Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS DAN PORTOFOLIO

RETENSIO URINE et causa BPH

Disusun Oleh :
dr. Dera Fakhrunnisa

Narasumber :
dr. Zulhamdi, Sp.B

Pendamping :
dr. Budi Artha Sitepu
dr. Ratna Siagian

Wahana:
RSUD KABUPATEN KEPAHIANG
PROVINSI BENGKULU

KOMITE INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM KESEHATAN
BADAN PPSDM KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2015/2016
PORTOFOLIO
Topik : Retensio urine e.c Suspek BPH

Tanggal Kasus : 30 Mei 2016 Presenter : dr. Dera Fakhrunnisa

Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Budi Artha Sitepu


dr. Ratna Siagian
Tempat Presentasi : RSUD. Kepahiang

Objektif Presentasi :

□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ TinjauanPustaka

□ Diagnostik □ Management □ Masalah □ Istimewa

□ Deskripsi : Laki-laki usia 59 tahun datang dengan keluhan tidak bisa BAK.

□ Tujuan : Menegakkan diagnosis, memperbaiki keadaan umum, mengatasi keluhan


pasien, mencegah komplikasi.
Bahan Bahasan □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit

Cara Membahas □ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ Email □ Pos

Data Pasien : Umur : 59 tahun


Nama : Tn. N Agama : Islam
Alamat : Padang Lekat
Nama Rumah Sakit : RSUD Kepahiang Terdaftar sejak : 30 Mei 2016

1. Gambaran klinis:
Seorang pasien laki-laki usia 59 datang ke IGD dengan keluhan tidak bisa BAK yang
dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk RS. Awalnya pasien memang mengeluhkan BAK
kurang lancar sejak 6 bulan terakhir. Ketika BAK, pasien harus mengedan, air kencing
yang keluar pun dirasa pasien sedikit-sedikit dengan pancaran yang melemah. Saat BAK
pasien seringkali mengalami BAK nya tiba-tiba terhenti, dan air kencingnya seringkali
menetes di akhir. Pasien merasa BAK nya menjadi lebih sering, sampai-sampai sering
terbangun pada malam hari untuk BAK. Tetapi hampir setiap BAK pasien merasa tidak
puas karena seperti terasa ada sisa. Kemudian, dalam 2 hari sebelum masuk rumah sakit

1
ini, pasien mengeluhkan keluhannya semakin memberat karena pasien tidak bisa BAK
sama sekali. Menurutnya, dalam 2 hari tersebut air kencingnya memang keluar tetapi
menetes tanpa terasa.
Selain itu pasien juga mengeluhkan perut bagian bawah terasa membesar dan nyeri.
Tetapi, pasien menyangkal BAK nya terasa sakit. Pasien juga tidak merasakan rasa sakit
yang hebat pada ujung penis saat BAK. Selain itu, air kencingnya tidak tampak
bercabang dan tidak mengeluarkan seperti butiran pasir, batu, maupun darah. Air
kencingnya dirasa pasien tampak berwarna kuning jernih. Pasien juga menyangkal
adanya demam, dan menyangkal merasakan adanya nyeri di daerah pinggang.
2. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat menderita keluhan yang sama sebelumnya disangkal.
Riwayat infeksi saluran kemih disangkal.
Riwayat penyakit ginjal disangkal.
Riwayat kencing manis disangkal.
3. Riwayat Keluarga :
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.

4. Riwayat Sosial dan Kebiasaan:


Pasien adalah seorang petani.
Riwayat sering minum-minuman bersoda dan minum jamu disangkal.

5. Lain-lain (IPSS)
Dalam 1 bulan tidak sama < 1 x dlm <50% ±50% > 50% Hampir
terakhir sekali 5 kejadian kejadian kejadian kejadian selalu
Terasa sisa 0 1 2 3 4 5
kencing
Sering kencing 0 1 2 3 4 5
Terputus-putus 0 1 2 3 4 5
Tidak dapat 0 1 2 3 4 5
menunda
Pancaran lemah 0 1 2 3 4 5
Mengejan 0 1 2 3 4 5
Terbangun 0 1 2 3 4 5
kencing malam
Sangat Senang Puas Tidak Sangat Tidak Buruk
senang Puas Tidak Puas bahagia sekali
Kualitas hidup x

Total 23 (Gejala berat)

2
6. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
 Keadaan umum: pasien tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5
 Tekanan darah: 120/80mmHg
 Nadi : 76 x/m, regular, isi dan tegangan cukup
 Pernafasan : 20x/m
 Temperature : 36.1 0C
Pemeriksaan Organ
 Kepala : normocephali
 Mata : konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-), refleks cahaya -/-,
pupil bulat isokor, diameter 3mm/3mm.
 Telinga : discharge (-/-)
 Hidung : NCH (-), deviasi septum (-), deformitas (-) sekret (-)
 Mulut : coated tongue (-) atrofi papil lidah (-)
 Faring : hiperemis (-), arcus faring simteris, uvula di tengah, tonsil T1-T1
 Leher : perbesaran KGB (-)
 Paru-paru
 Inspeksi : statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
 Palpasi : vokal fremitus dextra = sinistra.
 Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
 Auskultasi: vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
 Jantung
 Inspeksi : pulsasi, iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus cordis teraba
 Perkusi : jantung dalam batas normal
 Auskultasi: Bunyi Jantung I dan II normal, regular, murmur (-) gallop (-)
 Abdomen
 Inspeksi : bulging pada regio suprapubik (+)
 Auskultasi: Bising usus dalam batas normal
 Perkusi : Timpani pada hampir seluruh lapang abdomen, redup pada regio
suprapubik
 Palpasi : supel, defans muskular (-), nyeri tekan pada regio suprapubik (+)

3
1. Ginjal
 Inspeksi : datar
 Palpasi : ballotement -/-
 Perkusi : nyeri ketok costovertebrae -/-
2. Ekstremitas : Edema -/-
Pemeriksaan rectal toucher
Tonus sfingter ani baik, ampula recti tidak kolaps, mukosa rectum licin, teraba massa
di arah jam 12, konsistensi kenyal, permukaan licin, simetris, batas atas dapat diraba,
sulcus medianus tidak teraba.

11. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (30 Mei 2016)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


1. Darah Rutin Laki-laki Perempuan
Hemoglobin 11.8 g/dl 13.2 – 17.3 11.7 – 15.5
Leukosit 13.600 /ul 3.800 – 10.600 3.600 – 11.000
Eritrosit 3.7 juta/ul 4.4 – 5.9 juta 3.8 – 5.2 juta
Trombosit 230.000 150.000 – 440.000
Hematokrit 35 % 40 – 52% 35 – 47%
2. Urinalisa
Warna Kuning, agak keruh Kuning / Jernih
Berat Jenis 1.020 1.015 – 1.025
pH 6.5 4.8 – 7.4
Protein + Negatif
Reduksi Negatif Negatif
Keton Small Negatif
Darah Moderate Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit esterase Negatif Negatif
Sedimen
WBC 2 – 4/LP 1 – 4/LPB
RBC 0 – 1/LP 0 – 1/LPB
Epitel Positif
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif

12. Diagnosis
Retensio urine e.c suspek BPH

4
13. Tatalaksana di IGD
a. Farmakologi
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
- Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam/IV
- Pemasangan Folley catheter
follow up catheter
Ostium uretra externa berdarah (-), urine kuning agak keruh volume ±700cc

b. Non- farmakologi
- Diet makan biasa
- Edukasi keluarga pasien tentang keadaan pasien

14. Follow Up
Tanggal Keterangan

H+1 S : Nyeri perut bawah (-), kateter terpasang (+)


31-5-2016 O : Keadaan Umum
KU/Kes : Tampak baik, CM
TD : 110/70 mmHg RR : 24 x/menit
N : 80 x/menit T : 36,3 ºC
Mata : konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-)
Cor : BJ I, BJ II normal, regular, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : SD Vesikular +/+, Rhonkhi -/-, Wheezing (-/-)
Abdomen: datar, distensi (-), bising usus dalam batas normal
timpani pada hampir seluruh lapang abdomen, palpasi
supel, nyeri tekan pada regio suprapubik (-)
Ginjal : ballotement -/-, nyeri ketok costovertebrae -/-
Kateter : Ostium uretra externa berdarah (-), urine kuning agak
keruh volume ±500cc

A : Retensio urine ec. Susp. BPH


P : Kontrol poli bedah

5
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. N
Usia : 59 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Alamat : Padang Lekat
MRS : 30 Mei 2016
No. RM : 04.21.66

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis pada tanggal 30 Mei 2016
1. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama : Tidak bisa BAK
Seorang pasien laki-laki usia 59 datang ke IGD dengan keluhan tidak bisa BAK
yang dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk RS. Awalnya pasien memang
mengeluhkan BAK kurang lancar sejak 6 bulan terakhir. Ketika BAK, pasien harus
mengedan, air kencing yang keluar pun dirasa pasien sedikit-sedikit dengan pancaran
yang melemah. Saat BAK pasien seringkali mengalami BAK nya tiba-tiba terhenti,
dan air kencingnya seringkali menetes di akhir. Pasien merasa BAK nya menjadi lebih
sering, sampai-sampai sering terbangun pada malam hari untuk BAK. Tetapi hampir
setiap BAK pasien merasa tidak puas karena seperti terasa ada sisa. Kemudian, dalam
2 hari sebelum masuk rumah sakit ini, pasien mengeluhkan keluhannya semakin
memberat karena pasien tidak bisa BAK sama sekali. Menurutnya, dalam 2 hari
tersebut air kencingnya memang keluar tetapi menetes tanpa terasa.
Selain itu pasien juga mengeluhkan perut bagian bawah terasa membesar dan
nyeri. Tetapi, pasien menyangkal BAK nya terasa sakit. Pasien juga tidak merasakan
rasa sakit yang hebat pada ujung penis saat BAK. Selain itu, air kencingnya tidak
tampak bercabang dan tidak mengeluarkan seperti butiran pasir, batu, maupun darah.
Air kencingnya dirasa pasien tampak berwarna kuning jernih. Pasien juga menyangkal
adanya demam, dan menyangkal merasakan adanya nyeri di daerah pinggang.
6
2. Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat menderita keluhan yang sama sebelumnya disangkal.
Riwayat infeksi saluran kemih disangkal.
Riwayat penyakit ginjal disangkal.
Riwayat kencing manis disangkal.
3. Riwayat penyakit dalam keluarga :
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
4. Riwayat sosial dan kebiasaan :
Pasien adalah seorang petani.
Riwayat sering minum-minuman bersoda dan minum jamu disangkal.
Riwayat merokok diakui sejak kurang lebih 20 tahun
5. Lain-lain
Skor IPSS
<1x
Dalam 1 bulan tidak sama <50% ±50% > 50% Hampir
dlm 5
terakhir sekali kejadian kejadian kejadian selalu
kejadian
Terasa sisa 0 1 2 3 4 5
kencing
Sering 0 1 2 3 4 5
kencing
Terputus- 0 1 2 3 4 5
putus
Tidak dapat 0 1 2 3 4 5
menunda
Pancaran 0 1 2 3 4 5
lemah
Mengejan 0 1 2 3 4 5
Terbangun 0 1 2 3 4 5
kencing
malam
Sangat Senang Puas Tidak Sangat Tidak Buruk
senang Puas Tidak Puas bahagia sekali
Kualitas hidup x

Total 23 (Gejala berat)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal pemeriksaan : 30 Mei 2016
Keadaan Umum
Keadaan umum: pasien tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5

7
Tekanan darah : 120/80mmHg
Nadi : 76 x/m, regular, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 20x/m
Temperature : 36.1 0C
Pemeriksaan Organ
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-), refleks cahaya -/-,
pupil bulat isokor, diameter 3mm/3mm.
Hidung : NCH (-), deviasi septum (-), deformitas (-) sekret (-), mukosa
edema (-) hiperemis (-)
Mulut : coated tongue (-) atrofi papil lidah (-)
Faring : hiperemis (-), arcus faring simteris, uvula di tengah, tonsil T1-T1
Leher : perbesaran KGB (-)
Paru-paru
 Inspeksi : statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
 Palpasi : vokal fremitus dextra = sinistra.
 Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
 Auskultasi: vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Jantung
 Inspeksi : pulsasi, iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus cordis teraba
 Perkusi : jantung dalam batas normal
 Auskultasi: BJ I dan II normal, regular, murmur (-) gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : bulging pada regio suprapubik (+)
 Auskultasi: Bising usus dalam batas normal
 Perkusi : Timpani pada hampir seluruh lapang abdomen, redup
pada regio suprapubik
 Palpasi : supel, defans muskular (-), nyeri tekan pada regio
suprapubik (+)
Ginjal
 Inspeksi : datar
 Palpasi : ballotement -/-
 Perkusi : nyeri ketok costovertebrae -/-
8
Ekstremitas : Edema -/-
Pemeriksaan rectal toucher
Tonus sfingter ani baik, ampula recti tidak kolaps, mukosa rectum licin, teraba massa di
arah jam 12, konsistensi kenyal, permukaan licin, simetris, batas atas dapat diraba, sulcus
medianus tidak teraba.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium (30 Mei 2016)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


1. Darah Rutin Laki-laki Perempuan
Hemoglobin 11.8 g/dl 13.2 – 17.3 11.7 – 15.5
Leukosit 13.600 /ul 3.800 – 10.600 3.600 – 11.000
Eritrosit 3.7 juta/ul 4.4 – 5.9 juta 3.8 – 5.2 juta
Trombosit 230.000 150.000 – 440.000
Hematokrit 35 % 40 – 52% 35 – 47%
2. Urinalisa
Warna Kuning, agak keruh Kuning / Jernih
Berat Jenis 1.020 1.015 – 1.025
pH 6.5 4.8 – 7.4
Protein + Negatif
Reduksi Negatif Negatif
Keton Small Negatif
Darah Moderate Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit esterase Negatif Negatif
Sedimen
WBC 2 – 4/LP 1 – 4/LPB
RBC 0 – 1/LP 0 – 1/LPB
Epitel Positif
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif

V. DIAGNOSIS KLINIS
Retensio urine ec. suspek BPH

VI. PENATALAKSANAAN DI IGD


a. Farmakologi
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
- Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam/IV

