Anda di halaman 1dari 20

Kombinasi Blok Saraf Femoralis dan Blok Saraf Skiatik Parasacralis sebagai

Multimodal Analgesia pada Pasien Pasca Bedah Hemiartroplasti dengan


Prosedur ERAS: Studi Kasus

Faundra Arieza Firdaus1, Ristiawan Muji Laksono2


1
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, RS Hermina tangkuban perahu, Malang, Indonesia
2
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Brawijaya/ RSUD Dr.Saiful Anwar,
Malang, Indonesia

Korespondensi:
Nama korespondensi
Afiliasi
Alamat afiliasi
Email: contoh@jap.com

Abstrak

Latar belakang: Fraktur leher femur memiliki prevalensi yang tinggi pada pasien
geriatri dengan angka mortalitas yang tinggi. Tatalaksana kasus ini seringkali
memerlukan replacement pada caput femur (hip hemiarthroplasty). Sebagian besar
pasien geriatri memiliki komorbiditas dan sulit untuk mentoleransi anestesi umum
atau neuraksial. Teknik anestesi yang lebih aman pada ekstremitas bawah
menggunakan blok saraf perifer lebih disukai. Kombinasi blok saraf sciatic dan
kompartemen psoas dapat memberi anestesi yang adekuat untuk pembedahan
pinggul sehingga mengurangi angka kematian. Blok saraf femoralis menurunkan
insidensi komplikasi dibandingkan blok kompartemen psoas.

Kasus: Seorang pasien wanita berusia 88 tahun, berat badan 70 kg, dengan fraktur
sub-trochanter femoral distal disertai dislokasi, hipertensi emergensi, Hyperplasia
Heart Disease (HHD), dan gagal jantung stadium B Fc II menjalani hemiarthroplasty
dengan anestesi regional blok saraf skiatik dan blok femoralis. Setelah operasi,
dilakukan blok anestesi regional blok sub-arachnoid menggunakan bupivacaine 0,5%
7 mg + fentanyl 25 mcg + Morphin 0,1 mcg; manajemen nyeri pasca operasi
dilakukan dengan USG nervus skiatik menggunakan pendekatan parasakral, dengan
pemberian naropin 0,375% dan 50 mg trilac dengan volume total 20 cc. Kemudian
dilakukan blok femoral dengan 0,375% dan trilac 50 mg total volume 20 cc.
Monitoring hemodinamik pasca operasi dilakukan di unit perawatan intensif. Pasien
diobservasi untuk skala nyeri selama rawat inap, waktu mobilisasi, dan lama tinggal.
Kesimpulan: Kombinasi blok saraf femoralis dan skiatik pada bagian proksimal insisi
kulit dapat memberikan penanganan nyeri yang adekuat pada tindakan
hemiartroplasti pinggul.

Kata kunci: Blok Saraf Femoralis, Hemiartroplasti, Blok Saraf Siatik Parasakral

Pendahuluan

Fraktur leher femur memiliki prevalensi yang tinggi pada pasien geriatri

dengan angka mortalitas yang tinggi. Penatalaksanaan kasus ini seringkali

memerlukan replacement caput femoralis (hip hemiarthroplasty) untuk

memperlambat peningkatan mortalitas. Sebagian besar pasien geriatri memiliki

komorbiditas dan sulit untuk mentoleransi anestesi umum atau neuraksial. Teknik

yang lebih aman pada ekstremitas bawah menggunakan blok saraf perifer lebih

disukai. Kombinasi blok saraf sciatic dan kompartemen psoas dapat memberikan

anestesi yang adekuat untuk pembedahan pinggul sehingga menurunkan angka

kematian. Blok saraf femoralis menurunkan insidensi komplikasi dibandingkan blok

kompartemen psoas. Namun, efektivitas hip hemiarthroplasty belum diketahui.1

Risiko mortalitas akibat pemberian anestesi umum dan neuraksial sentral

dapat dihindari dengan anestesi blok regional karena teknik ini tidak memerlukan

persiapan khusus, puasa, atau optimalisasi pra operasi. Selain itu, stabilitas

kardiorespirasi yang lebih baik dapat dicapai dengan menggunakan blok saraf

perifer pada anestesi bedah dibandingkan dengan blokade neuraksial sentral.

