Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PORTOFOLIO DOKTER INTERNSIP

RSUD Dr. H. Marsidi Judono - Tanjung Pandan

Nama Peserta : dr. Laya Ladeya Sari

Nama Wahana : Ruangan Bangsal RSUD dr. H. Marsidi Judono

Topik : Penyakit Paru Obstruksi Kronik

Tanggal (kasus) : 19 Januari 2019 Presentator : dr. Laya Ladeya Sari

Nama Pasien : Tn. H / 74 tahun No. RM : 1038567

Tanggal Presentasi : 19 Februari 2019 Nama Pendamping :


1. dr. Adi Rosadi, Sp.P
2. dr. Puji Yulie Utami
Tempat Presentasi : RSUD dr. H. Marsidi Judono
Deskripsi : Laki-laki datang ke IGD dengan keluhan sesak sejak ± 3 bulan yang lalu hilang timbul.
Tidak bisa buang air kecil sejak ± 5 bulan. Nyeri berkemih (+), berdarah (-)
o Tujuan :
o Penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi kronik.
Nama Rumah Sakit : Telp : - Terdaftar sejak : -
RSUD Dr. H. Marsidi Judono
Data utama untuk bahan diskusi :
A. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Sesak nafas
2. Telaah : Sesak dialami sejak ± 3 bulan, hilang timbul. Ketika serangan sesak
datang, sesak dirasakan terus menerus dalam sehari, memberat bila melakukan aktivitas
yang berat dan berkurang apabila os istirahat. Dalam sebulan sesak bisa kambuh >5 kali.
Sesak akan kambuh apabila terkena asap, debu, dan udara dingin. Menurut pengakuan os, os
mulai merokok saat usia Sekolah Dasar (SD). Pada zaman dulu os sering membeli
tembakau ± 2ons kemudian dibuat menjadi lintingan menggunakan pembungkus khusus,
jumlah lintingan tidak dapat diingat oleh pasien namun semenjak muncul produk rokok
kemasan, menurut os dalam sehari bisa menghabiskan 1-2 bungkus rokok. Namun os sudah

1
berhenti merokok sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat batuk berdahak 3 bulan yang lalu selama
±10 hari.
3. Keluhan Tambahan : Tidak bisa buang air kecil. Hal ini dirasakan os ± 5 bulan yang lalu.
Kencing berdarah (-), batuk (-), mual (-), muntah (-), BAB (+) normal.
4. Riw. Peny. Dahulu : Asma, dialami os sejak remaja. Os tidak ingat obat yang pernah
dikonsumsi. PPOK, os pernah dirawat sebelumnya. Hipertensi (+), DM (-)
5. Riwayat Pengobatan : Cefixime 2x500 mg, ambroxol 3x30 mg, metilprednisolon 2x4 mg,
salbutamol 3x4 mg, nebu combivent/ 8 jam, amlodipine 1x5 mg
6. Riwayat Alergi : Seafood, ikan gembung, udara dingin, dan debu.
7. Riwayat Kebiasaan : Merokok

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Present
a. Sensorium : Compos mentis
b. T. Darah : 137/67 mmHg
c. Frek. Nadi : 100x/ menit
d. Frek. Nafas : 32x/ menit
e. Suhu : 36,1 C
f. BB : ???
g. TB : ???
h. Saturasi O2 : 95% → 100% dengan nasal kanul

2. Status Generalisata
2.1 Kepala : Normocephali, deformitas (-)

2.2 Mata : Pupil isokor (+/+), konjungtiva anemis -/- , sklera ikterik -/-

2.3 THT : Dalam batas normal

2.4 Leher : TVJ normal, KGB dan kelenjar tiroid normal

2
2.5 Thorax
2.5.1 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada linea midklavikularis sinistra ICS V-VI
Perkusi : Batas atas jantung : Linea parasternalis kanan ICS II
Batas kiri jantung : Linea midclavicularis sinistra ICS VI
Batas kanan jantung : Linea parasternalis dekstra ICS IV
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
2.5.2 Paru
Inspeksi : Gerakan nafas dinding dada kanan = kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, melemah
Perkusi : Sonor. Batas paru dengan hepar, jantung kanan, lambung, jantung kiri
normal.
Auskultasi : Vesikuler +/+ melemah, ronkhi -/-, wheezing +/+ saat ekspirasi
2.6 Abdomen
Inspeksi : Simetris
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : 9 regio abdomen timpani
Palpasi : Soepel
Nyeri tekan (+) regio supra pubis

+/+ −/−
2.7 Ekstremitas : Akral hangat +/+ , edema +/+ , CRT < 2 detik

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Laboratorium tanggal 19 Januari 2019
Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
Elektrolit
Natrium 137.6 135 – 145 mEq/L
Kalium 3.34* 3.5 – 5 mEq/L
Klorida 99 95 – 105 mEq/L

3
Darah Lengkap
Leukosit 6.77 4 – 11 x10^3/ul
Eritrosit 4.26* 4.6 – 6.2 x10^6/ul
Hemoglobin 12.9 12.5 – 18 g/dl
Hematokrit 37* 40 – 50 %
Trombosit 192 150 – 400 x10^3/ul
Neutrophil 69.8 60 – 70 %
Limfosit 13.3* 20 – 35 %
Monosit 7.4 2–8 %
Eosinophil 9.2* 1–4 %
Basophil 0.3 0–1 %
MCV 85.9 82 – 92 fL
MCH 30.3 27 – 31 pg
MCHC 35.2 32 – 36 g/dl
Kimia Darah
Ureum 35 15 – 45 mg/dL
SGOT 22 0 – 37 U/L
SGPT 15 0 – 42 u/L
Albumin 4.1 3.8 – 5.1 g/dL

4
2. Foto Thorax

D. DIAGNOSIS
PPOK eksaserbasi akut dengan serangan sedang

E. TATALAKSANA
O2 2 lpm
Infus NS : D5 = 1 : 1 10 tpm
Nebu ventolin + flexotide/ 6 jam
Ij. Ceftriaxone 1gram/ 12 jam

F. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad fungsionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

5
Hasil Pembelajaran :
1. Penegakan diagnosis pada PPOK
2. Tatalaksana pada PPOK

PEMBAHASAN KASUS

1. Subjective
Sesak dialami sejak ± 3 bulan, hilang timbul. Ketika serangan sesak datang, sesak
dirasakan terus menerus dalam sehari, memberat bila melakukan aktivitas yang berat dan
berkurang apabila os istirahat. Dalam sebulan sesak bisa kambuh >5 kali. Sesak akan
kambuh apabila terkena asap, debu, dan udara dingin. Riwayat kebiasaan merokok (+).

2. Objective
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan:
a. Adanya riwayat PPOK.
b. Kebiasaan merokok sejak dahulu. Merokok merupakan salah satu faktor resiko dari
PPOK.

