1
berhenti merokok sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat batuk berdahak 3 bulan yang lalu selama
±10 hari.
3. Keluhan Tambahan : Tidak bisa buang air kecil. Hal ini dirasakan os ± 5 bulan yang lalu.
Kencing berdarah (-), batuk (-), mual (-), muntah (-), BAB (+) normal.
4. Riw. Peny. Dahulu : Asma, dialami os sejak remaja. Os tidak ingat obat yang pernah
dikonsumsi. PPOK, os pernah dirawat sebelumnya. Hipertensi (+), DM (-)
5. Riwayat Pengobatan : Cefixime 2x500 mg, ambroxol 3x30 mg, metilprednisolon 2x4 mg,
salbutamol 3x4 mg, nebu combivent/ 8 jam, amlodipine 1x5 mg
6. Riwayat Alergi : Seafood, ikan gembung, udara dingin, dan debu.
7. Riwayat Kebiasaan : Merokok
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Present
a. Sensorium : Compos mentis
b. T. Darah : 137/67 mmHg
c. Frek. Nadi : 100x/ menit
d. Frek. Nafas : 32x/ menit
e. Suhu : 36,1 C
f. BB : ???
g. TB : ???
h. Saturasi O2 : 95% → 100% dengan nasal kanul
2. Status Generalisata
2.1 Kepala : Normocephali, deformitas (-)
2.2 Mata : Pupil isokor (+/+), konjungtiva anemis -/- , sklera ikterik -/-
2
2.5 Thorax
2.5.1 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada linea midklavikularis sinistra ICS V-VI
Perkusi : Batas atas jantung : Linea parasternalis kanan ICS II
Batas kiri jantung : Linea midclavicularis sinistra ICS VI
Batas kanan jantung : Linea parasternalis dekstra ICS IV
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
2.5.2 Paru
Inspeksi : Gerakan nafas dinding dada kanan = kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, melemah
Perkusi : Sonor. Batas paru dengan hepar, jantung kanan, lambung, jantung kiri
normal.
Auskultasi : Vesikuler +/+ melemah, ronkhi -/-, wheezing +/+ saat ekspirasi
2.6 Abdomen
Inspeksi : Simetris
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : 9 regio abdomen timpani
Palpasi : Soepel
Nyeri tekan (+) regio supra pubis
+/+ −/−
2.7 Ekstremitas : Akral hangat +/+ , edema +/+ , CRT < 2 detik
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Laboratorium tanggal 19 Januari 2019
Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
Elektrolit
Natrium 137.6 135 – 145 mEq/L
Kalium 3.34* 3.5 – 5 mEq/L
Klorida 99 95 – 105 mEq/L
3
Darah Lengkap
Leukosit 6.77 4 – 11 x10^3/ul
Eritrosit 4.26* 4.6 – 6.2 x10^6/ul
Hemoglobin 12.9 12.5 – 18 g/dl
Hematokrit 37* 40 – 50 %
Trombosit 192 150 – 400 x10^3/ul
Neutrophil 69.8 60 – 70 %
Limfosit 13.3* 20 – 35 %
Monosit 7.4 2–8 %
Eosinophil 9.2* 1–4 %
Basophil 0.3 0–1 %
MCV 85.9 82 – 92 fL
MCH 30.3 27 – 31 pg
MCHC 35.2 32 – 36 g/dl
Kimia Darah
Ureum 35 15 – 45 mg/dL
SGOT 22 0 – 37 U/L
SGPT 15 0 – 42 u/L
Albumin 4.1 3.8 – 5.1 g/dL
4
2. Foto Thorax
D. DIAGNOSIS
PPOK eksaserbasi akut dengan serangan sedang
E. TATALAKSANA
O2 2 lpm
Infus NS : D5 = 1 : 1 10 tpm
Nebu ventolin + flexotide/ 6 jam
Ij. Ceftriaxone 1gram/ 12 jam
F. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad fungsionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
5
Hasil Pembelajaran :
1. Penegakan diagnosis pada PPOK
2. Tatalaksana pada PPOK
PEMBAHASAN KASUS
1. Subjective
Sesak dialami sejak ± 3 bulan, hilang timbul. Ketika serangan sesak datang, sesak
dirasakan terus menerus dalam sehari, memberat bila melakukan aktivitas yang berat dan
berkurang apabila os istirahat. Dalam sebulan sesak bisa kambuh >5 kali. Sesak akan
kambuh apabila terkena asap, debu, dan udara dingin. Riwayat kebiasaan merokok (+).
