Anda di halaman 1dari 51

Mini Project

Faktor - Faktor yang mempengaruhi Tingkat Kepatuhan Minum


obat anti Tuberkulosis Pada Pasien Tuberkulosis Paru di Wilayah
Kerja UPT
Puskesmas Ranai Tahun 2018

Disusun Untuk Melengkapi Syarat Internship


di Puskesmas Ranai

Disusun Oleh :
dr. Ruby Kartika

Pembimbing:
dr. Nadia Monita

Program Internsip Dokter Indonesia Periode 2018 – 2019


UPT Puskesmas Ranai
Kabupaten Natuna
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu melimpahkan
rahmat, anugerah, dan karunianya sehingga saya bisa menyelesaikan Mini Project “FAKTOR
– FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TNGKAT KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI
TUBEKULOSIS PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA UPT
PUSKESMAS RANAI TAHUN 2018 ini dengan baik sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.
Laporan ini dibuat guna melengkapi tugas program internsip KEMENKES RI
bertempat di Puskesmas Ranai. Penulis menyadari Mini Project ini Kami mengucapkan
terima kasih kepada dr. Yuliarti Yustini selaku pendamping dokter internsip Puskesmas Ipuh
beserta staf puskesmas Ipuh yang membantu kami menyelesaikan Mini Project ini.
Kami menyadari bahwa penulisan Mini Project kami masih kurang sempurna.Untuk
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar
kedepannya kami dapat memperbaiki dan menyempurnakan tulisan ini. Kami berharap agar
laporan kasus yang kami tulis ini berguna bagi semua orang dan dapat digunakan sebaik-
baiknya sebagai sumber informasi. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Ipuh, September 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. TujuanPenulisan 2
1.4. Manfaat Penulisan 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi 3
2.2. Epidemiologi 3
2.3. Etiologi 3
2.4. Patogenesis 4
2.4.1. Tuberkulosis Primer.......................................................................4
2.4.2. Tuberkulosis Post Primer...............................................................4
2.5. Klasifikasi 5
2.5.1. Berdasarkan Organ yang Terkena..................................................5
2.5.2. Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium.......................................5
2.5.3. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya.............................5
2.6. Diagnosis 6
2.6.1. Gambaran Klinis............................................................................6
2.6.2. Pemeriksaan Fisik..........................................................................7
2.6.3. Pemeriksaan Laboratorium............................................................7
2.6.4. Pemeriksaan Radiologi...................................................................8
2.7. Penatalaksanaan 10
2.8. Evaluasi Pengobatan 13
2.8.1. Evaluasi Klinis.............................................................................13
2.8.2. Evaluasi Bakteriologi...................................................................13
2.8.3. Evaluasi Radiologi.......................................................................13
2.9. Komplikasi 14
BAB III METODE PENELITIAN 15
3.1. Jenis Penelitian 15
3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian 15
3.3. Populasi Penelitian 15
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 15
3.4.1. Kriteria Inklusi.............................................................................15
3.4.2. Kriteria Eksklusi...........................................................................15
3.5. Definisi Operasional 15
3.6. Pengumpulan Data 16
3.7. Pengolahan dan Analisis Data16
BAB IV HASIL PENELITIAN 17
BAB V PEMBAHASAN 20
DAFTAR PUSTAKA

iii
LAMPIRAN

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis
(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman Tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam pada pewarnaan oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Depkes RI, 2008:5).
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis.
Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta penderita Tuberkulosis Paru baru dan 3 juta kematian akibat
Tuberkulosis Paru diseluruh dunia. Diperkirakan 95 % kasus Tuberkulosis Paru dan 98 % kematian akibat
Tuberkulosis Paru didunia, terjadi pada Negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat
Tuberkulosis Paru lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas (Depkes RI,
2008).
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia
merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total
jumlah pasien TB di dunia. Depkes RI menyatakan bahwa hasil survey dari seluruh rumah sakit terdapat
220.000 pasien penderita TB pertahun atau 500 penderita perhari dan setiap tahunnya terdapat 528.000
kasus baru TB di Indonesia (Depkes RI, 2008).
Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama dalam pengendalian TB karena dapat
memutuskan rantai penularan. Pada tahun 1994, WHO meluncurkan strategi pengendalian TB untuk
diimplementasikan secara internasional, yaitu DOTS (Direct Observe Treatment Short-course). Pada 2006,
WHO menetapkan strategi baru untuk menghentikan TB yang bertujuan untuk mengintensifkan
penanggulangan TB, menjangkau semua pasien, dan memastikan tercapainya target Millennium
Development Goals (MDGs) pada tahun 2015. Pengobatan TB paru memerlukan jangka waktu sekitar 6 –
9 bulan. Semua penderita mempunyai potensi tidak patuh untuk berobat dan minum obat. Penggunaan obat
yang benar sesuai dengan jadwal (kepatuhan) sangat penting untuk menghindari timbulnya TB paru yang
resisten terutama pada fase lanjutan setelah penderita merasa sembuh. Penderita meminum obat harus
teratur sesuai petunjuk dan menghabiskan obat sesuai waktu yang ditentukan berturut-turut tanpa putus
(Tuberkulosis Facts, 2007).
Berhasil atau tidaknya pengobatan TB tergantung pada pengetahuan pasien, ada tidaknya upaya
dari diri sendiri, atau motivasi dan dukungan untuk berobat secara tuntas akan mempengaruhi kepatuhan
pasien untuk mengkonmsumsi obat. Puskesmas Ranai merupakan salah satu tempat pelayanan kesehatan di

5
wilayah Ranai. Salah satu program dari puskesmas Ranai adalah penatalaksanaan dan pengobatan penyakit
TB paru, dimana pasien yang didiagnosis menderita TB paru harus mendapatkan obat anti tuberkulosis
(OAT) selama minimal 6 bulan dalam pemantauan tenaga kesehatan. Berdasarkan data puskesmas Ranai
periode 2018 terdapat 14 orang yang menderita TB paru. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
mengetahui tingkat kepatuhan minum OAT pada penderita TB paru di puskesmas Ranai tahun 2018.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan tersebut, dirumuskan permasalahn penelitian yaitu, :
Apa saja Faktor – Faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan minum obat tuberkulosis pada
pasien tuberkulosis paru ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan minum obat tuberkulosis
pada pasien tuberkulosis paru di wilayah kerja UPT puskesmas Ranai tahun 2018

1.3.2. Tujuan Khusus

 Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pendidikan


dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada pasien
TB paru.
 Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pekerjaan
dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada pasien
TB paru.
 Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pengetahuan
dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada pasien
TB paru.

 Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara penghasilan


dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada pasien
TB paru.
 Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara sikap petugas
kesehatan dengan tingkat kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis pada pasien paru.
 Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara motivasi
pasien dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada

6
pasien TB paru.
 Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara sikap pasien
dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada pasien
TB paru.
 Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara dukungan
keluarga dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada
pasien TB paru.
 Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara jarak rumah
dengan fasilitas kesehatan dengan kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis pada pasien TB paru.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat bagi peneliti

1. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang manfaat kepatuhan


minum obat anti tuberkulosis.
2. Sebagai pengalaman dalam melakukan penelitian terutama dalam
bidang kesehatan.
Bagi Pasien dan Masyarakat
1. Diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
manfaat kepatuhan dalam minum obat anti tuberkulosis
2. Memberi masukan kepada penderita dan masyarakat tentang pentingnya
pengetahuan mengenai penyakit TB Paru sehingga penderita mampu menjalani
pengobatan secara maksimal didukung keluarga dan masyarakat lingkungan
sekitarnya

Bagi Puskesmas
Mengetahui pengaruh pengetahuan dan sikap penderita dan keluarga terhadap
kepatuhan pengobatan TB Paru sehingga Puskesmas diharapkan mampu memberikan
pengobatan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) yang lengkap untuk menunjang tingkat
kepatuhan pengobatan TB Paru di masyarakat.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi,
sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya
termasuk meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Depkes, 2006)

2.2. Epidemiologi
Hingga saat ini, TB masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia. Mycobacterium tuberkulosis
telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Pada Tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global
penyakit TB karena pada sebagian besar negara di dunia penyakit TB tidak terkendali. Hal ini disebabkan
banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan terutama penderita menular (BTA positif). Pada
tahun 1995 diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru TB dengan kematian 3 juta orang.
Di negara-negara berkembang, kematian TB merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat
dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara berkembang 75% penderita TB adalah
kelompok usia produktif (15 – 50 tahun). (Depkes, 2006)
Beban TB di Indonesia masih sangat tinggi, khususnya mengenai kesembuhan yang ada. TB adalah
pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat ketiga dalam daftar 10 penyakit
pembunuh tertinggi di Indonesia yang menyebabkan sekitar 88.000 kematian setiap tahunnya. Secara
Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokan kedalam 3 wilayah, yaitu : (Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI, Jakarta: 2006)
1. Wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk
2. Wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk
3. Wilayah Indonesia timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk

2.3. Etiologi
Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk
batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Ukuran panjang sekitar 1 – 4 µm
dan lebar 0,3 – 0,6 µm. Mycobacterium terdiri dari lapisan lemak yang cukup tinggi (60%). Penyusun
utama dinding sel bakteri adalah asam mikolat, kompleks waxes, trehalosa dimicolat, dan mycobacterial
sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut

8
adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomatan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri bersifat tahan asam (WHO, 2016)

2.4. Patogenesis
2.4.1. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran pernapasan akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk fokus primer. Fokus primer ini mungkin akan timbul dibagian mana saja dalam
paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari fokus primer akan tampak peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di
hilus (limfadenitis regional). Fokus primer bersama-sama dengan limfangitis regional disebut dengan
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu dari di bawah ini : (Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI, Jakarta: 2006)
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas, antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, dan sarang
perkapuran di hilus.
3. Menyebar dengan cara :
- Perkontinuitatum, yaitu meyebar ke sekitarnya.
- Bronkogen, baik dari paru yang bersangkutan maupun ke paru di sebelahnya atau tertelan
- Hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah, dan virulensi
kuman. Fokus yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat
imunitas yang adekuat penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis
milier atau meningitis tuberkulosis. Penyebaran ini dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh
lainnya, misalnya tulang, ginjal, adrenal, genital, dan sebagainya.
2.4.2. Tuberkulosis Post Primer
Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer,
biasanya terjadi pada usia 15 – 40 tahun. Tuberkulosis post primer dimulai dengan sarang dini yang
umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang ini awalnya berbentuk
suatu sarang pneumoni kecil yang akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut : (Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI, Jakarta: 2006)
1. Direabsorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan
fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk pengapuran. Sarang
tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk perkejuan dan menimbulkan kavitas bila
jaringan keju dibatukkan keluar.
9
3. Sarang pneumonia meluas dan membentuk jaringan kaseosa. Kavitas akan muncul dengan
dibatukkannya jaringan kaseosa keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kavitas sklerotik).

2.5. Klasifikasi
2.5.1. Berdasarkan Organ yang Terkena
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. (Pulmonary Tuberkulosis, 2016)
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput
jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain – lain. (Pulmonary Tuberkulosis, 2016)
2.5.2. Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium
1. Tuberkulosis paru BTA positif
- Sekurang- kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukan gambaran
tuberkulosis
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT (WHO, 2016)
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
- Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis.
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan (Pulmonary Tuberkulosis,
2016)

2.5.3. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya


1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).

10
2. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA
postif (apusan atau kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus pindahan (transfes in) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kasus ini termasuk
kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan
ulangan (WHO, 2016)

2.6. Diagnosis
2.6.1. Gambaran klinis
Gambaran klinis penderita tuberkulosis paru dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala respiratorik
dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik, meliputi :
a. Batuk > 3 minggu/ batuk darah
- Pada awal terjadinya penyakit, kuman akan berkembang biak di jaringan paru. Batuk baru akan
terjadi bila bronkus telah terlibat. Batuk merupakan akibat dari terangsangnya bronkus yang bersifat
iritatif. Kemudian akibat terjadinya peradangan, batuk berubah menjadi produktif karena diperlukan
untuk membuang produk-produk ekskresi dari peradangan. Sputum dapat bersifat mukoid atau
purulen.
- Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat atau ringannya batuk darah tergantung
dari besarnya pembuluh darah yang pecah. Gejala batuk darah tidak selalu terjadi pada setiap
penderita tuberkulosis paru, kadang-kadang merupakan suatu tanda perluasan proses tuberkulosis
paru. Batuk darah tidak selalu ada sangkut-paut dengan terdapatnya kavitas pada paru.
b. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada
penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru, TB paru dengan efusi
pleura yang massif, atau TB paru dengan penyakit kardiopulmoner yang mendasarinya.
c. Nyeri dada

11
Nyeri dada bersifat tumpul. Adanya nyeri menggambarkan keterlibatan pleura yang kaya akan
persyarafan. Kadang-kadang hanya berupa nyeri menetap yang ringan. Dapat juga disebabkan regangan
otot karena batuk (Depkes RI, 2008)
2. Gejala sistemik, meliputi :
a. Demam
Biasanya subfebris menyerupai demam influenza. Tetapi, kadang-kadang panas badan dapat
mencapai 40-410C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, kemudian dapat timbul kembali.
Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas
dari serangan demam. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya
infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
b. Keringat di malam hari tanpa disertai aktivitas
c. Anoreksia dan penurunan berat badan
- Penyakit tuberkulosis paru bersifat radang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa
anoreksia tidak ada nafsu makan sehingga membuat badan penderita makin kurus (penurunan berat
badan). (WHO, 2016)
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal
perkembangan penyakit umumnya sulit untuk ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, namun kadang terdapat retraksi rongga dada, difragma dan
mediastinum.
Palpasi : Fremitus biasanya meningkat.
Perkusi : Tergantung dari beratnya TB, bisa dari pekak sampai redup.
Auskultasi : Suara nafas bronchial, amforik, suara nafas lemah, ronkhi basah (Depkes RI, 2008)
2.6.3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan, dan
menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan tiga spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berturutan berupa
Sewaktu – Pagi – Sewaktu (SPS) :
- S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat
pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
- P (pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa
dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
- S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat menyerahkan dahak pagi.
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dalam skala IUATLD (International Union Against
Tuberkulosis and Lung Disease) : (Depkes RI, 2006)
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif.
- Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapang pandang hanya disebutkan dengan jumlah kuman yang
ditemukan.
12
- Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (+1).
- Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (+2).
- Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (+3).
2.6.4. Pemeriksaan Radiologi
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakan dengan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun, pada kondisi tertentu, pemeriksaan foto toraks
perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut :
- Hanya satu dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini, pemeriksaan foto toraks
dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif
- Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah tiga spesimen dahak SPS pada pemeriksaan
sebelumnya hasilnya negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.
- Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penangan khusus,
seperti pneumothoraks, pleuritis eksudatif, efusi perikarditis, atau efusi pleural dan pasien yang
mengalami batuk berdarah berat untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma (Depkes RI,
2006)
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi aktif akan tampak bayangan berawan di segmen
apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. Dapat ditemukan juga kavitas atau
bayangan bercak milier. Pada lesi TB inaktif tampak gambaran fibrotik, kalsifikasi dan penebalan pleura
(Bello SI, Itiola OA, 2010)
Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan radiologis TB paru adalah foto toraks posisi
postero anterior dan lateral. Kelainan radiologis tuberkulosis paru menurut klasifikasi The National
Tuberkulosis Assosiation of the USA (1961) adalah sebagai berikut:
1. Minimal lesion
- Infiltrat kecil tanpa kaverne
- Menenai sebagian kecil dari satu paru atau keduanya
- Jumlah keseluruhan paru yang ditemui tanpa memperhitungkan distribusi, tidak
lebih dari luas antara pesendian chondrosternal kedua sampai corpus vertebra torakalis V (kurang dari 2
sela iga).
2. Moderately advanced lesion
Dapat mengenai sebelah paru atau kedua paru tetapi tidak melebihi ketentuan sebagai berikut :
- Bercak infiltrat tersebar tidak melebihi volume sebelah paru
- Infiltrat yang mengelompok yang luasnya tidak melebihi 1/3 volume sebelah paru
- Diameter kaverne bila ada tidak melebihi dari 4 cm.
3. Far advanced lesion

13
Far advanced lesion merupakan lesi yang melewati moderately advanced lesion atau ada kavernae
yang sangat besar (Bello SI, Itiola OA., 2010)

Tersangka penderita TBC


(suspek TBC)

Periksa dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu

Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA - - -


+ + +/+ + - + - -

Beri antbiotk spektrum luas


Periksa Rontgen Dada

Tidak ada Ada


Hasil tdak perbaikan perbaikan
Hasil mendukung TBC
mendukung TBC

Ulang pemeriksaan dahak


mikroskopik

Penderita TBC BTA positf Hasil BTA Hasil BTA


+++ ---
++-
+--

Periksa Rontgen dada

Hasil mendukung Hasil


TBC Rontgen (-)

TBC BTA negatf Bukan TBC,


Rontgen positf penyakit lain

Gambar 1.1. Alur Diagnosis TB paru (Bello SI, Itiola OA, 2010)
Keterangan:
1. Suspek TB Paru: Seseorang dengan batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih disertai
dengan atau tanpa gejala lain.

14
2. Antibiotik non OAT : Antibiotik spektrum luas yang tidak memiliki efek anti TB (jangan
gunakan fluorokuinolon).

