Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

FEBRUARI 2023

PENCEGAHAN CEDERA SARAF PADA PASIEN DENGAN


PEMBIUSAN ANESTESI SPINAL

Oleh:
Ayuvy Monzalitza
22/501471/PKU/20565
Peserta PPDS I Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK-KMK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Pembimbing Moderator

dr. Bhirowo Yudo Pratomo, SpAn, KAKV dr. Yunita Widyastuti, SpAm, KAP, MKes, PhD

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FK-KMK UGM / RSUP DR SARDJITO
YOGYAKARTA
2023
Intisari
Cedera saraf berat paska blok neuroaksial jarang terjadi, dengan angka Insidensi
cedera saraf pada pasien dengan blok neuraksial antara 0,03 - 0,1%. Cedera saraf akibat
hematoma dan infeksi relatif lebih sering terjadi. Cedera yang terjadi kebanyakan karena
infeksi, trauma
jarum langsung pada sumsum tulang belakang atau saraf tulang belakang, iskemia medula
spinalis, atau neurotoksik akibat obat yang digunakan.
Kecurigaan adanya cedera saraf memerlukan penegakan diagnosis dan penanganan
cepat. Pemeriksaan MRI atau CT scan merupakan modalitas pencitraan pilihan untuk cedera
saraf. Gejala ringan tanpa bukti obyektif defisit saraf biasanya menunjukkan prognosis yang
sangat baik. Gejala yang memburuk memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Lesi dengan bukti
defi sit sedang atau berat merupakan indikasi dilakukannya konsultasi neurologis,
pemeriksaan neurofisiologis atau pencitraan MRI/CT scan pada saraf. Defisit saraf lengkap
atau progresif harus segera dikonsultasikan pada ahli saraf atau bedah saraf.
Kata kunci: Cedera Saraf, Komplikasi Anestesi Spinal

Abstract
Severe nerve injury after neuraxial block is rare, with the incidence of nerve injury in
patients with neuraxial block ranging from 0.03 to 0.1%. Nerve injuries from hematomas and
infections are relatively common. Injuries mostly occur due to infection, trauma direct needle
to the spinal cord or spinal nerves, spinal cord ischemia, or neurotoxicity due to the drugs
used.
Suspicion of nerve injury requires prompt diagnosis and treatment. An MRI or CT
scan is the imaging modality of choice for nerve injuries. Mild symptoms without objective
evidence of nerve deficit usually represent an excellent prognosis. Worsening symptoms
require further investigation. Lesions with evidence of moderate or severe deficits are an
indication for neurological consultation, neurophysiological examination or MRI/CT scan of
the nerves. Complete or progressive neurological deficits should prompt consultation with a
neurologist or neurosurgeon.
Keywords: Nerve Injury, Spinal Anesthesia Complication
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera saraf berat paska Anestesi Regional jarang terjadi tetapi sangat ditakuti
oleh dokter anestesi. Insidensi cedera saraf pada pasien dengan blok neuraksial antara
0,03 - 0,1%. Cedera yang terjadi kebanyakan karena infeksi, trauma jarum langsung pada
sumsum tulang belakang atau saraf tulang belakang, iskemia medula spinalis, atau
neurotoksik akibat obat yang digunakan.

1.2 Manfaat Referat


Manfaat penulisan referat ini adalah memberikan informasi mengenai Anestesi
Spinal serta pencegahan kejadian cedera saraf pada pasien dengan pembiusan Spinal

1.3 Tujuan Referat


Dari penulisan referat ini, penulis dan pembaca dapat:
1. Mengetahui tentang Anestesi Spinal
2. Mengetahui tentang pencegahan kejadian cedera saraf pada pasien dengan Anestesi
Spinal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANESTESI SPINAL
ANATOMI COLUMNA VERTEBRALIS
Tulang belakang terdiri dari tulang vertebra dan diskus intervertebralis. Tulang
vertebra terdiri dari 7 vertebra cervical, 12 vertebra thorakal, 5 vertebra lumbal dan
tulang sacrum yang merupakan fusi dari 5 vertebra sacral dan 4 vertebra coccygis.
Tulang belakang membentuk 4 kurvatura: daerah cervical dan lumbal berbentuk
konveks (lordosis), daerah thorakal dan sacral berbentuk konkaf (kifosis). Walaupun
tiap tulang vertebra memiliki karakteristik masing-masing, namun secara umum tiap
vertebra terdiri dari corpus vertebralis dan arkus vertebralis. Arkus vertebralis terdiri
dari pedikel, dan lamina di tiap sisinya serta bagian dorsal vertebra. Tiap lamina
berhubungan dengan prosesus transversus dan prosesus artikularis superior dan
inferior.1

