox 2x7,5

Diet TKTP, ASI, Mobilisasi


Follow up masuk ruangan
Tanggal
Follow up 5/4/2019 6/4/2019 7/4/2019
Pkl. 06.00 Pkl. 06.00 Pkl. 06.00
Perdarahan (<), Nyeri Perdarahan (<), Nyeri Perdarahan (<), Nyeri
(<), rasa tidak nyaman (<), rasa ingin kencing (<), rasa ingin kencing
S
di perut bawah (+), (+), BAB (-) (+), BAB (-)
susah kencing (+)
TD
120/70 120/70 120/80
(mmHg)
N
96 84 88
(kali/menit)
RR
O (kali/menit) 16 16 20
T
36,5 36,7 36,7
(0C)
TFU : setinggi pusat TFU : 2 jari ↓pusat TFU : 3 jari ↓pusat
Kontraksi baik Kontraksi baik Kontraksi baik
P1A0 post partum P1A0 post partum P1A0 post partum
A (H1) + retensio urin (H2) + retensio urin (H3)+retensio
urin

Po. Po. Po.


Cefat 2x500 Cefat 2x500 Cefat 2x500
Osteolox 3x7,5 Osteolox 3x7,5 Osteolox 3x7,5
B-com C 1x1 B-com C 1x1 Neurosanbe 1x1
ASI, mobilisasi ASI, mobilisasi ASI, mobilisasi
Bladder training, jika Dilakukan Bladder training
P residu urin <500ml pemeriksaan residu rawat Jalan
maka buka tutup urin = 400ml.
intermiten per 4 jam. Bladder training
Jika residu 500- buka tutup per 4 jam
1000ml atau
>1000ml, kateterisasi
menetap “loss”
selama 3x24 jam.

Pasien dirawat selama 3 hari, keadaan umum pasien mulai membaik,

penatalaksanaan untuk retensio urin belum tuntas, keluhan nyeri dan perdarahan sudah

tidak ada dan sudah bisa makan. Pasien pulang dengan kateter terpasang dan kontrol

kembali 3 hari kemudian untuk pembukaan kateter urine


BAB IV

DISKUSI

Pada kasus ini pasien datang dengan G1P0A0, Hamil 36-37 minggu inpartu kala I

fase laten. Dimana dari hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien datang jam 12.15

dengan keluhan keluar lendir darah. Pasien juga mengeluhkan ada keluar lendir darah

sejak 2 jam SMRS. Pasien juga mengeluhkan kencang-kencang sejak 2 jam SMRS dan

makin lama makin kuat. Keluar air-air tidak ada. ANC di dr.Sp.OG dan dikatakan

kehamilan baik- baik saja.

Pada pemeriksaan status obstetri didapatkan perut tampak membuncit simetris.

Pada palpasi Leopold I : fundus uteri teraba 3 jari di bawah processus xyphoideus

(TFU = 33 cm), Leopold II : punggung kiri, Leopold III : presentasi kepala, dan

Leopold IV : sudah masuk PAP (3/5). His didapatkan 3 kali dalam 10 menit lamanya 40

detik. Pada Vaginal Touche didapatkan portio teraba lunak konsistensi kenyal, arah

mendatar, ketuban (+), pembukaan 2 cm, bagian terbawah UUK di Hodge I, serta kesan

panggul luas.

Pada pukul 01.05 lahir bayi perempuan dengan berat badan 3080 gr, panjang

badan 48 cm, Skor Apgar 8/9, skor Ballad 36-37mgg, anus (+), kelainan kongenital (-).

Kondisi pasien dan bayi stabil.

Tetapi pada hari perawatan ke 1, tanggal 5/4/2019, pasien belum ada kencing

selama10 jam setelah melahirkan, maka diagnosis berubah menjadi P01A1, post partum

Spontan belakang kepala dengan Retensio Urin.