2. Objective
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan:
a. Adanya riwayat PPOK.
b. Kebiasaan merokok sejak dahulu. Merokok merupakan salah satu faktor resiko dari
PPOK.
3. Assesment
Penyakit paru obstruksi kronis eksaserbasi sedang
4. Planing
a. Rawat inap
b. Observasi tanda-tanda vital
6
FOLLOW UP
IVFD RL 20 tpm
Obs. Dispneu ec.
O2 3 lpm
PPOK eksaserbasi
Ranitidine 1 amp/ 12 jam iv
20 / 01 / 2019 Sesak (+) akut
Cefotaxime 1 gr/ 12 jam iv
Paracetamol infus/ 8 jam
Retensi urin ec. ?
DC terpasang
06.45 WIB O2 3 lpm
Sesak nafas post BAB, EKG : Sinus ritme
bunyi “ngik-ngik” Nebu ventolin / NS
21 / 01 / 2019
Obs. Dispneu ec. Konsul penyakit dalam
TD: 130 / 70
07.15 WIB PPOK eksaserbasi
mmHg
Sesak (+) akut
HR: 87 x/i
Nebu combivent : flexotide
RR: 28 x/i
20.41 WIB Retensi urin ec. ?
T: 36.5C
Sesak berkurang, leher
tegang, nyeri kepala Cefotaxim stop, ganti
berdenyut Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
7
Vesikuler +/+ lemah,
Rh -/-, Wh +/+
O2 2 lpm
PPOK eksaserbasi Infus NS : D5% = 1:1 10 tpm
22 / 01 / 2019 Sesak (+), mual (-),
akut dengan Nebulizer ventolin/ 6 jam
TD: 130 / 60 muntah (-)
serangan sedang Nebulizer flexotide/ 6 jam
mmHg
Ij. Metilprednisolon 62,5 mg/
HR: 81 x/i Vesikuler +/+ lemah,
Retensi urine ec. 12 jam
RR: 28 x/i Rh -/-, Wh +/+
Susp. BPH Retaphyl SR 1 x 300 mg
Ij. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
23 / 01 / 2019 Sesak (+), batuk (+) PPOK eksaserbasi
TD: 125 / 73 berdahak akut dengan
mmHg serangan sedang
Terapi lanjut
HR: 85 x/i Vesikuler +/+ lemah,
RR: 20 x/i Rh -/-, Wh +/+ Retensi urine ec.
SatO2: 99% berkurang Susp. BPH
24 / 01 / 2019 Sesak (+), batuk (+) PPOK eksaserbasi
TD: 140 / 80 berdahak akut dengan
mmHg serangan sedang
Terapi lanjut
HR: 102 x/i Vesikuler +/+ lemah,
SatO2: 91% Rh -/-, Wh +/+ Retensi urine ec.