Teknik ini dapat menghindari efek samping seperti : meningitis, hipotensi, nyeri

kepala postural, bradikardia, hematoma, dan defisit neurologis. Ruang lingkup


anestesi telah bergeser dari anestesi umum (GA) dan blokade neuraksial sentral

untuk bedah ekstremitas terisolasi, menjadi blok saraf perifer dengan

pengembangan teknik baru seperti USG dan stimulator saraf perifer. Teknik anestesi

yang paling bermanfaat tetapi sering diabaikan pada bedah ekstremitas bawah

adalah kombinasi blok saraf siatik dan femoralis (3:1). Namun, dosis maksimum

pengguna obat harus dipantau dengan cermat karena volume ganda digunakan

dalam kedua blok tersebut.2

Tingginya konsumsi opioid untuk meredakan nyeri pada fraktur femoralis

menyebabkan masalah pada saluran cerna, gangguan fungsi kognitif seperti

delirium, masalah berkemih, dan henti napas. Konsep peningkatan pemulihan

setelah operasi (ERAS) pertama kali dideskripsikan oleh Henrik Kehlet pada tahun

1997. Konsep ini sering digunakan di bidang ortopedi dengan tujuan untuk

pemulihan fungsional.3

Blok saraf perifer (PNB) merupakan intervensi yang direkomendasikan

dengan protokol ERAS untuk pasien yang menjalani artroplasti sendi. GNP memberi

analgesia yang cukup dengan efek samping yang sedikit, seperti komplikasi

neurologis, mual, dan hipotensi dibandingkan analgesia pada pasien dengan

pemberian opioid epidural atau intravena (PCA). Efektivitas GNP dalam artroplasti

telah dibuktikan oleh banyak penelitian yang menunjukkan PNB merupakan faktor

penting dalam protokol ERAS.3


Kasus

Pasien wanita berusia 88 tahun datang dengan keluhan riwayat jatuh di kamar

mandi 3 hari sebelum datang ke rumah sakit. Pasien mengeluh nyeri pada pinggang

kanan dan tidak bisa digerakkan.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan GCS 456 dengan jalan napas bebas,

terdapat gigi yang tanggal, dan pernapasan spontan adekuat dengan SpO2 98%

pada udara ruangan. Berat badan pasien 70 kg. Pada pemeriksaan jantung

didapatkan pergeseran apeks jantung pada ICS III mid-clavicula sinistra dan tidak

ditemukan kelainan pada pemeriksaan paru. Frekuensi nadi 100-120 x/menit, nadi

teratur, dan tekanan darah 160/90 mmHg. Pada pemeriksaan skala nyeri didapatkan

skala nyeri Visual Analog Scale (VAS) 6-7. Pada pemeriksaan status lokalis tungkai

kanan asimetris, ROM menurun, nyeri pada sendi pinggul dextra, terdapat edema,

krepitasi, nyeri gerakan pasif aktif, tidak ditemukan angulasi, dan saturasi distal 96%.

Diagnosis yang ditegakkan adalah fraktur sub-trochanter femur distal dengan

dislokasi, hipertensi emergensi, Hyperplasia Heart Disease (HHD), dan Gagal Jantung

stadium B Fc II. Dari departemen ortopedi, pasien telah diedukasi untuk menjalani

operasi dan berkolaborasi dengan bagian kardiologi dan anestesi. Pasien

mendapatkan injeksi ketorolac 30 mg tiga kali sehari dan injeksi ranitidin 50 mg.

Sebelum prosedur pembedahan, dilakukan pemeriksaan rontgen Thorax dan Pelvis.

Hasil pemeriksaan ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.


Gambar. 1 Fraktur intertrochanter columna os femur dextra disertai pergeseran

sebagian fragmen fraktur ke sisi medial sesuai tipe A2 2 (klasifikasi AO/OTA).