Menurut Junizaf dalam Penanganan Retensi Urin Pasca Persalinan yang

dimaksud Retensio urin postpartum merupakan tidak adanya proses berkemih spontan

setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan dengan urin sisa

kurang dari 150 ml atau menurut Stanton, retensio urin adalah tidak bisa berkemih
selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana tidak dapat

mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih.8

Retensi Urin akut merupakan retensi urine yang berlangsung ≤ 24 jam post

partum. Retensi urin akut lebih banyak terjadi akibat kerusakan yang permanen

khususnya gangguan pada otot detrusor berupa kontraksi dari otot detrusor kurang atau

tidak adekuat dalam fase pengosongan kandung kemih. Adanya obstruksi pada uretra,

karena overaktivitas otot uretra atau karena oklusi mekanik. Kerusakan juga bisa pada

ganglion parasimpatis dinding kandung kemih. Pasien post operasi dan post partum

merupakan penyebab terbanyak retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari

trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri,

epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma

pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang

mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi

biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.

Retensio urine biasanya disebabkan oleh trauma kandung kemih. Nyeri atau interfensi

sementara pada persyarafan kandung kemih, nyeri sering mengecilkan usaha volunter

yang diperlukan untuk memulai urinasi/ miksi. uretra,dinding kandung kemih kurang

sensitif. Pada keadaan ini, kandung kemih sangat mengembang ketika keinginan dan

kemampuan untuk berkemih sangat rendah. Walaupun sejumlah kecil urine dapat

dikeluarkan,kandung kemih banyak mengandung urine residu.

3) Retensio urin pasca persalinan pervaginam

Trauma intrapartum menyebabkan edema dan hematom jaringan, selain itu penekanan

yang lama bagian terendah janin terhadap periuretra menyebabkan gangguan kontraksi

otot detrussor, sehingga terjadi ekstravasasi ke otot kandung kemih. Nyeri karena

laserasi atau episiotomi juga menyebabkan hambatan terhadap kontraksi detrusor .


4) Retensio urin pasca seksio sesaria :

 Seksio sesaria dengan riwayat partus lama menyebabkan udem dan hematom

jaringan periuretra

 Nyeri luka insisi pada dinding perut menyebabkan pasien enggan

mengkontraksikan otot dinding perut guna memulai pengeluaran urin

 Manipulasi kandung kemih selama seksio sesarea menyebabkan spastik sfingter

uretra

 Anestesi

Retensi urin kronik merupakan retensi urin yang berlangsung > 24 jam post partum.

Pada kasus retensi urine kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan

intravesical yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan

penurunan fungsi ginjal.10,11

Sedangkan pembagian yang lain, retensi urin post partum dibagi atas dua, retensi

urin post partum yang tidak terdeteksi (covert) oleh pemeriksa. Bentuk yang retensi urin

covert dapat diidentifikasikan sebagai peningkatkan residu setelah berkemih spontan

yang dapat dinilai dengan bantuan USG atau drainase kandung kemih dengan

kateterisasi. Wanita dengan volume residu setelah buang air kecil ≥ 150 ml dan tidak

terdapat gejala klinis retensi urin, termasuk pada kategori ini.12

Retensi urin post partum yang tampak secara klinis (overt) adalah

ketidakmampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan. Insidensi retensi

urin postpartum tergantung dari terminologi yang digunakan. Penggunaan terminologi

tidak dapat berkemih spontan dalam 6 jam setelah persalinan.12

Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya

adalah kesulitan buang air kecil, pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus- putus,

keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih,
rasa tidak puas setelah berkemih, kandung kemih terasa penuh ( distensi abdomen),

kencing menetes setelah berkemih, sering berkemih dengan volume yang kecil, nokturia

lebih dari 2-3 kali yang tidak berhubungan dengan pemberian ASI, keterlambatan

berkemih lebih dari 6 jam setelah persalinan, kesulitan dalam memulai berkemih setelah

persalinan, letak fundus uteri tinggi atau tidak berpindah dengan kandung kenih yang

teraba ( terdeteksi melalui perkusi) dan kemungkinan sakit perut bagian bawah.3,11

Pada kasus, dapatkan retensi urin setelah 10 jam post partum, maka dimasukkan

dalam retensi urin akut. Sedangkan Menirut pembagian yang lainnya, kasus ini

dimasukkan kedalam retensi urin overt dikarenakan pada kasus pasien mengeluh tidak

bisa kencing dan mengeluhkan rasa tidak nyaman di daerah perut bawah.

Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada saluran kemih, sebagian

disebabkan oleh efek hormon progesteron yang menurunkan tonus otot detrusor. Pada

bulan ketiga kehamilan, otot detrusor kehilangan tonusnya dan kapasitas vesika urinaria

meningkat perlahan-lahan. Akibatnya, wanita hamil biasanya merasa ingin berkemih

ketika vesika urinaria berisi 250-400 ml urin. Ketika wanita hamil berdiri, uterus yang

membesar menekan vesika urinaria. Tekanan menjadi dua kali lipat ketika usia

kehamilan memasuki 38 minggu. Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan

dilahirkan, memungkinkan terjadinya trauma intrapartum pada uretra dan vesika

urinaria dan menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan,

menyebabkan vesika urinaria tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya

vesika urinaria menjadi hipotonik dan cenderung berlangsung beberapa lama.13,14

Faktor risiko retesio urin antra lain adalah riwayat kesulitan berkemih, primipara,

pasca anestesi blok epidural, spinal, atau pudenda, persalinan yang lama dan/ atau

distosia bahu, kala II lama, trauma perineal yang berat seperti sobekan para uretral,

klitoris, episiotomy yang besar, rupture grade 2 atau grade 3, oedem yang signifikan,
kateterisasi selama atau setelah kelahiran, perubahan sensasi setelah berkemih,

pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap.11,13

Pada kasus ini faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya retensi urin adalah

primipara atau persalinan pertama. Kemudian pada pasien dilakukan pemeriksaan

residu urin dengan cara pasien diperintahkan untuk minum banyak lalu berkemih

sampai pasien merasa kandung kemihnya sudah tidak ada keinginan berkemih, setelah

itu dilakukan pemasangan kateter dengan maksud mengukur residu urin yang masih

tersisa didalam kandung kemih pasien. Pada keadaan normal, residu urin atau urin yang

keluar setelah kateterisasi pertama harus ≤ 50- 150 ml, dan pasien tidak mengalami

retensi urin. Tetapi pada kasus didapatkan residu urin 400 ml. Penatalaksanaan yang

dilakukan setelah itu adalah pemasangan kateter selama 24 jam dengan pola intermiten

yaitu selang kateter dijepit atau diikat lalu di buka jepit atau ikatan tersebut per 4 jam

atau jika pasien ada perasaan ingin berkemih, cara ini disebut bladder training.

Secara teori ketika kandung kemih menjadi sangat mengembang diperlukan

kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk

menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan

kembali tonus otot normal dan sensasi. Bila kateter dilepas, pasien harus dapat

berkemih secara spontan dalam waktu 2-6 jam. Setelah berkemih secara spontan,

kandung kemih harus dikateter kembali untuk memastikan bahwa residu urin minimal.

Bila kandung kemih mengandung lebih dari 150 ml residu urin , drainase kandung

kemih dilanjutkan lagi. Residu urin setelah berkemih normalnya kurang atau sama

dengan 50 ml.
Bagan penatalaksanaan dari Retensio Urin dengan Bladder training.7

RETENSIO URIN

Kateterisasi
Urinalisis, Kultur Urin
Antibiotika, banyak minum (3 liter/24
jam), prostaglandin

Urin < 500 ml Urin 500-1000 ml Urin 1000-2000 ml Urin > 2000 ml

Dauer Kateter Dauer Kateter Dauer Kateter


Intermiten 3 x 24 jam
1 x 24 jam 2 x 24 jam

Buka - tutup kateter per 4 jam


Selama 24 jam (Kecuali pasien sudah BAK
dapat dibuka)

Kateter di lepas pada pagi hari

Tidak dapat BAK


Dapat BAK spontan
spontan

Urin residu > 200 ml (obstetric) Urin residu < 200 ml (obstetric)
Urin residu > 100 ml (ginekologi) Urin residu < 100 ml (ginekologi)

