Anda di halaman 1dari 5

Patofisiologi Kesemutan

Patofisiologi parestesia yakni adanya perubahan fungsi saraf atau jalur saraf. Parestesi
dianggap mewakili pancaran impuls abnormal yang dihasilkan dari ectopic focus dan dapat
timbul dari kelainan di mana saja di sepanjang jalur sensorik, dari saraf perifer ke korteks
sensorik. Parestesi dapat disebabkan oleh sistem saraf pusat atau kelainan sistem saraf tepi.
Penyebab sistem saraf pusat termasuk iskemia, obstruksi, kompresi, infeksi, peradangan dan
kondisi degeneratif.

Penyebab parestesia yang diinduksi perifer paling umum adalah neuropati. Neuropati
perifer dapat disebabkan oleh gangguan metabolik, sindrom jebakan, trauma, kondisi inflamasi,
gangguan jaringan ikat, cedera toksik, kondisi keturunan, keganasan, defisiensi nutrisi, infeksi,
dan penyebab lain-lain. Beberapa neuropati perifer yang umum termasuk yang sekunder terhadap
diabetes, hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12, alkoholisme dan sindrom penjeratan saraf.

Sumber : M Painter, Frank. Paresthesias: A Practical Diagnostic Approach. Jurnal of University


of Alabama School of Medicine, Tuscaloosa, Alabama. 2017; 56(9)

Lesi Plexus Braachialis

a. Pengertian

Lesi plexus brachialis adalah cedera jaringan saraf yang berasal dari C5-Th1. Plexus
brachialis adalah persarafan yang berjalan dari leher ke arah axial yang dibentuk ramus ventral
saraf ventral syaraf vertebra C5-Th1. Lesi pada plexus brachialis dapat mempengaruhi fungsi
saraf motorik dan sensorik pada membrum superium.

b. Epidemiologi

Studi epidemiologis pada trauma pleksus brakialis sulit diketahui dengan pasti dan
epidemiologi dapat bervariasi di berbagai negara. Menurut penelitian yang dilakukan di India
Pusat tahun 2012 menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas menyumbang 94% pasien dan
kecelakaan lalu lintas 90% melibatkan roda dua.

Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab trauma pleksus brakhialis pada kebanyakan kasus
(80,7%). Dari kecelakaan lalu lintas, dibagi lagi yaitu kecelakaan sepeda motor (63,2%) diikuti
oleh kecelakaan mobil (23,5%), kecelakaan sepeda (10,7%) dan tabrakan pejalan kaki (3,1%).
Menurut penelitian yang dilakukan di Inggris tahun 2012, dilaporkan 450-500 kasus cedera
supraklavikular tertutup terjadi setiap tahun. Kejadian trauma pleksus brakhialis juga sering
terjadi pada bayi makrosomia dengan shoulder dystocia. Bayi makrosomia dengan berat badan
antara 4000 gram dan 4500 gram kejadiannya 86,25% kasus dan antara 4.500 gram dan 5000
gram kejadiannya 12,25% kasus. Semua kasus ini terjadi saat persalinan per vaginam.

c. Etiologi

Sebagian besar traction injury akibat dislokasi terjadi pada kecelakaan lalu lintas. Dari data
yang terkumpul, 1173 pasien lesi plexus brachialis dewasa, 82 % disebabkan karena kecelakaan
saat mengendarai sepeda motor.Korban jatuh saat mengendarai sepeda motor dengan kepala dan
bahu membentur tanah. Benturan yang terjadi dengan posisi bahu depresi dan kepala fleksi ke
arah yang berlawanan.

Gerakan yang sangat tiba – tiba tersebut juga menyebabkan cedera tarikan pada clavicula
dan struktur di bawahnya termasuk plexus brachialis dan vena subclavia. Apabila clavicula
sebagai penghubung paling kuat antara bahu dengan kepala patah, maka semua gaya tarikan
berpindah ke serabut neurovascular. Mekanisme cedera semacam ini menyebabkan kerusakan
yang parah pada serabut saraf bagian atas. Hiperabduksi shoulder atau tarikan yang kuat yang
menyebabkan melebarnya sudut scapulohumeral kebanyakan mempengaruhi akar saraf C8 dan
T1, cedera traksi dengan kecepatan tinggi bisa menyebabkan avulsi (robek) akar saraf dari
medulla spinalis.

d. Patofisiologi

Pada kasus ini lesi plexus brachialis terjadi akibat benturan keras sendi bahu yang
mengakibatkan terminal plexus robek.Terjadi karena tarikan yang kuat antara leher dengan bahu
atau antara ekstremitas atas dengan trunk. Patologi saraf muncul diantara dua titik. Pada titik
proksimal di medulla spinalis dan akar saraf (nerve root junction), sedangan pada titik distal ada
di neuromuscular junction. Processus coracoideus sebagai pengungkit saat hiper abduksi yang
kuat pada bahu. Selain arah gerakan yang kuat pada plexus brachialis , kecepatan tarikan
menentukan terjadinya kerusakan saraf. Sehingga terjadilah cedera pada akar saraf C5-Th1.

Sumber : Sakellariou VI, Badilas NK, Mazis GA, Stavropoulos NA, Kotoulas HK,
Kyriakopoulos S, et al. Brachial Plexus Injuries in Adults : Evaluation and Diagnostic Approach.
Hindawi Publishing Corporation; 2014;2014

e. Gejala Klinis

Pada kondisi cidera plexus injury akan terlihat dan dirasakan, gejala-gejala yang timbul
berupa; (1) nyeri, terutama pada leher dan bahu. Nyeri pada lokasi suatu saraf sering ada bila
telah terjadi ruptur, sedangkan pada cidera evulsi ciri khasnya adalah hilangnya kelunakan
perkusi pada area itu, (2) paresthesia dan disesthesia, (3) lemahnya tubuh atau terasa berat
menggerakkan ekstremitas, (4) benyut nadinya menurun, karena cedera vaskuler mungkin terjadi
bersamaan dengan cidera traksi (foster dkk,2008).

f. Penegakan Diagnosis

Untuk membuat diagnosis cidera plexus brachialis, perlu dilakukan anamnesis dan beberapa
pemeriksaan, seperti: (1) Anamnesis, (2) pemeriksaan fisik, (3) pemeriksaan penunjang seperti
halnya MRI, X-ray, CT scan dan lain-lain.

g. Penatalaksanaan
1. Terapi Konservatif Tujuan perawatan
Tujuan perawatan konservatif adalah mempertahankan jangkauan gerak ekstremitas,
untuk memperkuat otot fungsional, yang tersisa, untuk melindungi denervasi dermatom,
dan untuk managemen nyeri.
Edema kronis mungkin muncul sebagai akibat dari hipokinesia, kehilangan tonus
vaskular akibat denervasi simpatik, dan luka jaringan lunak lainnya. Menjaga ekstremitas
terangkat dapat menurunkan edema.
Manajemen nyeri mungkin merupakan prosedur yang sulit. Rasa sakit yang signifikan
diamati pada complete palsy of the brachial terutama pada radiks avulsi. NSAIDs dan
opioid dapat membantu selama tahap pertama tapi tidak untuk membantu pasien dengan
nyeri neuropatik, yang membutuhkan penggunaan obat antiepilepsi (gabapentin dan
karbamazepin) atau antidepresan seperti amitriptilin secara hati-hati. Operasi Dorsal Root
Entry Zone (DREZ) dilakukan pada pasien dengan nyeri terus-menerus, operasi ini
didasarkan pada usaha untuk menghambat transmisi sinyal saraf dari pusat sensorik
sekunder.
2. Terapi Pembedahan
a. Neurolisis
Terapi ini digunakan pada lesi saraf kontinuitas. Teknik ini penting untuk
memelihara struktur interfascikular dan selubung saraf. Karena memiliki risiko
rusaknya vaskular, tidak disarankan menggunakan neurolisis interfascikular,
sebagai gantinya dapat digunakan epineurorektomi untuk menghilangkan jaringan
fibrous. Penggunaan stimulasi saraf sebelum dan sesudah neurolisis dapat
memperlihatkan peningkatan konduksi saraf. Hasil klinis neurolisis tidak mudah
untuk diidentifikasi, banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan funsgsional,
selain neurolisis.
b. Nerve grafting
Teknik memotong area yang trauma kemudian menyambungkan dengan
area yang lebih proksimal. Hasilnya akan dipengaruhi oleh panjang saraf yang
akan disambung/ dicangkok, munculnya jaringan skar pada daerah luka.
Pembedahan Saraf menggunakan graft dibagi menjadi:
a. Perbaikan Intra pleksus
b. Perbaikan Ekstra pleksus
c. Transfer saraf distal
c. Transfer kontralateral C7
Tranfer kontralteral C7 digunakan pada kelemahan global atau ketika
pilihan transfer lokal tidak dapat digunakan, namun untuk mengurangi jarak ke
saraf target, graft yang terhubung dengan kontralateral radiks saraf, telah
ditempatkan dibawah otot anterior skalenus dan otot longus colli dan kemudian
melewati ruang retroesofagus untuk memberikan sinya pada saraf resipien. Rata-
rata panjang graft yang digunakan adalah 6.8 ± 1.9 cm.
h. Prognosis
Prognosis sangat berfariasi karena bergantung tidak hanya pada sifat cideranya itu
sendiri.Tetapi juga pada umur pasien dan jenis prosedur yang dilakukan. Pada beberapa
kasus didapatkan kembalinya fungsi genggaman tangan dan control volunteer bahu dan
siku setelah cidera avulsi pada plexus brachialis yang dikalukan dengan menggunakan
teknik transfer otot bebas ganda. Dilaporkan juga pada pasienpasien lain terjadi perbaikan
pada tingkat kekutan motorik otot sampai hampir setengahnya setelah dilakukan suatu
prosedur operasi.
i. Komplikasi
Kontraktur yang berhubungan dengan beberapa jenis insisi kadang terjadi.Pada
beberapa pemaparan, nervus aksesoruis spinalis memiliki resiko trauma dan harus
dilindungi.Komplikasi yang lebih spesifik bernariasi dan tergantung pada tipe pasti dari
prosedur yang dilakukan.Nyeri deaferensiasi bisa menjadi masalah yang paling sulit
ditangani setelah terjadinya didera plexus brachalis.

Sumber : Putra N, Sandi. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Plexus Brachialis Injury. Jurnal RS
Orthopedi Prof Dr Soeharso. 2015;52

Sakellariou S, et al. Treatment Options for Brachial Plexus Injuries. Hindawi Publishing
Corporation. 2014

Anda mungkin juga menyukai