Pasien kemudian dikonsultasikan dengan departemen kardiologi dan

ditetapkan untuk setuju operasi dengan risiko tinggi. Pasien mendapat terapi

captopril 3x25 mg, amlodipin 1x5 mg, dan spironolakton. Dari departemen anestesi,

pasien menjalani operasi ERAS dan prosedur blok saraf tepi (saraf femoralis dan saraf

skiatik). Pasien mendapatkan informasi persetujuan mengenai prosedur pembedahan

dan kemungkinan emboli udara selama pembedahan dan setelah 24 jam pasca

operasi. Pasien dirawat di ICU untuk observasi pasca operasi. Pasien diminta puasa 6

jam sebelum operasi dan selama puasa dilakukan rehidrasi dengan cairan infus HES

500 cc dalam waktu 6 jam sebelum operasi. Premedikasi diberikan menggunakan

injeksi ondansetron 4 mg, ranitidine 50 mg, dan infus parasetamol 1 gr.


Pada periode pre induksi sebelum operasi, didapatkan GCS 456 dengan

tekanan darah 129/66 mmHg, nadi 114 x/menit, dan SpO2 99% dengan nasal

cannula. Pasien kemudian diberi injeksi ketamin 10 mg dan fentanyl 50 mcg

intravena. Kemudian diberi injeksi campuran Bupivakain 10 mg, Fentanil 50 mcg, dan

Morfin 0,1 mcg pada lumbar 4. Setelah hemodinamik dipastikan stabil, pasien

kemudian diposisikan dekubitus kiri lateral dan operasi dimulai.

Operasi berlangsung dengan kondisi hemodinamik yang stabil. Tekanan darah

didapatkan 110-120/80-90 mmHg, nadi 80 x/menit, dan SpO2 99%. Operasi

berlangsung selama 1 jam 50 menit dan pasien diberikan injeksi midazolam 1 mg

dan ketorolac 30 mg. Blok saraf sciatic yang dilakukan pasca operasi diberikan

dengan pendekatan ultrasonografi dan parasakral. Pasien mendapat terapi naropin

0,5% TV 20 cc kemudian dilakukan blok saraf femoralis (Gambar 2).

Gambar 2.Jarum blok sudah naik ke saraf femoralis pada blok femoralis
Setelah prosedur operasi hari pertama, pasien mengeluhkan nyeri minimal

dan sudah dapat melakukan tirah baring. Keluhan seperti mual dan muntah tidak

ditemukan, namun pasien mengeluh sulit buang air besar sejak hari pertama masuk.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan GCS 456, RR 18x/menit, SpO2 100% dengan nasal

cannula 2 lpm, tekanan darah 106/80mmhg, nadi 90x/menit, suhu 36,5 C, VAS

stasioner 0, VAS tirah baring 0-1, dan VAS nyeri gerak 1-2 (Gambar 3), produksi urin

0,7cc/kg berat badan. Pasien mendapatkan terapi injeksi ketorolak 3x30 mg, dan

kalnex 3x500 mg. Ranitidine 2x50 mg, Ondansentron 3x4 mg, dan Lactolosa syr

3x1Cth. Dari bagian kardiologi didapatkan injeksi Lovenox 1x0.4 cc SC, ramipril 5 mg

0-1-0, dan Spironolactone 25mg 1-0-0.

Gambar 3. Pasien menunjukkan nyeri VAS dengan skor Visual analog 0 dan nyeri

VAS bergerak pada angka 1-2.


Pada hari kedua pasca operasi, rasa nyeri didapatkan minimal. Pemeriksaan

fisik didapatkan hasil GCS 456, RR 18x/menit, SpO2 98% udara ruangan, tekanan

darah 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, suhu 36,5 C, VAS stasioner 0-1, VAS tirah

baring 1-1 (Gambar 4), dan produksi urin 0,7cc/kgbb. Pasien tetap mendapatkan

terapi yang sama ditambah dengan pembuangan drain. Latihan berjalan mulai

dilakukan dan pasien dijadwalkan untuk pulang.


Gambar 4. Atas: Kondisi lutut pasien pada VAS 0-1. Bawah: Kaki pasien dinaikkan

VAS 0-1.

