FEBRUARI 2023
Oleh:
Ayuvy Monzalitza
22/501471/PKU/20565
Peserta PPDS I Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK-KMK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
Pembimbing Moderator
dr. Bhirowo Yudo Pratomo, SpAn, KAKV dr. Yunita Widyastuti, SpAm, KAP, MKes, PhD
Abstract
Severe nerve injury after neuraxial block is rare, with the incidence of nerve injury in
patients with neuraxial block ranging from 0.03 to 0.1%. Nerve injuries from hematomas and
infections are relatively common. Injuries mostly occur due to infection, trauma direct needle
to the spinal cord or spinal nerves, spinal cord ischemia, or neurotoxicity due to the drugs
used.
Suspicion of nerve injury requires prompt diagnosis and treatment. An MRI or CT
scan is the imaging modality of choice for nerve injuries. Mild symptoms without objective
evidence of nerve deficit usually represent an excellent prognosis. Worsening symptoms
require further investigation. Lesions with evidence of moderate or severe deficits are an
indication for neurological consultation, neurophysiological examination or MRI/CT scan of
the nerves. Complete or progressive neurological deficits should prompt consultation with a
neurologist or neurosurgeon.
Keywords: Nerve Injury, Spinal Anesthesia Complication
BAB I
PENDAHULUAN
Kontraindikasi
Kontraindikasi yang utama pada neuraxial anesthesi adalah pasien menolak,
bleeding diathesis, severe hipovolemia, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi pada
tempat suntikan, severe stenotic valvular heart disease, ventrikel outflow obstruction.
2,5
Pertimbangan Teknik
Blok neuraxial hanya dilakukan pada fasilitas dimana semua perlengkapan dan
obat-obat yang dibutuhkan untuk intubasi dan resusutasi secara cepat tersedia.
Regional anestesi diberikan premedikasi yang adekuat. Persiapan pasien dengan
nonparmakologi sangat membantu, pasien harus dalam keadaan anxietas yang
minimal. Ini situasi yang sangat penting ketika premedikasi tidak diberikan, seperti
pada kasus obstetri anestesi. Pemberian oksigen melalui face mask atau canul cateter
sangat menolong menghindari hypoxemia,khususnya jika sedasi diberikan. Monitor
yang minimal membutuhkan blood pressure dan pulse oksimetry untuk mengetahui
kerja analgesia dan managemen nyeri. Monitoring untuk anestesi operasi dengan
regional sama dengan untuk general anestesi. Injeksi steroid epidural untuk
pengelolaan nyeri tidak membutuhkan monitor kontinyu secara sering.
Pembagian spinal bisa dibagi berdasarkan letak puncture, low spinal
anesthesia, middle spinal anesthesia, dan high spinal anesthesia.
Posisi Pasien
1. Posisi Duduk
Garis tengah anatomi sering mudah di temukan ketika pasien duduk dari pada
ketika pasien posisi lateral decubitus. Ini terutama untuk pasien obesitas. Pasien
duduk dengan siku diatas paha atau di samping meja dipinggir meja operasi sehingga
dapat memeluk guling. Punggung harus fleksi maksimal. (seperti kucing marah,
memaksimalkan area target antara prosessus spinosus dan membawa tulang belakang
lebih dekat dengan permukaan kulit.