3. Assesment
Penyakit paru obstruksi kronis eksaserbasi sedang

4. Planing
a. Rawat inap
b. Observasi tanda-tanda vital

6
FOLLOW UP

Tanggal Keluhan Diagnosis Terapi


19 / 01 / 2019
(IGD)
Sens: CM
Sesak (+) , tidak bisa
TD: 135 / 67 IVFD RL 20 tpm
BAK (+)
mmHg Ranitidine 1 amp/ 12 jam iv
HR: 100x/i Retensi urin Cefotaxime 1 gr/ 12 jam iv
RR: 32x/i Paracetamol infus/ 8 jam
Vesikuler +/+ lemah,
T: 36.1C Pasang DC -> gagal
Rh +/+, Wh +/+
SatO2: 95% ->
nasal kanul

IVFD RL 20 tpm
Obs. Dispneu ec.
O2 3 lpm
PPOK eksaserbasi
Ranitidine 1 amp/ 12 jam iv
20 / 01 / 2019 Sesak (+) akut
Cefotaxime 1 gr/ 12 jam iv
Paracetamol infus/ 8 jam
Retensi urin ec. ?
DC terpasang
06.45 WIB O2 3 lpm
Sesak nafas post BAB, EKG : Sinus ritme
bunyi “ngik-ngik” Nebu ventolin / NS
21 / 01 / 2019
Obs. Dispneu ec. Konsul penyakit dalam
TD: 130 / 70
07.15 WIB PPOK eksaserbasi
mmHg
Sesak (+) akut
HR: 87 x/i
Nebu combivent : flexotide
RR: 28 x/i
20.41 WIB Retensi urin ec. ?
T: 36.5C
Sesak berkurang, leher
tegang, nyeri kepala Cefotaxim stop, ganti
berdenyut Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam

7
Vesikuler +/+ lemah,
Rh -/-, Wh +/+
O2 2 lpm
PPOK eksaserbasi Infus NS : D5% = 1:1 10 tpm
22 / 01 / 2019 Sesak (+), mual (-),
akut dengan Nebulizer ventolin/ 6 jam
TD: 130 / 60 muntah (-)
serangan sedang Nebulizer flexotide/ 6 jam
mmHg
Ij. Metilprednisolon 62,5 mg/
HR: 81 x/i Vesikuler +/+ lemah,
Retensi urine ec. 12 jam
RR: 28 x/i Rh -/-, Wh +/+
Susp. BPH Retaphyl SR 1 x 300 mg
Ij. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
23 / 01 / 2019 Sesak (+), batuk (+) PPOK eksaserbasi
TD: 125 / 73 berdahak akut dengan
mmHg serangan sedang
Terapi lanjut
HR: 85 x/i Vesikuler +/+ lemah,
RR: 20 x/i Rh -/-, Wh +/+ Retensi urine ec.
SatO2: 99% berkurang Susp. BPH
24 / 01 / 2019 Sesak (+), batuk (+) PPOK eksaserbasi
TD: 140 / 80 berdahak akut dengan
mmHg serangan sedang
Terapi lanjut
HR: 102 x/i Vesikuler +/+ lemah,
SatO2: 91% Rh -/-, Wh +/+ Retensi urine ec.
T: 36.2C berkurang Susp. BPH
PPOK eksaserbasi
Sesak (+) berkurang,
25 / 01 / 2019 akut dengan Terapi lanjut
batuk (+) berkurang
TD: 180 / 100 serangan sedang +
mmHg Ij. Furosemide 1 amp/ 12 jam
TVJ meningkat
HR: 101 x/i Hipertensi grade 2 Amlodipin 1 x 5 mg
Vesikuler +/+ lemah,
SatO2: 92 % Ij. Ketorolac 1 amp/ 8 jam
Rh -/-, Wh +/+
T: 36C Retensi urine ec. (k/p)
berkurang
Susp. BPH
26 / 01 / 2019 Sesak (+) berkurang, PPOK eksaserbasi Terapi lanjut

8
TD: 160 / 70 batuk (+) berkurang akut dengan +
mmHg serangan sedang Captopril 3 x 12,5 mg
HR: 78 x/i TVJ meningkat dengan infeksi
T: 37.1C Vesikuler +/+ lemah,
SatO2: 92 % Rh -/-, Wh +/+ Hipertensi grade 2
berkurang
Retensi urine ec.
Susp. BPH

9
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) masih merupakan masalah kesehatan global yang
serius. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) akan memiliki dampak pada berbagai aspek
kehidupan, baik beban secara individual maupun komunitas. World Health Organization (WHO)
memperkirakan sekitar 210 juta orang di dunia menderita PPOK. Pada tahun 2005 lebih dari 3
juta orang meninggal akibat PPOK, jumlah ini sama artinya dengan 5% dari seluruh kematian
dunia. Sekitar 90 % kematian akibat PPOK terjadi pada negara dengan pendapatan menengah
atau rendah, dimana strategi pencegahan dan kontrol tidak berjalan dengan baik.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan terjadinya peningkatan angka
kematian akibat PPOK lebih dari 30% dalam 10 tahun, bila intervensi untuk menghindari faktor
risiko, khususnya pajanan asap rokok tidak dilakukan dengan baik, pada tahun 2030, PPOK
bahkan diperkirakan menjadi penyebab kematian terbanyak ketiga di dunia. Melihat besarnya
masalah yang ditimbulkan oleh PPOK, para ahli terus berusaha menyempurnakan pemahaman
mengenai tatalaksana kondisi ini untuk dapat menangani dan mencegah perburukan.
Penyempurnaan paradigma mengenai inflamasi, eksaserbasi, serta dampak sistemik PPOK,
terutama yang selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun adalah paradigma mengenai
terapi jangka panjang PPOK. Penelitian berkelanjutan dalam bidang pengobatan PPOK akan
terus berkembang dalam upaya pencegahan progresivitas penyakit, penurunan gejala yang
memperburuk kualitas hidup, serta pemecahan masalah mengenai isu efek samping obat.1

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan
paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat
progresif dan tidak sepenuhnya reversibel.2
Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan
ditangani yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang
disebabkan oleh abnormalitas saluran napas dan / atau kelainan alveolus yang biasanya
disebabkan oleh pajanan gas atau berbahaya.3

2. ETIOLOGI PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


Pemicu kondisi eksaserbasi akut pada PPOK bermacam-macam. Sepertiga kasus
eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, polusi udara, dan seperempat kasus tidak dapat
diidentifikasi pemicunya. Lima puluh sampai 78% kasus dipicu oleh infeksi saluran napas.
Infeksi bakteri adalah penyebab terbanyaknya (30-55%). Bakteri patogen terbanyak penyebab
eksaserbasi akut adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Moraxella
catarrhalis, dan pada penderita PPOK eksaserbasi derajat berat seringkali disebabkan oleh
Pseudomonas aeruginosa. Pemicu non mikroba adalah polusi udara.4

3. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan global. Data
prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara umum terkait langsung
dengan prevalensi merokok dan pada beberapa negara dengan polusi udara akibat pembakaran
kayu, gas dan partikel berbahaya.5
GOLD memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke-6 pada tahun 1990, akan
meningkat menjadi penyebab kematian ke-3 pada 2020 di seluruh dunia. Data yang ada
menunjukkan bahwa morbiditas karena PPOK meningkat dengan usia dan lebih besar pada pria
dibanding wanita.5

11
Di Indonesia, PPOK merupakan masalah kesehatan umum dan menyerang sekitar 10%
penduduk usia 40 tahun ke atas. Jumlah kasus PPOK memiliki kecenderungan untuk meningkat.
Berdasarkan pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, Penyakit Paru Obstruktif
Kronik menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab
kesakitan utama. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI 1992 menunjukkan angka
kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10
penyebab tersering kematian di Indonesia. Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit
tersebut yaitu kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70%),
pertambahan penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada 1960-an
menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an, industrialisasi, polusi udara di kota besar, di lokasi
industri, dan di pertambangan.5

4. FAKTOR RESIKO PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


Di seluruh dunia, faktor risiko yang paling sering ditemui untuk PPOK adalah merokok
tembakau. Jenis tembakau lainnya, (mis. Pipa, cerutu, pipa air) dan ganja juga merupakan faktor
risiko untuk PPOK. Polusi udara luar ruangan, pekerjaan, dan dalam ruangan yang terakhir
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar biomassa adalah faktor risiko utama PPOK lainnya.6
Bukan perokok juga dapat mengembangkan PPOK. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
adalah hasil dari saling pengaruh yang kompleks dari paparan kumulatif jangka panjang terhadap
gas dan partikel berbahaya, dikombinasikan dengan berbagai faktor host termasuk genetika,
hiper-responsif jalan napas dan pertumbuhan paru-paru yang buruk selama masa kanak-kanak.6
Seringkali, prevalensi PPOK secara langsung berkaitan dengan prevalensi merokok
tembakau, meskipun di banyak negara polusi udara luar, pekerjaan dan dalam ruangan (yang
dihasilkan dari pembakaran kayu dan bahan bakar biomassa lainnya) adalah faktor risiko PPOK
utama.6
4.1 Asap Rokok
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai
penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari
dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya
merokok (Indeks Brinkman). Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu

12
perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam
tahun:6
a. Ringan : 0-200
b. Sedang : 200-600
c. Berat : > 600
4.2 Polusi Udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat menjadi penyebab
terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan memberikan efek yang berbeda
terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab,
polusi udara terbagi menjadi :6
4.2.1 Polusi di dalam ruangan
a. Asap rokok
b. Asap kompor
4.2.2 Polusi di luar ruangan
a. Gas buang kendaraan bermotor
b. Debu jalanan
4.2.3 Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

4.3 Stress Oksidatif


Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen timbul dari sel
fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari polutan dan asap rokok. Oksidan
intraseluler (endogen) seperti derivat elektron mitokondria transpor termasuk dalam mekanisme
seluler signaling pathway. Sel paru dilindungi oleh oxydative chalenge yang berkembang secara
sistem enzimatik atau non enzimatik. Ketika keseimbangan antara oksidan dan antioksidan
berubah bentuk, misalnya ekses oksidan dan atau deplesi antioksidan akan menimbulkan stres
oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga
menimbulkan aktifitas molekuler sebagai awal inflamasi paru. Jadi, ketidakseimbangan antara
oksidan dan anti oksidan memegang peranan penting pada patogenesi PPOK.6

13
4.4 Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi
bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara bermakna menimbulkan
eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan
meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa.6
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaaan ini, karena
seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan
napas yang merupakan faktor risiko pada PPOK. Pengaruh berat badan lahir rendah akan
meningkatkan infeksi viral yang juga merupakan faktor risiko PPOK. Kebiasaan merokok
berhubungan dengan kejadian emfisema. Riwayat infeksi tuberkulosis berhubungan dengan
obstruksi jalan napas pada usia lebih dari 40 tahun.6

4.5 Sosial ekonomi


Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat dijelaskan secara
pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukinan yang padat, nutrisi yang jelek, dan
faktor lain yang berhibungan dengan status sosial ekonomi kemungkinan dapat menjelaskan hal
ini. Peranan nutrisi sebagai faktor resiko tersendiri penyebab berkembangnya PPOK belum jelas.
Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi,
karena penurunan masa otot dan kekuatan serabut otot.6

4.6 Tumbuh kembang paru


Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahiran, dan
pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang adalah resiko untuk
terjadinya PPOK. Studi metaanalisa menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1
pada masa anak.6

4.7 Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor resiko terjadinya PPOK, walaupun belum dapat
disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological Study” didapatkan bahwa orang dengan
asma 12 kali lebih tinggi resiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti

14
merokok. Penelitian lain 20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK dengan ditemukannya
obstruksi jalan napas ireversibel.6

4.8 Gen
Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari
interaksi gen-lingkungan. Faktor resiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan
alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering
dijumpai pada individu origin Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan
emphysema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan
perokok dengan kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat. Banyak variasi individu dalam hal
beratnya emfisema dan penurunan fungsi paru.6
Meskipun kekurangan α-1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari populasi di dunia,
hal ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan pajanan lingkungan yang menyebabkan
PPOK. Gambaran di atas menjelaskan bagaimana faktor risiko genetik berkontribusi terhadap
timbulnya PPOK.6
Risiko obstruksi aliran udara yang di turunkan secara genetik telah diteliti pada perokok
yang mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Hasil penelitian menunjukkan keterkaitan bahwa
faktor genetik mempengaruhi kerentanan timbulnya PPOK. Telah diidentifikasi kromosom 2q7
terlibat dalam patogenesis PPOK, termasuk TGF-1, mEPHX1dan TNF. Gen-gen di atas banyak
yang belum pasti kecuali kekurangan alpha-1 antitrypsin.6

Faktor risiko PPOK mungkin juga dihubungkan dengan cara yang lebih kompleks, karena
harapan hidup manusia yang menjadi lebih lama, memungkinkan terjadinya paparan seumur
hidup yang lebih besar terhadap berbagai faktor risiko.6

5. PATOGENESIS PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan
oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan
vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan
struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan
peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas

15
mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat
penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai beratsakit.2
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang.
Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal
bebasmempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai
macam penyakit paru.2
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkanterjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan
kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi
sel tersebut akanmenyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8
dan leukotriene B4, tumour necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan
reactive oxygen species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan
protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding
alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya
limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal
terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan
makrofag dan neutrophil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion
superoksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang
toksik akandiubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero
dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl).2
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis
sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder
setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveoli yang
menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusi
dan asap rokok.2

16
Gambar 1. Patogenesis PPOK

6. GEJALA KLINIS PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut:2
6.1 Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir yang
tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau
intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.