Pembahasan

Patah tulang pinggul adalah patah tulang yang terjadi antara tepi caput

femoralis dan 5 sentimeter di bawah trochanter minor. Fraktur ini umumnya dibagi

menjadi dua kelompok utama berdasarkan hubungannya dengan kapsul sendi

pinggul. Fraktur di atas insersi kapsul disebut fraktur collumna intrakapsular,

subkapsular, atau femur. Fraktur di bawah insersi disebut ekstrakapsular. Kelompok

ekstrakapsular dibagi lagi menjadi trochanter (inter- atau pertrochanteric dan reverse

oblique) dan subtrochanter seperti yang ditunjukkan. Pembagian menjadi fraktur

intra dan ekstrakapsular berhubungan dengan vaskularisasi caput femur dan

mekanisme fiksasi.4

Karena populasi lansia meningkat, fraktur tulang pinggul merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang utama. Sebanyak 70.000 hingga 75.000 patah tulang

pinggul (patah tulang femur proksimal) terjadi setiap tahun di Inggris dengan

menghabiskan biaya (termasuk perawatan medis dan sosial) sekitar £2 miliar

setahun. Sebagian besar biaya ini dihitung berdasarkan hari rawat inap dan

konsekuensi selanjutnya datang dari perawatan kesehatan dan sosial. Gambaran

demografis menunjukkan bahwa insiden tahunan di Inggris meningkat dari 91.500

pada tahun 2015 menjadi 101.000 pada tahun 2039, sehingga akan meningkatkan

pengeluaran tahunan. Saat ini, sekitar 25% pasien dengan patah tulang pinggul
berasal dari perawatan institusional, dan sekitar 10-20% dari mereka yang dirawat

dari rumah akhirnya pindah ke perawatan institusional.4.5

Osteoporosis dan osteopenia adalah penyebab terbanyak patah tulang

pinggul, yang menjadi alasan utama pasien datang ke bangsal trauma ortopedi.

National Hip Fracture Database Inggris melaporkan usia rata-rata seseorang dengan

patah tulang pinggul adalah 84 tahun untuk pria dan 83 tahun untuk wanita, dimana

76% kasus terjadi pada wanita. Sekitar 10% pasien patah tulang pinggul meninggal

dalam waktu 1 bulan dan sekitar 30% dalam waktu 12 bulan, oleh karena itu kasus ini

tergolong masalah dengan angka kematian yang tinggi. 6 Angka kematian

disebabkan oleh penyakit penyerta yang terkait, tidak hanya dari patah tulang saja.

Oleh karena itu, patah tulang pinggul bukan hanya permasalahan bedah saja.

Perawatan patah tulang pinggul yang efektif membutuhkan koordinasi dari berbagai

multidisiplin seperti keterampilan anestesi, bedah, dan rehabilitasi, termasuk

pendekatan holistik yang melibatkan mobilisasi, dari pasien datang hingga

tatalaksana selanjutnya, termasuk transisi dari rumah sakit ke masyarakat. 4

Tingkat kematian patah tulang pinggul pada lansia berkisar dari 14% hingga

36% dengan disertai penurunan kemandirian dan kualitas hidup sementara bahkan

permanen. Pedoman saat ini menyarankan bahwa operasi untuk patah tulang

pinggul harus dilakukan dalam waktu 24 jam setelah cedera, karena periode tersebut

berhubungan dengan hasil fungsional yang lebih baik, rawat inap yang lebih pendek,

durasi nyeri yang lebih singkat dan tingkat non-union yang rendah, serta komplikasi

pasca operasi dan kematian yang lebih rendah.7


Para ahli yang sepakat pada manajemen awal berpendapat bahwa pendekatan

ini mengurangi lama tinggal di tempat tidur untuk pasien, sehingga mengurangi

risiko komplikasi terkait, yaitu dekubitus, trombosis vena dalam, dan infeksi saluran

kemih. Sebaliknya, mereka yang mendukung penundaan operasi meyakini bahwa

memberikan kesempatan untuk mengoptimalkan status medis pasien terlebih

dahulu, sehingga mengurangi risiko komplikasi perioperatif.7 Tantangan lain untuk

perdebatan ini adalah kurangnya definisi awal operasi yang diterima. Terdapat

ketidakpastian apakah 24, 48, atau 72 jam, atau periode yang lebih lama, harus

dianggap sebagai "penundaan yang tidak dapat diterima" untuk operasi patah

tulang pinggul.8

Terdapat dua macam patah tulang pinggul, yaitu adalah fraktur columna

femoralis dan fraktur intertrokanter. Fraktur leher femur mengancam suplai darah ke

fragmen tulang proksimal. Fraktur ini umumnya diterapi dengan reduksi dan fiksasi

internal. Fiksasi fraktur dilakukan dengan beberapa skrup atau pin (misalnya,

Knowles) atau rakitan pelat sisi sekrup kompresi (misalnya, Richards, Zimmer).