T: 36.2C berkurang Susp. BPH
PPOK eksaserbasi
Sesak (+) berkurang,
25 / 01 / 2019 akut dengan Terapi lanjut
batuk (+) berkurang
TD: 180 / 100 serangan sedang +
mmHg Ij. Furosemide 1 amp/ 12 jam
TVJ meningkat
HR: 101 x/i Hipertensi grade 2 Amlodipin 1 x 5 mg
Vesikuler +/+ lemah,
SatO2: 92 % Ij. Ketorolac 1 amp/ 8 jam
Rh -/-, Wh +/+
T: 36C Retensi urine ec. (k/p)
berkurang
Susp. BPH
26 / 01 / 2019 Sesak (+) berkurang, PPOK eksaserbasi Terapi lanjut
8
TD: 160 / 70 batuk (+) berkurang akut dengan +
mmHg serangan sedang Captopril 3 x 12,5 mg
HR: 78 x/i TVJ meningkat dengan infeksi
T: 37.1C Vesikuler +/+ lemah,
SatO2: 92 % Rh -/-, Wh +/+ Hipertensi grade 2
berkurang
Retensi urine ec.
Susp. BPH
9
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) masih merupakan masalah kesehatan global yang
serius. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) akan memiliki dampak pada berbagai aspek
kehidupan, baik beban secara individual maupun komunitas. World Health Organization (WHO)
memperkirakan sekitar 210 juta orang di dunia menderita PPOK. Pada tahun 2005 lebih dari 3
juta orang meninggal akibat PPOK, jumlah ini sama artinya dengan 5% dari seluruh kematian
dunia. Sekitar 90 % kematian akibat PPOK terjadi pada negara dengan pendapatan menengah
atau rendah, dimana strategi pencegahan dan kontrol tidak berjalan dengan baik.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan terjadinya peningkatan angka
kematian akibat PPOK lebih dari 30% dalam 10 tahun, bila intervensi untuk menghindari faktor
risiko, khususnya pajanan asap rokok tidak dilakukan dengan baik, pada tahun 2030, PPOK
bahkan diperkirakan menjadi penyebab kematian terbanyak ketiga di dunia. Melihat besarnya
masalah yang ditimbulkan oleh PPOK, para ahli terus berusaha menyempurnakan pemahaman
mengenai tatalaksana kondisi ini untuk dapat menangani dan mencegah perburukan.
Penyempurnaan paradigma mengenai inflamasi, eksaserbasi, serta dampak sistemik PPOK,
terutama yang selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun adalah paradigma mengenai
terapi jangka panjang PPOK. Penelitian berkelanjutan dalam bidang pengobatan PPOK akan
terus berkembang dalam upaya pencegahan progresivitas penyakit, penurunan gejala yang
memperburuk kualitas hidup, serta pemecahan masalah mengenai isu efek samping obat.1
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
Di Indonesia, PPOK merupakan masalah kesehatan umum dan menyerang sekitar 10%
penduduk usia 40 tahun ke atas. Jumlah kasus PPOK memiliki kecenderungan untuk meningkat.
Berdasarkan pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, Penyakit Paru Obstruktif
Kronik menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab
kesakitan utama. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI 1992 menunjukkan angka
kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10
penyebab tersering kematian di Indonesia. Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit
tersebut yaitu kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70%),
pertambahan penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada 1960-an
menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an, industrialisasi, polusi udara di kota besar, di lokasi
industri, dan di pertambangan.5
12
perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam
tahun:6
a. Ringan : 0-200
b. Sedang : 200-600
c. Berat : > 600
4.2 Polusi Udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat menjadi penyebab
terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan memberikan efek yang berbeda
terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab,
polusi udara terbagi menjadi :6
4.2.1 Polusi di dalam ruangan
a. Asap rokok
b. Asap kompor
4.2.2 Polusi di luar ruangan
a. Gas buang kendaraan bermotor
b. Debu jalanan
4.2.3 Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
13
4.4 Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi
bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara bermakna menimbulkan
eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan
meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa.6
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaaan ini, karena
seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan
napas yang merupakan faktor risiko pada PPOK. Pengaruh berat badan lahir rendah akan
meningkatkan infeksi viral yang juga merupakan faktor risiko PPOK. Kebiasaan merokok
berhubungan dengan kejadian emfisema. Riwayat infeksi tuberkulosis berhubungan dengan
obstruksi jalan napas pada usia lebih dari 40 tahun.6
4.7 Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor resiko terjadinya PPOK, walaupun belum dapat
disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological Study” didapatkan bahwa orang dengan
asma 12 kali lebih tinggi resiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti
14
merokok. Penelitian lain 20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK dengan ditemukannya
obstruksi jalan napas ireversibel.6
4.8 Gen
Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari
interaksi gen-lingkungan. Faktor resiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan
alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering
dijumpai pada individu origin Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan
emphysema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan
perokok dengan kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat. Banyak variasi individu dalam hal
beratnya emfisema dan penurunan fungsi paru.6
Meskipun kekurangan α-1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari populasi di dunia,
hal ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan pajanan lingkungan yang menyebabkan
PPOK. Gambaran di atas menjelaskan bagaimana faktor risiko genetik berkontribusi terhadap
timbulnya PPOK.6
Risiko obstruksi aliran udara yang di turunkan secara genetik telah diteliti pada perokok
yang mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Hasil penelitian menunjukkan keterkaitan bahwa
faktor genetik mempengaruhi kerentanan timbulnya PPOK. Telah diidentifikasi kromosom 2q7
terlibat dalam patogenesis PPOK, termasuk TGF-1, mEPHX1dan TNF. Gen-gen di atas banyak
yang belum pasti kecuali kekurangan alpha-1 antitrypsin.6
Faktor risiko PPOK mungkin juga dihubungkan dengan cara yang lebih kompleks, karena
harapan hidup manusia yang menjadi lebih lama, memungkinkan terjadinya paparan seumur
hidup yang lebih besar terhadap berbagai faktor risiko.6
15
mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat
penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai beratsakit.2
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang.
Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal
bebasmempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai
macam penyakit paru.2
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkanterjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan
kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi
sel tersebut akanmenyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8
dan leukotriene B4, tumour necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan
reactive oxygen species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan
protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding
alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya
limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal
terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan
makrofag dan neutrophil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion
superoksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang
toksik akandiubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero
dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl).2
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis
sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder
setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveoli yang
menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusi
dan asap rokok.2
16
Gambar 1. Patogenesis PPOK
17
Tabel 1. Skala Sesak
Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit
4 Sesak bila mandi atau berpakaian
18
Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri, jika salah satu indicator ini ada pada
individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan diagnostik pasti, tetapi keberadaan
beberapa indikator kunci meningkatkan kemungkinan diagnosis PPOK. Spirometri diperlukan
untuk memastikan diagnosis PPOK.6
19
b. COPD Assessment Test (CATTM)3
7.2 Anamnesis6
a. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
b. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
c. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
d. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
e. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
f. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
20
7.3 Pemeriksaan Fisik6
7.3.1 Inspeksi
a. Pursed-lips breathing(mulut setengah terkatup/ mencucu)
b. Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
c. Penggunaan otot bantu napas
d. Hipertropi otot bantu napas
e. Pelebaran sela iga
f. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema
tungkai
g. Penampilan pink puffer atau blue bloater
7.3.2 Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
7.3.3 Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah.
7.3.4 Auskultasi
a. Suara napas vesikuler normal, atau melemah
b. Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
c. Ekspirasi memanjang
d. Bunyi jantung terdengar jauh
21
b. Uji bronkodilator
i. Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
ii. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit kemudian
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan
<200 ml.
iii. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
7.4.3 Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada
emfisema terlihat gambaran :
a. Hiperinflasi
b. Hiperlusen
c. Ruang retrosternal melebar
d. Diafragma mendatar
e. Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye drop appearance)
22
e. Variabiliti Harian APE kurang dari 20%
7.5.2 Uji latih kardiopulmoner
a. Sepeda statis (ergocycle)
b. Jentera (treadmill)
c. Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
7.5.3 Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
7.5.4 Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
a. Gagal napas kronik stabil
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
7.5.5 Radiologi
a. CT-Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos.
b. Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru.
7.5.6 Elektrokardiografi (EKG)
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
7.5.7 Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan.