Gambar 1. Potongan Sagital Vertebra Lumbal, B,C. Bagian-bagian vertebra


Kanalis spinalis terbentuk oleh corpus vertebra di bagian anterior, prosesus
transversus dan pedikel di bagian lateral, dan di bagian posterior oleh lamina dan
prosesus spinosus. Tiap pedikel bertakik di bagian superior dan inferior membentuk
foramen intervertebral yang merupakan tempat keluarnya serabut saraf spinal.1
Pada bagian ventral, corpus vertebralis dan diskus intervertebralis
dihubungkan oleh ligamentum longitudinal anterior dan posterior sedangkan di bagian
dorsal ligamentum yang mendukung stabilitas tulang belakang adalah ligamentum
flavum, ligamentum interspinosus dan ligamentum supraspinosus.1
Columna vertebralis memiliki karakteristik kurva di regio lumbal dan thoracal.
Hal ini akan mempengaruhi distribusi obat lokal anestesi dalam ruang subarachnoid
pada pasien yang diposisikan supine horizontal. Obat lokal anestesi yang diinjeksikan
pada daerah puncak lordosis di regio lumbal akan terdistribusi ke arah caudal dan
cephalad dengan derajat penyebaran yang tergantung pada barisitas obat. Penyebaran
obat lokal anestesi hiperbarik ke arah cephalad akan terbatas sampai di regio
dermatom mid thoracal dan upper thoracal karena bentuk konkaf (kifosis) dari
columna vertebralis di regio thorakal3
Medula spinalis bercabang menjadi 31 pasang saraf spinal yang masing-
masing terdiri dari serabut motorik di bagian anterior dan serabut sensorik di
posterior. Saraf spinalis ini selanjutnya akan bercabang menjadi serabut-serabut saraf
yang mensarafi seluruh tubuh. Area kulit yang dipersarafi oleh saraf spinal dan
percabangannya yang berasal dari segmen medulla spinalis yang sesuai disebut
dermatom. Nervus spinalis dan segmen medulla spinalis yang sesuai diberi nama
sesuai dengan foramen intervertebralis yang menjadi tempat keluarnya. Pada regio
cervical, nervus spinalis diberi nama sesuai dengan vertebra yang membentuk
setengah bagian caudal foramen intervertebralis, sedangkan pada regio thorakal dan
lumbal nervus spinalis diberi nama sesuai dengan vertebra yang membentuk setengah
bagian cranial foramen intervertebralis5
Gambar 2. Dermatom sensorik
Otak dan corda spinalis dikelilingi oleh cairan cerebrospinal (LCS) dalam
ruang subarachnoid yang sekaligus melindunginya dari trauma akibat gerakan yang
tiba- tiba. Sebagian besar (90%) LCS diproduksi dari darah dalam plexus choroids
diventrikel lateral, III, IV dengan kecepatan 0,3- 0,4 ml/mnt dan diabsorbsi kembali
ke dalam darah oleh granulasi arachnoid. Volume cairan cerebrospinal yang dibentuk
setiap hari sekitar 150 cc. Jika cairan berkurang (misalnya karena pungsi lumbal)
dapat diproduksi lagi untuk menggantikan kehilangan tersebut. Spesifik gravitynya
1,003- 1,009. PH 7,31- 7,34. Glukosa 50- 75 mg/dl. Protein 18 – 41 mg/dl. Tekanan
9- 20 cm H2O.5

PERTIMBANGAN KLINIK YANG UMUM PADA BLOK SPINAL


Indikasi
Blok neuraxial dapat digunakan sendiri atau digabung dengan anestesi umum
untuk beberapa prosedur. Blok neuraxial telah lebih digunakan untuk abdominal
bagian bawah, inguinal,urogenital,rectal dan operasi extremitas bawah. Operasi
daerah Lumbal juga dapat digunakan spinal anesthesi. Prosedur upper abdominal
(eg,cholecystectomy) dapat dilakukan dengan spinal anestesi atau epidural anestesi,
tetapi akan sulit untuk mencapai level sensory yang adekuat pada pasien, juga untuk
mencegah komplikasi blok tinggi. 2, 5
Jika neuraxial telah dipertimbangkan,resiko dan keuntungan perlu
didiskusikan dengan pasien, dan informed consent harus didapat. Itu sangat penting
untuk memastikan mental pasien sudah siap,bahwa pilihan anestesi sesuai dengan tipe
operasi dan tidak ada kontraindikasi. Pasien harus mengerti bahwa mereka akan
memiliki sedikit atau kehilangan fungsi motorik sampai blok selesai. Prosedur operasi
yang menyebabkan kehilangan darah yang banyak , menekan fungsi pernapasan , dan
operasi yang panjang sebaiknya di anetesi dengan general anesthesia daripada dengan
blok neuroaxial. 1,2,6