9
- Pemasangan Folley catheter
follow up catheter :
Ostium uretra externa berdarah (-), urine kuning agak keruh, volume ±700cc

b. Non- farmakologi
- Diet makan biasa
- Edukasi keluarga pasien tentang keadaan

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam

VIII. FOLLOW UP
Tanggal Keterangan

H+1 S : Nyeri perut bawah (-), kateter terpasang (+)


31-5-2016 O : Keadaan Umum
KU/Kes : Tampak baik, CM
TD : 110/70 mmHg RR : 24 x/menit
N : 80 x/menit T : 36,3 ºC
Mata : konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-)
Cor : BJ I, BJ II normal, regular, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : SD Vesikular +/+, Rhonkhi -/-, Wheezing (-/-)
Abdomen: datar, distensi (-), bising usus dalam batas normal
timpani pada hampir seluruh lapang abdomen, palpasi
supel, nyeri tekan pada regio suprapubik (-)
Ginjal : ballotement -/-, nyeri ketok costovertebrae -/-
Kateter : Ostium uretra externa berdarah (-), urine kuning agak
keruh volume ±500cc

A : Retensio urine ec. Susp. BPH


P : Kontrol poli bedah

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI TRAKTUS URINARIUS BAGIAN BAWAH


Sistem urinaria bagian bawah terdiri atas vesical urinaria dan uretra yang keduanya
harus bekerja secara sinergis untuk dapat menjalankan fungsinya dalam menyimpan
(storage) dan mengeluarkan (voiding) urine.1
Vesica urinaria
Vesica urinaria adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang
saling beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot
sirkuler, dan paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa vesica urinaria terdiri atas
sel-sel transisional yang sama seperti pada mukosa pada pelvis renalis, ureter, dan uretra
posterior. Pada dasar vesica urinaria kedua muara ureter dan meatus uretra internum
membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum.1
Secara anatomik bentuk vesica urinaria terdiri atas 3 permukaan, yaitu
1. Permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum
2. Dua permukaan inferiolateral
3. Permukaan posterior
Permukaan superior merupakan lokus minoris (daerah terlemah) dinding vesica
urinaria. Vesica urinaria berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian
mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam menampung
urine, vesica urinaria mempunyai kapasitas maksimal, yang volumenya untuk orang
dewasa kurang lebih adalah 300 – 450 ml; sedangkan kapasitas vesica urinaria pada anak
menurut formula dari Koff adalah: {Umur (tahun) + 2} x 30 ml

Gambar 1. Vesica urinaria (Smith’s, 2008)

11
Pada saat kosong, vesica urinaria terletak di belakang simfisis pubis dan pada saat
penuh berada di atas simfisis sehingga dapat dipalpasi dan diperkusi. Vesica urinaria yang
terisi penuh memberikan rangsangan pada saraf aferen dan menyebabkan aktivasi pusat
miksi di medula spinalis segmen sacral S2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot
detrusor, terbukanya leher vesica urinaria dan relaksasi sfingter uretra sehingga terjadilah
proses miksi.1
Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari vesica urinaria
melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior
dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani.
Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan vesica
urinaria dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra
anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh
sistem simpatik sehingga pada saat vesica urinaria penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter
uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat
diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan
tetap tertutup pada saat menahan kencing.
Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang
lebih 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan
pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria.1

Gambar 2. Uretra (Basuki, 2012)

12
Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang
dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea. Di bagian posterior lumen
uretra prostatika, terdapat suatu tonjolan verumontanum, dan disebelah proksimal dan
distal dari verumontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vas deferens yaitu
kedua duktus ejakulatorius terdapat di pinggir kiri dan kanan verumontanum, sedangkan
sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus prostatikus yang tersebar di uretra
prostatika.1
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis.
Uretra anterior terdiri atas (1) pars bulbosa, (2) pars pendularis, (3) pars navikularis, dan
(4) meatus uretra eksterna. Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara
kelenjar yang berfungsi dalam proses reporoduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada di dalam
diafragma urogenitalis dan bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu
kelenjar Parauretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
Panjang uretra wanita kurang lebih 4 cm dengan diameter 8 mm. Berada di bawah
simfisis pubis dan bermuara disebelah anterior vagina. Di dalam uretra bermuara kelenjar
periuretra, di antaranya adalah kelenjar Skene. Kurang lebih sepertiga medial uretra,
terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra
eksterna dan tonus otot Levator ani berfungsi mempertahankan agar urine tetap berada
dalam vesica urinaria pada saat perasaan ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesika
melebihi tekanan intrauretra akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter uretra
eksterna.1
Prostat
Kelenjar prostat adalah organ genitalia pria yang sering menjadi neoplasma baik
jinak maupun ganas. Kelenjar prostat ini terletak di sebelah inferior buli-buli, di depan
rectum dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran organ ini menekan
uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli.
Secara anatomis, prostat terletak didalam pelvis vera, dipisahkan dari simfisis pubis di
sebelah anterior oleh spatium retropubic (space of Retzius). Permukaan posterior prostat
dipisahkan dari ampula rekti oleh fascia Denonvilliers. Dasar prostat bersambungan
dengan leher kandung kemih, dan apeksnya berada pada permukaan sebelah atas dari
diafragma urogenital. Sebelah lateral, prostat berhubungan dengan muskulus levator ani.3

13
Prostat normal berukuran 3-4cm didasarnya, 4-6 cm sefalokaudal, dan 2-3 cm pada
dimensi anteroposterior.3 Berat normal sekitar 20 gram. Prostat mengelilingi uretra pars
prostatika dan ditembus di bagian posterior oleh dua buah duktus ejakulatorius.3
Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus :
1. Lobus medius
2. Lobus lateralis (2 lobus)
3. Lobus anterior
4. Lobus posterior
Menurut konsep terbaru kelenjar prostat merupakan suatu organ campuran terdiri
atas berbagai unsur glandular dan non glandular. Telah ditemukan lima daerah/ zona
tertentu yang berbeda secara histologi maupun biologi, yaitu:3
1. Zona Anterior atau Ventral
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskular.
Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
2. Zona Perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat. Zona
ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma terbanyak.
3. Zona Sentral
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah meliputi
25% massa glandular prostat. Zona ini resisten terhadap inflamasi.
4. Zona Transisional
Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar
preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi dapat
melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benign prostatic
hyperplasia (BPH).
5. Kelenjar-Kelenjar Periuretra
Bagian ini terdiri dan duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar abortif tersebar
sepanjang segmen uretra proksimal. Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang
bermuara dikanan dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika.
Disebelah depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum
triangulare inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia
denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan vesika
seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan

14
memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvik dan kapsul sebenarnya
dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :1
1. Kapsul anatomi
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian,
a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya.
b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatous zone
c. Disekitar uretra disebut periurethral gland.
Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :
1. Kapsul anatomis
2. Kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya
(outer zone) sehingga terbentuk kapsul.
3. Kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone)
dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat
Perdarahan arterialnya berasal dari arteri vesikalis inferior, arteri pudenda interna
dan arteri hemoroidalis medius. Drainase vena prostat menuju pleksus periprostatik yang
berhubungan dengan vena dorsalis profunda penis dan vena iliaka interna. Aliran limfe
terutama dicurahkan ke nodus iliaka interna dan nodus sakralis. Persarafan prostat berasal
dari pleksus hipogastrikus inferior dan membentuk pleksus prostatikus. Prostat mendapat
persarafan terutama dari serabut saraf tidak bermielin. Beberapa serat ini berasal dari sel
ganglion otonom yang terletak di kapsula dan di stroma. Serabut motoris, mungkin
terutama simpatis, tampak mempersarafi sel-sel otot polos di stroma dan kapsula sama
seperti dinding pembuluh darah.