2.7. Penatalaksanaan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti
tuberkulosis (OAT). Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah yang cukup, dan
dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly
Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO).
3. Pengobatan TB dilakukan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
 Tahap awal (intensif)
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung
untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
 Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan (Adane AA, Alene KA, Koye DN, Zeleke BM ,2013)

Tabel 2.1. Obat Anti Tuberkulosis

Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)


Jenis OAT Sifat
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4 – 6) 10 (8 – 12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8 – 12) 10 (8 – 12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20 – 30) 35 (30 – 40)
Streptomicin (S) Bakterisid 15 (12 – 18) 15 (12 – 18)

15
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15 – 20) 30 (20 – 35)

Panduan OAT dan kategorinya :


1. Kategori 1 (2HRZE / 4H3R3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
- Pasien baru TB paru BTA positif.
- Pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif.
- Pasien TB ekstra paru. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Tabel 2.2

Tabel 2.3

2. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya :
- Pasien kambuh.
- Pengobatan pasien gagal.
- Pasien dengan pengobatan setalah putus berobat (default). (Depkes RI, 2006)

10

16
Tabel 2.4

3. OAT sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti panduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selama sebulan (28 hari). (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
Tabel 2.5. Dosis KDT untuk sisipan

2.8. Efek Samping


Efek samping obat tuberkulosis
No Jenis Obat Efek Samping
1 Isoniazid Mual, muntah, kesemutan, rasa terbakar pada
kaki, hepatotoksik
2 Pirazinamid Mual, muntah, nyeri sendi, hepatotoksik
3 Rifamfisin Mual, muntah, BAK berwarna merah,
purpura, syok, hepatotoksik
4 Etambutol Mual, muntah, neuritis retrobulbar,
hepatotoksik
5 Streptomisin Mual, muntah, tuli, gangguan keseimbangan,
gatal kemerahan, hepatotoksik

(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011)

Efek samping Ringan OAT

17
Efek samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak nafsu makan, Rifamfisin Semua OAT diminum malam
mual, sakit perut sebelum tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin
Kesemutan sampai INH Beri vitamin B6 (piridoxin)
rasa terbakar dikaki 100mg perhari
Warna kemerahan Rifamfisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi
pada air seni (urin) perlu penjelasan kepada pasien

Efek samping Berat OAT


Efek samping penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT Ikuti petujuk penatalaksaan
dibawah *)
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan diganti
etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan diganti
etambutol
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OAT Hentikan OAT sampai ikterus
semua menghilang
Bingung dan muntah-muntah (permulaan Hampir semua OAT Hentikan OAT , segera
ikterus karena obat) lakukan tes fungsi hati.
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan rifamfisin
*) Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”: Jika seorang pasien dalam
pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu
anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian
pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti
ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini
bertambah berat, pasien perlu dirujuk.
2.9. Evaluasi Pengobatan
2.9.1. Evaluasi Klinis
Pasien dievaluasi secara periodik terhadap respons pengobatan, ada tidaknya efek samping obat,
dan ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan
fisik. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)

18
2.9.2. Evaluasi Bakteriologi
Evaluasi bakteriologik bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan
evaluasi pemeriksaan mikroskopis yaitu pada :
- Sebelum pengobatan dimulai.
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif).
- Pada akhir pengobatan.
Bila ada fasilitas biakan dilakukan pemeriksan biakan dan uji kepekaan. (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2011)

2.9.3. Evaluasi radiologi


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada :
- Sebelum pengobatan.
- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan
dapat dilakukan 1 bulan pengobatan).
- Pada akhir pengobatan. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2.9.4. Evaluasi pada pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah
mikroskopis BTA dahak dan foto toraks (sesuai indikasi/bila ada gejala). (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2011)
Tabel 2.6. Tindak Lanjut Evaluasi Pemeriksaan Dahak
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)

19
3. Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi baik sebelum pengobatan atau dalam
masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang akan timbul adalah
1. Batuk darah.
2. Pneumotoraks.
3. Gagal nafas.
4. Efusi pleura (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

4. Kepatuhan

4.1. Defenisi kepatuhan


Kepatuhan (ketaatan) (compliance atau adherence) adalah tingkat pasien melaksanakan cara
pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh yang lain . Kepatuhan pasien sebagai
sejauh mana prilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas kesehatan. Penderita yang
patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatanya secra teratur dan lengkap tanpa terputus selama
minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan (Notoadmodjo, 2005)
Kepatuhan terhadap pengobatan membutuhkan partisifasi aktif pasien dalam
manajemen keperawatan diri dan kerja sama antara pasien dengan petugas
kesehatan. Ketidakpatuhan penderita TB dalam minum obat menyebabkan angka
kesembuhan penderita rendah, angka kematian tinggi dan kekambuhan meningkat
serta yang lebih fatal adalah terjadinya resisten kuman terhadap beberapa obat anti

20
tuberkulosis atau multi drug resistence, sehingga penyakit TB paru sangat sulit
disembuhkan (Depkes RI, 2007).
Menurut Depkes (2002), pengobatan Tuberkulosis paru membutuhkan waktu 6 sampai 8 bulan
untuk mencapai penyembuhan dan dengan paduan (kombinasi) beberapa macam obat, namun masih ada
pasien berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai yang berakibat pada kegagalan dalam
pengobatan Tuberkulosis. WHO menerapkan strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short course)
dalam manajemen penderita Tuberkulosis untuk menjamin pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung oleh seorang pengawas minum obat (PMO). Dengan strategi DOTS angka kesembuhan pasien
TB menjadi > 85%. Obat yang diberikan juga dalam bentuk kombinasi dosis tetap karena lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan. Walaupun demikian angka penderita mangkir untuk meneruskan
minum obat tetap cukup tinggi (Bagiada, 2010: 159).
4.2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru
Menurut teori Modifikasi Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2012) prilaku kesehatan ditentukan
oleh 3 faktor yaitu predisposing factors, enabling factors, dan reinforcing factors.
4.2.1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor-faktor perdisposisi (predisposing factors), faktor sebelum terjadinya suatu perilaku, yang
termasuk dalam faktor predisposisi adalah demografi.
4.2.1.1. Usia
Usia sebagai salah satu sifat karakteristik tentang orang yang dalam studi epidemiologi merupakan
variabel yang cukup penting karena cukup banyak penyakit ditemukan dengan berbagai variasi frekuensi
yang disebabkan oleh umur (Noor, 2008: 98).
Di negara berkembang mayoritas individu yang terinfeksi TB adalah golongan usia di bawah 50
tahun, sedangkan di negara maju prevalensi TB sangat rendah pada mereka yang berusia di bawah 50
tahun, namun masih tinggi pada golongan yang lebih tua. Di Indonesia sekitar 75% penderita TB adalah
kelompok usia produktif secara ekonomis, yakni 15 hingga 50 tahun (Depkes RI, 2011: 3).
Berdasarkan penelitian Kondoy dkk (2014), umur responden sebagian besar
pada usia menengah yaitu 25-49 tahun sebanyak 84 responden (49,1%), tergolong
dalam usia yang masih produktif. Hal yang sama terjadi pada tahun 2005 dimana 30
kasus TB Paru di Indonesia lebih banyak terjadi pada usia produktif karena pada usia
produktif manusia cenderung mempunyai mobilitas yang tinggi sehingga
kemungkinan untuk terpapar kuman TB lebih besar, selain itu setelah pubertas
tubuh lebih mampu mencegah penyebaran penyakit melalui darah, tetapi
kemampuan untuk mencegah penyakit didalam paru berkurang jauh.

21
Hasil penelitian Mus (2001) dalam Rahmansyah (2012) meyatakan mengenai
kepatuhan berobat penderita TB paru dikatakan bahwa umur produktif lebih tidak
patuh berobat dibandingkan dengan penderita TB paru usia tidak produktif, hal ini
disebebkan usia produktif ini mempunyai tingkat mobilitas yang tinggi, karena pada
usia ini adalah usia sekolah dan usia pekerja produktif sehingga lebih mementingkan
atau mengutamakan aktivitasnya dari pada penyakit yang dideritanya dengan tidak
patuhnya berobat pada usia produktif ini merupakan resiko terjadinya DO pada
penderita TB paru.aa
4.2.1.2. Jenis Kelamin
Prevalensi tuberkulosis paru cenderung meningkat di semua usia baik laki-laki maupun perempuan.
Angka prevalensi pada perempuan masih lebih rendah dan peningkatannya juga lebih sedikit dibandingkan
laki-laki. Umumnya pada perempuan ditemukan tuberkulosis paru setelah melahirkan (Crofton, 2002: 12).
Sementara itu, angka kematian wanita karena tuberkulosis lebih banyak daripada kematian wanita karena
kehamilan, persalinan dan nifas (Depkes RI, 2011: 3).
Berdasarkan penelitian Kondoy dkk (2014) jumlah pasien lebih banyak laki-laki 63,2%
dibandingkan perempuan 36,8%. Tingginya angka pasien laki-laki memungkinkan penularan yang luas.
Hal ini dikarenakan kelompok laki-laki kebanyakan keluar rumah mencari nafkah, dengan frekuensi keluar
rumah yang memungkinkan terjadinya penularan penyakit TB Paru, mobilitas yang tinggi dari pada
perempuan laki-laki dapat menurunkan kekebalan tubuh sehingga mudah terkena TB paru, sehingga
kemungkinan lebih besar, selain itu kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol pada laki-laki dapat
menurunkan kekebalan tubuh sehingga mudah terkena TB paru. Erawatyningsih dkk (2009) menyatakan
bahwa pada pengobatan TB laki-laki cenderung lebih tidak patuh dan tidak teratur dalam meminum obat di
bandingkan perempuan di karenakan laki-laki cenderung memiliki aktivitas yang lebih tinggi sehingga
cenderung tidak memperhatikan kesehatannya.
4.2.1.3. Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu,
kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan.
Sedangkan pendidikan kesehatan secara konseptual adalah upaya untuk mempengaruhi atau mengajak
orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat agar melaksanakan perilaku hidup sehat, dan secara
operasional pendidikan adalah semua kegiatan untuk memberikan atau meningkatkan pengetahuan, sikap,
dan praktek masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Adnani, 2011:77).