Kontraindikasi
Kontraindikasi yang utama pada neuraxial anesthesi adalah pasien menolak,
bleeding diathesis, severe hipovolemia, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi pada
tempat suntikan, severe stenotic valvular heart disease, ventrikel outflow obstruction.
2,5

Pertimbangan Teknik
Blok neuraxial hanya dilakukan pada fasilitas dimana semua perlengkapan dan
obat-obat yang dibutuhkan untuk intubasi dan resusutasi secara cepat tersedia.
Regional anestesi diberikan premedikasi yang adekuat. Persiapan pasien dengan
nonparmakologi sangat membantu, pasien harus dalam keadaan anxietas yang
minimal. Ini situasi yang sangat penting ketika premedikasi tidak diberikan, seperti
pada kasus obstetri anestesi. Pemberian oksigen melalui face mask atau canul cateter
sangat menolong menghindari hypoxemia,khususnya jika sedasi diberikan. Monitor
yang minimal membutuhkan blood pressure dan pulse oksimetry untuk mengetahui
kerja analgesia dan managemen nyeri. Monitoring untuk anestesi operasi dengan
regional sama dengan untuk general anestesi. Injeksi steroid epidural untuk
pengelolaan nyeri tidak membutuhkan monitor kontinyu secara sering.
Pembagian spinal bisa dibagi berdasarkan letak puncture, low spinal
anesthesia, middle spinal anesthesia, dan high spinal anesthesia.

Posisi Pasien
1. Posisi Duduk
Garis tengah anatomi sering mudah di temukan ketika pasien duduk dari pada
ketika pasien posisi lateral decubitus. Ini terutama untuk pasien obesitas. Pasien
duduk dengan siku diatas paha atau di samping meja dipinggir meja operasi sehingga
dapat memeluk guling. Punggung harus fleksi maksimal. (seperti kucing marah,
memaksimalkan area target antara prosessus spinosus dan membawa tulang belakang
lebih dekat dengan permukaan kulit.

2. Lateral Dekubitus
Beberapa ahli lebih menyukai posisi lateral blok. Pasien berbaring pada
pinggir meja dan lutut fleksi memeluk paha melawan abdomen atau dada. Penolong
dapat membantu pasien menjaga posisi ini

3. Posisi Prone
Posisi ini dapat digunakan untuk memanfaatkan prosedur anorektal dengan
anestesi hypobaric (lihat di bawah). Keuntungan adalah bahwa blok dilakukan dalam
posisi yang sama sebagai prosedur operasi (jackknife) sehingga pasien tidak harus
dipindahkan mengikuti blok. Kelemahannya adalah bahwa CSF tidak akan bebas
mengalir melalui jarum suntik, sehingga penempatan ujung jarum benar pada
subarachnoid perlu dikonfirmasi oleh aspirasi CSF. Posisi yang prone juga digunakan
setiap kali bimbingan fluoroscopic diperlukan. 6

Pendekatan Anatomi
Landmark anatomi untuk menentukan level blok yang pertama kita
identifikasi (lihat anatomi). Lapangan disterilkan dengan pemberian povidon iodene
atau cairan serupa dengan menggunakan kassa, cairan diberikan hingga tiga kali
usapan. Solusinya adalah mulai diterapkan di tempat suntikan diantisipasi dan
berjalan keluar dalam lingkaran melebar. Penetrasi steril dilaksanakan. Setelah kering,
kemudian diusap dengan kain steril untuk mencegah masuknya cairan ini pada ruang
subarachnoid yang bisa menyebabkan meningitis kimia. Kulit ditusuk pada celah
antar space dengan anestesi lokal menggunakan jarum kecil (25 g). Jarum yang lebih
panjang (22 g) dapat digunakan pada infiltrasi anestesi lokal yang lebih dalam. 6,7