Gambar 3. Prostat (Smith’s, 2008)2

15
B. FISIOLOGI TRAKTUS URINARIUS BAGIAN BAWAH
Pengisian urine
Pada pengisian vesica urinaria, distensi yang timbul ditandai dengan adanya
aktivitas sensor regang pada dinding vesica urinaria. Pada vesica urinaria normal, tekanan
intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab terdapat inhibisi dari aktivitas
detrusor dan komplian aktif dari vesica urinaria. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor
memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan medula spinalis bagian sakral.
Mekanisme komplian aktif vesica urinaria kurang diketahui namun proses ini juga
memerlukan inervasi yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks
S2-S4. Selain akomodasi vesica urinaria, kontinens selama pengisian memerlukan
fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi
dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir keluar.3
Pengaliran urine
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk berkemih timbul dari distensi
vesica urinaria yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif terhadap
regangan. Mekanisme normal dari berkemih volunter tidak diketahui dengan jelas tetapi
diperoleh dari relaksasi otot lurik dari sfingter uretra dan otot dasar pelvis yang diikuti
dengan kontraksi vesica urinaria. Inhibisi tonus simpatis pada leher vesica urinaria juga
ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine
akan keluar. Pengosongan vesica urinaria yang lengkap tergantung dari refleks yang
menghambat aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama berkemih.3

C. DEFINISI
Retensio urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urine yang
terkumpul di dalam vesica urinaria hingga kapasitas maksimal vesica urinaria terlampaui.
Retensio urine merupakan disfungsi pengosongan vesica urinaria termasuk untuk memulai
buang air kecil, pancaran lemah, pelan atau aliran terputus-putus, perasaan tidak tuntas
berkemih dan perlu usaha keras atau dengan penekanan pada suprapubik untuk
mengosongkannya.1
Sementara itu, Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan suatu diagnosis
histologi yang menunjukkan suatu proliferasi otot polos dan sel epitel didalam zona
transisi prostat.4 Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi
berupa hiperplasia kelenjar periuretral. Namun orang sering menyebutnya dengan
hipertropi prostat walaupun secara histologi yang dominan adalah hiperplasia.5
16
D. ETIOLOGI
Retensio Urine
Etiologi dari retensio urine dapat dibagi menurut letaknya yang adalah sebagai
berikut:1
1. Supravesikal
a. Kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis S2 - S4.

b. Kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian ataupun seluruhnya.

2. Vesikal
a. Kelemahan otot detrusor karena lama teregang.
b. Atoni pada pasien DM atau penyakit neurologis.
c. Divertikel yang besar.
3. Infravesikal
a. Pembesaran prostate.
b. Kekakuan atau tumor leher vesical urinaria
c. Striktura uretra
d. Batu saluran kemih
e. Fimosis.

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


Sementara itu, etiologi dari BPH masih belum jelas. Beberapa teori telah
dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan usia, di
antaranya:5,6,7,8

1. Teori DHT (dihidrotestosteron)


Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon testosteron. Dimana pada
kelenjar prostat, hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron
(DHT) dengan bantuan enzim 5 α – reduktase. DHT inilah yang secara langsung
memicu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth
factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat. 1

17
Gambar 4. Perubahan testosteron menjadi DHT

Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5 α – reduktase dan jumlah reseptor androgen
lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat menjadi lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat
normal.1
2. Teori Reawakening
Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel.
Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi primer BPH adalah penonjolan kelenjar
yang kemudian bercabang menghasilkan kelenjar-kelenjar baru di sekitar prostat. Ia
menyimpulkan bahwa hal ini merupakan reawakening dari induksi stroma yang terjadi
pada usia dewasa.
3. Teori stem cell hypotesis
Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar prostat,
selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis
sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel
aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan
berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga
dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan
prostat yang normal.
4. Teori growth factors
Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara unsur stroma dan unsur epitel
prostat yang berakibat BPH. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di
bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari Epidermis Growth Factor
(EGF) dan atau Fibroblast Growth Factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi
Transforming Growth Factor- α (TGF-α), akan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.
Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya BPH, yaitu adanya
dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan kelainan kongenital
berupa defisiensi 5-α reduktase, yaitu enzim yang mengkonversi testosteron ke DHT,

18
kadar serum DHT-nya rendah, sehingga prostat tidak membesar. Sedangkan pada proses
penuaan, kadar testosteron serum menurun disertai meningkatnya konversi testosteron
menjadi estrogen pada jaringan periperal. Pada anjing, estrogen menginduksi reseptor
androgen. Peran androgen dan estrogen dalam pembesaran prostat benigna adalah
kompleks dan belum jelas. Tindakan kastrasi sebelum masa pubertas dapat mencegah
pembesaran prostat benigna. Penderita dengan kelainan genetik pada fungsi androgen
juga mempunyai gangguan pertumbuhan prostat. Dalam hal ini, barangkali androgen
diperlukan untuk memulai proses BPH, tetapi tidak dalam hal proses pemeliharaan.
Estrogen berperan dalam proses pembesaran stroma yang selanjutnya merangsang
pembesaran epitel.7

E. PATOFISIOLOGI
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot
destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin.
Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan
terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri . Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes,
kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami
kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin.
Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan didalamnya sehingga pasien
merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang
mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan
adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi
dan nyeri saat berkemih /disuria.1
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter,
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi
infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan
19
menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan
terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan
iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila
terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis.5

F. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH diantaranya adalah sebagai
berikut :

1. Kadar Hormon
Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko BPH.
Testosteron akan diubah menjadi androgen yang lebih poten yaitu dihydrotestosteron
(DHT) oleh enzim 5 α-reductase, yang memegang peran penting dalam proses
pertumbuhan sel-sel prostat.5,6
2. Usia
Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli (otot detrusor)
dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh usia tua menurunkan
kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh
adanya obstruksi karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala.
3. Ras
Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk terjadi BPH
dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki insidensi BPH paling rendah.6
4. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi
yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin banyak anggota keluarga yang
mengidap penyakit ini, semakin besar risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat
terkena BPH. Bila satu anggota keluarga mengidap penyakit ini, maka risiko
meningkat 2 kali bagi yang lain. Bila 2 anggota keluarga, maka risiko meningkat
menjadi 2-5 kali.6
5. Obesitas
Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan kemampuan seksual, tipe bentuk
tubuh yang mengganggu prostat adalah tipe bentuk tubuh yang membesar di bagian
pinggang dengan perut buncit, seperti buah apel. Beban di perut itulah yang menekan
otot organ seksual, sehingga lama-lama organ seksual kehilangan kelenturannya,