6.2 Berdahak kronik


Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang-kadang pasien
menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk dan dahak
kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.

6.3 Sesak napas


Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi
dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.
Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak.

17
Tabel 1. Skala Sesak
Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit
4 Sesak bila mandi atau berpakaian

7. DIAGNOSIS PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala yang secara rinci
diterangkan pada tabel berikut:6

Tabel 2. Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK


Gejala Keterangan
a. Progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya
waktu)
b. Bertambah berat dengan aktivitas
Sesak c. Persistent (menetap sepanjang hari)
d. Dijelaskan oleh bahasa pasien sebagai
"Perlu usaha untuk bernapas,"
e. Berat, sukar bernapas, terengah-engah
Batuk Kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak
Batuk kronik
Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan PPOK
berdahak
a. Asap rokok.
Riwayat terpajan b. Debu dan bahan kimia di tempat kerja
factor resiko c. Asap dapur
d. Dll.

18
Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri, jika salah satu indicator ini ada pada
individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan diagnostik pasti, tetapi keberadaan
beberapa indikator kunci meningkatkan kemungkinan diagnosis PPOK. Spirometri diperlukan
untuk memastikan diagnosis PPOK.6

7.1 Penilaian PPOK


Tujuan dari penilaian PPOK adalah untuk menentukan keterbatasan tingkat aliran udara.
Penilaian PPOK harus melibatkan aspek berikut:3
a. Derajat keparahan abnormalitas spirometri
b. Gejala pasien
c. Riwayat eksaserbasi dan resiko masa depan
d. Komorbiditas

Tabel 3. Klasifikasi derajat keparahan keterbatasan aliran udara pasien PPOK


(VEP1 pasca bronkodilator)3
Pada pasien dengan VEP1/KVP <0.70
GOLD 1 Ringan VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1 < 80% nilai prediksi
GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1 < 50% nilai prediksi
GOLD 4 Sangat berat VEP1 < 30% nilai prediksi

7.1.1 Penilaian Gejala PPOK


a. Modified British Medical Research Council (mMRC) questionnaire3
Centang kotak yang sesuai dengan kondisi pasien (hanya 1 kotak saja)
mMRC Grade 0. Saya hanya susah bernapas jika aktivitas berat
mMRC Grade 1. Napas saya menjadi pendek jika naik tangga dengan bergegas atau
berjalan ke tanjakan
mMRC Grade 2. Saya berjalan lebih lambat dibandingkan teman sebaya karena
susah bernapas, atau saya harus berhenti untuk mengambil napas
ketika berjalan di tangga
mMRC Grade 3. Setelah berjalan 100 meter atau beberapa menit di tangga, saya
harus berhenti untuk mengambil napas
mMRC Grade 4. Saya tidak bisa keluar rumah karena susah bernapas atau tidak bisa
mengganti baju karena susah bernapas

19
b. COPD Assessment Test (CATTM)3

7.1.2 Pengelompokan Pasien PPOK3

7.2 Anamnesis6
a. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
b. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
c. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
d. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
e. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
f. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
20
7.3 Pemeriksaan Fisik6
7.3.1 Inspeksi
a. Pursed-lips breathing(mulut setengah terkatup/ mencucu)
b. Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
c. Penggunaan otot bantu napas
d. Hipertropi otot bantu napas
e. Pelebaran sela iga
f. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema
tungkai
g. Penampilan pink puffer atau blue bloater
7.3.2 Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
7.3.3 Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah.
7.3.4 Auskultasi
a. Suara napas vesikuler normal, atau melemah
b. Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
c. Ekspirasi memanjang
d. Bunyi jantung terdengar jauh

7.4 Pemeriksaan Rutin6


7.4.1 Faal Paru
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1 / KVP
i. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1 / KVP (%).
ii. Obstruksi : % VEP1 (VEP1 / VEP1pred) < 80% VEP1% (VEP1 / KVP) < 75%.
iii. VEP1% merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK
dan memantau perjalanan penyakit.
iv. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variability harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%.

21
b. Uji bronkodilator
i. Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
ii. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit kemudian
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan
<200 ml.
iii. Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.

7.4.2 Laboratorium darah


a. Hb, Ht, Tr, Lekosit
b. Analisis Gas Darah

7.4.3 Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada
emfisema terlihat gambaran :
a. Hiperinflasi
b. Hiperlusen
c. Ruang retrosternal melebar
d. Diafragma mendatar
e. Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik :


a. Normal
b. Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus

7.5 Pemeriksaan Penunjang Lanjutan6


7.5.1 Faal paru lengkap
a. Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasitas Paru Total (KRT),
VR / KRF, VR / KPT meningkat
b. DLCO menurun pada emfisema
c. Raw meningkat pada bronkitis kronik
d. Sgaw meningkat

22
e. Variabiliti Harian APE kurang dari 20%
7.5.2 Uji latih kardiopulmoner
a. Sepeda statis (ergocycle)
b. Jentera (treadmill)
c. Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
7.5.3 Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
7.5.4 Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
a. Gagal napas kronik stabil
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
7.5.5 Radiologi
a. CT-Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos.
b. Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru.
7.5.6 Elektrokardiografi (EKG)
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
7.5.7 Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan.
7.5.8 Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

7.5.9 Kadar α-1 antitripsin


Kadar α-1 antitripsin rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi α-1 antitripsin jarang ditemukan di Indonesia.

23
8. DIAGNOSIS BANDING PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
Tabel 3. Diagnosis Banding PPOK3
Diagnosis Gejala
a. Onset pada usia pertengahan
b. Gejala progresif lambat
PPOK c. Lamanya riwayat merokok
d. Sesak saat aktivitas
e. Sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel
a. Onset awal sering pada anak
b. Gejala bervariasi dari hari ke hari
c. Gejala pada malam / menjelang pagi
Asma
d. Disertai alergi, rinitis atau eksim
e. Riwayat keluarga dengan asma
f. Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversibel
a. Auskultasi, terdengar ronki halus di bagian basal
Gagal Jantung
b. Foto toraks tampak jantung membesar, edema paru
kongestif
c. Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi
a. Sputum produktif dan purulen
b. Umumnya terkait dengan infeksi bakteri

Bronkiektasis c. Auskultasi terdengar ronki kasar


d. Foto toraks / CT-scan toraks menunjukkan pelebaran
dan penebalan bronkus

a. Onset segala usia


b. Foto toraks menunjukkan infiltrat di paru
Tuberkulosis
c. Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
d. Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah endemis
a. Onset pada usia muda, bukan perokok
b. Mungkin memiliki riwayat rheumatoid arthritis atau
Bronkiolitis obliterans pajanan asap
c. CT-scan toraks pada ekspirasi menunjukkan daerah
hipodens

24
a. Lebih banyak pada laki-laki bukan perokok
b. Hampir semua menderita sinusitis kronis
Panbronkiolitis c. Foto toraks dan HRCT toraks menunjukkan nodul opak
diffusa menyebar kecil di centrilobular dan gambaran
hiperinflasi

9. PENATALAKSANAAN NON FARMAKOLOGI PENYAKIT PARU


OBSTRUKTIF KRONIK
9.1 Edukasi
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :6
a. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
b. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
c. Mencapai aktivitas optimal
d. Meningkatkan kualitas hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan
di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICCU dan di rumah. Secara
intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu
yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas.
Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :6
a. Pengetahuan dasar tentang PPOK
b. Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
c. Cara pencegahan perburukan penyakit
d. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
e. Penyesuaian aktivitas

25
9.2 Berhenti Merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A:7
a. Ask (Tanyakan) : Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Advise (Nasihati) : Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok.
c. Assess (Nilai) : Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari ke
depan).
d. Assist (Bimbing) : Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan
konseling praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange (Atur) : Buat jadwal kontak lebih lanjut.