7.5.8 Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
23
8. DIAGNOSIS BANDING PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
Tabel 3. Diagnosis Banding PPOK3
Diagnosis Gejala
a. Onset pada usia pertengahan
b. Gejala progresif lambat
PPOK c. Lamanya riwayat merokok
d. Sesak saat aktivitas
e. Sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel
a. Onset awal sering pada anak
b. Gejala bervariasi dari hari ke hari
c. Gejala pada malam / menjelang pagi
Asma
d. Disertai alergi, rinitis atau eksim
e. Riwayat keluarga dengan asma
f. Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversibel
a. Auskultasi, terdengar ronki halus di bagian basal
Gagal Jantung
b. Foto toraks tampak jantung membesar, edema paru
kongestif
c. Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi
a. Sputum produktif dan purulen
b. Umumnya terkait dengan infeksi bakteri
24
a. Lebih banyak pada laki-laki bukan perokok
b. Hampir semua menderita sinusitis kronis
Panbronkiolitis c. Foto toraks dan HRCT toraks menunjukkan nodul opak
diffusa menyebar kecil di centrilobular dan gambaran
hiperinflasi
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan
di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICCU dan di rumah. Secara
intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu
yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas.
Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :6
a. Pengetahuan dasar tentang PPOK
b. Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
c. Cara pencegahan perburukan penyakit
d. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
e. Penyesuaian aktivitas
25
9.2 Berhenti Merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A:7
a. Ask (Tanyakan) : Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Advise (Nasihati) : Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.
c. Assess (Nilai) : Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari ke
depan).
d. Assist (Bimbing) : Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan
konseling praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange (Atur) : Buat jadwal kontak lebih lanjut.
26
toleransi latihan merupakan resultan dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dan
toleransi terhadap asam laktat.
Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe latihan
diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif dicatat. Latihan
fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :
i. Di rumah
Latihan dinamik
Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, jogging, sepeda
ii. Rumah sakit
Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah adalah
ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walking-jogging. Begitu jenis
latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan denyut
nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung
60%-70% maksimal selama 10 menit.
Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa minggu latihan ditambah
sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu. Denyut nadi maksimal adalah 220 – umur
dalam tahun. Hal-hal yang perlu diperhatian sebelum latihan :
a. Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
b. Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latiham
c. Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi atau
pusing latihan segera dihentikan
d. Pakaian longgar dan ringan
9.3.2 Psikososial
Status psikologi penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat
diberikan obat.6
9.3.3 Latihan Pernafasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mongontrol sesak napas. Teknik latihan
meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips breathing guna memperbaiki ventilasi dan
mensinkronkan kerja otot abdomen dan toraks.6
9.3.4 Terapi Oksigen
27
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-
organ lainnya.6
Terapi oksigen dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat.. Pada PPOK derajat
sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktivitas. Pada
PPOK derajat berat yang menggunakan terapi oksigen di rumah pada waktu aktivitas atau terus
menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter.
Indikasi:6
a. PaO2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90 %
b. PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Korpulmonal, perubahan P
pulmonal, Ht > 55 % dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru
lain.
9.3.5 Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja otot pernafasan yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas PPOK
karena berkorelasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi otot
pernafasan sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi
adalah :6
a. Hipophospatemi
b. Hiperkalemi
c. Hipokalsemi
d. Hipomagnasemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan
komposisi seimbang, yaitu porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.6
28
Terapi farmakologis untuk PPOK digunakan untuk mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, dan meningkatkan toleransi olahraga dan status
kesehatan.3
Pemilihan obat dapat dalam bentuk dishaler, nebuhaler, turbuhaler atau breezhaler karena
penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan kekuatan otot sudah
berkurang. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang efektif. Nebuliser sebaiknya tidak
digunakan secara terus menerus, hanya bila timbul eksaserbasi.3
29
Terapi farmokologi lain pada PPOK:3
30
a. Terapi augmentasi α-1 antitripsin,
b. Antitusif, tidak ada bukti konklusif peran dari antitusif yang menguntungkan bagi pasien
PPOK.
c. Vasodilator, tidak meningkatkan hasil bahkan memperburuk oksigenasi.