METODE (TEKNIK) MIDLINE


Tulang belakang dipalpasi dan posisi tubuh pasien diatur agar perpendicular
terhadap lantai. Ini untuk memastikan jarumnya dimasukkan secara paralel terhadap
lantai dan akan tetap pada posisi midline saat dimasukkan lebih dalam(Figure 16–4).
Processus spinosus vertebrae di atas dan di bawah lokasi yang akan digunakan
dipalpasi, dan akan menjadi tempat memasukkan jarum. Setelah mempersiapkan dan
menganestesi kulit seperti di atas, jarum dimasukkan ke midline. Mengingat bahwa
arah processus vertebra mengarah ke bawah, maka setelah jarum masuk langsung
diarahkan perlahan ke arah cephalad. Jaringan subkutan akan memberikan sedikit
tahanan terhadap jarum. Setelah dimasukkan lebih dalam, jarum akan memasuki
ligamen supraspinal dan interspinal, yang akan terasa meningkat kepadatan
jaringannya. Jarum juga terasa lebih kuat tertanam. Jika terasa jarum memnyentuh
tulang, berarti jarum mengenai bagian bawah processus spinosus. Kontak dengan
tulang pada tusukan yang lebih dalam menunjukkan bahwa jarum pada posisi midline
dan menyentuh processus spinosus atas atau berada di posisi lateral dari midline dan
mengenai lamina. Dalam kasus seperti ini jarum harus diarahkan kembali. Saat jarum
menembus ligamentum flavum, akan terasa tahanan yang meningkat. Pada titik inilah
prosedur anestesi spinal dan epidural dibedakan. (baca anestesi spinal dan epidural).
Pada anestesi epidural, hilangnya tahanan tiba-tiba menandakan jarum menembus
ligamentum flavum dan memasuki ruang epidural. Untuk anestesi spinal, jarum
dimasukkan lagi hingga menembus membran dura-subarachnoid dan ditandai dengan
adanya aliran LCS. 2,6,14

CARA (TEKNIK) PARAMEDIAN


Paramedian teknik yang dapat dipilih jika blok epidural atau subarachnoid
sulit, khususnya pada pasien yang tidak dapat diposisikan dengan mudah (misalnya,
artritis parah, kyphoscoliosis, atau sebelum pembedahan tulang belakang pinggang)
(Gambar 16-13). Wheal kulit untuk pendekatan paramedian dinaikkan 2 cm lateral
inferior superior aspek proses spinosus tingkat yang dikehendaki. Karena pendekatan
ini lateral untuk sebagian besar menembus ligamen interspinous dan otot paraspinous,
jarum mungkin menghadapi perlawanan kecil pada awalnya dan mungkin tidak
tampak berada di jaringan kuat. Jarum diarahkan dan lanjutan pada 10-25 ° sudut ke
arah garis tengah. Identifikasi ligamentum flavum dan masuk ke dalam ruang epidural
dengan hilangnya resistensi sering kali lebih halus dibanding dengan pendekatan garis
tengah. Jika tulang dijumpai pada kedalaman yang dangkal dengan pendekatan
paramedian, jarum kemungkinan bersentuhan dengan bagian medial lamina yang
lebih rendah dan harus diarahkan terutama ke atas dan mungkin sedikit lebih lateral.
Di sisi lain, jika tulang yang ditemukan dalam-dalam, jarum biasanya dalam kontak
dengan bagian lateral lamina yang lebih rendah dan harus diarahkan hanya sedikit ke
atas, lebih ke arah garis tengah (Gambar 16-14). 6,14

JARUM-JARUM SPINAL
Jarum spinal secara komersial tersedia dalam berbagai ukuran (16-30 gauge),
panjang, dan ujung bevel dan desain (Gambar 16-15). Semua harus memiliki stylet
ketat menutup lumen yang bisa dilepas sepenuhnya untuk menghindari
terperangkapnya sel-sel epitel ke dalam ruang subarachnoid. Secara umum, mereka
dapat dibagi menjadi baik tajam (memotong)-tipped atau jarum berujung tumpul. The
Quincke jarum adalah memotong ujung jarum dengan suntikan. Pengenalan ujung
tumpul (pensil-titik) jarum telah menurun tajam insiden tusukan postdural sakit kepala;
pada umumnya semakin kecil ukuran jarum yang lebih rendah kejadian sakit kepala.
Yang pensil Whitacre dan lain-titik jarum telah bulat poin dan samping suntikan. The
Sprotte adalah sisi-jarum injeksi dengan pembukaan yang panjang. Ini memiliki
keunggulan dari aliran CSF lebih kuat dibandingkan dengan ukuran yang sama jarum.
Namun, ini dapat menyebabkan blok gagal jika distal bagian dari pembukaan
subarachnoid (dengan aliran bebas CSF), bagian proksimal tidak melewati dura, dan
dosis penuh obat-obatan tidak diberikan. 6

OBAT-OBAT ANESTESI SPINAL


Dulu banyak obat-obat anestesi lokal digunakan untuk anestesi spinal, tapi
hanya sedikit yang masih digunakan sekarang. (tabel 16-5). Banyak perubahan dalam
pengobatan lama karena adanya laporan peningkatan insiden transient neurologic
symptom dengan lidokain 5% ( lihat Complication of Neuraxial Anesthesia). Hanya
cairan anestesi lokal yang bebas pengawet yang digunakan. Tambahan vasokonstriksi
(agonist α adrenalin) dan opioid secara luas menambah kualitas dan memperlama
durasi dari anestesi spinal (lihat bab 18). Vasokonstriksi termasuk epinefrin (0,1 – 0,2
mg) dan fenilefrin (1 – 2 mg). Kedua agen tersebut ada untuk mengurangi
pengambilan dan pembersihan zat anestesi dari LCS dan mungkin mengandung bahan
analgesik spinal yang lemah. Clonidin dan neostigmin juga mengandung bahan
analgetik spinal, akan tetapi pengalaman terhadap zat tersebut untuk anestesi spinal
terbatas. 6,14
Bupivakain hiperbarik dan tetrakain adalah agen anestesi spinal yang umum
digunakan. Keduanya relatif memiliki onset lama (5 – 10 menit) dan memiliki durasi
yang lama (90 – 120 menit). Meskipun kedua agen tersebut tingkatan sensorik yang
sama, tetrakain spinal secara umum menghasilkan blokade motorik lebih dari
bupivakain pada dosis yang sama. Penambahan efinefrin pada bupivacain spinal hanya
memperlama durasinya. Kebalikannya, epineprin dapat memperpanjang durasi
anestesi tetrakain lebih dari 50%. Penileprin juga memperpanjang anestesi pada
tetrakain tetapi tidak memiliki efek pada blokade spinal dengan bupivakain.
Ropivakain juga digunkan pada anestesi spinal , tetapi pengalaman dengannya
terbatas. Pemberian 12 mg intratekal dari ropivakain secara kasar setara dengan 8 mg
bupivakain , tanpa keuntungan tambahan untuk anestesi spinal. Lidokain dan prokain
memiliki onset cepat (3 – 5 menit)dan durasi yang cepat (60 – 90 menit). Tidak ada
data yang bertentangan bahwa durasinya tersebut diperpanjang dengan vasokonstriksi
ataupun tidak; bermacam efek muncul. Walaupun anestesi lidokain untuk tulang
belakang telah digunakan di seluruh dunia, hati-hati penggunaannya dalam terang
fenomena transien gejala neurologis (TNS) dan cauda equina syndrome (lihat di
bawah). Beberapa ahli mengatakan bahwa lidokain dapat digunakan secara aman
sebagai anestesi tulang belakang jika total dosis terbatas sampai 60 mg dan diencerkan
menjadi 2,5% atau kurang dengan opioid dan / atau CSF sebelum injeksi. Ulangi
berikut dosis awal "gagal" block harus dihindari karena mungkin seharusnya
penggunaan epinefrin dengan lidokain. 6,14

Anestesi spinal hiperbarik lebih umum digunakan dibandingkan dengan teknik


hipobarik ataupun isobarik. Tingkatan anestesi selanjutnya tergantung pada posisi
pasien selama dan segera setelah penyuntikan. Pada posisi duduk, "saddle block",
dapat dicapai dengan menjaga agar pasien duduk selama 3 – 5 menit setelah
penyuntikan sehingga hanya nervus lumbal dan sacral yang diblok. Jika pasien
ditempatkan dari posisi duduk menjadi posisi supine segera setelah penyuntikan, agen
tidak akan bergerak lagi kearah cephalad pada regio dependen yaitu regio
thoracolumbar, selama protein binding belum terjadi. Anestesi hiperbarik disuntikan
intratekal dengan pasien pada posisi lateral dekubitus adalah berguna untuk prosedur
extremitas bawah yang unilateral. Pasien ditempatkan secara lateral dengan extremitas
yang dioperasi pada posisi yang dependen. 1

2.2 Cedera Saraf pada Anestesi Spinal & Pencegahannya


Neuropati perifer pascabedah dapat disebabkan oleh cedera saraf akibat
trauma fisik langsung pada radiks saraf atau medula spinalis yang menyebabkan
penarikan, penekanan, atau pemotongan jaringan saraf (neuropraxia).
Sebagian besar cedera saraf bersifat sementara dan hanya sebagian kecil yang
dapat menetap, tergantung beratnya cedera yang terjadi. Cedera dapat terjadi pada
radiks saraf atau medula spinalis. Injeksi langsung ke medula spinalis dapat
menyebabkan paraplegia. Kerusakan pada konus medullaris dapat menycbabkan
disfungsi saraf sakral.
Cedera saraf dapat menyebabkan' disfungsi otonomik dan motorik, schingga terdapat
gangguan pada sensasi nyeri, temperatur. tekanan, dan propriosepsi. Ukuran saraf
menentukan sensitivitas saraf terhadap kerusakan akibat tckanan atau iskemik, Sensasi
motorik (tipe Aa) lebih dahulu hilang dikuti berturut-turut propriosepsi (tipe Af). Golgi
afferent (tipe Ay), sensasi nyeri cepat (tipe Aö), dan nyeri lambat (C serabut).
Parestesia yang menetap sewaktu melakukan anestesi/analgesia neuraksial
merupakan gejala jarum mengenai saraf sehingga sebaiknya jarum ditarik dan
diarahkan kembali. Jika nyeri dirasakan sewaktu menyuntikkan anestetik lokal. inicksi
harus segera dihentikan dan jarum ditarik.
Cedera saraf pasca anestesi neuroaksial dapat disebabkan karena: infeksi
(abses epidural, meningitis), iskemia neuronal (anterior spinal artery syndrome,
hematom epidural), trauma langsung jarum atau kateter dan neurotoksisitas obat
anestesi lokal atau pengawetnya.

INFEKSI
Cedera saraf neuroaksial karena infeksi bakteri dapat hadir sebagai meningitis
atau kompresi saraf akibat terbentuknya abses. Sumber infeksi dapat eksogen dari
peralatan atau obat yang terkontaminasi atau endogen dari jarum atau kateter yang
terpapar sumber bakteri dalam tubuh pasien. Selain itu, sekitar kateter terjadi
kolonisasi bakteri kemudian menjadi sumber untuk penyebaran infeksi dari kulit ke
ruang epidural atau intratekal .
Schneeberger melaporkan 4 kasus meningitis iatrogenik setelah anestesi yang
dilakukan oleh dokter anestesi yang sama, memiliki sejarah faringitis berulang dan
tidak mengenakan masker selama prosedur anestesi. Meskipun belum terbukti
menguarangi kejadian infeksi neuraksial, penggunaan masker wajah terbukti
mengurangi penyebaran streptokokus viridan.
Pungsi dural telah lama dianggap factor risiko terjadinya meningitis.
Bagaimana bakteri menyeberang dari aliran darah ke dalam cairan cerebro spinal
belum diketahui. Weed menemukan bahwa tusukan lumbar yang dilakukan pada
hewan coba septikemia (diproduksi dengan injeksi IV dari basil gram-negatif) selalu
menghasilkan meningitis yang fatal. Akan tetapi perlu diperhatikan penggunaan jarum
26–gauge dapat mengakibatkan robeknya duramater relatif lebih besar pada tikus
dibandingkan dengan pungsi dural pada manusia. Pada penelitian tersebut obat lokal
anestesi yang biasanya bersifat bakteriostatik yang dapat mengurangi risiko meningitis
tidak dimasukkan.
Pencegahan infeksi (meningitis atau abses) dilakukan dengan mengharuskan
tindakan anestesi neuroaksial dikerjakan dalam kondisi steril. Dokter anestesi harus
melakukan cuci tangan, memakai sarung tangan, masker muka, serta mendisinfeksi
daerah tindakan. Pemasangan kateter epidural harus dilakukan oleh dokter dengan
memakai pakaian operasi.

ISKEMIA NEURONAL
Suplai darah ke sumsum tulang belakang sering tidak stabil karena jarak yang
relatif besar antara pembuluh darah radikuler. Hipotensi sistemik atau insufi siensi
vaskular lokal dengan atau tanpa anestesi neuroaksial dapat menghasilkan iskemia
saraf tulang belakang yang menyebabkan paralisis flasid dari ekstremitas bawah yang
dikenal
sebagai sindrom arteri spinalis anterior.
Penggunaan cairan anestesi lokal yang mengandung epinefrin atau fenilefrin
secara teoritis dapat menghasilkan iskemia neuronal lokal, terutama pada pasien
dengan penyakit mikrovaskuler. Kebanyakan kasus dugaan defisit neurologis yang
disebabkan vasokonstriktor dilaporkan sebagai laporan kasus tunggal ternyata disertai
beberapa faktor risiko lain. Penelitian pada hewan belum berhasil membuktikan
hubungan vasokonstriktor dengan sindroma arteri spinalis anterior.
Transient neurologic symptom (TNS) didefinisikan adanya nyeri dan atau
disestesia pada kaki atau pantat setelah anestesi neuroaksial. Gejala biasanya timbul
dalam 24 jam pertama setelah pemulihan dari anestesi neuroaksial dan sembuh
sempurna dalam 72 jam. Insidensinya sebesar 1–5% pada anestesi spinal dengan
lidokain. Penyebab belum diketahui, diduga disebabkan efek neurotoksik obat, trauma
jarum, posisi pasien selama operasi, dan pooling obat lokal anestesi yang disuntikkan
berulang.
Insidensi sebenarnya disfungsi neurologis akibat komplikasi hemoragik terkait
dengan blok neuraksial tidak diketahui, diperkirakan kurang dari 1 dalam 150.000
epidural dan kurang dari 1 dalam 220.000 anestesi spinal.
Hematom epidural didefi nisikan adanya perdarahan simptomatis dalan saraf
neuroaksial. Perdarahan paling sering terjadi pada rongga epidural akibat trauma
pembuluh darah oleh jarum atau kateter. Kondisi ini dapat menjadi emergensi apabila
terjadi kompresi medula spinalis. Hematom epidural biasanya timbul dalam 0 – 2 hari
dengan gejala nyeri punggung, disfungsi sensoris dan motoris, serta gangguan miksi
dan defekasi.
Sindrom kauda equina merupakan sindrom kompleks yang melibatkan bagian
terminal dari sumsum tulang belakang. Serabut otonom terutama yang terpengaruh.
Gejalanya berupa insufi siensi otonom, perubahan fungsi kandung kemih dan usus
besar, paraplegi, gangguan pengaturan suhu dan keringat dan nyeri sacrolumbal.

TRAUMA LANGSUNG JARUM ATAU KATETER


Trauma langsung jarum atau trauma kateter jarang menyebabkan cedera
neurologis permanen atau melumpuhkan. Suatu penelitian retrospektif dari 4.767
anestesi spinal mencatat adanya 298 (6,3%) pasien dengan parestesia selama
penempatan jarum. Insiden deficit neurologis pasca operasi secara signifi kan
meningkat pada spinal anestesi kontinyu (0,66 %) dibandingkan pemberian tunggal
(0,13%). Pada penelitian laboratorium pada tikus menunjukkan adanya demielinasi
dan peradangan saraf yang berdekatan dengan kateter setelah penempatan kateter
subarachnoid. Penggunaan kateter secara tidak langsung dapat menyebabkan cedera
neurologis.

NEUROTOKSISITAS
Komplikasi neurologis yang terjadi setelah anestesi neuraksial bisa
diakibatkan langsung toksisitas anestesi lokal. Walaupun anestesi local diberikan
dalam konsentrasi klinis dan dosis tidak menyebabkan kerusakan saraf, dari data
laboratorium dan klinis membuktikan anestesi lokal berpotensi terjadi neurotoksik.
Kontak yang terlalu lama, dosis tinggi, dan konsentrasi tinggi anestesi lokal di akar
sumsum tulang belakang dapat mengakibatkan defi sit neurologis permanen. Sindrom
kauda ekuina dilaporkan terjadi setelah spinal dosis tunggal dan kontinyu. Injeksi (atau
reinjeksi) konsentrasi tinggi anestesi lokal dalam area terbatas ruang intratekal dapat
menyebabkan cedera neurotoksik. 1,4
Dalam histopatologi, elektropsikologi, dan model sel saraf, dibandingkan
bupivacaine, lidokain dan tetrakain pada konsentrasi klinis yang sama, memiliki
potensi lebih besar menimbulkan neurotoksisitas. Dalam penelitian yang dilakukan
Auroy, 3,75% komplikasi neurologis setelah anestesi spinal terjadi pada pasien yang
menerima lidokain hiperbarik. Drasner dari hasil penelitiannya menyebutkan dosis
maksimum untuk lidokain adalah 60 mg dan menghindari penggunaan epinefrin untuk
memperpanjang lidokain dalam untuk anestesi spinal.1,4

PENANGANAN CEDERA SARAF PASCA ANESTESI NEUROAKSIAL


Lesi tekan (kompresi) memerlukan diagnosis cepat dan perawatan yang tepat.
Pemulihan penuh atau parsial akan lebih cepat terjadi dengan segeranya dilakukan
dekompresi. Pada kebanyakan kasus, penggunaan magnetic resonance imaging (MRI)
adalah pencitraan pilihan untuk mengetahui adanya patologi kanal tulang belakang,
dan penegakan diagnosis tidak boleh ditunda sekalipun hanya computed tomography
(CT)
scan yang tersedia. Diagnosis kecurigaan adanya cedera saraf perifer dipandu dari
gejala yang ada, riwayat dan pemeriksaan fisik. Defisit saraf lengkap atau progresif
harus segera dievaluasi oleh seorang ahli saraf atau ahli bedah saraf. Gejala ringan
tanpa bukti obyektif defisit saraf biasanya menunjukkan prognosis yang baik. Jika
gejala semakin berat, konsultasi neurologis harus dilakukan.
Lesi lengkap dengan bukti defisit sedang atau berat merupakan indikasi untuk
konsultasi awal neurologis dan pertimbangan pengujian neurofi siologis (studi
konduksi saraf dan elektromiografi ) atau pencitraan MRI. Pengujian neurofi siologis
dapat membantu mengukur kerusakan saraf, dan bersama-sama dengan MRI, dapat
mengetahui lebih tepat lokasi cedera.
Meskipun perubahan neurofi siologis paling jelas terjadi 14-21 hari setelah
cedera, pengujian awal dapat dilakukan untuk menyingkirkan (termasuk bilateral)
penyakit yang sudah ada, membuat data dasar dan bantuan dalam memperkirakan
prognosisnya. Setelah evaluasi awal, lesi tidak lengkap dan belum terselesaikan harus
ditindaklanjuti dalam 3-5 bulan.
Transient neurologic symptom dapat pulih sempurna dalam 72 jam. Terapinya
dengan terapi simtomatik menggunakan obat opioid atau non steroid anti infl amatory
drugs (NSAID) dan dilakukan fi sioterapi penghangatan.
Infeksi dapat dicegah dengan melakukan tindakan septik dan aseptik selama
blok neuroaksial. Antibiotik yang sesuai diberikan untuk terapi bila telah terjadi
infeksi. Abses yang menekan saraf harus segera dilakukan dekompresi.1
Sindrom kauda ekuina tidak mempunyai terapi khusus dan hanya bersifat
suportif. Pemasangan kateter urin untuk menghindari over distensi dari kandung
kemih. Fisioterapi diperlukan untuk mencegah atropi otot. Sindrom ini bisa dicegah
dengan cara menghindari pemakaian mikrokateter spinal, konsentrasi tinggi dan
volume besar obat anestesi lokal, menunggu lebih dari 10 menit apabila akan
mengulang spinal anestesi dengan dosis yang sama, serta memilih lokasi L2 – L3 jika
menghendaki cairan obat hiperbarik menyebar ke atas.7
Nirmala melaporkan foot drops pasca spinal anestesi dengan terapi steroid,
NSAID dan Vit. B kompleks sembuh setelah 8 minggu. Untuk mencegah cedera saraf
yang lain adalah jangan melakukan injeksi apabila pasien merasa nyeri.10
Hematom epidural dicegah dengan tidak melakukan blok neuroaksial pada
pasien dengan gangguan koagulasi atau mendapat terapi antikoagulan. Diagnosis harus
segera ditegakkan dan evakuasi hematom harus segera dilakukan untuk menghindari
cacat permanen. Kembalinya fungsi neurologis parsial atau baik hanya 38% dari
pasien dan terjadi pada pasien yang menjalani laminektomi dalam waktu 8 jam dari
diagnosis hematoma tulang belakang.1
Tidak ada metode yang telah terbukti untuk merangsang regenerasi saraf.
Fisioterapi untuk mencegah atrofi otot dan mempertahankan berbagai gerakan dan
fungsi motorik. Functional electric stimulation (FES) dapat merangsang pemulihan
fungsional dari serat saraf motorik dan alpha motor neurons.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan and Mikhail’s, 2022, Clinical Anesthesiology, 7 th edition, John Butterwood, David,
John D, Lane Hadzic
2. Barash, P.G., Cullen, F.B., Stoelting, R.K, Cahalan, M.,K., Stock, M.,C, 2009, Clinical
Anesthesia, 6th edition, Lippincott William&Wilkins
3. Hadzic’s Textbook of Regional Anesthesia and Acute Pain Management. Second Edition.
Admir Hadzic.
4. Stoelting, R.K., Hillier, S.C., 2006, Handbook of Pharmacology and Physiology in Anesthetic
Practice, 2nd Edition, Lippincott Williams & Wilkins
5. Doso Sutiyono, Cedera Saraf Setelah Anestesi Neuraksial Nerves Injury Post
Neuroaxial Anesthesia, Jurnal Komplikasi Anestesi
6. Abdulquadri M. Olawin; Joe M Das. Spinal Anesthesia. 2022, StatPearls Publishing
LLC
7. Miller RD editor, Miller’s Anesthesia, 8th edn. Philadelpia, 2015: Elsevier Saunders
8. Satrio Adi Wicaksono, Bhimo Priambodo. Kejadian Drop Foot Setelah Anestesi Spinal.
Jurnal Anestesi Indonesia

Anda mungkin juga menyukai