22
Tingkat pendidikan formal merupakan landasan seseorang dalam berbuat sesuatu, membuat lebih
mengerti dan memahami sesuatu, atau menerima dan menolak sesuatu. Tingkat pendidikan formal juga
memungkinkan perbedaan pengetahuan dan pengambilan keputusan. Berdasarkan penelitian kebanyakan
pasien yang tidak patuh berobat adalah pasien dengan pendidikan rendah hal ini mebuktikan bahwa
memang benar tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang, seperti
mengenali rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan
pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat
(Kondoy dkk, 2014: 6).
Berdasarkan hasil penelitian Kondoy dkk (2014), menunjukkan bahwa pendidikan memiliki
hubungan yang bermakna dengan tingkat kepatuhan berobat pasien TB Paru p = 0,000. Pendidikan rendah
yaitu terdiri dari tidak tamat SD,SD dan SMP mempunyai pengetahuan yang kurang akan pengetahuan
mengenai TB Paru, sehingga responden dengan pendidikan tinggi yaitu SMA dan D3/S1/S2/S3 lebih patuh
terhadap pengobatan dibandingkan responden dengan pendidikan rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Erawatyningsih dkk (2009) didapatkan mayoritas penderita pada
kelompok yang patuh berpendidikan SMA sebanyak 47,6%, sedangkan yang tidak patuh tingkat
pendidikannya tidak tamat SD sebanyak 31,8%. Hal ini berati semakin rendah tingkat pendidikan maka
semakin tidak patuh penderita untuk berobat karena rendahnya pendidikan seseorang sangat
mempengaruhi daya serap seseorang dalam menerima informasi sehingga dapat mempengaruhi tingkat
pemahaman tentang penyakit TB paru, cara pengobatan, dan bahaya akibat minum obat tidak teratur.
4.2.1.4. Pekerjaan
Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah. Untuk melakukan pekerjaan
tentunya di perlukan waktu, dengan mempunyai pekerjaan yang membutuhkan waktu yang relaif lama,
kemungkinan untuk memperhatikan lingkungan cenderung menurun. Selain itu, dengan kondisi pekerjaan
yang menyita banyak waktu ditambah dengan pendapatan yang relatif rendah masyarakat akan cenderung
untuk lebih memikirkan hal-hal pokok antara lain pangan, sandang, papan (Rahmansyah, 2012: 30).
Menurut penelitian Rokhmah (2013), penderita TB yang memiliki pekerjaan tidak tetap dapat lebih
patuh terhadap pengobatan karena mereka mempunyai lebih banyak waktu luang sehingga dapat
memanfaatkan layanan kesehatan dengan maksimal. Hal ini juga bisa terjadi bagi
mereka responden Ibu Rumah Tangga, responden yang tidak bekerja atau responden
yang memiliki pekerjaan.
4.2.2 Faktor Pendukung (Enabling Factors)

23
Faktor-faktor pendukung (enabling factors), agar terjadi perilaku tertentu diperlukan perilaku
pemungkin suatu motivasi, yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-
fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.
4.2.2.1. Efek Samping OAT
Penderita TB paru sebagian besar dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek
samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Pada umumnya gejala efek samping obat yang
ditemukan pada penderita adalah sakit kepala, mual-mual, muntah, serta sakit sendi tulang.
Gejala efek samping obat dapat terjadi pada fase intensif atau awal pengobatan bahwa obat yang
harus diminum penderita jumlah banyak sehingga membuat penderita malas untuk minum obat
(Erawatyningsih dkk, 2009: 121).
Berdasarkan hasil penelitian Erawatyningsih dkk (2009), menyatakan ada pengaruh yang signifikan
antara efek samping obat terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru dengan p = 0,009. Hasil
penelitian menunjukkan hubungan negatif bermakna artinya semakin penderita memiliki banyak keluhan
semakin tidak patuh penderita untuk berobat.
Adanya efek samping OAT merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan dalam pengobatan
TB paru. Hal ini bisa berkurang dengan adanya penyuluhan terhadap penderita sebelumnya, sehingga
penderita akan mengetahui lebih dahulu tentang efek samping obat dan tidak cemas apabila pada saat
pengobatan terjadi efek samping obat. Beberapa penelitian mengkonfirmasikan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara efek samping obat dengan kepatuhan pengobatan bahwa semakin berat gejala efek
samping obat semakin tidak patuh penderita dalam pengobatan.
4.2.2.2. Tipe Pasien
Pada pengobatan ulang penderita TB paru BTA positif dengan kategori 2 dapat
menimbulkan resitensi kuman TB terhadap OAT yang diberikan (Depkes RI, 2008).
Hal tersebut tentu akan mempengaruhi kesembuhan penderita TB paru BTA positif
karena pengobatannya akan lebih lama daripada penderita yang mendapatkan OAT
ketegori 1 (penderita yang baru).
Suparini (1999) dalam Kartika (2009), dalam penelitiannya menemukan bahwa
tipe penderita yang tidak teratur menelan obat lebih banyak pada penderita tipe
baru dibandingkan dengan tipe kambuh.
4.2.2.3. Wilayah Tempat Tinggal
Tempat tinggal adalah suatu bangunan, tempat seseorang atau beberapa orang tinggal secara
menetap dalam jangka waktu tertentu, disuatu tempat tertentu. Penelitian Mediana (2002) dalam Kartika

24
(2009) mengenai default pengobatan penderita TB paru, dikemukakan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara jarak yang jauh dari tempat pelayanan kesehatan dengan terjadinya default pengobatan.
Hal ini terjadi karena penderita TB paru memerlukan waktu yang lama untuk mencapai tempat pelayanan
kesehatan serta memerlukan biaya yang besar untuk transportasi. Jarak tempat tinggal dengan pelayanan
kesehatan juga menjadi penyebab ketidakpatuhan dalam berobat. Semakin jauh jarak tempat tinggal dari
fasilitas kesehatan, semakin besar risiko terjadinya ketidakpatuhan berobat.

4.2.3. Faktor Pendorong (Reinforcing Factors)


Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), merupakan faktor perilaku yng memberikan peran
domain bagi menetapnya suatu perilaku, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau
petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
4.2.3.1. Dukungan Keluarga Sebagai PMO
Keluarga merupakan orang yang dekat dengan pasien. Peran keluarga sangat dibutuhkan dalam
memperhatikan pengobatan anggota keluarganya. Sehingga keluarga harus memberi dukungan agar
penderita dapat menyelesaikan pengobatannya sampai sembuh. Penelitian Pare dkk (2012), menemukan
bahwa pasien yang tidak teratur berobat lebih banyak ditemukan dukungan keluarga yang kurang sebanyak
14 orang (63.6%) daripada untuk kategori baik 8 orang (36.4%).
Pasien yang teratur berobat lebih banyak ditemukan dukungan keluarga yang baik sebanyak 33
orang (63.5%) dan kategori kurang 19 orang (36.5%). Hasil tabulasi silang variabel dukungan keluarga
dengan perilaku pasien TB paru diperoleh nilai OR=3.039 yang berarti penderita TB paru yang memiliki
dukungan keluarga yang kurang berisiko 3.039 kali untuk tidak teratur berobat dibandingkan dengan
penderita TB paru yang memiliki dukungan keluarga yang baik. Peran keluarga yang baik merupakan
motivasi atau dukungan yang ampuh dalam mendorong pasien untuk berobat teratur sesuai anjuran.
Adanya dukungan atau motivasi yang penuh dari keluarga dapat mempengaruhi perilaku minum obat
pasien TB paru secara teratur. Pada umumnya dukungan keluarga yang diberikan dalam bentuk
memberikan motivasi untuk teratur berobat, bantuan dana untuk kebutuhan sehari-hari, serta bantuan
transportasi untuk pasien TB paru. Tetapi masih ada anggota yang menghindari pasien yang menyebabkan
pasien merasa malu untuk menjalani pengobatan. Peran keluarga menentukan pasien untuk menjalani
pengobatan (Pare dkk, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian dai Junarman, menyatakan bahwa proporsi TB
paru berdasarkan PMO yang terbesar adalah keluarga sebesar 89,2% dan petugas
kesehatan 10,8%. PMO merupakan salah satu komponen penting dari strategi DOTS,
dimana PMO sangat dibutuhkan untuk mendampingi penderita TB paru

25
menyelesaikan pengobatan secara teratur, dan mampu memberikan penyuluhan
kepada keluarga penderita yang mempunyai gejala tersangka TB paru untuk segera
memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan (Junarman, 2009: 79).
4.2.3.2. Peran Petugas Kesehatan
Peran petugas kesehatan adalah suatu sistem pendukung bagi pasien dengan memberikan bantuan
berupa informasi atau nasehat, bantuan nyata, atau tindakan yang mempunyai manfaat emosional atau
berpengaruh pada perilaku penerimanya (Depkes, 2002). Dukungan emosional sehingga merasa
nyaman,merasa diperhatikan, empati, merasa diterima dan ada kepedulian. Dukungan kognitif dimana
pasien memperoleh informasi, petunjuk, saran atau nasehat. Interaksi petugas kesehatan dengan penderita
TB terjadi di beberapa titik pelayanan yaitu poliklinik, laboratorium, tempat pengambilan obat dan pada
waktu kunjungan rumah. Peranan petugas kesehatan dalam penyuluhan tentang TB perlu dilakukan, karena
masalah tuberkulosis banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan
penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan peran serta masyarakat dalam
penanggulangan penyakit tuberkulosis (Depkes, 2002). Penyuluhan tuberkulosis dapat dilaksanakan
dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media.
Peranan petugas kesehatan dalam melayani pasien TB paru diharapkan dapat
membangun hubungan yang baik dengan pasien. Unsur kinerja petugas kesehatan
mempunyai pengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan
kesehatan terhadap pasien TB paru yang secara langsung atau tidak langsung akan
berpengaruh terhadap keteraturan berobat pasien yang pada akhirnya juga
menentukan hasil pengobatan (Pare, 2012).
Menurut Niven (2002) dalam Ulfah (2013), dukungan petugas kesehatan
merupakan faktor lain yang mempengarhui perilaku kepatuhan. Dukungan mereka
terutama berguna saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut
merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku pasien
dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari
pasien, dan secara terus menerus, memberikan penghargaan yang positif bagi
pasien yang telah mampu berapdatasi dengan program pengobatannya.