Komplikasi yang paling sering adalah non-union dan nekrosis avaskular caput

femoral. Prostesis medullar untuk penggantian caput dan colum femur dipilih

sebagai alternatif untuk menghindari prosedur pembedahan kedua yang diperlukan

pada komplikasi akhir ini. Meskipun prosedur hemiarthroplasty memungkinkan

mobilisasi pasca operasi lebih cepat, waktu operasi dan kehilangan darah lebih besar

dibandingkan dengan prosedur fiksasi internal. Selain itu, kematian pasca operasi
mungkin sedikit lebih tinggi pada pasien yang ditangani dengan hemiarthroplasty

dibandingkan pasien yang menjalani fiksasi internal.9

Pemahaman yang baik tentang anatomi regional dan teknik bedah sangat

penting untuk memberikan anestesi blok saraf yang efektif ketika pendekatan

pinggul lateral digunakan. Kulit dan fasia (traktus iliotibial) diinsisi pada aspek lateral

femur, trokanter mayor proksimal dan distal. Otot gluteus medius dan minimus

kemudian dipisah untuk membuka kapsul pinggul yang diiris untuk membuka sendi

pinggul. Anestesi yang tidak lengkap pada persendian, otot, atau kulit akan

mengakibatkan pembedahan yang terasa nyeri.1

Proses persiapan teknik anestesi sebelum operasi harus mengakomodasi

kebutuhan operasi, kenyamanan pasien, dan kemampuan ahli anestesi. Anestesi

umum lebih disukai dalam manajemen bedah trauma selama beberapa dekade

terakhir, namun teknik ini dapat mengganggu refleks kompensasi simpatoadrenal

dan keseimbangan fisiologis pada pasien trauma. Selain itu, GA pada pasien yang

menjalani operasi darurat belum memiliki status puasa yang jelas. Dengan demikian,

penerapan GA yang aman dan tanpa komplikasi tidak dapat dipastikan. Anestesi

regional adalah pilihan paling aman untuk pasien ini karena prosedurnya sederhana,

aman, dan efektivitasnya lebih baik, serta memiliki efek stabilitas kardiovaskular yang

unggul, dan rehabilitasi awal pasca operasi. Dari berbagai teknik anestesi regional,

terlihat bahwa anestesi spinal dan epidural memberikan analgesia pasca operasi dan

stabilitas hemodinamik yang lebih baik selama anestesi dibandingkan anestesi spinal

sekali pakai. Namun, penggunaan jarum spinal dan epidural yang besar dengan
kateter untuk anestesi spinal secara terus menerus menyebabkan berbagai efek

samping, misalnya nyeri kepala pasca pungsi dural, hipotensi, bradikardia, hematoma

spinal, dan meningitis. Sebagai perbandingan, blok saraf perifer ekstremitas bawah

memiliki efek hemodinamik minimal dan tidak terdapat penurunan aliran darah

regional pada ekstremitas bawah. Dahulu, blok saraf perifer jarang dipilih sebagai

prosedur anestesi pada pasien yang menjalani operasi ekstremitas bawah karena

kurangnya pengalaman ahli anestesi dalam melakukan prosedur ini. Berbagai studi

masih dilakukan untuk menilai keamanan kombinasi blok femoral dan skiatik

dibandingkan blok neuraksial sentral dan anestesi umum untuk pembedahan pada

ekstremitas bawah.2

Dalam Pedoman Procedure Specific postoperative pain management

(PROSPECT), anestesi regional pada bedah hemiarthroplasty sangat disarankan

(Grade A). Pemberian Paracetamol sebagai premedikasi dan Non-Steroid anti-

inflammatory (NSAID) direkomendasikankan (Grade A) sebagai multimodal analgesia

pada prosedur hemiarthroplasty.16

Sendi pinggul disuplai oleh saraf femoralis (melalui cabangnya ke rektus

femoris), saraf obturator (melalui cabang pinggulnya) dan pleksus sakral (melalui

cabang artikular saraf ke saraf quadratus femoris, gluteal superior dan sciatic).