9.3 Rehabilitasi PPOK


Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan
pernapasan.6
9.3.1 Latihan fisis
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan
jasmani pada PPOK terdiri atas dua kelompok:6
a. Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan otot
pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan inspirasi yang cukup untuk
melakukan ventilasi maksimal yang dibutuhkan. Pada penderita yang tidak mampu melakukan
latihan endurance, latihan otot pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ditemukan
kelelahan otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila
didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan
endurance yang diutamakan.
b. Endurance Exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada pendrita PPOK.
Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat.
Latihan jasmani pada penderita PPOK berakibat meningkatnya toleransi latihan karena
meningkatnya kapasitas kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan

26
toleransi latihan merupakan resultan dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dan
toleransi terhadap asam laktat.
Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe latihan
diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif dicatat. Latihan
fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :
i. Di rumah
Latihan dinamik
Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, jogging, sepeda
ii. Rumah sakit
Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah adalah
ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walking-jogging. Begitu jenis
latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan denyut
nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung
60%-70% maksimal selama 10 menit.
Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa minggu latihan ditambah
sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu. Denyut nadi maksimal adalah 220 – umur
dalam tahun. Hal-hal yang perlu diperhatian sebelum latihan :
a. Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
b. Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latiham
c. Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi atau
pusing latihan segera dihentikan
d. Pakaian longgar dan ringan
9.3.2 Psikososial
Status psikologi penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat
diberikan obat.6
9.3.3 Latihan Pernafasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mongontrol sesak napas. Teknik latihan
meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips breathing guna memperbaiki ventilasi dan
mensinkronkan kerja otot abdomen dan toraks.6
9.3.4 Terapi Oksigen

27
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-
organ lainnya.6
Terapi oksigen dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat.. Pada PPOK derajat
sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktivitas. Pada
PPOK derajat berat yang menggunakan terapi oksigen di rumah pada waktu aktivitas atau terus
menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter.
Indikasi:6
a. PaO2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90 %
b. PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Korpulmonal, perubahan P
pulmonal, Ht > 55 % dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru
lain.
9.3.5 Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja otot pernafasan yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas PPOK
karena berkorelasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi otot
pernafasan sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi
adalah :6
a. Hipophospatemi
b. Hiperkalemi
c. Hipokalsemi
d. Hipomagnasemi

Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan
komposisi seimbang, yaitu porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.6

9.4 Terapi Farmakologi pada PPOK

28
Terapi farmakologis untuk PPOK digunakan untuk mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, dan meningkatkan toleransi olahraga dan status
kesehatan.3
Pemilihan obat dapat dalam bentuk dishaler, nebuhaler, turbuhaler atau breezhaler karena
penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan kekuatan otot sudah
berkurang. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang efektif. Nebuliser sebaiknya tidak
digunakan secara terus menerus, hanya bila timbul eksaserbasi.3

Tabel 5. Jenis Obat pada PPOK

29
Terapi farmokologi lain pada PPOK:3

30
a. Terapi augmentasi α-1 antitripsin,
b. Antitusif, tidak ada bukti konklusif peran dari antitusif yang menguntungkan bagi pasien
PPOK.
c. Vasodilator, tidak meningkatkan hasil bahkan memperburuk oksigenasi.

9.5 Terapi Intervensi


Keuntungan dari operasi pengurangan volume paru-paru dibandingkan terapi medis lebih
signifikan di antara pasien dengan emfisema dominan lobus atas dan kapasitas olahraga yang
rendah setelah rehabilitasi; meskipun LVRS relatif mahal terhadap program layanan kesehatan
tidak termasuk operasi.3
Teknik pengurangan volume paru-paru bronkoskopi non-bedah dapat meningkatkan
toleransi olahraga, status kesehatan dan fungsi paru-paru pada pasien tertentu dengan emfisema
lanjut yang sulit disembuhkan dengan terapi medis. Pada pasien yang dipilih dengan tepat
dengan PPOK yang sangat parah, transplantasi paru-paru telah terbukti meningkatkan kualitas
hidup dan kapasitas fungsional.3

9.5.1 Lung Volume Reduction Surgery


Lung volume reduction surgery meningkatkan kesembuhan pada beberapa pasien
emphysema dengan emfisema lobus atas dan kapasitas latihan pasca-rehabilitasi yang rendah.3
9.5.2 Bullectomy
Pada pasien tertentu, bullectomy dikaitkan dengan penurunan dispnea, peningkatan fungsi
paru-paru dan toleransi latihan.3
9.5.3 Transplantasi
Pada pasien dengan PPOK yang sangat parah, transplantasi paru telah terbukti
meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional.3
9.5.4 Intervensi Bronkoskopi
Pada pasien tertentu dengan emfisema lanjut, intervensi bronkoskopi mengurangi volume
paru ekspirasi akhir dan meningkatkan toleransi olahraga, status kesehatan dan fungsi paru pada
pengobatan 6-12 bulan.3

31
Gambar 2. Algoritma Terapi Intervensi pada PPOK

10. PENATALAKSANAAN UNTUK PPOK STABIL


Kriteria PPOK stabil adalah :3
a. Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gafal napas kronik
b. Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisis gas darah
menunjukkan PH normal PCO2 > 60 mmHg dan PO2 < 60 mmHg
c. Dahak tidak berwarna atau jernih
d. Aktiviti terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)
e. Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
f. Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :3


a. Mempertahankan fungsi paru
b. Meningkatkan kualiti hidup
c. Mencegah eksaserbasi

32
10.1 Penatalaksanaan Non Farmakologi pada PPOK Stabil3
Manajemen non farmakologi yang paling penting dalam penatalaksanaan PPOK adalah
berhenti merokok untuk semua pasien PPOK, menghindari faktor pencetus seperti polusi indor
dan outdor, serta menghindari pajanan pekerjaan.
Tabel 4. Pengelolaan PPOK Stabil: Non Farmakologi