Faktor yang mempengaruhi :


Umur, Jenis kelamin,Kerangka
Pendidikan, Pekerjaan,
Teori Sembuhh

Penghasilan/bulan, Pengetahuan, Sikap


Patuh
Penderita, Jarak, Ketersediaan OAT, Sikap kambuh
petugas kesehatan, dukungan keluarga 26
Kepatuhan
Minum Tidak
Gagal
Obat OAT patuh

Kematan

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini bersifat deskriptif dengan mengambil data rekam medis dan hasil kuisioner pasien TB
paru yang sedang menjalani pengobatan di Puskesmas Ranai tahun 2018.

3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian


Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2019. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan
maret 2019 di Puskesmas Ranai.

3.3. Populasi dan sampel Penelitian

27
3.3.1. Populasi
Semua pasien TB paru yang menjalani pengobatan OAT di Pukesmas Ranai tahun 2018.
3.3.2. Sampel
Semua pasien TB paru yang menjalani pengobatan TB paru di wilayah kerja UPT Puskesmas Ranai
serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.3.3.1 Kriteria Inklusi
1. Semua Pasien TB paru kategori 1 yang berobat ke Puskesmas Ranai tahun 2018
2. Pasien TB paru dengan pengobatan OAT kategori 1, yaitu kasus kambuh, gagal pengobatan, atau
putus obat
3.3.3.2 Kriteria Eksklusi
1. Pasien TB paru dan keluarga yang tidak bersedia menjadi responden
2. Pasien dan keluarga yang tidak dapat membaca dan menulis
3. Penderita TB dengan HIV

3.3.4. Teknik Sampling


Teknik sampling adalah proses seleksi sampel yang digunakan dalam penelitian dari populasi yang
ada. Proses pengambilan sampel dilakukan setelah data populasi pasien TB paru yang berobat di wilayah
kerja UPT Puskesmas Ranai adalah sebanyak 14 orang. Dalam penelitian ini, setelah populasi didapatkan,
peneliti mengambil sampel dengan menggunakan teknik .
3.4. Variabel Penelitian
Pada penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu :
1. Variabel independen (variabel bebas )
Variabel independen adalah variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel
dependen. Pada penelitian ini veriabel independennya adalah Faktor-Faktor yang mempengaruhi tingkat
kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada pasien Tuberkulosis Paru

2. Variabel dependen (variabel terikat )


Variabel dependent adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas
lain. Pada penelitian ini variabel dependennya adalah kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru.
3.6. Kerangka Konsep

Faktor prediposisi
28
Usia

Jenis kelamin

Tingkat pendidikan

Pekerjaan
Faktor pendukung
Kepatuhan Minum obat
Efek Samping OAT anti tuberkulosis

Tipe pasien

Wilayah Tempat
Tinggal
Faktor pendorong

Dukungan keluarga

Peran petugas
kesehatan

3.4. Teknik Pengumpulan Data


1. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder . Data primer diperoleh melalui pengisian
kuisioner oleh responden, sedangkan data sekunder diperoleh dari data yang ada di Puskesmas Ranai yaitu
Data pasien mengenai jumlah pasien TB Paru yang berobat di wilayah kerja UPT Puskesmas Ranai.
2. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuisioner yang akan diisi oleh responden. Kuisioner ini
terdiri dari 40 pertanyaan.
3.5. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian kegiatan penelitian setelah kegiatan
pengumpulan data. Data mentah (raw data) yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah sehingga menjadi
sumber yang dapat digunakan.
1. Pemeriksaan data (Editing Data)

29
Tahap ini merupakan kegiatan penyuntingan data yang telah terkumpul dengan cara memeriksa

kelengkapan data dan kesalahan pengisian kuesioner untuk memastikan data yang diperoleh telah lengkap

dapat dibaca dengan baik, relevan, dan konsisten.

2. Pemberian kode (Coding Data)

Setelah melakukan proses editing kemudian dilakukan pengkodean pada jawaban dari setiap

pertanyaan terhadap setiap variabel sebelum diolah dengan computer, dengan tujuan untuk memudahkan

dalam melakukan analisa data.

3. Pemberian nilai (Scoring)

Setelah data dikumpul dilakukan pengolahan data dengan cara pemberian nilai 1 untuk Jawaban

benar dan nilai 0 untuk jika jawaban salah.

4. Tabulating

Data yang dikumpulkan ditabulasi dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian


4.1.1 Karakteristik Responden
Pada penelitian yang telah dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada pasien tuberkulosis paru
di Puskesmas Ranai di dapatkan hasil sebagaimana yang tertulis di bawah. Penelitian ini menggunakan
data rekam medik untuk mengetahui identitas pasien dan alamat pasien. Adapun hasil analisis dari
penelitian yang diperoleh dapat di kelompokan sebagai berikut :
Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi pada variabel independen
dan variabel dependen yang diteliti. Selanjutnya hasil analisis univariat akan dijelaskan pada sebagai
berikut ini:
4.1.1 Pola Distribusi Responden (Statistik Deskriptif)

30
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, distribusi Jenis kelamin, Usia, Pendidikan terakhir,
pengetahuan, Kepatuhan, Sikap pasien, Motivasi/dukungan keluarga, Jarak, Ketersediaan Obat adalah
seperti tabel di bawah ini :
Tabel 4.1 Gambaran pola distribusi pada pasien Tuberkulosis di Puskesmas Ranai tahun 2018

Variabel Jumlah Presentase


Jenis kelamin
Laki-laki 6
Perempuan 8
Umur
<40 tahun 6
>40 tahun 8
Pendidikan terakhir
Dasar 7
Menengah 10
Tinggi 0
Pengetahuan Penderita
Rendah 8
Tinggi 9
Pekerjaan
Tidak Bekerja 7
Bekerja 7
Penghasilan
< UMR 2.863.308 12
> UMR 2.863.308 2
Kepatuhan
Patuh 11
Tidak patuh 3
Sikap pasien
Baik 12
Tidak baik 2
Sikap petugas kesehatan
Baik 12

31
Tidak baik 2
Dukungan keluarga
Baik 12
Tidak baik 2
Jarak menuju akses kesehatan
Jauh 5
Dekat 9
Ketersediaan Obat
Baik 12
Tidak baik 2

Analisis Bivariat
Hubungan Pendidikan Terakhir dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis pada Pasien TB Paru di
Puskesmas Ranai tahun 2018
Tabel 4.11. Gambaran hubungan pendidikan terakhir pasien Tuberkulosis paru dengan
kepatuhan minum obat anti tuberkulosis di Puskesmas Ranai tahun 2018

Variabel Tingkat kepatuhan Total pValue


(%)
Patuh Tidak patuh
Dasar 5 2
Menengah 6 1
Tinggi 0 0

Hasil penelitian menujukkan bahwa responden dengan pendidikan dasar memiliki ketidakpatuhan
sebanyak sedangkan yang memiliki kepatuhan adalah sebesar .Pada responden dengan pendidikan
menengah memiliki ketidakpatuhan sebanyak , sedangkan yang memiliki kepatuhan adalah sebesar .
Pada responden dengan pendidikan terakhir memiliki ketidakpatuhan sebanyak , sedangkan yang
memiliki kepatuhan adalah sebesar . Berdasarkan uji chi square didapatkan hasil p 0,021 (<0,05)

32
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara
pendidikan terakhir dengan tingkat kepatuhan minum obat anti tuberculosis.

Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis pada Pasien TB
Paru di Puskesmas Ranai tahun 2018

Tabel 4.12. Gambaran hubungan tingkat pengetahuan pasien Tuberkulosis paru dengan
kepatuhan minum obat anti tuberkulosis di Puskesmas Ranai tahun 2018

Variabel Tingkat kepatuhan Total pValue


(%)
Patuh Tidak patuh
Rendah 5 2
Tinggi 6 1
Total 11 3

Responden dengan pengetahuan rendah memiliki ketidakpatuhan sejumlah dan yang memiliki
kepatuhan sejumlah . Pada responden berpengetahuan tinggi menunjukkan tingkat ketidakpatuhan sebesar
dan yang memiliki kepatuhan sejumlah . Berdasarkan uji chi square didapatkan hasil p 0,00 (<0,05)
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan
dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis.
Hubungan Pekerjaan dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis pada Pasien TB Paru di
Puskesmas Ranai 2018
Tabel 4.13. Gambaran hubungan pekerjaan pasien Tuberkulosis paru dengan kepatuhan minum obat
anti tuberculosis di Puskesmas Ranai 2018
Variabel Tingkat kepatuhan Total pValue
(%)
Patuh Tidak patuh
Bekerja 11 1
Tidak bekerja 0 2
Total 11 3

Hasil penelitian menunjukkan bahawa responden dengan pekerjaan ibu rumah tangga yang
memiliki ketidakpatuhan sejumlah dan yang memiliki kepatuhan sejumlah . Pada responden yang
33
bekerja sebagai wiraswasta memiliki ketidakpatuhan sejumlah , dan yang mempunyai kepatuhan sebesar
. Berdasarkan uji chi square di dapatkan hasil p 0,264 (>0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat hubungan bermakna antara pekerjaan dengan tingkat kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis
Pekerjaan adalah suatu aktifitas yang dilakukan untuk mencari nafkah atau menyambung
kelangsungan hidup. Lingkungan kerja memiliki peranan penting untuk seseorang bisa terpapar oleh suatu
penyakit. Lingkungan kerja yang buruk bisa mendukung seseorang untuk terpapar penyakit TB Paru,
apalagi ditempat- tempat yang lembab dan kurang cahaya ataupun yang kebersihannya kurang.33 Yang
menyebabkan ketidakpatuhan pasien dalam minum obat adalah asumsi mereka bahwa pengobatan itu
memerlukan biaya , guna keperluan transportasi ataupun kebutuhan masing masing yang harus lebih
diperhatikan daripada pentingnya pengobatan. Namun hal ini harus kita luruskan karena pengobatan TB
Paru sekarang didapat secara cuma-cuma, sehingga tidak ada alasan lagi bagi pasien untuk tidak berobat.33

Hubungan Penghasilan dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis pada Pasien TB Paru di
Puskesmas Ranai tahun 2018.
Tabel 4.14. Gambaran penghasilan pasien Tuberkulosis Paru dengan kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis di Puskesmas Ranai tahun 2018

Variabel Tingkat kepatuhan Total pValue


(%)
Patuh Tidak patuh
> 2.863.308 3 0
< 2.863.308 8 3
Total 11 3

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang memperoleh penghasilan < dari 1
jutadengan ketidakpatuhan sejumlah 24,4% dan memiliki kepatuhan sejumlah 39,0%. Pada responden
yang memperoleh penghasilan > 1 juta memiliki ketidakpatuhan sebesar 0,0% sedangkan yang memiliki
kepatuhan sejumlah 36,6%. Berdasarkan uji chi square di dapatkan hasil p 0,00 (<0,05) dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara penghasilan
Penelitian lain menyatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara pendapatan dengan
kesembuhan seseorang.32 Penelitian Passaribu L menyebutkan bahwa rendahnya ekonomi seseorang
merupakan faktor penghambat dalam pengobatan tuberkulosis paru di Jakarta,34,32 Dari penelitian di atas
dapat disimpulkan bahwa penghasilan mempunyai hubungan yang erat dengan kepatuhan , karena

34
rendahnya pendapatan bisa menjadi faktor penghambat dalam pengobatan TB Paru dan hal inilah yang
menjadikan ketidakpatuhan pasien TB Paru. 32

Hubungan Sikap Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis pada
Pasien TB Paru di Puskesmas Ranai tahun 2018
Tabel 4.15. Gambaran sikap petugas kesehatan dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis di
Puskesmas Ranai tahun 2018

Variabel Tingkat kepatuhan Total pValue


(%)
Patuh Tidak patuh
Baik 11 1
Tidak baik 0 2
Total 11 3

Hasil penelitian menunujukkan bahwa responden yang mendapat pelayanan tidak baik dari sikap
petugas kesehatan mempunyai ketidakpatuhan sejumlah 4,9 % dan mempunyai kepatuhan sejumlah 7,3 %.
Pada responden yang mendapatkan pelayanan baik dari sikap petugas kesehatan mempunyai
ketidakpatuhan sejumlah 19,5%, sedangkan mempunyai kepatuhan sejumlah 68,3%. Berdasarkan uji chi
square di dapatkan hasil p 0,248 (>0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan bermakna antara sikap petugas kesehatan dengan tingkat kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis.
Penilitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuliana dan Erwatiningsih yang
menyatakan bahwa pelayanan kesehatan tidak berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB
Paru.35,30Sementara itu pada penelitian Perdana didapatkan hubungan bermakna antara pelayanan kesehatan
dengan kepatuhan penderita TB paru. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang saling mendukung antar pelayanan kesehatan dengan kepatuhan minum obat dan tidak
kalah pentingnya keyakinan pasien untuk sembuh.14

Hubungan dukungan dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis pada Pasien
TB Paru di Puskesmas Ranai tahun 2018

Tabel 4.16. Gambaran hubungan dukungan pasien Tuberkulosis Paru dengan kepatuhan
minum obat anti tuberkulosis di Puskesmas Ranai tahun 2018
Variabel Tingkat kepatuhan Total pValue
35
(%)
Patuh Tidak patuh
Tinggi 11 1
Rendah 0 2
Total 11 3

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden dengan dukungan rendah


memiliki ketidakpatuhan sejumlah , sedangkan yang memiliki kepatuhan sejumlah %.
Pada responden yang memiliki motivasi tinggi dengan ketidakpatuhan sejumlah 18,3% dan
memilik kepatuhan sejumlah 62,2%. Berdasarkan uji chi square di dapatkan hasil p 0,522
(>0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara
dukungan dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
dukungan dengan kepatuhan pasien dalam minum obat anti tuberkulosis. Hal ini tidak sesuai
dengan teori Notoatmojo yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antar dukungan dengan
perilaku kesehatan. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tingginya motivasi bisa
mempengaruhi kepatuhan karena kepatuhan merupakan perilaku kesehatan.15

36
Hubungan Sikap Pasien dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis pada
Pasien TB Paru di Puskesmas Ranai tahun 2018

Tabel 4.17. Gambaran penghasilan pasien Tuberkulosis Paru dengan kepatuhan minum obat
anti tuberkulosis di Puskesmas tahun 2018

Variabel Tingkat kepatuhan Total pValue


(%)
Patuh Tidak patuh
Baik 11 1
Tidak baik 0 2
Total 11 3

Hasil penilitian ini menunjukkan bahwa responden yang mempunyai sikap tidak baik
dengan ketidakpatuhan sebesar 1,2% dan memiliki kepatuhan sejumlah 2,4 %. Pada
responden yang memiliki sikap baik dengan kepatuhan sejumlah 23,2 % dan yang memiliki
ketidakpatuhan sejumlah 73,2 %. Berdasarkan uji chi square di dapatkan hasil p 1 (>0,05)
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara sikap
pasien dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis.
Hasil peneltian lain menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara sikap pasien dengan tingkat
kesembuhan,32hal ini sangatlah relevan dengan tingkat kepatuhan pada pasien TB Paru karena dalam teori
perilaku kesehatan, dimana perilaku merupakan faktor yang mempengaruhi status kesehatan pada
masyarakatsehingga dapat diartikan bahwa sikap penderita TB Paru menunjang proses sembuh atau
tidaknya pasien tersebut.11 ,32
Hubungan Jarak Menuju Fasilitas Kesehatan dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis
pada Pasien TB Paru di Puskesmas Pamulang periode Januari 2012 sampai dengan Januari 2013.
Tabel 4.19. Gambaran hubungan jarak menuju fasilitas kesehatan pasien Tuberkulosis Paru dengan
kepatuhan minum obat anti tuberkulosis di Puskesmas Ranai tahun 2018
Variabel Tingkat kepatuhan Total pValue
(%)
Patuh Tidak patuh
Jauh 5 3
Dekat 6 0
Total 11 3

37
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang jarak akses menuju fasiltas kesehatannya
dekat memiliki ketidakpatuhan sebesar 3,7%, sedangkan yang memiliki kepatuhan sebesar 32,9%. Pada
responden yang akses jarak menuju faslitas kesehatannya jauh memiliki ketidakpatuhan sejumlah 20,7%
dan yang memiliki kepatuhan sejumlah 42,7%. Berdasarkan uji chi square di dapatkan hasil p 0,031
(>0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara jarak menuju
fasiltas kesahatan dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis.