31
Gambar 2. Algoritma Terapi Intervensi pada PPOK
32
10.1 Penatalaksanaan Non Farmakologi pada PPOK Stabil3
Manajemen non farmakologi yang paling penting dalam penatalaksanaan PPOK adalah
berhenti merokok untuk semua pasien PPOK, menghindari faktor pencetus seperti polusi indor
dan outdor, serta menghindari pajanan pekerjaan.
Tabel 4. Pengelolaan PPOK Stabil: Non Farmakologi
33
10.1.5 Terapi hipoksemia dan hiperkapnia
a. Pada pasien dengan hipoksemi saat istirahat dan desaturasi pada saat aktivitas fisik
direkomendasikan penggunaan terapi oksigen jangka panjang.
b. Oksigenasi saat istirahat pada sea leveltidak mengeksklusi terjadinya hipoksemia pada
saat bepergian menggunakan pesawat.
c. Pada pasien dengan hiperkapnia kronik berat dan riwayat rawat inap dengan gagal napas
akut, long termnon invasif ventilasi dipertimbangkan.
10.1.6 Pembedahan
a. Lung volume reduction surgery diperlukan pada pasien tertentu dengan emfisema lobus
atas.
b. Bronchoscope lung volume reduction intervention dipertimbangkan pada pasien dengan
advanced emfisema.
c. Pada pasien dengan bula yang besar, bulektomi dapat dipertimbangkan.
d. Pada pasien dengan PPOK sangat berat, transplantasi paru dapat dipertimbangkan.
34
10.2 Penatalaksaan Farmakologi pada PPOK Stabil
Terapi farmakologi dapat menurunkan gejala, risiko, keberatan eksaserbasi dan juga
memperbaiki status kesehatan serta toleransi terhadap aktivitas fisik. Kelas pengobatan yang
sering digunakan untuk menerapi PPOK stabil adalah golongan bronkodilator, antiinflamasi,
serta obat-obatan penunjang lain.7
35
Poin penting penggunaan penggunaan obat lainnya menurut GOLD 2018:7
a. Pasien dengan defisiensi berat alpha-1-antitripsin dan mengalami emfisema dapat
merupakan kandidat pemberian alpha-1-antitripsin augumentation therapy.
b. Pemberian antitusif tidak direkomendasikan pada penderita PPOK.
c. Obat yang digunakan untuk mengobati hipertensi pulmonal primer tidak
direkomendasikan untuk digunakan pada pasien dengan hipertensi pulmonal sekunder
akibat PPOK.
d. Long acting oral dan parenteral opioid dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk
mengobati sesak pada pasien PPOK dengan serangan berat.
Grup A: Semua pasien grup A sebaiknya ditawarkan untuk terapi bronkodilator sebagai terapi
jangka panjang berdasarkan efeknya terhadap sesak napas baik short acting maupun long
actingbronkodilator. Terapi sebaiknya diteruskan jika secara klinis memberikan manfaat.7
36
Grup B: Terapi inisial sebaiknya terdiri dari long acting broncodilator. Pemilihan bronkodilator
berdasarkan perbaikan gejala pada persepsi pasien. Untuk pasien sesak persisten dengan
monoterapi maka penggunaan kombinasi dua bronkodilator direkomendasikan. Untuk pasien
yang dari awal memang sudah sesak berat terapi inisial dengan dua bronkodilator dapat
dipertimbangkan. Jika dengan dua bronkodilator tidak memperbaiki gejala maka pertimbangkan
step down menjadi monotorapi, Pasien grup B memiliki komorbiditas yang harus diinvestigasi
karena memiliki pengaruh pada gejala dan prognosis.7
Grup C : Inisial terapi pada grup ini terdiri dari single long acting broncodilator. Pada
perbandingan antara LAMA dan LABA monoterapi didapatkan bahwa LAMA lebih superior
dibanding LABA untuk mencegah eksaserbasi, oleh karena itu direkomendasikan memulai terapi
dengan LAMA pada grup ini. Pasien dengan eksaserbasi persisten dapat diberikan kombinasi
terapi dengan LABA/LAMA atau LABA/ICS. Karena ICS meningkatkan risiko pneumonia
maka pilihan utama adalah LABA/LAMA.7
Follow up yang rutin pada pasien PPOK sangat penting. Fungsi paru-paru dapat
memburuk dari waktu ke waktu, bahkan dengan perawatan yang terbaik sekalipun. Gejala,
37
eksaserbasi, pengukuran objektif dari batasan aliran udara harus dimonitor untuk menentukan
kapan memodifikasi terapi dan untuk mengidentifikasi beberapa komplikasi dan/atau komorbid
yang mungkin muncul.