2. Lateral Dekubitus
Beberapa ahli lebih menyukai posisi lateral blok. Pasien berbaring pada
pinggir meja dan lutut fleksi memeluk paha melawan abdomen atau dada. Penolong
dapat membantu pasien menjaga posisi ini
3. Posisi Prone
Posisi ini dapat digunakan untuk memanfaatkan prosedur anorektal dengan
anestesi hypobaric (lihat di bawah). Keuntungan adalah bahwa blok dilakukan dalam
posisi yang sama sebagai prosedur operasi (jackknife) sehingga pasien tidak harus
dipindahkan mengikuti blok. Kelemahannya adalah bahwa CSF tidak akan bebas
mengalir melalui jarum suntik, sehingga penempatan ujung jarum benar pada
subarachnoid perlu dikonfirmasi oleh aspirasi CSF. Posisi yang prone juga digunakan
setiap kali bimbingan fluoroscopic diperlukan. 6
Pendekatan Anatomi
Landmark anatomi untuk menentukan level blok yang pertama kita
identifikasi (lihat anatomi). Lapangan disterilkan dengan pemberian povidon iodene
atau cairan serupa dengan menggunakan kassa, cairan diberikan hingga tiga kali
usapan. Solusinya adalah mulai diterapkan di tempat suntikan diantisipasi dan
berjalan keluar dalam lingkaran melebar. Penetrasi steril dilaksanakan. Setelah kering,
kemudian diusap dengan kain steril untuk mencegah masuknya cairan ini pada ruang
subarachnoid yang bisa menyebabkan meningitis kimia. Kulit ditusuk pada celah
antar space dengan anestesi lokal menggunakan jarum kecil (25 g). Jarum yang lebih
panjang (22 g) dapat digunakan pada infiltrasi anestesi lokal yang lebih dalam. 6,7
JARUM-JARUM SPINAL
Jarum spinal secara komersial tersedia dalam berbagai ukuran (16-30 gauge),
panjang, dan ujung bevel dan desain (Gambar 16-15). Semua harus memiliki stylet
ketat menutup lumen yang bisa dilepas sepenuhnya untuk menghindari
terperangkapnya sel-sel epitel ke dalam ruang subarachnoid. Secara umum, mereka
dapat dibagi menjadi baik tajam (memotong)-tipped atau jarum berujung tumpul. The
Quincke jarum adalah memotong ujung jarum dengan suntikan. Pengenalan ujung
tumpul (pensil-titik) jarum telah menurun tajam insiden tusukan postdural sakit kepala;
pada umumnya semakin kecil ukuran jarum yang lebih rendah kejadian sakit kepala.
Yang pensil Whitacre dan lain-titik jarum telah bulat poin dan samping suntikan. The
Sprotte adalah sisi-jarum injeksi dengan pembukaan yang panjang. Ini memiliki
keunggulan dari aliran CSF lebih kuat dibandingkan dengan ukuran yang sama jarum.
Namun, ini dapat menyebabkan blok gagal jika distal bagian dari pembukaan
subarachnoid (dengan aliran bebas CSF), bagian proksimal tidak melewati dura, dan
dosis penuh obat-obatan tidak diberikan. 6
INFEKSI
Cedera saraf neuroaksial karena infeksi bakteri dapat hadir sebagai meningitis
atau kompresi saraf akibat terbentuknya abses. Sumber infeksi dapat eksogen dari
peralatan atau obat yang terkontaminasi atau endogen dari jarum atau kateter yang
terpapar sumber bakteri dalam tubuh pasien. Selain itu, sekitar kateter terjadi
kolonisasi bakteri kemudian menjadi sumber untuk penyebaran infeksi dari kulit ke
ruang epidural atau intratekal .
Schneeberger melaporkan 4 kasus meningitis iatrogenik setelah anestesi yang
dilakukan oleh dokter anestesi yang sama, memiliki sejarah faringitis berulang dan
tidak mengenakan masker selama prosedur anestesi. Meskipun belum terbukti
menguarangi kejadian infeksi neuraksial, penggunaan masker wajah terbukti
mengurangi penyebaran streptokokus viridan.
Pungsi dural telah lama dianggap factor risiko terjadinya meningitis.
Bagaimana bakteri menyeberang dari aliran darah ke dalam cairan cerebro spinal
belum diketahui. Weed menemukan bahwa tusukan lumbar yang dilakukan pada
hewan coba septikemia (diproduksi dengan injeksi IV dari basil gram-negatif) selalu
menghasilkan meningitis yang fatal. Akan tetapi perlu diperhatikan penggunaan jarum
26–gauge dapat mengakibatkan robeknya duramater relatif lebih besar pada tikus
dibandingkan dengan pungsi dural pada manusia. Pada penelitian tersebut obat lokal
anestesi yang biasanya bersifat bakteriostatik yang dapat mengurangi risiko meningitis
tidak dimasukkan.
Pencegahan infeksi (meningitis atau abses) dilakukan dengan mengharuskan
tindakan anestesi neuroaksial dikerjakan dalam kondisi steril. Dokter anestesi harus
melakukan cuci tangan, memakai sarung tangan, masker muka, serta mendisinfeksi
daerah tindakan. Pemasangan kateter epidural harus dilakukan oleh dokter dengan
memakai pakaian operasi.