Untungnya, semua saraf ini dapat memblok di area inguinal dan parasakral. 10 Blok

saraf femoralis dapat memblokir cabangnya ke rektus femoris. Blok proksimal saraf

obturator dapat memblokir cabang coxalnya. Blok saraf skiatik parasakral dapat

memblokir seluruh pleksus sakral. Blok saraf tersebut di atas berhasil memberi
anestesia ke seluruh ekstremitas bawah (termasuk semua otot pinggul) kecuali area

kulit tertentu dan otot iliopsoas (diinervasi di perut). 11 Area kulit yang distal dari insisi

disuplai oleh saraf LFC yang dapat dengan mudah diblok dengan ultrasonografi.

Namun, area kulit proksimal disuplai oleh saraf subkostal dan iliohypogastric, oleh

karena itu blok saraf CFL, atau bahkan blok kompartemen psoas, tidak dapat

membius area kulit ini. Namun, hal ini mudah dikoreksi dengan infiltrasi subkutan LA.

Otot iliopsoas tidak mengalami diseksi selama pembedahan; namun, diregangkan

selama traksi distal pada femur untuk membawa caput femur prostetik kembali ke

soket pinggul. Tindakan ini menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien. Namun,

manuver ini membutuhkan waktu hanya beberapa detik dan dapat ditangani dengan

sedasi ringan.1

Blok kompartemen psoas, bila dikombinasikan dengan blok saraf skiatik dan

infiltrasi kulit, dapat memberikan anestesi yang efektif untuk operasi pinggul. 12

Namun, risiko yang terkait dengan blok kompartemen psoas bisa lebih parah

dibandingkan dengan blok saraf femoralis. Penyebaran epidural adalah komplikasi

tersering dari blok kompartemen psoas (hingga 40%) dan dapat menyebabkan

ketidakstabilan hemodinamik yang signifikan pada pasien yang rentan. Hematoma

lumbal dapat menjadi komplikasi yang serius, terutama pada pasien bedah pinggul

yang mendapat terapi antikoagulan perioperatif. Dalam laporan kasus,

hemiarthroplasty pinggul dilakukan di bawah blok pleksus anterior (3 in 1) dan

ketamin IV sebagai tambahan. Pada pasien berisiko tinggi, hemiarthroplasty pinggul

dilakukan hanya menggunakan infiltrasi LA pada berbagai jaringan yang berbeda. 2


Mehrotra dan Mehourotra membandingkan membandingkan 3 in-1 femoralis

dengan blok saraf skiatik secara kontinyu dalam operasi penggantian pinggul dan

Akkaya et al. membandingkan blok saraf femoralis dan sciatic yang dipandu

ultrasonografi dan anestesi spinal untuk artroplasti lutut total dan menemukan blok

saraf perifer sebagai metode yang sederhana, aman, dan efektif. 11.13 Pasien yang

bukan kandidat untuk anestesi spinal atau epidural karena ketidakstabilan

kardiovaskular dan terapi antikoagulan dapat dengan aman menjalani operasi

ekstremitas bawah dengan kombinasi blok saraf femoralis dan sciatic. Hasil serupa

ditemukan oleh Vijayamohan et al. dalam sebuah studi tentang penggantian lutut

total yang dilakukan di bawah gabungan blok saraf femoralis dan siatik. 2 Baddoo

juga menyimpulkan blok saraf perifer sebagai teknik anestesi yang efektif untuk

amputasi tungkai bawah pada pasien diabetes yang memberikan stabilitas

kardiovaskular yang memadai serta analgesia pasca operasi. 14 Tantry et al. juga

melakukan penelitian pada pasien yang mengkonsumsi antikoagulan dengan

penyakit katup berat di bawah kombinasi blok saraf femoralis dan sciatic tanpa

komplikasi.15

PROSPEK merekomendasikan tindakan blok Fascia iliaca (grade D), untuk

tindakan Hermiarthoplasty. Menurut M Sighn, M khan dan R Chandrasekar dapat

dilakukan dengan blok saraf Femoral dan sciatic. 17 Gabungan blok saraf femoralis