Menurut GOLD 2017 PPOK eksaserbasi didefinisikan sebagai perburukan akut gejala
pernafasan. Diklasifikasikan sebagai berikut ini:3
a. Ringan (diobati dengan short acting bronchodilators saja, SABDs )
b. Sedang (diobati dengan SABDs ditambah antibiotic dan/atau kortikosteroid oral)
c. Berat (pasien yang memerlukan rawat inap atau yang ke IGD). Eksaserbasi berat
mungkin juga berhubungan dengan kegagalan pernafasan akut.
Pasien yang dirawat di rumah sakit karena eksaserbasi berat harus didasarkan pada tanda-
tanda klinis pasien sesuai klasifikasi berikut:3
a. Tanpa gagal nafas
b. Gagal nafas akut tanpa mengancam jiwa
38
c. Gagal nafas akut dengan mengancam jiwa
39
11.2 Dukungan Pernafasan3
11.2.1 Terapi oksigen
Ini adalah komponen kunci dari perawatan eksaserbasi di rumah sakit. Oksigen tambahan
harus dititrasi untuk meningkatkan hipoksemia pasien dengan target saturasi 88-92%. Setelah
oksigen dimulai, gas darah harus sering diperiksa untuk memastikan oksigenasi yang
memuaskan tanpa retensi karbon dioksida dan / atau asidosis yang memburuk.
11.2.2 Dukungan Ventilasi
a. Beberapa pasien perlu segera masuk ke unit perawatan pernapasan atau unit perawatan
intensif (ICU), yaitu:
i. Dispneu berat yang tidak cukup respon terhadap terapi awal
ii. Perubahan status mental (bingung, lesu, koma)
iii. Hipoksemia persisten atau berat (PaO2 < 5.3 kPa or 40 mmHg) dan/atau asidosis
respiratori berat/memburuk (pH < 7.25)
iv. Membutuhkan ventilasi mekanis invasive
v. Hemodinamik tidak stabil -> butuh vasopresor
b. Dukungan ventilasi dalam eksaserbasi dapat diberikan dengan ventilasi noninvasif
(hidung atau wajah) atau invasif (tabung oro-trakea atau trakeostomi).
c. Stimulan pernafasan tidak direkomendasikan pada gagal nafas akut.
11.2.3 Ventilasi mekanis noninvasif
Penggunaan ventilasi mekanis noninvasif lebih dianjurkan daripada ventilasi invasif
(intubasi dan ventilasi tekanan positif) sebagai mode awal ventilasi pada pasien yang dirawat
karena gagal nafas akut pada PPOK eksaserbasi akut.
Indikasi pemasangan ventilasi mekanis non invasive setidaknya salah satu dari poin
berikut ini:
a. Asidosis respiratori (PaCO2 ≥ 6.0 kPa atau 45 mmHg dan pH arteri ≤ 7.35)
b. Dispneu berat dengan tanda klinis sugestif dari otot pernafasan yang lemah, peningkatan
usaha bernafas, atau keduanya, seperti menggunakan otot tambahan respirasi, pergerakan
paradoksal pada abdomen, atau retraksi dari ruang interkosta.
c. Hipoksemia persisten meskipun sudah mendapat terapi oksigen tambahan.