ISKEMIA NEURONAL
Suplai darah ke sumsum tulang belakang sering tidak stabil karena jarak yang
relatif besar antara pembuluh darah radikuler. Hipotensi sistemik atau insufi siensi
vaskular lokal dengan atau tanpa anestesi neuroaksial dapat menghasilkan iskemia
saraf tulang belakang yang menyebabkan paralisis flasid dari ekstremitas bawah yang
dikenal
sebagai sindrom arteri spinalis anterior.
Penggunaan cairan anestesi lokal yang mengandung epinefrin atau fenilefrin
secara teoritis dapat menghasilkan iskemia neuronal lokal, terutama pada pasien
dengan penyakit mikrovaskuler. Kebanyakan kasus dugaan defisit neurologis yang
disebabkan vasokonstriktor dilaporkan sebagai laporan kasus tunggal ternyata disertai
beberapa faktor risiko lain. Penelitian pada hewan belum berhasil membuktikan
hubungan vasokonstriktor dengan sindroma arteri spinalis anterior.
Transient neurologic symptom (TNS) didefinisikan adanya nyeri dan atau
disestesia pada kaki atau pantat setelah anestesi neuroaksial. Gejala biasanya timbul
dalam 24 jam pertama setelah pemulihan dari anestesi neuroaksial dan sembuh
sempurna dalam 72 jam. Insidensinya sebesar 1–5% pada anestesi spinal dengan
lidokain. Penyebab belum diketahui, diduga disebabkan efek neurotoksik obat, trauma
jarum, posisi pasien selama operasi, dan pooling obat lokal anestesi yang disuntikkan
berulang.
Insidensi sebenarnya disfungsi neurologis akibat komplikasi hemoragik terkait
dengan blok neuraksial tidak diketahui, diperkirakan kurang dari 1 dalam 150.000
epidural dan kurang dari 1 dalam 220.000 anestesi spinal.
Hematom epidural didefi nisikan adanya perdarahan simptomatis dalan saraf
neuroaksial. Perdarahan paling sering terjadi pada rongga epidural akibat trauma
pembuluh darah oleh jarum atau kateter. Kondisi ini dapat menjadi emergensi apabila
terjadi kompresi medula spinalis. Hematom epidural biasanya timbul dalam 0 – 2 hari
dengan gejala nyeri punggung, disfungsi sensoris dan motoris, serta gangguan miksi
dan defekasi.
Sindrom kauda equina merupakan sindrom kompleks yang melibatkan bagian
terminal dari sumsum tulang belakang. Serabut otonom terutama yang terpengaruh.
Gejalanya berupa insufi siensi otonom, perubahan fungsi kandung kemih dan usus
besar, paraplegi, gangguan pengaturan suhu dan keringat dan nyeri sacrolumbal.
NEUROTOKSISITAS
Komplikasi neurologis yang terjadi setelah anestesi neuraksial bisa
diakibatkan langsung toksisitas anestesi lokal. Walaupun anestesi local diberikan
dalam konsentrasi klinis dan dosis tidak menyebabkan kerusakan saraf, dari data
laboratorium dan klinis membuktikan anestesi lokal berpotensi terjadi neurotoksik.
Kontak yang terlalu lama, dosis tinggi, dan konsentrasi tinggi anestesi lokal di akar
sumsum tulang belakang dapat mengakibatkan defi sit neurologis permanen. Sindrom
kauda ekuina dilaporkan terjadi setelah spinal dosis tunggal dan kontinyu. Injeksi (atau
reinjeksi) konsentrasi tinggi anestesi lokal dalam area terbatas ruang intratekal dapat
menyebabkan cedera neurotoksik. 1,4
Dalam histopatologi, elektropsikologi, dan model sel saraf, dibandingkan
bupivacaine, lidokain dan tetrakain pada konsentrasi klinis yang sama, memiliki
potensi lebih besar menimbulkan neurotoksisitas. Dalam penelitian yang dilakukan
Auroy, 3,75% komplikasi neurologis setelah anestesi spinal terjadi pada pasien yang
menerima lidokain hiperbarik. Drasner dari hasil penelitiannya menyebutkan dosis
maksimum untuk lidokain adalah 60 mg dan menghindari penggunaan epinefrin untuk
memperpanjang lidokain dalam untuk anestesi spinal.1,4