dan sciatic memberikan durasi analgesia pasca operasi yang lebih lama sekitar 12-13

jam dibandingkan dengan blok neuraksial sentral yaitu sekitar 4-5 jam. Tindakan ini

memiliki efek menguntungkan dengan menggunakan dosis analgesik yang lebih


sedikit dalam bentuk obat antiinflamasi nonsteroid dan opioid yang memiliki banyak

efek samping seperti mual pasca operasi, muntah, sedasi, dan kontrol nyeri yang

memadai sehingga menghasilkan mobilisasi dini. Karena ada berbagai pendekatan

pada blok saraf skiatik, misalnya anterior, posterior, dan parasakral, namun

pendekatan Labat posterior memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik

dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Hasil serupa dicatat oleh Tagariello dalam

studi mengenai pendekatan blok saraf skiatik yang menunjukkan bahwa angka

keberhasilan dengan pendekatan posterior mendekati 99% pada lebih dari 15.000

pasien.2

Terlepas dari jenis anestesi, evaluasi pra-operasi komorbiditas pasien dan

optimalisasi penting dilakukan. Dalam studi Bansal et al., waktu onset rata-rata blok

sensorik dan motorik, durasi rata-rata blok sensorik dan motorik dan analgesia pasca

operasi, kebutuhan dosis total analgesik penyelamat, skor VAS perioperatif selama 24

jam, insidensi efek samping dan komplikasi yang sebanding pada kedua kelompok

dinilai dalam pemantauan. Skala analog visual (VAS) dijelaskan kepada pasien untuk

menentukan tingkat analgesia pada periode pasca operasi. Hal ini dilakukan dengan

menunjukkan garis 0–10 cm dengan tanda "0" berarti "tidak sakit" dan tanda "10"

berarti "sakit berat".2 Nyeri intraoperatif dinilai menggunakan visual analog scale

(VAS); 0 = bebas rasa sakit dan 10 = rasa sakit terberat yang bisa dibayangkan. VAS

hingga 3 dianggap tidak nyaman. VAS lebih dari 3 dianggap nyeri. Pasien yang

mengalami nyeri (VAS > 3) setiap saat selama operasi dianggap memiliki anestesi

yang tidak adekuat dan mendapat opioid atau anestesi umum. Pasien yang
menyelesaikan pembedahan tanpa memerlukan pemberian opioid (VAS ≤ 3 selama

operasi) dianggap memiliki anestesi yang adekuat. 1 Bansal et al. dalam penelitiannya

menemukan bahwa skor VAS bernilai 0 hingga 10 jam pasca operasi, dengan skor

VAS puncak 3 saat 15 jam pasca operasi dan menurun menjadi skor VAS 2 saat 24

jam pasca operasi.2

Pada laporan kasus ini, masih terdapat nilai bias untuk evaluasi nyeri VAS

dalam 24 jam pertama, karena efek opioid (morfin) intratekal yang dapat bertahan 24

jam pasca blok subarachnoid. Kombinasi blok saraf membutuhkan dosis LA yang

besar, oleh karena itu risiko toksisitas harus selalu dipertimbangkan. Jika ada,

sebaiknya menggunakan enansiomer levorotatory LA yang kurang toksik. Blok saat

ini masih menyebabkan simpatektomi ekstremitas ipsilateral. Pemantauan yang

cermat terhadap hemodinamik dan risiko perioperatif lainnya (perdarahan

berlebihan, komplikasi terkait semen, trombosis vena dalam, atau emboli paru)

sangat penting dilakukan.8

Kesimpulan

Kombinasi blok saraf femoralis dan saraf skiatik untuk multimodal analgesik sangat

efektif pada hemiartroplasti pinggul pasca operasi.

Pernyataan Resmi

Para penulis melaporkan tidak ada konflik kepentingan.