10.1.1 Edukasi, manajemen individu dan rehabilitasi


a. Edukasi diperlukan untuk merubah pengetahuan penderita.
b. Edukasi manajemen individu dengan atau tanpa penambahan action
plandirekomendasikan untuk mencegah eksaserbasi dan peningkatan keperluan rawat
inap.
c. Rehabilitasi diindikasikan pada penderita dengan gejala yang relevan dan risiko tinggi
eksaserbasi.
d. Aktivitas fisik adalah prediktor kuat dari mortalitas.
e. Penderita harus didorong untuk meningkatkan aktivitas fisiknya.
10.1.2 Vaksinasi
a. Vaksinasi influensa direkomendasikan untuk semua penderita PPOK.
b. Vaksin pneumokokus direkomendasikan untuk pasien berusia > 65 tahun dan pasien
dengan komorbid penyakit jantung dan paru kronik.
10.1.3 Nutrisi
Suplemen nutrisi diindikasikan bagi pasien PPOk malnutrisi.
10.1.4 End of life care dan terapi paliatif
a. Setiap dokter yang merawat penderita PPOK harus sadar akan keefektifan terapi paliatif
untuk mengontrol gejala.
b. End of life care termasuk diskusi dengan pasien dan keluarga mengenai pandangan
tentang akhir hayat.

33
10.1.5 Terapi hipoksemia dan hiperkapnia
a. Pada pasien dengan hipoksemi saat istirahat dan desaturasi pada saat aktivitas fisik
direkomendasikan penggunaan terapi oksigen jangka panjang.
b. Oksigenasi saat istirahat pada sea leveltidak mengeksklusi terjadinya hipoksemia pada
saat bepergian menggunakan pesawat.
c. Pada pasien dengan hiperkapnia kronik berat dan riwayat rawat inap dengan gagal napas
akut, long termnon invasif ventilasi dipertimbangkan.

Gambar 4. Rekomendasi Algoritma pemberian Oksigen untuk Pasien dengan PPOK

10.1.6 Pembedahan
a. Lung volume reduction surgery diperlukan pada pasien tertentu dengan emfisema lobus
atas.
b. Bronchoscope lung volume reduction intervention dipertimbangkan pada pasien dengan
advanced emfisema.
c. Pada pasien dengan bula yang besar, bulektomi dapat dipertimbangkan.
d. Pada pasien dengan PPOK sangat berat, transplantasi paru dapat dipertimbangkan.

34
10.2 Penatalaksaan Farmakologi pada PPOK Stabil
Terapi farmakologi dapat menurunkan gejala, risiko, keberatan eksaserbasi dan juga
memperbaiki status kesehatan serta toleransi terhadap aktivitas fisik. Kelas pengobatan yang
sering digunakan untuk menerapi PPOK stabil adalah golongan bronkodilator, antiinflamasi,
serta obat-obatan penunjang lain.7

Poin penting penggunaan bronkodilator menurut GOLD 2018:7


a. LABA/LAMA lebih dipilih dari SABA/SAMA kecuali pada pasien yang sangat jarang
sesak.
b. Pasien dapat memulai terapi dengan monoterapi long acting bronkodilatoratau kombinasi
dual long acting bronkodilator. Pada pasien dengan sesak persisten, monoterapi
sebaiknya dieskalasi menjadi kombinasi dua lterapi.
c. Bronkodilator inhalasi lebih direkomendasikan daripada bronkodilator oral.
d. Terapi jangka panjang dengan teofilin tidak direkomendasikan kecuali terapi jangka
panjang dengan bronkodilator yang lain tidak tersedia.

Poin penting penggunaan antiinflamasi menurut GOLD 2018:7


a. Monoterapi jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi (ICS) pada penderita PPOK
tidak direkomendasikan.
b. Terapi jangka panjang dengan ICS dipertimbangkan bersamaan dengan LABA untuk
pasien dengan riwayat eksaserbasi walaupun sudah diberikan terapi adekuat dengan
LABA.
c. Terapi jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan.
d. Pada penderita dengan eksaserbasi walaupun telah menggunakan LABA/ICS atau
LABA/LAMA/ICS, penderita bronkitis kronik, dan hambatan jalan napas berat sampai
sangat berat, penambahan PDE-4 inhibitor harus dipertimbangkan.
e. Pada perokok/mantan perokok dengan eksaserbasi walaupun terapi adekuat, pemberian
makrolide dapat dipertimbangkan.
f. Terapi statin tidak direkomendasikan untuk mencegah eksaserbasi.
g. Antioksidan dan mukolitik direkomendasikan hanya pada pasien tertentu.

35
Poin penting penggunaan penggunaan obat lainnya menurut GOLD 2018:7
a. Pasien dengan defisiensi berat alpha-1-antitripsin dan mengalami emfisema dapat
merupakan kandidat pemberian alpha-1-antitripsin augumentation therapy.
b. Pemberian antitusif tidak direkomendasikan pada penderita PPOK.
c. Obat yang digunakan untuk mengobati hipertensi pulmonal primer tidak
direkomendasikan untuk digunakan pada pasien dengan hipertensi pulmonal sekunder
akibat PPOK.
d. Long acting oral dan parenteral opioid dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk
mengobati sesak pada pasien PPOK dengan serangan berat.

Gambar 3. Manajemen farmakologi berdasarkan kelompok PPOK GOLD 2018

Grup A: Semua pasien grup A sebaiknya ditawarkan untuk terapi bronkodilator sebagai terapi
jangka panjang berdasarkan efeknya terhadap sesak napas baik short acting maupun long
actingbronkodilator. Terapi sebaiknya diteruskan jika secara klinis memberikan manfaat.7

36
Grup B: Terapi inisial sebaiknya terdiri dari long acting broncodilator. Pemilihan bronkodilator
berdasarkan perbaikan gejala pada persepsi pasien. Untuk pasien sesak persisten dengan
monoterapi maka penggunaan kombinasi dua bronkodilator direkomendasikan. Untuk pasien
yang dari awal memang sudah sesak berat terapi inisial dengan dua bronkodilator dapat
dipertimbangkan. Jika dengan dua bronkodilator tidak memperbaiki gejala maka pertimbangkan
step down menjadi monotorapi, Pasien grup B memiliki komorbiditas yang harus diinvestigasi
karena memiliki pengaruh pada gejala dan prognosis.7

Grup C : Inisial terapi pada grup ini terdiri dari single long acting broncodilator. Pada
perbandingan antara LAMA dan LABA monoterapi didapatkan bahwa LAMA lebih superior
dibanding LABA untuk mencegah eksaserbasi, oleh karena itu direkomendasikan memulai terapi
dengan LAMA pada grup ini. Pasien dengan eksaserbasi persisten dapat diberikan kombinasi
terapi dengan LABA/LAMA atau LABA/ICS. Karena ICS meningkatkan risiko pneumonia
maka pilihan utama adalah LABA/LAMA.7

Grup D: Pada grup D direkomendasikan memulai terapi dengan LABA/LAMA karena


kombinasi LABA/LAMA lebih superior dibandingkan terapi bronkodilator tunggal. Kombinasi
LABA/LAMA lebih superior dari LABA/ICS dalam mencegah eksaserbasi pada pasien grup D.
Pasien Grup D lebih rentan mengalami pneumonia ketika menerima terapi dengan ICS.
Pada beberapa pasien terapi inisial dengan LABA/ICS adalah pilihan utama yaitu pada pasien
yang memiliki gejala asma-PPOK overlap. Jumlah eosinofil darah yang tinggi juga
dipertimbangkan sebagai parameter untuk mendukung penggunaan ICS, walaupun hal ini masih
diperdebatkan.
Untuk pasien yang tetap eksaserbasi dengan penggunaan LABA/LAMA maka lakukan eskalasi
menggunakan LABA/LAMA/ICS. Jika pasien yang sudah diterapi dengan LAMA/LABA/ICS
tetap mengalami eksaserbasi maka pertimbangkan penambahan roflumilast (PDE4 Inhibitor)
untuk pasien bronkitis kronik. Tambahkan makrolide pada mantan perokok atau stop ICS karena
terbukti tidak berguna.7

Follow up yang rutin pada pasien PPOK sangat penting. Fungsi paru-paru dapat
memburuk dari waktu ke waktu, bahkan dengan perawatan yang terbaik sekalipun. Gejala,

37
eksaserbasi, pengukuran objektif dari batasan aliran udara harus dimonitor untuk menentukan
kapan memodifikasi terapi dan untuk mengidentifikasi beberapa komplikasi dan/atau komorbid
yang mungkin muncul.

11. PENATALAKSANAAN UNTUK PPOK EKSASERBASI


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara,
kelelahan atau timbulnya komplikasi. Gejala eksaserbasi :3
a. Sesak bertambah
b. Produksi sputum meningkat
c. Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen)

Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga :3


a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas
atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi
atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20%
baseline.

Menurut GOLD 2017 PPOK eksaserbasi didefinisikan sebagai perburukan akut gejala
pernafasan. Diklasifikasikan sebagai berikut ini:3
a. Ringan (diobati dengan short acting bronchodilators saja, SABDs )
b. Sedang (diobati dengan SABDs ditambah antibiotic dan/atau kortikosteroid oral)
c. Berat (pasien yang memerlukan rawat inap atau yang ke IGD). Eksaserbasi berat
mungkin juga berhubungan dengan kegagalan pernafasan akut.

Pasien yang dirawat di rumah sakit karena eksaserbasi berat harus didasarkan pada tanda-
tanda klinis pasien sesuai klasifikasi berikut:3
a. Tanpa gagal nafas
b. Gagal nafas akut tanpa mengancam jiwa

38
c. Gagal nafas akut dengan mengancam jiwa

Indikasi potensi untuk penilaian rawat inap:3


a. Gejala berat seperti sesak pada saat istirahat, RR yang tinggi, penurunan saturasi oksigen,
kebingungan, ngantuk.
b. Gagal nafas akut
c. Tanda klinis baru (edem perifer, sianosis)
d. Eksaserbasi akibat kegagalan dari terapi awal
e. Munculnya komorbid yang serius (gagal jantung, aritmia, dll.)
f. Fasilitas/dukungan rumah yang tidak mencukupi

Terapi eksaserbasi berat yang tidak mengancam nyawa:3


a. Nilai keburukan gejala, pemeriksaan AGDA, dan foto thorax
b. Berikan terapi oksigen tambahan, mencatat gas darah arteri dan vena secara berkala, dan
pengukuran pulse oxymetry.
c. Bronkodilator:
i. Tingkatkan dosis bronkodilator kerja cepat
ii. Kombinasi β-2 agonis kerja cepat dengan antikolinergik
iii. Pertimbangkan penggunaan bronkodilator kerja lama saat pasien menjadi stabil
iv. Gunakan spacer jika diperlukan
d. Pertimbangkan kortikosteroid oral
e. Pertimbangkan antibiotic (oral) bila tanda infeksi bakteri muncul
f. Pertimbangkan ventilasi mekanik noninvasif
g. Selalu pantau keseimbangan cairan, pertimbangkan heparin untuk mencegah
tromboemboli, mengidentifikasi dan mengobati keadaan yang berhubungan (gagal
jantung, aritmia, emboli paru, dll.).

11.1 Terapi Farmakologis


Tiga kelas obat yang paling umum digunakan untuk eksaserbasi PPOK adalah
bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik.3

39
11.2 Dukungan Pernafasan3
11.2.1 Terapi oksigen
Ini adalah komponen kunci dari perawatan eksaserbasi di rumah sakit. Oksigen tambahan
harus dititrasi untuk meningkatkan hipoksemia pasien dengan target saturasi 88-92%. Setelah
oksigen dimulai, gas darah harus sering diperiksa untuk memastikan oksigenasi yang
memuaskan tanpa retensi karbon dioksida dan / atau asidosis yang memburuk.
11.2.2 Dukungan Ventilasi
a. Beberapa pasien perlu segera masuk ke unit perawatan pernapasan atau unit perawatan
intensif (ICU), yaitu:
i. Dispneu berat yang tidak cukup respon terhadap terapi awal
ii. Perubahan status mental (bingung, lesu, koma)
iii. Hipoksemia persisten atau berat (PaO2 < 5.3 kPa or 40 mmHg) dan/atau asidosis
respiratori berat/memburuk (pH < 7.25)
iv. Membutuhkan ventilasi mekanis invasive
v. Hemodinamik tidak stabil -> butuh vasopresor
b. Dukungan ventilasi dalam eksaserbasi dapat diberikan dengan ventilasi noninvasif
(hidung atau wajah) atau invasif (tabung oro-trakea atau trakeostomi).
c. Stimulan pernafasan tidak direkomendasikan pada gagal nafas akut.
11.2.3 Ventilasi mekanis noninvasif
Penggunaan ventilasi mekanis noninvasif lebih dianjurkan daripada ventilasi invasif
(intubasi dan ventilasi tekanan positif) sebagai mode awal ventilasi pada pasien yang dirawat
karena gagal nafas akut pada PPOK eksaserbasi akut.
Indikasi pemasangan ventilasi mekanis non invasive setidaknya salah satu dari poin
berikut ini:
a. Asidosis respiratori (PaCO2 ≥ 6.0 kPa atau 45 mmHg dan pH arteri ≤ 7.35)
b. Dispneu berat dengan tanda klinis sugestif dari otot pernafasan yang lemah, peningkatan
usaha bernafas, atau keduanya, seperti menggunakan otot tambahan respirasi, pergerakan
paradoksal pada abdomen, atau retraksi dari ruang interkosta.
c. Hipoksemia persisten meskipun sudah mendapat terapi oksigen tambahan.
11.2.4 Ventilasi mekanis invasif
Indikasi pemasangan ventilasi mekanis invasif:

40
a. Tidak dapat respon atau gagal dengan ventilasi non invasive
b. Status post – respirasi atau cardiac arrest
c. Penurunan kesadaran, agitasi psikomotor
d. Aspirasi yang banyak atau muntah yang menetap
e. Ketidakmampuan untuk membuang secret pernafasan
f. Hemodinamik yang tidak stabil tanpa respon pada cairan dan obat vasoaktif
g. Aritmia berat pada ventricular atau supraventricular
h. Hipoksemia yang mengancam jiwa pada pasien yang tidak toleransi pada pemakaian
ventilasi non invasif

11.3 Follow Up7


Tabel 6. Rekomendasi Follow Up pada PPOK
a. Ulasan lengkap dari semua data klinis dan laboratorium
b. Cek terapi pemeliharaan dan pemahaman
c. Menilai kembali teknik inhaler
d. Memastikan pemahaman dan ketergantungan dari pengobatan (steroid atau antibiotik)
e. Nilai kebutuhan untuk melanjutkan terapi oksigen
f. Menyediakan rencana manajemen untuk komorbiditas dan tindak lanjut
g. Memastikan pengaturan follow up: follow up awal <4 minggu, dan follow up akhir < 12
minggu sesuai indikasi
h. Semua klinis yang abnormal harus diidentifikasi
Follow up 1 - 4 minggu
a. Nilai kemampuan mengatasi keadaan lingkungan pasien
b. Mengulas dan memahami regimen terapi
c. Menilai kembali teknik inhaler
d. Menilai kembali kebutuhan untuk terapi oksigen jangka panjang
e. Mencatat kapasitas aktivitas fisik dan aktivitas sehari-hari
f. Mencatat gejala CAT dan mMRC
g. Menentukan status komorbid
Follow up 12 – 16 minggu
a. Evaluasi kemampuan mengatasi keadaan lingkungan pasien

41
b. Mengulas dan memahami regimen terapi
c. Menilai kembali teknik inhaler
d. Menilai kembali kebutuhan untuk terapi oksigen jangka panjang
e. Mencatat kapasitas aktivitas fisik dan aktivitas sehari-hari
f. Mengukur spirometri: FEV1
g. Mencatat gejala CAT dan mMRC
h. Menentukan status komorbid

Setelah eksaserbasi akut harus dilakukan tindakan pencegahan sebelum eksaserbasi


selanjutnya.
Tabel 7. Intervensi yang Mengurangi Frekuensi Eksaserbasi pada PPOK7

12. PENCEGAHAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


10.1 Vaksin Influenza
Vaksinasi influenza dapat mengurangi penyakit serius (seperti infeksi saluran pernapasan
bagian bawah yang rawat inap) dan kematian pada pasien PPOK.3

10.2 Vaksin pneumokokus


Vaksinasi pneumokokus, PCV13 dan PPSV23, direkomendasikan untuk semua pasien
yang berusia ≥ 65 tahun. PPSV23 juga direkomendasikan untuk pasien PPOK yang lebih muda
dengan komorbiditas yang signifikan termasuk penyakit jantung atau paru kronis. PPSV23 telah
terbukti mengurangi insiden pneumonia yang didapat masyarakat pada pasien PPOK <65 tahun,
dengan FEV1 <40% nilai presiksi, atau komorbiditas (terutama komorbiditas jantung).3

42
13. KOMPLIKASI PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
PPOK merupakan penyakit progresif, fungsi paru memburuk dari waktu ke waktu,
bahkan dengan perawatan yang terbaik. Gejala dan perubahan obstruksi saluran napas harus
dipantau untuk menentukan modifikasi terapi dan menentukan adanya komplikasi. Pada
penilaian awal saat kunjungan harus mencakup gejala khususnya gejala baru atau perburukan
dan pemeriksaan fisik.6
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif dan tidak
sepenuhnya reversibel seperti:6
11.1 Gagal napas
11.1.1 Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah PO2< 60 mmHg dan PCO2> 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan:6
a. Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
b. Bronkodilator adekuat
c. Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas atau waktu tidur
d. Antioksidan
e. Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

11.1.2 Gagal napas akut pada gagal napas kronik


Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :6
a. Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
b. Sputum bertambah dan purulen
c. Demam
d. Kesadaran menurun

11.2 Infeksi berulang


Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang, pada kondisi kronik ini imunitas
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.6

11.3 Kor pulmonal

43
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung
kanan.6

14. PROGNOSIS PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


Beberapa penelitian menunjukkan predictor mortalitas pasien PPOK adalah usia tua
dan penurunan forced expiratory volume per detik (FEV1). Pasien usia muda dengan PPOK
memiliki tingkat mortalitas lebih rendah kecuali pada keadaan defisiensi alpha1-antitrypsin,
abnormalitas genetic yang menyebabkan panlobular emfisema pada usia dewasa muda.
Defisiensi alpha1-antitrypsin harus dicurigai ketika PPOK muncul pada lebih muda dari
45 tahun dan tidak ada riwayat bronchitis kronis atau penggunaan tembakau, atau ada
anggota keluarga dengan riwayat penyakit paru obstruktif pada usia muda.8

DAFTAR PUSTAKA

44
1. Ngurah Rai, Dr. dr. Ida Bagus, Sp.P (K) dan Artana, Dr. I Gusti Ngurah Bagus, Sp. PD.
Managing Respiratory Disease in JKN National Coverage Era. Bali: Udayana Univercity
Press. 2018: h.1
2. Khairani, Fathia. Hubungan Antara Skor Copd Assessment Test(CAT) DENGAN Rasio
FEV1/FVC Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) KLINIS. Semarang:
Universitas Diponegoro. Diakses dari:
http://eprints.undip.ac.id/43859/1/FATHIA_KHAIRANI_G2A009079_BAB_0_KTI.pdf
tanggal 26 Januari 2019. 2013: h.7
3. GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention. Access on:
https://goldcopd.org/wp-content/uploads/2016/12/wms-GOLD-2017-Pocket-Guide.pdf at
26 Januari 2019. 2017
4. NN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut. Bagian Pulmonologi
dan Kedokteran Respirasi FK UNS/ RS. Dr. Moewardi. Diakses dari
https://abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S601102002_bab2.pdf pada 3 Februari 2019.
2016
5. NN. Medan: Universitas Sumatera Utara. Diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/67240/Chapter%20II.pdf?sequenc
e=4&isAllowed=y pada 3 Februari 2019. 2017
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Penyakit Paru Obstruktif Kronik Diagnosis
dan Penatalaksanaan. 2011
7. GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention. Access on:
https://goldcopd.org/wp-content/uploads/2017/11/GOLD-2018-v6.0-FINAL-revised-20-
Nov_WMS.pdf at 10 Februari 2019. 2018
8. Paramasivam, Komilannaath. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK). Kepaniteraan
Klinik Madya Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam. Bali: Fakultas Kedokteran
UNUD/RSUP Sanglah. 2017

45

Anda mungkin juga menyukai