20
selain itu deposit lemak berlebihan juga akan mengganggu kinerja testis. Pada obesitas
terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap pembentukan BPH
melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan menghambat proses
kematian sel-sel kelenjar prostat.6
6. Pola diet
Kekurangan mineral penting seperti seng, tembaga, selenium berpengaruh pada fungsi
reproduksi pria. Yang paling penting adalah seng, karena defisiensi seng berat dapat
menyebabkan pengecilan testis yang selanjutnya berakibat penurunan kadar
testosteron. Selain itu, makanan tinggi lemak dan rendah serat juga membuat
penurunan kadar testosteron.6
7. Aktifitas seksual
Kelenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab untuk pembentukan hormon
laki-laki. BPH dihubungkan dengan kegiatan seks berlebihan dan alasan kebersihan.
Saat kegiatan seksual, kelenjar prostat mengalami peningkatan tekanan darah sebelum
terjadi ejakulasi. Jika suplai darah ke prostat selalu tinggi, akan terjadi hambatan
prostat yang mengakibatkan kelenjar tersebut bengkak permanen. Seks yang tidak
bersih akan mengakibatkan infeksi prostat yang mengakibatkan BPH. Aktivitas
seksual yang tinggi juga berhubungan dengan meningkatnya kadar hormon
testosteron.6
8. Kebiasaan merokok
Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok meningkatkan aktifitas
enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar testosteron.6
9. Kebiasaan minum minuman beralkohol
Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin B6 yang penting
untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting untuk kelenjar prostat. Prostat
menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan dengan organ yang lain. Zink membantu
mengurangi kandungan prolaktin di dalam darah. Prolaktin meningkatkan penukaran
hormon testosteron kepada DHT.6,9
10. Olahraga
Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang lebih sedikit
mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Dengan aktif olahraga, kadar
dihidrotestosteron dapat diturunkan sehingga dapat memperkecil risiko gangguan
prostat.6

21
11. Diabetes mellitus
Laki-laki yang mempunyai kadar glukosa dalam darah > 110 mg/dL mempunyai risiko
tiga kali terjadinya BPH, sedangkan untuk laki-laki dengan penyakit Diabetes Mellitus
mempunyai risiko dua kali terjadinya BPH dibandingkan dengan laki-laki dengan
kondisi normal.6

G. MANIFESTASI KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan dan gejala pada saluran kemih
maupun diluar saluran kemih. Gejala-gejala tersebut diantaranya adalah:1
1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif. Gejala obstruktif disebabkan
oleh penyempitan uretra pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar
dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama
sehingga kontraksi terputus-putus. Tidak semua prostat yang membesar akan
menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periuretral sudah
membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun,
tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka
gejala obstruksi belum dirasakan. Sementara itu, gejala iritatif disebabkan oleh karena
pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan
oleh hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Adapun gejala-gejala tersebut adalah seperti yang ditampilkan pada Tabel 1.
Obstruktif Iritatif
Menunggu pada permulaan miksi Peningkatan frekuensi miksi (frequency)
(hesitancy)
Miksi terputus (intermittency) Peningkatan frekuensi miksi malam hari
(nocturia)
Urin menetes pada akhir miksi (terminal Miksi sulit ditahan (urgency)
dribbling)
Pancaran miksi lemah Nyeri pada waktu miksi (dysuria)
Rasa tidak puas setelah miksi (tidak lampias)
Tabel 1. Gejala obstruktif dan iritatif pada BPH1

Gejala-gejala tersebut di atas sering disebut dengan sindroma prostastismus. Secara


klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi:
a. Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml

22
b. Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
c. Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas +
sisaurin > 150 ml.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa
gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, demam yang merupakan tanda dari infeksi
atau urosepsis, dan benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis).
3. Gejala di luar saluran kemih.
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga
mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak
pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak
nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik,
dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.

H. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis pasien BPH ditegakkan berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan yang
sistematis mulai dari pemeriksaan awal yaitu pemeriksaan yang harus dikerjakan pada
semua pasien dan pemeriksaan tambahan yang hanya dikerjakan pada pasien-pasien
tertentu.13
Pemeriksaan Awal
1. Anamnesis
Pada anamensis pasien dengan BPH dapat ditemukan gejala-gejala baik pada saluran
kemih bagian bawah, saluran kemih bagian atas, maupun keluhan diluar saluran kemih
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Gejala pada saluran kemih bagian bawah
meliputi gejala obstruktif dan iritatif, gejala pada saluran kemih bagian atas seperti
nyeri pinggang, demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis, dan
benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), dan gejala diluar
saluran kemih seperti terdapatnya keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik BPH, dapat dditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Pemeriksaan abdomen
Pada pemeriksaan ini mungkin didapatkan vesical urinaria yang penuh dan teraba
massa kistik di daerah supra simpisis akibat retensi urin.1
23
b. Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai tonus sfingter ani, pembesaran atau
ukuran prostat dan kecurigaan adanya keganasan seperti nodul atau perabaan yang
keras. Pada pemeriksaan ini dinilai besarnya prostat, konsistensi, cekungan tengah,
simetri, indurasi, krepitasi dan ada tidaknya nodul. Pada BPH menunjukkan
konsistensi prostat kenyal, seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri
simetris, dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada karsinoma prostat,
konsistensi prostat keras dan teraba nodul, dan mungkin antara lobus prostat tidak
simetri.1
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran
kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit, bakteri, protein atau glukosa.
b. Pemeriksaan Fugsi Ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas.
Elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk insufisiensi ginjal kronis pada pasien
yang memiliki postvoid residu (PVR) yang tinggi.
c. Skoring IPSS
IPSS terdiri dari delapan buah pertanyaan mengenai LUTS. Skor akhir akan
menentukan tatalaksana yang akan dilakukan terhadap penderita. Adapun skoring
IPSS seperti tercantum pada tabel 2. 10
Untuk pertanyaan 1-6, jawaban diberi skor :
0 : tidak pernah
1 : < 1 dari 5 kali kejadian 4 : > separuh kejadian
2 : < separuh kejadian 5 : hampir selalu
3 : ± separuh kejadian
Dalam satu bulan terakhir :

1. Merasa ada sisa urin setelah kencing?


2. Harus kencing lagi padahal belum ada setengahjam yang lalu kencing?
3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai kencing lagi dan hal ini
dilakukan berkali-kali?
4. Tidak dapat menan keinginan untuk kencing?
5. Merasa pancaran urine yang lemah?

24
6. Harus mengejan dalam memulai kencing?

Untuk pertanyaan nomor 7, jawab dengan skor dibawah ini :


0 : tidak pernah 3 : 3 kali
1 : 1 kali 4 : 4 kali
2 : 2 kali 5 : 5 kali
7. Dalam satu bulan terakhir ini berapa kali terbangun dari tidur malam untuk
kencing?

TOTAL SKOR:

Pertanyaan no. 8 adalah mengenai kualitas hidup sehubungan dengan gejala di


atas: jawablah dengan:
1. Sangat senang 2. Senang 3. Puas 4. Campuran antara puas dan tidak puas
5. Sangat tidak puas 6. Tidak Bahagia 7. Buruk sekali.