Pulang

Keterangan : Intermiten adalah


kateterisasi selama 4 jam selama 24 jam
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan kasus pasien wanita 26 tahun dengan P1A0 post partum

spontan belakang kepala dengan retensio urin. Retensio urine yang terjadi adalah

retensio urine akut, karena terjadi dibawah 24 jam yaitu 8 jam setelah persalinan dengan

resudi sekitar 1000 cc. Pasien dilakukan pemasangan dauer kateter dan disarankan

untuk melakukan bladder training dengan membuka klem kateter setiap 4 jam untuk

mengembalikan tonus otot bladder. Pasien dirawat sekitar 3 hari dan dipulangkan

dengan kateter terpasang dan disarankan kontrol 3 hari lagi.


DAFTAR PUSTAKA

1. Pribakti B. Tinjauan kasus Retensi urin postpartum di RS.Unlam/RS.Ulin


Banjarmasin 2002-2003. Dexa Medica, 2006.
2. Andi. Retensio Urin Post Partum. Dalam : Jurnal kedokteran Indonesia,
Vol. 20, Februari 2008.
3. Saultz JW, Toffler WL, Shackles JY. Postpartum urinary retention,
Department of Family Medicine, Oregon Health Sciences University,
Portland, 2001.
4. Andolf E, Losif CS, Jorgenense M, et al. Insidious urinary retention after
vaginal delivery, prevalence and symptoms at follow up in population
based study. Gynecol Obstet Invest 1995; 38:51-3.
5. Kavin G, Jonna B, et al. Incidence and treatment of urinary retention
postpartum. Int Urogynecol Journal 2003; 14:119-21.
6. Yip S, Bringer G, Hin L, et al. Urinary retention in the post partum period. Acta
Obstet Gynecol Scand 1997:667-72.
7. Yustini,E, dkk. Efektivitas Bladder training terhadap BAK spontan post
partum. Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia. Vol.32:4. Oktober 2008.
8. Junizaf. Penanganan Retensi Urin Pasca Persalinan, Uroginekologi 1 Sub
bagian Uroginekologi Rekonstruksi Bagian Obstetri Ginecologi FKUI
Jakarta, 2002.
9. Donna, Fiderkow.M, H.P. Drutz, T.C. Mainprize. 1990. Characteristic of
Patients with Postpartum Urinary. The International Urogynecology
Journal. 1: 136-138.
10. Magowan BA. Owen P, Drife J. Urinary Incontinence in Clinical
Obstetrics & Gynaecology. Elsevier, London, 2004 : 175 – 81.
11. Santoso BI, Mengatasi Komplikasi Pasca Operasi Berupa Gangguan
Miksi (Retensio Urine) Dan Infeksi (Pemberian Antibiotic Profilaksis).
Divisi Uroginekologi Rekonstroksi Dept. Obstetric Dan Ginekologi
FKUI, Jakarta
:2009.
12. Rizki, TM, Tesis Kejadian retensi urin paska seksio sesarea dan bedah
ginekologi di RSUP. H. Adam malik Medan, Departemen Obstetri dan
Ginekologi FK-USU, 2009.
13. Liang CC, Chang SD, ChenSH, et all. Postpartum urinary retention after
cesarean delivery in International Journal of Gynecology and Obstetrics
99, 2007 : 229–32.
14. Gardjito W. Retensi urin permasalahan dan penatalaksanaannya dalam
Juri voll 4. UPF Ilmu Bedah FK Unair, Surabaya : 1994.
15. Nikolai A, Shevchuk. Hydrotherapy as a possible neuroleptic and sedative
treatment. Molecular Radiobiology Section. USA. 2008.
16. Jenny G. Evidence for Effective Hydrotherapy. Physiotherapy, Systematic
review, evidence-basedresearch, 2002;88, 9, 514-529.
17. De Cheney AH, Nathaan L. Current obstetric and gynecologic diagnosis and
treatment, 10 edition. Mc. Graw – Hill, Inc. 2006.

Anda mungkin juga menyukai