11.2.4 Ventilasi mekanis invasif
Indikasi pemasangan ventilasi mekanis invasif:
40
a. Tidak dapat respon atau gagal dengan ventilasi non invasive
b. Status post – respirasi atau cardiac arrest
c. Penurunan kesadaran, agitasi psikomotor
d. Aspirasi yang banyak atau muntah yang menetap
e. Ketidakmampuan untuk membuang secret pernafasan
f. Hemodinamik yang tidak stabil tanpa respon pada cairan dan obat vasoaktif
g. Aritmia berat pada ventricular atau supraventricular
h. Hipoksemia yang mengancam jiwa pada pasien yang tidak toleransi pada pemakaian
ventilasi non invasif
41
b. Mengulas dan memahami regimen terapi
c. Menilai kembali teknik inhaler
d. Menilai kembali kebutuhan untuk terapi oksigen jangka panjang
e. Mencatat kapasitas aktivitas fisik dan aktivitas sehari-hari
f. Mengukur spirometri: FEV1
g. Mencatat gejala CAT dan mMRC
h. Menentukan status komorbid
42
13. KOMPLIKASI PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
PPOK merupakan penyakit progresif, fungsi paru memburuk dari waktu ke waktu,
bahkan dengan perawatan yang terbaik. Gejala dan perubahan obstruksi saluran napas harus
dipantau untuk menentukan modifikasi terapi dan menentukan adanya komplikasi. Pada
penilaian awal saat kunjungan harus mencakup gejala khususnya gejala baru atau perburukan
dan pemeriksaan fisik.6
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif dan tidak
sepenuhnya reversibel seperti:6
11.1 Gagal napas
11.1.1 Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah PO2< 60 mmHg dan PCO2> 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan:6
a. Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
b. Bronkodilator adekuat
c. Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas atau waktu tidur
d. Antioksidan
e. Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
43
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung
kanan.6
DAFTAR PUSTAKA
44
1. Ngurah Rai, Dr. dr. Ida Bagus, Sp.P (K) dan Artana, Dr. I Gusti Ngurah Bagus, Sp. PD.
Managing Respiratory Disease in JKN National Coverage Era. Bali: Udayana Univercity
Press. 2018: h.1
2. Khairani, Fathia. Hubungan Antara Skor Copd Assessment Test(CAT) DENGAN Rasio
FEV1/FVC Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) KLINIS. Semarang:
Universitas Diponegoro. Diakses dari:
http://eprints.undip.ac.id/43859/1/FATHIA_KHAIRANI_G2A009079_BAB_0_KTI.pdf
tanggal 26 Januari 2019. 2013: h.7
3. GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention. Access on:
https://goldcopd.org/wp-content/uploads/2016/12/wms-GOLD-2017-Pocket-Guide.pdf at
26 Januari 2019. 2017
4. NN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut. Bagian Pulmonologi
dan Kedokteran Respirasi FK UNS/ RS. Dr. Moewardi. Diakses dari
https://abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S601102002_bab2.pdf pada 3 Februari 2019.
2016
5. NN. Medan: Universitas Sumatera Utara. Diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/67240/Chapter%20II.pdf?sequenc
e=4&isAllowed=y pada 3 Februari 2019. 2017
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Penyakit Paru Obstruktif Kronik Diagnosis
dan Penatalaksanaan. 2011
7. GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention. Access on:
https://goldcopd.org/wp-content/uploads/2017/11/GOLD-2018-v6.0-FINAL-revised-20-
Nov_WMS.pdf at 10 Februari 2019. 2018
8. Paramasivam, Komilannaath. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK). Kepaniteraan
Klinik Madya Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam. Bali: Fakultas Kedokteran
UNUD/RSUP Sanglah. 2017
45