Hasil penelitan ini tidak sesuai dengan peneltian yang dilakukan oleh Nandang Tisna yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jarak dengan kepatuhan dalam minum
obat.18 Didapatkan juga dari penelitain yang di lakukan oleh Nandang Tisna bahwa beliau mengutip dari
Anto Raharjo bahwa semakin jauh jarak rumah kepala kelurga ke tempat pelayanan kesehatan semakin
sedikit penggunaan pelayanan kesehatan. Kemudahan dalam akses menuju fasilitas kesehatan sangatlah
memungkinkan seseorang untuk memanfaatkannya.18 Hal ini juga di kemukakan oleh Notoatmojo dalam
penjelasan persepsi sehat dan sakit, dimana dikatakan bahwa setiap seseorang yang sakit akan mecari
pengobatan ke tempat yang dianggap dapat memberikan pengobatan sehingga bisa mencapai kesembuhan
atas sakit yang dideritanya. Perilaku ini hampir dilakukan di setiap personal individu.18, 15

Pembahasan
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 17 orang responden diperoleh bahwa umur responden
terbanyak masuk ke dalam kategori dewasa pertengahan yaitu berusia 31-60 tahun sebanyak 14 orang
responden ( ). Hal ini sejalan dengan pernyataan Hardywinoto (2007) menyatakan bahwa semakin tua
umur seseorang maka semakin banyak fungsi organ tubuh yang mengalami gangguan atau masalah yang
berdampak pada kebutuhan akan pemeliharaan kesehatannya.
Pada gambaran distribusi frekuensi menurut umur hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penderita TB Paru yang melakuan kontrol ulang secara rutin di Puskesmas Sidomulyo lebih banyak
berjenis kelamin Perempuan yaitu sebanyak 7 orang ( ) sedangkan responden yang berjenis kelamin
perempuan berjumlah 9 orang ( ). Pada penderita TB Paru lebih banyak terjadi pada perempuan daripada
laki-laki.
Gambaran responden menurut tingkat pendidikan terakhir responden, mayoritas jenjang pendidikan
SMP sebanyak 10 orang ( ), sejalan dengan pernyataan Hardywinoto (2007) semakin tinggi pendidikan maka
kebutuhan dan tuntutan terhadap pelayanan kesehatan semakin meningkat pula, semakin rendah tingkat
pendidikan ini akan mengakibatkan mereka sulit menerima penyuluhan yang diberikan oleh tenaga penyuluh.

38
Hasil penelitian yang dilakukan pada 18 orang responden didapatkan bahwa mayoritas responden
mempunyai dukungan keluarga yang positif yaitu sebanyak 17 responden ( ), Dukungan dapat diartikan
sebagai sokongan atau bantuan yang diterima seseorang dari orang lain. Dukungan biasanya diterima dari
lingkungan sosial yaitu orang-orang yang dekat, termasuk didalamnya adalah anggota keluarga, orang tua,
masyarakat dan teman (Marliyah, 2004). tindakan penderita TB Paru melakukan kontrol ulang di Puskesmas
didapatkan bahwa mayoritas responden mempunyai tindakan kontrol ulang secara rutin yaitu sebanyak 12
orang responden ( ), Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Muliawan (2010) yaitu berhasilnya suatu
terapi tidak hanya ditentukan oleh diagnosis dan pemilihan obat yang tepat, tetapi juga melakukan kontrol
ulang untuk mengikuti terapi yang telah di tentukan.
Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam melakukan
kontrol ulang secara rutin untuk pengobatan TB Paru, dimana keluarga inti maupun keluarga besar berfungsi
sebagai sistem pendukung bagi anggota keluarganya (Friedman & Bowden, 2003). Menurut Friedman (1998
dalam Setiadi, 2008) salah satu fungsi dasar keluarga yaitu fungsi perawatan kesehatan. Fungsi perawatan
kesehatan adalah kemampuan keluarga untuk merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.
Dari hasil wawancara pada petugas kesehatan yang bertanggung jawab pada konseling TB Paru, beliau
mengatakan pada awal pertama kunjungan ke Puskesmas penderita TB Paru datang bersama keluarganya dan
menekankan perlu adanya dorongan yang kuat untuk melibatkan keluarga sebagai pendukung pengobatan
sehingga adanya kerjasama dalam pemantauan pengobatan antara petugas dan anggota keluarga yang sakit.

39
40
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan dukungan keluarga, responden yang mempunyai dukungan keluarga yang positif yaitu
sebanyak 23 responden (56,1%) dan 31 responden (75,6%) di antaranya memiliki tindakan untuk melakukan
kontrol ulang secara rutin di Puskesmas. Hasil uji statistik Chi square terdapat 1 sel yang nilai E (expected
count) < 5 yaitu sebesar 4,4 maka sesuai syarat Chi square bila nilai E < 5 menggunakan nilai fisher’s exact
test (Dahlan, 2009). Sehingga diperoleh nilai P Value = 0,001 < α = 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan tindakan penderita TB Paru melakukan kontrol
ulang di Puskesmas Sidomulyo.

6.2 Saran
Bagi Peneliti
1. Bagi penelitian selanjutnya, perlu dikembangkan lagi dengan variabel-variabel yang lebih kompleks,
karena masih banyak faktor yang mempengaruhi dalam kejadian Tuberkulosis.

Bagi Keluarga
1. Disarankan kepada keluarga penderita TB paru agar lebih ditingkatkan lagi dalam megawasi serta
memberikan perhatian lebih kepada penderita TB paru untuk membentuk sikap positif dari penderita yang
pada akhirnya mau meminum obat TB paru sampai tuntas demi memperoleh kesembuhan dari penyakit TB
paru secara optimal serta mencegah dari kekambuhan penyakit TB paru.
2. Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita TB paru sebaiknya selalu memberikan
motivasi untuk tetap melakukan pengobatan agar mereka tetap mau untuk melakukan pengobatan guna
untuk kesehatan para penderita TB paru dan dukungan dari keluarga menjadi salah satu obat pendukung
untuk mereka agar tetap bertahan hidup.

Bagi Petugas Kesehatan


1. Puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan dasar yang berhadapan langsung dengan masyarakat
disarankan untuk lebih melibatkan peran aktif keluarga dalam memberikan dukungan kepada penderita TB
Paru untuk melakukan kontrol ulang secara rutin dalam rangka meningkatkan kesembuhan bagi penderita
TB Paru yang sedang menjalani pengobatan.

41
2. Diharapkan hasil penelitian dapat menjadi sumber informasi terbaru untuk para petugas kesehatan
khususnya Di Puskesmas Ranai dalam memberikan pendidikan kesehatan atau penyuluhan kepada pasien
TB paru dalam rangka meningkatkan pengetahuan pasien sehingga terbentuk sikap yang positif
(mendukung terhadap minum obat TB paru) agar masalah drop out minum obat TB paru berkurang.
Adapun strategi yang dilakukan dalam penyuluhan diantaranya :
 Memberikan bahan materi penyuluhan tentang penatalaksanaan pengobatan TB paru selama 6
bulan sampai tuntas.
 Memajang spanduk atau media lain yang dapat meningkatkan pengetahuan pasien TB paru dalam
hal minum obat.
 Mengadakan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat agar memasukkan materi tentang
pentingnya minum obat TB paru sampai dengan tuntas.
3. Penyuluhan dilakukan secara berkesinambungan dan intensif pada setiap kesempatan dan harus lebih
difokuskan pada penderita Tb paru yang belum atau sementara berobat agar dapat dilakukan tindak lanjut
pengobatannya.

Bagi Penderita TB
1. Diharapkan mampu mengikuti arahan dan metode dalam perawatan dan mematuhi pengobatan 6 bulan
atau sesuai anjuran yang telah ditetapkan petugas konseling sehingga menurunkan prevalensi angka
kejadian TB Paru.
2. Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita TB paru sebaiknya selalu memberikan
motivasi untuk tetap melakukan pengobatan agar mereka tetap mau untuk melakukan pengobatan guna
untuk kesehatan para penderita TB paru dan dukungan dari keluarga menjadi salah satu obat pendukung
untuk mereka agar tetap bertahan hidup.
3. Diharapkan kepada pasien TB Paru untuk lebih meningkatkan kepatuhan dalam memeriksakan dahak
sesuai dengan aturan petugas kesehatan.

42
43
44
1
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Penelitian mengenai Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan minum
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada pasien TB paru di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ranai
tahun 2018 .Didapatkan hasil kesimpulan :

1. Jumlah penderita dalam penelitian terdiri dari 14, sebagian besar penderita
berusia 15-44 tahun dan penderita didominasi oleh laki-laki. Sebagian
besar penderita mempunyai tingkat pendidikan rendah dan banyak
diantaranya yang tidak bekerja atau bekerja sebagai buruh.
2. Pengetahuan penderita terkait Penyakit TB Paru Kurang Baik, sedangkan
pemahamannya baik. Akan tetapi aplikasinya kurang baik. Hal ini
seharusnya semakin tinggi tahu, memahami dan aplikasi semakin tinggi.
3. Sikap penderita terhadap Penyakit TB Paru cenderung baik. Mulai dari
sikap menerima, menanggapi, menghargai dan bertanggung jawab.
4. Secara umum kepatuhan penderita rendah.
5. Tidak ada hubungan antara karakteristik penderita dengan kepatuhan
penderita terhadap minum Obat Anti Tuberkulosis.
6. Tidak ada hubungan pengetahuan dan sikap dengan tingkat kepatuhan
penderita minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Hal ini disebabkan
karena banyak faktor yang berhubungan kepatuhan minum Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) yang tidak diteliti.