7. Dengan keluhan seperti ini bagaimana anda menikmati hidup ini?

Interpretasi :
 Skor 0-7 : bergejala ringan
 Skor 8-19 : bergejala sedang
 Skor 20-35: bergejala berat.
Tabel 2. International Prostate Symptom Score (IPSS)

d. Pemeriksaan PSA (Prostate Spesific Antigent)


Dapat digunakan untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini
jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat, (b)
keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan (c) lebih mudah terjadinya
retensi urine akut.11,12 Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan
berdasarkan kadar PSA, bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat laju
pertumbuhan prostat.
e. Catatan harian miksi (voiding diaries)
Dilakukan untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian bawah. Pencatatan miksi
ini dilakukan dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang
dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang dikemihkan. Dengan
25
pencatatan tersebut dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik,
instabilitas detrusor akibat obstruksi infra-vesika, atau karena poliuria akibat asupan
air yang berlebih.

Gambar 5. Catatan Harian Miksi

Pemeriksaan Tambahan
1. Ultrasonografi
Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan pada BPH terutama ultrasonografi (USG)
secara Trans Abdominal Ultrasound (TAUS) atau Trans Rectal Ultrasound (TRUS).
TAUS digunakan untuk menilai volume buli, volume sisa urin, divertikel, tumor, atau
batu buli. TRUS digunakan untuk mengukur volume prostat, prostat digolongkan
besar jika volumenya lebih dari 60 gram. TRUS juga dapat mendeteksi kemungkinan
keganasan dengan memperlihatkan adanya daerah hypoehoic, dan bisa dapat
dilakukan biopsi prostat dengan jarum yang dituntun TRUS diarahkan ke daerah yang
hypoechoic Pencitraan lainnya yang dapat dilakukan yaitu Blaas Nier Overzicht-
Intravenous Pyelogram (BNO-IVP) untuk melihat adanya batu saluran kemih,
hidronefrosis, divertikulae, volume sisa urin, dan indentasi prostat. CT Scan dan MRI
jarang digunakan karena dianggap tidak efisien.4
2. Uroflometri
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian
bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai

26
volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran.14,15
3. Volume residual urine
Volume residual urine dapat menentukan derajat obstruksi prostat, Hal ini dilakukan
dengan cara kateterisasi/USG setelah miksi. Adapun derajat obstruksi tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok dubur)
ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.
b. Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari
100 ml.
c. Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin
lebih dari 100 ml.
d. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total
Namun menurut penelitian yang dilakukan oleh Prasetyawan dan Sumardi (2003),
menunjukkan bahwa volume residual urine tidak dapat menerangkan adanya obstruksi
saluran kemih.16 Namun, bagaimanapun adanya residu uirne menunjukkan telah
terjadi gangguan miksi.17

Pemeriksaan Oleh Spesialis Urologi


1. Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan vesica
urinaria. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher vesica
urinaria, batu, trabekulasi, selule, dan divertikel. Selain itu sesaat sebelum dilakukan
sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi.
2. Urodinamika
Jika pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai pancaran
urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan uro-dinamika
(pressure flow study) dapat mem-bedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan
karena obstruksi leher buli-buli dan uretra (BOO) atau kelemahan kontraksi otot
detrusor. Meskipun merupakan pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini merupakan
pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi prostat (BPO), dan
mampu meramalkan keberhasilan suatu tindakan pembedahan.

27
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Retensio Urine
1. Bladder training
Secara umum bladder training bertujuan untuk mengembalikan pola normal berkemih
dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran urine. Selain itu, bladder training
juga memiliki tujuan khusus yaitu diantaranya adalah mengembangkan tonus otot buli-
buli sehingga dapat mencegah inkotinensia yang dapat juga menyebabkan retensio
urine, mencegah proses terjadinya batu urine, melatih buli-buli untuk mengeluarkan
urine secara periodik, dan membantu pasien untuk mendapatkan pola berkemih rutin.
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu:2
a. Kegel exercises (latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul)
b. Delay urination (menunda berkemih)
c. Scheduled bathroom trips (jadwal berkemih).
2. Kateterisasi Uretra
Kateterisasi uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli melalui uretra.1
Tindakan ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun untuk tujuan terapi.
Indikasi dilakukannya kateterisasi ini diantaranya adalah:
a. Mengeluarkan urine dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal, baik yang
disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun oleh benda asing (bekuan darah) yang
menyumbat uretra.
b. Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli.
c. Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah, yaitu pada
operasi prostatektomi, vesikolitektomi.
d. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi uretra.
e. Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik untuk
buli-buli.
Adapun kontraindikasi kateterisasi diantaranya adalah ruptur uretra, ruptur buli-buli
dan terdapatnya bekuan darah pada buli-buli.

3. Kateterisasi Suprapubik
Kateterisasi suprapubik adalah memasukkan kateter dengan membuat lubang pada
buli-buli melalui insisi suprapubik dengan tujuan mengeluarkan urine1. Kateterisasi
suprapubik ini biasanya dikerjakan pada keadaan sebagai berikut:
a. Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra.
b. Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra, misalkan pada rupture
28
uretra atau dugaan adanya ruptur uretra.
c. Untuk mengukur tekanan intravesikal pada studi sistotonometri.
d. Mengurangi penyulit timbulnya sindroma intoksikasi air pada saat TUR Prostat.
Pemasangan kateter sistostomi dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka atau
dengan perkutan (trokar) sistostomi.
Pemasangan kateter sistostomi dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka atau
dengan perkutan (trokar) sistostomi.

Penatalaksanaan BPH
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.
Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien,
maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihan
terapi pada BPH diantaranya adalah, tanpa terapi (watchful waiting), medikamentosa, dan
terapi intervensi (Tabel 3) 4. Di Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the
prostate (TURP) masih merupakan pengobatan terpilih untuk pasien BPH.13

Gambar 5. Algoritma Penanganan BPH13

Tabel 3.. Pilihan Terapi pada BPH13

29
1. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu
keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masih
menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan skor sedang (IPSS
8-19)12. Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS > 7), pancaran urine
melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram tentunya
tidak banyak memberikan respon terhadap watchful waiting. Pada watchful waiting
ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai
sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
a. jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam,
b. kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli
(kopi atau cokelat)
c. batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin,
d. kurangi makanan pedas dan asin
e. jangan menahan kencing terlalu lama.
Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa
tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine,
maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada
sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain.
2. Medikamentosa
Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila telah mencapai tahap
tertentu. Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu, apalagi
membahayakan kesehatannya, direkomendasikan pemberian medikamentosa. Dalam
menentukan pengobatan perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu dasar pertimbangan
terapi medikamentosa, jenis obat yang digunakan, pemilihan obat, dan evaluasi selama
pemberian obat. Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan
seorang pasien memerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring >7 berarti pasien
perlu mendapatkan terapi medi-kamentosa atau terapi lain. Tujuan terapi
medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi otot polos prostat
sebagai komponen dinamik atau (2) mengurangi volume prostat sebagai kom-ponen
statik. Jenis obat yang digunakan adalah2,5,7:

30
a. Antagonis adrenergik reseptor-α
Pengobatan dengan antagonis adrenergik-α bertujuan menghambat kontraksi otot
polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-buli dan uretra yang
dapat berupa:
1) Preparat non selektif
Fenoksibenzamin adalah obat antagonis adrenergik-α non selektif yang pertama
kali diketahui mampu memper-baiki laju pancaran miksi dan mengurangi
keluhan miksi. Namun obat ini tidak disenangi oleh pasien karena menyebab-
kan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di antaranya adalah hipotensi
postural dan menyebabkan penyulit lain pada sistem kardiovaskuler.
2) Preparat selektif masa kerja pendek
Prazosin, afluzosin, dan indoramin yang cukup diberikan sekali sehari
3) Preparat selektif dengan masa kerja lama
Doksazosin, terazosin, dan tamsulosin. Doksazosin dan terazosin yang pada
mulanya adalah suatu obat antihipertensi terbukti dapat memperbaiki gejala
BPH dan menurunkan tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak
5-20% pasien mengeluh dizziness setelah pemberian doksazosin maupun
terazosin, < 5% setelah pemberian tamsulosin.
b. Inhibitor 5 α redukstase
Sebagai contoh yaitu finasteride dan dutasteride. Obat ini bekerja dengan cara
menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang
dikatalisis oleh enzim 5 α- redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji klinik
menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan ukuran prostat hingga 20-30%
dan menekan kemungkinan tindakan pembedahan hingga 50%.
c. Fitofarmaka
Merupakan beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang
kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat
ini belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-
estrogen, antiandrogen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG),
inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF),
mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek anti-inflam-masi, menurunkan
outflow resistance, dan memperkecil volume prostat. Di antara fito-terapi yang

31
banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi,
Radix urtica dan masih banyak lainnya.
3. Terapi Intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan prostat atau
pembedahan dan teknik instrumentasi alternatif. Termasuk ablasi jaringan prostat
adalah: pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laser prostatektomi. Sedangkan
teknik instrumentasi alternatif adalah interstitial laser coagulation, TUNA, TUMT,
dilatasi balon, dan stent uretra.
Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,
diantaranya adalah: (1) retensi urin karena Benign Prostat Obstruction (BPO), (2)
infeksi saluran kemih berulang karena BPO, (3) hematuria makroskopik karena
Benign Prostat Enlargment (BPE), (4) batu buli-buli karena BPO, (5) gagal ginjal
yang disebabkan oleh BPO, dan (6) divertikulum buli-buli yang cukup besar karena
BPO.
a. Pembedahan
1) Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan menggunakan cairan
irigan (pembilas) agar daerah yang direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh
darah. Cairaan yang dipergunakan berupa larutan ionic, yang dimaksudkan agar
tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan
harganya cukup murah yaitu H2O (aquades). Salah satu kerugian dari aquades
adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi
sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka saat reseksi. Kelebihan
H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi
air atau dikenal dengan Sindroma TURP. Selain sindroma TURP beberapa
penyulit bisa terjadi pada saat operasi, pasca bedah dini, maupun pasca bedah
lanjut seperti tampak pada tabel 4.

Selama operasi Pasca bedah dini Pasca bedah lanjut


perdarahan Perdarahan Inkontinensia
Sindrom TURP Infeksi lokal atau sistemik Disfungsi Ereksi
Perforasi Ejakulasi retrograd
Striktura Uretra
Tabel 4. Penyulit TURP

32
2) Transurethral incision of the prostate (TUIP)
TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion) direkomendasikan pada
prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai pembesaran
lobus medius, dan tidak diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat.
Teknik ini dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan mono
insisi atau bilateral insisi mempergunakan pisau Colling mulai dari muara
ureter, leher buli-buli-sampai ke verumontanum. Insisi diperdalam hingga
kapsula prostat. Waktu yang dibutuhkan lebih cepat, dan lebih sedikit
menimbulkan komplikasi dibandingkan dengan TURP. TUIP mampu
memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun tidak
sebaik TURP. 11
3) Open simple prostatectomy
Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan
paling efisien di antara tindakan pada BPH yang lain dan memberikan perbaikan
gejala BPH 98%. Pembedahan terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan
transvesikal yang mula-mula diperkenalkan oleh Hryntschack dan pendekatan
retropubik yang dipopulerkan oleh Millin.5 Pendekatan transvesika hingga saat
ini sering dipakai pada BPH yang cukup besar disertai dengan batu buli-buli
multipel, divertikula yang besar, dan hernia inguinalis. Pembedahan terbuka
dianjurkan pada prostat volumenya diperkirakan lebih dari 80-100 cm3.
Dilaporkan bahwa prostatektomi terbuka menimbulkan komplikasi striktura
uretra dan inkontinensia.
b. Terapi Minimal Invasif
1) Laser5
Dua sumber energi utama yang digunakan pada operasi dengan sinar laser
adalah Nd:YAG dan holomium:YAG.
Keuntungan operasi dengan sinar laser adalah kehilangan darah minimal,
sindroma TURP jarang terjadi, dapat mengobati pasien yang sedang
menggunakan antikoagulan, dapat dilakukan out patient procedure.
Sementara itu, kerugiannya adalah sedikit jaringan untuk pemeriksaan patologi,
pemasangan kateter postoperasi lebih lama, lebih iritatif, biaya besar.
2) Transurethral Electrovaporization of the Prostate
Cara elektrovaporasi prostat adalah sama dengan TURP, hanya saja teknik ini
memakai Roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat,
33
sehingga mampu membuat vaporasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman,
tidak banyak menimbulkan perdarahan saat operasi, dan masa mondok di rumah
sakit lebih singkat. Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada prostat yang
tidak terlalu besar (< 50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih
lama.5
3) Termoterapi
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro pada
frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan di
dalam uretra. Dengan pemanasan yang melebihi 44O C menyebabkan destruksi
pada jaringan transisional prostat karena nekrosis koagulasi. Cara ini
direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya lebih kecil.5
4) Transurethal Needle Ablation of the Prostate (TUNA)
Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas
sampai mencapai 1000 C, sehingga menimbulkan nekrosis prostat. Sistem ini
terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat
membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke
dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocain
sehingga jarum yang terletak pada ujing kateter terletak pada kelenjar prostat.
Pasien seringkali mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urin, dan
epididimo-orkitis.5
5) High Intensity Focused Ultrasound (HIFU)
Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat berasal
dari gelombang ultrasonografi dari tranduser piezokeramik yang mempunyai
ferkueensi 0,5-10 MHz. Energi yang dipancarkan melalui alat yang diletakkan
transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Tindakan ini memerlukan
anestesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-
60%.5
6) Intraurethral stents
Stent prostat dipasang pada uretra pars prostatika untuk mengatasi obstruksi
karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli
dan disebelah proksimal verumontanum sehingga urin leluas melewati lumen
uretra pars prostatika. Stent dapat dipasng secra temporer atau permanen. Yang
temporer dipasng selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap
dan tidak mengadakan reseksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas
34
kembali secara endoskopi. Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang
tidak mungkin menjalani operasi karena risiko pembedhan yang cukup tinggi.5
7) Transurethral balloon dilation of the prostate
Balon dilator prostat ditempatkan dengan kateter khusus yang dapat melebarkan
fossa prostatika dan leher buli-buli. Lebih efektif pada prostat yang ukurannya
kecil (<40). Teknik ini jarang digunakan sekarang ini

Kontrol Berkala 13

1. Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terdapat
perbaikan klinis
2. Pengobatan penghambat 5α-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
3. Pengobatan penghambat 5α-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan melakukan
pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca miksi
4. Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan penilaian skor miksi,
juga diperiksa kultur urin
5. Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan penyulit.

35
Gambar 6. Algoritma Diagnosis dan Penanganan BPH13

36
BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis pasien BPH ditegakkan berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan yang


sistematis mulai dari pemeriksaan awal dan pemeriksaan tambahan.
Pemeriksaan Awal
1. Anamnesis
Pada anamensis pasien dalam kasus ini datang dengan keluhan utama tidak bisa BAK
yang dapat mengarahkan bahwa pasien mengalami retensio urine. Retensio urine
adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urine yang terkumpul hingga
kapasitas maksimal vesica urinaria terlampaui. Pada anamnesis juga didapatkan
keluhan lain yang menunjang kearah diagnosis BPH yang merupakan salah satu
penyebab dari retensio urine. Pada BPH dapat ditemukan gejala-gejala baik pada
saluran kemih bagian bawah, saluran kemih bagian atas, maupun keluhan diluar
saluran kemih seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Gejala pada saluran kemih
bagian bawah meliputi gejala obstruktif dan iritatif. Pada pasien dalam kasus tidak
ditemukan gejala pada saluran kemih atas dan gejala diluar saluran kemih. Pada pasien
ini hanya didapatkan gejala pada saluran kemih bawah berupa gejala obstruktif dan
iritatif. Gejala obstruktif yang ditemukan pada pasien ini berupa hesistancy,
intermittency, pancaran urine lemah, dan BAK tidak lampias. Sementara itu, gejala
iritatif yang ditemukan pada pasien diantaranya adalah nocturia. Dari hasil anamnesis
yang didapatkan, dapat dilakukan skoring IPSS. Adapun hasil skoring IPSS pada
pasien ini adalah sebagai berikut:

37
Dari hasil skoring IPSS tersebut idapatkan pasien mengalami gejala saluran kemih
bawah yang berat
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien dalam kasus ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Pemeriksaan abdomen
Pada pemeriksaan ini didapatkan bulging dan nyeri tekan pada regio suprapubi
pasien yang menunjukkan kesan vesical urinaria pasien terisi penuh.
b. Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai tonus sfingter ani, pembesaran atau
ukuran prostat dan kecurigaan adanya keganasan seperti nodul atau perabaan yang
keras. Pada pemeriksaan pasien ini didapatkan tonus sfingter ani baik, ampula recti
tidak kolaps, mukosa rectum licin, teraba massa di arah jam 12, konsistensi kenyal,
permukaan licin, simetris, batas atas dapat diraba, sulcus medianus tidak teraba.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien hanya berupa pemeriksaan darah
rutin dan urinalisis. Hasil pemeriksaan darah rutin menunjukkan leukositosis yang
memungkinkan menunjukkan adanya proses infeksi. Sementara itu hasil urinalisis
pasien menunjukkan terdapatnya sedimen eritrosit dan leukosit, tetapi jumlahnya
masih dalam batas normal.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien ini hanya dilkukan untuk mengatasi kegawatannya yaitu
dilakukannya kateterisasi uretra untuk mengosongkan mengosongkan vesicaurinaria
pasien yang terkesan penuh. Setelah dilakukan katetterisasi didapatkan volume urine yang
keluar sebanyak 700 cc, dimana volume tersebut sudah melebihi kapasitas dari vesical
urinaria. Hal inilah yang memungkinkan pasien mengompol tanpa terasa. Selain itu, pada
pasien ini juga diberikan terapi medikamentosa yang bertujuan hanya untuk mengatasi
gejala-gejala yang terasa. Pada pasien ini belum dilakukan tindakan terapi untuk
mengatasi BPH nya, pasien dipulangkan dengan anjuran untuk control ke Poli Bedah.
Berdasarkan skor IPSS yang didapatkan pada pasien yaitu 23 yang menunjukkan gejala
berat, pasien sebaiknya dilakukan tindakan intervensi, baik operatif maupun tindakan
invasive minimal.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo B. Dasar-dasar Urologi. Edisi kedua. Jakarta: CV. Infomedika. 2007. h 7-8,
70-85.

2. Emil, Tanagho. Smith’s General Urology. New York McGraw-Hill Lange. 2008.
3. Ganong. Review of medical Phisiologi. USA. McGraw-Hill companies. 2003
4. Rahardjo D. Prostat Hipertrofi. Dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Tangerang:
Binarupa Aksara. 2002. h 160-169.
5. Sjamsuhidajat R dan Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2002. h. 782-786.
6. Rizki Amalia. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak. Program
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. 2007
7. Yuwana R. Permasalahan Bedah Urologi pada Manula. Semarang : UPG Ilmu Bedah
FK Undip.
8. Hardjowijoto S, dkk. Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) Benign Prostatic
Hiperplasia (BPH) di Indonesia. Surabaya : Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2003.
9. National Kidney and Urologic Diseases Informatioan Clearing house (NKUDIC).
Prostat Enlargement : Benign Prostatic Hiperplasia. NIH 2006. Publication no.06-3012.
10. Donovan JL, Kay HE, Peters TJ, Abrama P, Coast J, Matos-Ferreira A, Rentzhog L,
Bosch JL,Nordling J, Gajewski JB, Barbalias G, Schick E, Silva MM, Nissenkorn I, de
la Rosette JJ. Using the ICSQoL to measure the impact of lower urinary tract symptoms
on quality of life: evidence from the ICS-‘BPH’ study. International Continence Society
- Benign Prostatic Hyperplasia. Br J Urol 1997;80:712-721.
11. Roehrborn CG, McConnell J, Bonilla J, Rosenblatt S, Hudson PB, Malek GM, et al.
Serum prostate specific antigen is a strong predictor of future prostate growth in men
with benign prostatic hyperplasia. J Urol 163: 13-20, 2000
12. Roehrborn CG, McConeell JD, Lieber M, Kaplan S, Geller J, Malek GH, et al. Serum
prostate-specific antigen concentration is a powerful predictor of acute urinary retention
and need for surgery in men with clinical benign prostatic hyperplasia. Urol 53, 473-
480, 2000
13. Ikatan Dokter Urologi Indonesia. Penatalaksanaan BPH di Indonesia.
14. McConnell. Guidelines for diagnosis and management of BPH.
http://www.urohealth.org/bph/specialist/future/c hp43.asp
15. Lepor H dan Lowe FC. Evaluation and nonsurgical management of benign prostatic
hyperplasia. Dalam: Campbell’s urology, edisi ke 7. editor: Walsh PC, Retik AB,
Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders Co., 1337-1378, 2002
16. 28. Prasetyawan W dan Sumardi R. Korelasi antara volume residu urine dan adanya
obstruksi pada penderita dengan simtom BPH dengan menggunakan pressure flow
study. JURI, 10: 19-21, 2003.
17. AUA practice guidelines committee. AUA guideline on management of benign
prostatic hyperplasia (2003). Chapter 1: diagnosis and treatment recommendations. J
Urol 170: 530547, 2003

39

Anda mungkin juga menyukai