Daftar Pustaka

1. Taha AM, Ghoneim MAE. Hip hemiarthroplasty using major lower limb nerve blocks: A

preliminary report of a case series. Saudi J Anaesth. 2014;8( 3):355-358.

doi:10.4103/1658-354X.136432

2. Bansal L, Attri JP, Verma P. Lower limb surgeries under combined femoral and sciatic nerve

block. Anesth essays Res. 2016;10(3):432-436. doi:10.4103/0259-1162.177186

3. Park HJ, Park KK, Park JY, Lee B, Choi YS, Kwon HM. Peripheral Nerve Block for Pain

Management after Total Hip Arthroplasty: A Retrospective Study with Propensity Score

Matching. J Clin Med. 2022;11(18). doi:10.3390/jcm11185456

4. NICE. Hip fracture. BMJ. 2010;342(May 2017):d 2108. doi:10.1136/bmj.d2108

5. British Orthopaedic Association. THE CARE OF PATIENTS WITH FRAGILITY FRACTURE.

Lancet. 1943;242(6253):14-15. doi:10.1016/S0140-6736(00)86980-9

6. Shin S, Kim SH, Park KK, Kim SJ, Bae JC, Choi YS. Effects of anesthesia techniques on

outcomes after hip fracture surgery in elderly patients: A prospective, randomized,

controlled trial. J Clin Med. 2020;9(6). doi:10.3390/jcm9061605

7. Orosz GM, Magaziner J, Hannan EL, et al. Association of Timing of Surgery for Hip Fracture

and Patient Outcomes. Jama. 2004;291(14):1738-1743. doi:10.1001/jama.291.14.1738

8. Simunovic N, Devereaux PJ, Sprague S, et al. Effect of early surgery after hip fracture on

mortality and complications: Systematic review and meta-analysis. C can med assoc j.

2010;182(15):1609-1616. doi:10.1503/cmaj.092220
9. Covert CR, Fox GS. Anaesthesia for hip surgery in the elderly. Can J Anaesth.

1989;36(3):311-319. doi:10.1007/BF03010771

10. Nielsen TD, Moriggl B, Barckman J, et al. The Lateral Femoral Cutaneous Nerve:

Description of the Sensory Territory and a Novel Ultrasound-Guided Nerve Block

Technique Reg Anesth & Pain Med. 2018;43(4):357 LP - 366.

doi:10.1097/AAP.0000000000000737

11. Akkaya T, Ozturk E, Comert A, et al. Ultrasound-guided obturator nerve block: A

sonoanatomic study of a new methodologic approach. Anesth Analg. 2009;108(3):1037-

1041. doi:10.1213/ane.0b013e3181966f03

12. De Leeuw MA, Zuurmond WWA, Perez RSGM. The psoas compartment block for hip

surgery: The past, Present, and future. Anesthesiol Res Pract. 2011;2011.

doi:10.1155/2011/159541

13. Aksoy M, Dostbil A, Ince I, et al. Continuous spinal anaesthesia versus ultrasound-guided

combined psoas compartment-sciatic nerve block for hip replacement surgery in elderly

high-risk patients: A prospective randomised study. BMC Anesthesiol. 2014;14(1):1-9.

doi:10.1186/1471-2253-14-99

14. Baddoo H. A preliminary report on the use of peripheral nerve blocks for lower limb

amputations. Ghana med J. 2009;43(1):24-28.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19652751%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.gov/

articlerender.fcgi?artid=PMC2709170
15. Tantry TP, Kadam D, Shetty P, Bhandary S. Combined femoral and sciatic nerve blocks for

lower limb anaesthesia in anticoagulated patients with severe cardiac valvular lesions.

Indian J Anaesth. 2010;54(3):235-238. doi:10.4103/0019-5049.65372

16. Stavros G memtsoudis, et al. Anaesthetic care of patients undergoing primary hip and

knee arthoroplasty : consensus recommendations from the international consensus on

anasthesia-related outcomes after surgery group (ICAROS) based on a systematic review

and meta-analysis. Br J Anesth. 2019 sep;123(3):269-287. doi: 10.1016?j.bja.2019.05.042.

Epub 2019 jul 24

Anda mungkin juga menyukai