5.2. Saran
Mengacu pada hasil penelitian, pembahasan serta kesimpulan maka dapat
di kemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penyuluhan TB Paru secara rutin dan berkala di Puskesmas
Ranai terutama pada usia produktif 15-44 tahun oleh pihak Puskesmas
dan lintas sektor.
2. Perlu dilakukan penyuluhan tentang pola hidup sehat terutama untuk laki-laki

2
oleh petugas Puskesmas. Misalnya bahaya merokok, minum-minuman
beralkohol dan lain-lain.
3. Petugas Puskesmas Ranai perlu melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala kalau
perlu melakukan kunjungan ke rumah penderita TB Paru guna meningkatkan pengetahuan
dan sikap penderita TB Paru sehingga diharapkan kepatuhan penderita dalam TB Paru
meningkat.
4. Dinas Kesehatan Kota Natuna perlu melakukan sepervisi dan koordinasi secara rutin dan
berkala dengan Puskesmas Lidah Kulon guna mewujudkan pemberantasan penyakit TB Paru.
5. Perlu peningkatan kerja sama lintas sektor serta melakukan kemitraan dengan pihak
swasta, LSM yang peduli terhadap program pemberantasan penyakit TB Paru guna
meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan TB Paru.
6. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut kepatuhan penderita dalam minum Obat Anti
Tuberkulosis di Puskesmas Lidah Kulon dengan lebih banyak variabel yang berhubungan
dengan kepatuhan minum Obat Anti Tuberkulosis.
7. Penderita yang sudah sembuh membentuk Peer group penderita TB Paru.
8. Petugas kesehatan sebaiknya lebih meningkatkan kualitas dan kuantitasnya dalam
melakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai TB agar masyarakat paham dan segera
memeriksakan dirinya apabila menderita tb paru

Masalah putus obat merupakan salah satu masalah yang penting dalam manajemen
TB. Rendahnya kepatuhan minum obat dapat berakibat pada resistensi bakteri
Mycobacterium tuberculosa terhadap obat anti tuberculosis. Pasien yang tidak teratur minum
obat akan mengakibatkan peningkatan angka kegagalan pengobatan TB bahkan dapat
menimbulkan drug resistance-tuberculosis (DR-TB).5,8
Instrumen yang paling penting dalam mendiagnosis TB adalah pemeriksaan
mikroskopis langsung terhadap apusan dahak/sputum. Pemeriksaan mikroskopis terhadap
apusan dahak dilakukan secara teratur untuk mencari bacilli tahan asam (BTA) pada interval
yang ditentukan selama periode pengobatan. Puskesmas Ipuh menjadwalkan pengambilan
dahak pada minggu terakhir bulan ke 2, bulan ke 5 dan bulan ke 6. Pada penelitian ini, 2

3
pasien berada dalam fase intensif pengobatan OAT kategori 1 dan 10 pasien berada dalam
fase lanjutan pengobatan OAT kategori 1 telah mengalami konversi sputum ke BTA negatif
pada minggu terakhir bulan ke-2 (akhir fase intensif). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
terhadap kepatuhan minum obat yang menyatakan bahwa 100% responden Puskesmas Ipuh
patuh minum obat dalam fase intensif OAT. Penelitian oleh Bello dan Itiolla yang dilakukan
di Iliorin, Nigeria juga mendapatkan hasil yang serupa. Didapatkan tingkat kepatuhan minum
obat yang tinggi, yaitu sebesar 94.6% pada populasi yang diteliti.10
Responden yang sedang dalam pengobatan OAT fase lanjut juga menunjukkan tingkat
kepatuhan minum obat yang tinggi yaitu sebesar 100%. Selain itu, tingkat kepatuhan terhadap
jadwal pemeriksaan dahak dan pengambilan obat didapatkan sebesar 100%. Namun, hal ini
berbeda dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Adene et al pada pasien TB di Etiopia yang
mana tingkat kepatuhan minum obat pada fase lanjut lebih rendah yaitu 86.67%
dibandingkan dengan kepatuhan minum obat pada fase intensif yang sebesar 94.44%.
Berdasarkan hasil penelitian ini mereka menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan minum obat
akan lebih tinggi apabila pasien berada pada fase lanjut OAT.9,10 Tingginya tingkat kepatuhan
pengobatan pada responden dapat disebabkan oleh beberapa faktor pendukung, yaitu obat-
obatan dan layanan kesehatan diberikan secara gratis, regimen dosis satu kali sehari selama
fase intensif, efek samping yang ringan dan dapat dikoreksi, instruksi tertulis yang telah jelas
tentang aturan minum obat, pusat pelayanan kesehatan yang mudah diakses oleh masyarakat8.
Data mengenai perilaku pasien dan kepatuhan minum obat hanya didapatkan melalui
wawancara sehingga memungkinkan terjadinya bias. Seharusnya dilakukan observasi
terhadap perilaku subjek penelitian di lingkungan tempat tinggal responden. Selama proses
pengumpulan data atau wawancara, kehadiran pihak ketiga tidak dapat dihindarkan sehingga
kemungkinan dapat mempengaruhi jawaban yang diberikan responden.

4
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional penanggulangan


Tuberkulosis, Jakarta: 2006.

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi IV Jilid II. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta: 2006.

3. Tuberkulosis causes, symptoms, treatment and prevention.


www.emedicinehealth.com/tuberkulosis/page3_em.htm. Diakses 3 Agustus 2016.

4. University of Maryland Medical Center. Pulmonary Tuberkulosis.


www.umm.edu/ency/artcle/000077.htm. Diakses 3 Agustus 2016.

5. World Health Organization. Tuberkulosis Facts 2007. http://www.who.int/TB/en/.


Diakses 3 Agustus 2016.

5
6. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi II. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI, 2008.

7. Depkes RI. Komite Nasional Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru di Indonesia.


Prosedur Tetap Penanggulangan TB Paru Nasional Secara Terpadu. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI, 2006.

8. Bello SI, Itiola OA. (2010). Drug Adherence amongst tuberculosis patients in the
University of Ilorin Teaching Hospital, Ilorin, Nigeria. African Journal of Pharmacy and
Pharmacology: 4(3),p 109-114.

9. Adane AA, Alene KA, Koye DN, Zeleke BM. (2013). Nonadherence to Anti-Tuberculosis
Treatments and Determinant Factors among patients with Tuberculosis in Northwest
Ethiopia. PLoS ONE 8(11): e78791.

10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit


dan Penyehatan Lingkungan. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia
2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011.

11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan


penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011.
12. Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyakit
Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011
13. Notoadmodjo, soekidjo dkk. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT.
RinekaCipta. 2005. Hal 43-64
14. Niven N. Psikologi Kesehatan pengantar untuk perawat dan profesional kesehatan lain.
Jakarta : EGC, 2002. Hal 58-63
15. Departemen kesehatan RI, 2007, Pedoman Nasional PenangulanganTuberkulosis,
Depkes RI, Jakarta.
16. Bagiada, I Made dan Ni Luh PP, 2010, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis dalam Berobat, J Peny Dalam, Volume 11, No 3,
September 2010, hlm. 158-163.
17. Noor, Nur Nasry, 2008, Epidemiologi, Rineka Cipta, Jakarta.
18. Departemen kesehatan RI, 2011, Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis, Depkes RI, Jakarta.
19. Kodoy, PPH dkk, 2013, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat
Pasien Tuberkulosis Paru Di Lima Puskesmas Di Kota Manado, Jurnal Kedokteran
Komunitas dan Tropik, Volume II, No 1, Februari 2014, hlm 1-8.

6
20. Erawatynigsih, Erni dkk, 2009, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan
Berobat Pada Penderita Tuberkulosis Paru. Berita Kedokteran Masyarakat, Volume 25,
No. 3, September 2009, hlm. 117-124.
21. Adnani, Hariza, 2011, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Nuha Medika ,
Yogyakarta.
22. Rahmansyah, Ali, 2012, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Drop
Out (DO) pada Penderita TB Paru di Rumah Sakit Paru Palembang Tahun
2010, Tesis, Universitas Indonesia, Depok.
23. Rohkmah, Dewi, 2013, Gender dan Penyakit Tuberkulosis: Implikasinya Terhadap Akses
Layanan Kesehatan Masyarakat Miskin yang Rendah, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, Volume 7, No.10, Mei 2013, hlm. 447-452
24. Kartika, 2009, Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Default
Penderita Tuberkulosis Paru di RSUD Budhi Asih Jakarta Tahun 2008,
Skripsi, Universitas Indonesia.
25. Siswanto, Toto, 2012, Analisis Pengaruh Predisposing, Enabling dan
Reinforcing Factors terhadap Kepatuhan Pengobatan TB Paru di
Kabupaten Bojonegoro, J. Adm. Kebijak. Kesehat., Volume 10, No. 3, Sept–
Des 2012, hlm. 152–158.
26. Pare, Amelda L, dkk, 2012, Hubungan Antara Pekerjaan, PMO, Pelayanan
Kesehatan, Dukungan Keluarga Dan Diskriminasi Dengan Perilaku Berobat
Pasien TB Paru, (online), diakses tanggal 19 Januari 2015,
(http://repository.unhas.ac.id/).
27. Junarman, S. Budi, 2009, Karakteristik Penderita Tuberkulosis Basil Tahan
Asam Positif yang Mengalami Drop Out di Balai Pengobatan Penyakit Paru-
Paru (BP4) Medan Tahun 2004-2008, Tesis, Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai