Anda di halaman 1dari 14

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN BLANKET WARMER

TERHADAP SUHU PADA PASIEN SHIVERING


POST SPINAL ANESTESI REPLACEMENT
EKSTREMITAS BAWAH

NASKAH PUBLIKASI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan

Oleh :

Oleh :
ENDANG WINARNI
ST 181018

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2020
EFEKTIFITAS PENGGUNAAN BLANKER WARMER TERHADAP SUHU
PADA PASIEN SHIVERING POST SPINAL ANESTESI
REPLACEMENT EKSTREMITAS BAWAH

Effectiveness of Blanket Warmer Use on Temperature of Shivering Post Spinal


Anesthesia Patients Exposed to Lower Extremity Replacement Surgery

Endang Winarni1), Atiek Murharyati2), Gatot Suparmanto3)


1)Mahasiswa Program Studi Sarjana Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta
2)3)Dosen Program Studi Sarjana Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta

ABSTRAK

Salah satu komplikasi dari spinal anestesi adalah penurunan suhu


(hipotermia), yang akan berakibat lanjut menjadi shivering. Efek samping
shivering diantaranya adalah peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan
metabolisme, peningkatan curah jantung dan ventilasi semenit, penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan darah, tekanan intracranial dan tekanan
intraokuler. Intervensi untuk mengatasi shivering adalah penggunaan blanket
warmer.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penggunaan blanket
warmer terhadap suhu pada pasien shivering post spinal anestesi yang dilakukan
operasi replacement ekstremitas bawah. Menggunakan metode quasi
eksperimental research dengan design one group pre dan posttest design without
group control. Sampel sebanyak 20 orang dengan menggunakan blanket warmer
yang dipasang selama 40 menit dengan pengaturan suhu 460 C.
Hasil penelitian didapatkan mayoritas usia 51 – 60 tahun (65%), jenis
kelamin perempuan (65%), dan bekerja sebagai wiraswasta (40%). Suhu rata –rata
pretest 34,560 C, posttest 36,70 C. Berdasarkan uji wilcoxon signed rank test
menunjukkan bahwa p-value sebesar 0.000 (<0,05), sehingga dapat disimpulkan
bahwa penggunaan blanket warmer terhadap suhu pada pasien shivering post
spinal anestesi replacement ekstremitas bawah adalah efektif.
Kata kunci : anestesi spinal, hipotermia, shivering, blanket warmer.

ABSTRACT
One of the complications of spinal anesthesia is hypothermia, which leads
to shivering. Its side effects include increased oxygen intake, increased
metabolism, increased cardiac output and minute (pulmonary) ventilation,
decreased oxygen saturation, and increased intracranial and intraocular blood
pressure. One of the interventions to deal with it is blanket warmer use. The

1
objective of this research is to investigate effectiveness of blanket warmer use on
temperature of shivering post spinal anesthesia patients exposed to lower
extremity replacement surgery.
This research used the quasi experimental research method with one
group pre-test and post-test design without group control. Its samples consisted of
20 patients exposed to blanket warmer for 40 minutes at the temperature of 460 C.
The result of the research shows that majority or 65% of the patients were
aged 51 – 60 years old, 65% of the patients were female, and 40% of them were
self-employed. Their average temperature in the pre-test was 34.560C whereas in
the post-test, their average temperature was 36.70C. The result of the Wilcoxon’s
Signed Rank Test shows that the p-value was 0.000 (<0.05), meaning that the
blanket warmer use was effective toward the temperature of the shivering post
spinal anesthesia patients exposed to lower extremity replacement surgery.
Keywords: Spinal anesthesia, hypothermia, shivering, blanket warmer.
__________________________________________________________________
I. PENDAHULUAN digunakan secara luas pada perut bagian
bawah, karena lebih aman, simpel dan
Anestesi merupakan tindakan
ekonomis serta onset anestesi yang lebih
menghilangkan rasa sakit ketika
cepat. (Morgan, et, al, 2011).
melakukan pembedahan. (Morgan, et al,
Selain memiliki kelebihan, anestesi
2011). Anestesi regional merupakan salah
spinal dapat menimbulkan komplikasi.
satu metode yang digunakan untuk
Komplikasi anestesi spinal dibagi menjadi
memberikan efek analgesia pada pasien
2 kategori yaitu mayor dan minor.
baik selama operasi berlangsung maupun
Komplikasi mayor adalah alergi obat
setelah operasi. Teknik analgesik regional
anestesi lokal, transient neurologic
tidak hanya digunakan pada kasus – kasus
syndrome, cedera saraf, pedarahan sub
yang berada di tingkat prehospital maupun
arachnoid, hematom sub arachnoid,
di Unit Gawat Darurat. Teknik anestesi
infeksi, anestesi spinal total, gagal nafas,
regional paling sering digunakan pada
sindroma kauda equina, dan disfungsi
pasien trauma adalah pada saat di ruang
neurologis lainnya. Komplikasi minor
operasi sebagai bagian dari prosedur
berupa hipotensi, Post Operative Nausea
tindakan anestesi atau sebagai kontrol
and Vomiting (PONV), nyeri kepala pasca
nyeri pasca operasi. (Kresnoadi, 2017).
pungsi, kecemasan, menggigil, nyeri
Salah satu teknik regional anestesi yang
punggung dan retensi urin. Angka
digunakan adalah spinal anestesi, yang
komplikasi yang tinggi mengakibatkan

2
mortalitas dan morbiditas meningkat. warmer. Blanket warmer merupakan suatu
(Hayati, dkk, 2015). Periode pemulihan alat untuk menjaga kestabilan suhu tubuh
pasca operasi dikenal sebagai waktu pasien ketika pasien mengalami
dengan resiko tinggi untuk terjadinya hipotermia. Alat ini pada dasarnya
komplikasi (Suswitha, 2019). Menurut memanfaatkan panas yang dialirkan
Sessler (2011) 25 % pasien mengalami dengan menggunakan blower sebagai
kejadian komplikasi setelah menjalani media penghantar panas sehingga kondisi
anestesi dalam proses operasi. pasien tetap terjaga dalam keadaan hangat.
Pada pembedahan dapat (Rositasari, dkk, 2017).
menimbulkan perubahan fisiologis tubuh Kejadian menggigil pasca anestesi
yaitu penurunan suhu tubuh / hipotermia. bisa terjadi karena beberapa faktor,
Hipotermia mempengaruhi beberapa diantaranya adalah terpapar dengan suhu
sistem organ. Hipotermia pada awalnya lingkungan yang dingin, status fisik ASA,
menyebabkan kenaikan laju metabolisme, umur, status gizi dan indeks massa tubuh
pada sistem kardiovaskuler terjadi yang rendah, jenis kelamin, dan lamanya
tachicardi, resistensi pembuluh darah operasi. (Luggya, et,al, 2016). Beberapa
perifer, sehingga menyebabkan menggigil / kejadian menggigil (shivering) yang tidak
shivering. (Rositasari, dkk, 2017). diinginkan mungkin dialami pasien akibat
Shivering adalah sebagai mekanisme suhu yang rendah di ruang operasi,
kompensasi tubuh terhadap hipotermia. aktivitas otot yang menurun, usia yang
Pendekatan non farmakologis untuk lanjut atau agent obat – obatan yang
menjaga agar tubuh tidak mengalami digunakan seperti vasodilator / fenotiasin.
hipotermia dilakukan dengan metode (Minarsih, 2013).
penghangatan diantaranya dengan cara Insidensi shivering pasca anestesi
pemakaian blanket warmer, humidifikasi regional pada tindakan sectio caesaria (SC)
oksigen, dan pemanasan cairan intravena. adalah 85%. (Kusumasari,dkk, 2013).
Tindakan mencegah hipotermia dan Angka kejadian shivering yang terjadi
shivering dengan pendekatan non setelah dilakukan epidural anestesi berkisar
farmakologis disebut dengan metode antara 30% – 33%. (Lopez, 2018). Angka
menghangatkan kembali (rewarming kejadian shivering post spinal anestesi
technique). (Rositasari, dkk, 2017).. antara 50% – 80%. (Luggya, et, al,
Hipotermia pada pasien post operasi agar 2016). Angka kejadian Post Anesthetic
tidak menggigil melebihi batas aman dapat Shivering (PAS) pada pasien yang
ditangani dengan memasang blanket menjalani spinal anestesi sekitar 33 % –

3
56,7 %. (Mashitoh, dkk, 2018). ada penelitian mengenai pendekatan non
Efek samping shivering diantaranya farmakologis yang dilakukan di Rumah
adalah peningkatan konsumsi oksigen Sakit Ortopedi Prof. DR. R. Soeharso
sampai 400%, peningkatan metabolisme Surakarta.
sampai 200 – 500%, peningkatan curah Berdasarkan angka kejadian di atas
jantung dan ventilasi semenit, penurunan dan belum adanya penelitian mengenai
saturasi oksigen, peningkatan tekanan pendekatan non farmakologis yang
darah, tekanan intracranial dan tekanan dilakukan, maka peneliti tertarik
intraokuler. (Kusumasari, dkk, 2013). melakukan penelitian tentang efektifitas
Shivering menyebabkan penggunaan blanket warmer terhadap suhu
ketidaknyamanan bagi pasien, hal ini pada pasien shivering post spinal anestesi
menimbulkan peningkatan laju replacement ekstremitas bawah di
metabolisme menjadi lebih dari 400% dan Recovery Room RSO. Prof. DR. R.
meningkatkan intensitas nyeri pada daerah Soeharso Surakarta.
luka akibat tarikan luka operasi. II. METODOLOGI
(Mashitoh, dkk, 2018). Aktivitas otot yang Penelitian ini merupakan penelitian
meningkat akan meningkatkan konsumsi quasi eksperimental research dengan
oksigen dan peningkatan produksi desain one group pre dan posttest design,
karbondioksida. Hal ini dapat berbahaya yaitu satu kelompok dilakukan intervensi
bagi pasien karena dengan kondisi fisik sebelum perlakuan dan dilakukan
yang tidak optimal akan menyebabkan intervensi lagi setelah dilakukan perlakuan.
penyakit paru obstruksi menahun yang Bentuk rancangan ini adalah sebagai
berat atau gangguan kerja pada jantung. berikut :
Asidosis laktat dan asidosis respiratorik Pretest Perlakuan Posttest
dapat terjadi bila ventilasi dan kerja dari 01 X 02
jantung tidak meningkat secara Tabel 3.1
proporsional. (Sasongko, 2015). Keterangan :
Cara melakukan pencegahan 01 = Pengukuran pertama (pretest)
terjadinya shivering dengan pendekatan X = Perlakuan atau eksperimen
farmakologis di Rumah Sakit Ortopedi 02 = Pengukuran kedua (posttest)
Prof. DR. R Soeharso telah dilakukan Populasi pada penelitian ini adalah
diantaranya tindakan kolaborasi dengan seluruh pasien yang menjalani operasi
dokter pemberian fentanyl injeksi, pethidin
injeksi, dan ondansentron injeksi. Belum

4
Total Knee Replacement (TKR) dan karakteristik subjek penelitian berdasarkan
Total Hip Replacement (THR) dengan umur diperoleh subyek penelitian paling
spinal anestesi. Penelitian ini banyak adalah subjek penelitian dengan
menggunakan teknik sampling kuota kelompok umur 51 - 60 tahun sebanyak 13
dengan jumlah sampel 20 responden. responden. Sedangkan subjek penelitian
Tempat penelitian adalah di berdasarkan umur paling sedikit adalah
Recovery Room Instalasi Bedah Sentral subjek dengan umur 61 – 70 tahun
Rumah Sakit Ortopedi Prof. DR. R sebanyak 3 responden.
Soeharso, Surakarta, waktu penelitian Hasil penelitian ini sejalan dengan
dilaksanakan pada bulan 21 Agustus 2019 hasil penelitian yang dilakukan oleh
sampai 20 September 2019. Mashitoh,dkk, (2018) yang menyatakan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN bahwa shivering banyak terjadi pada
Hasil distribusi frekuensi subjek responden dengan usia lansia awal (46– 55
penelitian tersebut adalah sebagai berikut: tahun). Responden lansia awal lebih
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi banyak mengalami shivering karena pada
Subjek Penelitian usia ini sudah mulai terjadi penurunan
metabolisme sehingga kemampuan untuk
Karakteristik subjek n %
penelitian mempertahankan suhu tubuh juga mulai
Umur berkurang.
40-50 th 4 20
51-60 th 13 65 Hasil penelitian ini juga sejalan
61-70 th 3 15 dengan penelitian yang dilakukan Nugroho
Jumlah 20 100
(2016) yang menyatakan bahwa pasien
Jenis Kelamin
Perempuan 13 65 dewasa akhir (41 – 65 tahun) lebih sering
Laki-laki 7 35 mengalami shivering dibandingkan usia
Jumlah 20 100
lainnya. Usia dapat mempengaruhi
Pekerjaan
terjadinya Post Anesthetic Shivering
Petani 4 20
Buruh 1 5 (PAS), dimana ambang batas menggigil
Wiraswasta 8 40
pada usia tua lebih rendah 10 C.
Karyawan 2 10
Ibu Rumah Tangga 4 20 General anestesi yang dilakukan
Guru/PNS 1 5
pada pasien usia lansia juga dapat
Jumlah 20 100
menyebabkan pergeseran pada ambang
Sumber : Data Primer 2019
batas termoregulasi dengan derajat yang
Berdasarkan hasil penelitian
lebih besar. Pada usia lansia awal
diketahui bahwa distribusi frekuensi
pengaturan panas dari produksi dan

5
kehilangan panas relatif stabil. Pengaturan melalui peningkatan panas tubuh yang
ini dilakukan oleh hipotalamus. dipengaruhi oleh kelenjar tiroid.
Hipotalamus yang terletak diantara Berdasarkan data tersebut maka responden
hemisfer serebral, mengatur suhu inti dewasa akhir lebih beresiko mengalami
tubuh. Suhu lingkungan sangat nyaman shivering karena pada dewasa akhir mulai
atau setara dengan set point maka terjadi penurunan metabolisme sehingga
hipotalamus akan berespon sangat ringan kemempuan untuk mempertahankan suhu
dan sedikit, sehingga suhu akan tubuh juga mulai berkurang.
mengalami perubahan yang ringan dan Menurut pendapat peneliti hal ini
relatif stabil. Hubungan antara produksi menunjukkan bahwa responden yang
dan pengeluaran panas harus termasuk dengan kategori lansia awal 46 –
dipertahankan. Hubungan diregulasi 55 tahun ( kategori umur menurut Depkes
melalui mekanisme neurologis dan RI) lebih rentan dengan kejadian shivering
kardiovaskuler. Hipotalamus anterior (menggigil). Umur sangat mempengaruhi
mengendalikan panas yang keluar, dan metabolisme tubuh akibat mekanisme
hipotalamus mengendalikan panas yang hormonal sehingga memberi efek tidak
dihasilkan. Penurunan suhu tubuh terjadi langsung terhadap suhu tubuh.
karena sel syaraf di hipotalamus anterior Penggolongan umur menurut Depkes RI
menjadi lebih panas melebihi set point. bahwa lansia awal adalah usia 46 – 55
(Guyton dan Hall, 2014). tahun, sedangkan lansia akhir adalah usia
Penelitian oleh Putzu (2007) 56 – 65 tahun. Usia – usia ini sangat rentan
mengatakan bahwa responden yang terjadi shivering pasca dilakukan spinal
banyak mengalami shivering yaitu anestesi. Ini disebabkan oleh fungsi
responden dewasa akhir yang berumur 41 cardiovaskuler yang mulai menurun.
– 65 tahun. Sistem cardiovaskuler yang mulai
Menurut penelitian Susilowati menurun menyebabkan elastisitas
(2017) menyebutkan bahwa mekanisme pembuluh darah menjadi berkurang
shivering erat kaitannya dengan faktor sehingga mudah terjadi vasodilatasi pada
usia. Pada bayi, anak dan usia dewasa pembuluh darah pada saat terpapar dengan
akhir shivering dimediasi oleh jaringan suhu yang dingin di ruang operasi, panas
lemak yang merupakan jaringan khusus tubuh akan keluar menyesuaikan suhu
kaya akan investasi sistem saraf simpatis lingkungan sehingga pasien mudah
dan vaskularisasi, sedangkan pada remaja mengalami hipotermia, dan tubuh akan
dan dewasa awal shivering dimediasi berkompensasi yang menyebabkan

6
terjadinya shivering. Pada lansia akhir Hasil penelitian ini sesuai dengan
kemungkinan terjadi shivering akan lebih penelitian yang dilakukan Harahap (2014),
besar dibandingkan dengan lansia awal angka hipotermi lebih banyak terjadi pada
saat terpapar suhu yang dingin di ruang perempuan daripada laki-laki, yaitu
operasi. Pada penanganan pasien yang sebanyak 51,2%. Laki – laki dan
mengalami peradangan sendi lutut dan perempuan memiliki perbedaan
sendi pinggul ada beberapa macam cara konsistensi suhu tubuh. Secara general,
yaitu dengan prosedur operatif dan non perempuan mempunyai fluktuasi suhu
operatif. Prosedur operatif yaitu dengan tubuh yang lebih besar daripada laki – laki.
melakukan penggantian sendi pada daerah Hal ini terjadi karena pengaruh produksi
lutut atau pinggul. Prosedur non operatif hormonal yaitu hormon progesteron.
dilakukan dengan cara pemberian Hormon progesteron rendah, maka suhu
fisoterapi pada sendi yang mengalami tubuh akan mengalami penurunan
peradangan. Pada penelitian ini sample beberapa derajat di bawah batas normal.
lebih banyak pada usia lansia awal, Hal ini sejalan dengan kutipan pada
kemungkinan pada usia lansia akhir lebih Buletin Orthopedi Indonesia yang
memilih prosedur non operatif atau menyebutkan bahwa berdasarkan NSQIP
fisioterapi, karena pada lansia usia akhir (National Surgical Quality Improvement
status fisik ASA akan lebih tinggi yang Program) terdapat 60,5 % perempuan
menyebabkan resiko kematian yang lebih dilibatkan dalam studi Total Knee
besar jika dilakukan tindakan anestesi, Replacement dan Total Hip Replacement.
baik anestesi umum maupun anesresi Menurut pendapat peneliti hormon
regional. progesteron meningkat dan menurun
Distribusi frekuensi subjek secara bertahap selama siklus menstruasi.
penelitian berdasarkan jenis kelamin Naik turunnya hormon progesteron
diketahui bahwa subjek penelitian paling mengakibatkan fluktuasi suhu tubuh pada
banyak adalah subyek dengan jenis wanita. Pada saat ovulasi (pembuahan)
kelamin perempuan yaitu sebanyak 13 pada wanita hormon progesteron lebih
orang sedangkan banyaknya subjek banyak diproduksi dan masuk ke dalam
penelitian dengan jenis kelamin laki – laki sistem sirkulasi. Dengan adanya kondisi
sebanyak 7 responden. Hal ini disebabkan tersebut fluktuasi suhu tubuh dapat
karena mayoritas responden penelitian ini menjadi perkiraan masa subur pada wanita.
adalah perempuan. Menopouse (penghentian menstruasi) pada
wanita dapat mempengaruhi perubahan

7
suhu tubuh. Pada saat terpapar dengan mobilisasi yang tinggi sehingga dalam
suhu yang dingin di ruang operasi jangka panjang ketika usia sudah mencapai
perempuan lebih banyak yang mengalami lansia awal akan terjadi gangguan
shivering karena pada wanita menopouse metabolisme tubuh dan terjadi gangguan
produksi progesteron sudah mulai pada beberapa sistem yang mengakibatkan
berhenti, tetapi pada laki – laki masih mudah terjadi shivering ketika terpapar
memproduksi hormon testosteron suhu yang dingin di ruang operasi. Meurut
meskipun produksi hormon tersebut sudah pendapat peneliti seorang buruh juga
mulai menurun. mempunyai aktivitas yang tinggi sehingga
Karakteristik subjek penelitian dalam jangka panjang juga akan
berdasarkan pekerjaan diketahui bahwa mengalami gangguan pada beberapa
subyek penelitian paling banyak bekerja sistem tubuh yang menjadi penyebab
wiraswasta yaitu sebanyak 8 orang, terjadinya shivering ketika terpapar dengan
sedangkan karakteristik subjek penelitian lingkungan yang dingin.Tetapi pada
paling sedikit bekerja sebagai guru / penelitian ini data yang didapatkan dari 20
Pegawai Negeri Sipil yaitu sebanyak 1 sample yang diteliti kejadian shivering
orang. Seorang wiraswasta mempunyai paling banyak dialami oleh wiraswasta.
aktivitas mobilisasi yang tinggi sehingga Kemungkinan buruh lebih memilih
berpengaruh terhadap suhu tubuhnya. tindakan non operatif ketika mengalami
Menurut Guyton dan Hall (2014) peradangan pada sendi baik lutut maupun
menyatakan bahwa meningkatnya suhu pinggul, karena tindakan non operatif
tubuh seseorang tergantung aktifitas kerja cenderung memakan biaya yang sedikit
dan lingkungan kerjanya. Semakin tinggi dibandingkan dengan tindakan operatif.
temperatur lingkungan kerja, maka tubuh Tabel 4.2 Hasil Uji Deskripsi Statistik
Pengukuran suhu sebelum dan sesudah
akan cenderung untuk mengkonsumsi
dipasang Blanket Warmer
energi yang lebih besar. Kondisi tersebut
Distribusi Pretest Posttest
mempunyai efek jangka panjang yang Frekuensi
terkait pada gangguan hormonal, seperti Mean 34,56 36,7
Standar Deviasi 0,342 0,306
keluhan psikosomatik akibat gangguan Nilai Minimum 34 36,2
saraf otonom, serta aktivasi hormon Nilai 35,1 37,2
Maksimum
kelenjar adrenal seperti hipertensi,
disritmia jantung, dan sebagainya. Berdasarkan hasil uji statistik
Menurut pendapat peneliti seorang deskriptif diketahui bahwa pada uji pretest
wiraswasta mempunyai aktivitas nilai suhu tubuh sebelum dipasang blanket

8
warmer, didapatkan rata-rata sebesar 34,56 Tabel 4.4 Efektifitas Penggunaan
dengan standar devisiasi sebesar 0,342. Blanket Warmer Terhadap Suhu
Nilai minimum yang didapatkan sebesar pada Pasien Shivering Post Spinal
34 sedangkan nilai maksimum yang Anestesi
didapatkan sebesar 35,1. Pada uji posttest
Mean Std. p-value
nilai suhu tubuh setelah dipasang blanket Deviation
warmer diketahui bahwa nilai suhu tubuh
Pre Test 34,56 0,342 0,000
rata-rata yang didapatkan sebesar 36,7
Post Test 36,70 0,306
dengan standar devisiasi sebesar 0,306..
Nilai minimum yang didapatkan sebesar
36,2 sedangkan nilai maksimum yang Sumber : Data yang diolah (2019)
didapatkan sebesar 37,2. Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui
bahwa hasil uji Wilcoxon signed rank test
Tabel 4.3 Uji Normalitas Data
Kolmogorov- Shapiro-Wilk menunjukkan bahwa nilai p-value sebesar
Smirnova
0,000 karena nilaip –value kurang dari
Sta df Sig. Sta df Sig.
tistic tistic 0,05 (0,000<0,05) maka hal ini berarti Ho
Pre ,170 20 ,034 ,625 20 ,025 ditolak atau Ha diterima, yang berarti
Post ,100 20 ,078 ,760 20 ,054
terdapat pengaruh blanket warmer
Sumber : Data yang diolah (2019) terhadap peningkatan suhu pada pasien
Berdasarkan hasil uji normalitas
shivering post spinal anestesi pada
dengan menggunakan Shapiro – Wilk
replacement ekstremitas bawah..
diketahui bahwa nilai p value pada uji coba
Penelitian ini sejalan dengan
pretest sebesar 0,025 < 0,05 sehingga data
penelitian yang dilakukan oleh Suswitha
berdistribusi tidak normal sedangkan nilaip
(2018) yang mengatakan bahwa rata – rata
value pada uji coba posttest sebesar 0,054>
waktu yang diperlukan untuk mencapai
0,05 sehingga data berdistribusi normal.
suhu normal pada kelompok intervensi
Karena salah satu data tidak berdistribusi
(pemakaian blanket warmer) adalah 15,9
normal, maka uji analisis yang dilakukan
menit sedangkan pada kelompok kontrol
akan dilakukan dengan dengan
dengan selimut biasa adalah 26,7 menit.
menggunakan uji statistic Wilcoxon signed
Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui
rank test.
bahwa peningkatan suhu tubuh kelompok
kontrol yang dengan selimut biasa lebih
lambat dibandingkan dengan penggunaan
electric blanket.

9
Perubahan fisiologis pada tubuh kehilangan panas tanpa menyebabkan
pasien yang menjalani pembedahan dapat vasodilatasi yang justru menyebabkan
berupa penurunan suhu tubuh atau bertambahnya perdarahan. Pasien pasca
hipotermia. Pasien pasca bedah yang bedah akan mengalami hipotermia, tapi
mengalami hipotermia akan menggigil tubuh tidak akan tinggal diam menghadapi
sebagai mekanisme kompensasi tubuh masalah tersebut. Dalam keadaan dingin,
terhadap hipotermia. Shivering (menggigil) tubuh melakukan dua mekanisme untuk
merupakan keadaan yang ditandai dengan tetap menjaga keseimbangan suhu inti
adanya peningkatan aktivitas muskuler (core temperature), yaitu secara fisik dan
yang sering terjadi setelah tindakan secara kimia. (Woolnough et.al, 2009,
anestesi, khususnya anestesi spinal pada dalam Minarsih, 2013). Menggigil
pasien yang menjalani operasi. (Arifin, merupakan respon tubuh involunter
dkk, 2012). terhadap suhu yang berbeda dalam tubuh.
Pembedahan dengan spinal anestesi Gerakan otot selama menggigil
yang lama meningkatkan terpaparnya membutuhkan energi yang signifikan.
tubuh dengan suhu dingin sehingga Menggigil dapat meningkatkan produksi
menyebabkan perubahan temperatur tubuh. panas 4 sampai 5 kali lebih besar dari
(Mashitoh, dkk, 2018). Selain itu anestesi normal (Kozier, 2011).
spinal juga menghambat pelepasan hormon Sesuai penelitian yang dilakukan
katekolamin sehingga akan menekan oleh peneliti bahwa hipotermia pasca
produksi panas akibat metabolisme. bedah tersebut ternyata dapat diatasi secara
(Mashitoh, 2018). Salah satu intervensi efektif dan meyakinkan sejak 40 menit
yang pada shivering pada pasien yang pasca pembedahan, dengan menggunakan
menjalani operasi adalah pemakaian blanket warmer yang diatur suhunya
blanket warmer. menjadi 460C yakni pengaturan suhu
Penggunaan blanket warmer dapat maksimal pada blanket warmer. Dengan
membuat tubuh menjadi lebih hangat, penggunaan alat ini pasien yang menjalani
percepatan peningkatan suhu lebih stabil pembedahan, khususnya pada pasien
dan kondisi pasien tetap terjaga dalam replacement ekstremitas bawah akan
keadaan hangat sehingga diharapkan suhu menerima penghangatan secara eksternal
tubuh tetap normal. (Rositasari, dkk, sehingga efektif dalam mengurangi atau
2017).. meminimalisir gejala hipotermia pada
Pasien pasca operasi ini harus dijaga pasien pasca operasi.
sehangat mungkin untuk meminimalkan

10
Blanket warmer lebih maksimal dengan standar deviasii sebesar 0,342.
dalam penanganan hipotermia karena Nilai minimum yang didapatkan
blanket warmer menghasilkan panas yang sebesar 34 sedangkan nilai maksimum
dapat diatur dengan suhu tertentu sehingga yang didapatkan sebesar 35,1.
panas yang dihasilkan akan dialirkan ke
4. Pada pada uji post test diketahui bahwa
tubuh pasien yang mengalami hipotermia
nilai suhu tubuh rata-rata yang
sehingga akan terjadi perpindahan panas
didapatkan sebesar 36,7 dengan standar
dari blanket warmer ke dalam tubuh
devisiasi sebesar 0,306. Nilai minimum
pasien. Pada selimut biasa hanya
yang didapatkan sebesar 36,2
membungkus dan melindungi pasien dari
sedangkan nilai maksimum yang
kehilangan panas yang lebih parah,
didapatkan sebesar 37,2.
penghangatan hanya mengandalkan panas
5. Berdasarkan hasil uji Wilcoxon signed
dari dalam tubuh saja. Selimut hanya
rank test diketahui bahwa nilai p - value
membantu mencegah keluarnya panas
sebesar 0,000 maka hal ini berarti Ho
yang diproduksi di dalam tubuh dan tidak
ditolak atau Ha diterima, yang berarti
terjadi perpindahan panas dari selimut
terdapat pengaruh blanket warmer
biasa ke dalam tubuh pasien.
terhadap suhu pada pasien shivering
IV. SIMPULAN DAN SARAN
post spinal anestesi pada replacement
Berdasarkan hasil penelitian maka
ekstremitas bawah.
dapat disimpulkan:
Adapun saran dari peneliti adalah:
1. Penggunaan blanket warmer terhadap
1. Bagi Responden
suhu pada pasien shivering post spinal
anestesi replacement ekstremitas Perlu dijelaskan tentang manfaat
bawah adalah efektif. penggunaan blanket warmer bagi
2. Distribusi frekuensi karakteristik subjek responden.
penelitian paling banyak adalah 2. Bagi Rumah Sakit
kelompok umur 51 – 60 tahun, Rumah Sakit perlu memfasilitasi alat
sedangkan distribusi frekuensi penghangat yaitu blanket warmer.
berdasarkan jenis kelamin adalah 3. Bagi Institusi Pendidikan
subjek penelitian dengan jenis kelamin
Institusi pendidikan sebaiknya
perempuan.
memasukkan sebagai materi pelajaran
3. Hasil uji statistik deskriptif diketahui
dalam kegiatan perkuliahan.
bahwa pada uji pretest nilai suhu tubuh
rata-rata yang didapatkan sebesar 34,56

11
4. Bagi Peneliti Lain Krisnoadi Erwin, 2017, Penggunaan
Anestesi Regional Pada Kasus
Penelitian ini dapat dikembangkan Trauma.
untuk penelitian selanjutnya. Kusumasari Nur Hesti, IG Ngurah Ra
5. Bagi Peneliti Artika, Djayanti Sari, 2013,
Daya Guna Pethidin 0,1
Dapat menjadi dasar dalam Mg/KgBB dan 0,2 Mg/KgBB
pengembangan ilmu dan keterampilan Intrathekal sebagai Adjuvent
bagi peneliti. Bupivacain 0,5% 10 Mg Dalam
Mencegah Shivering Pada
V. DAFTAR PUSTAKA Sectio Caesaria, Jurnal
Arifin J, Arif Sanjaya Y, 2012, Komplikasi Anestesi, BMC
Perbandingan Efektifitas Anesthesiology.
Ondancentron dan Tramadol
Intravena Dalam Mencegah Lopez Maria Bermudez, 2018, Post
Menggigil Pasca Anestesi Umum, Anesthetic Shivering from
Medika Hospital. Pathophysiology to Prevention,
Romanian Journal of
Butterworth, John F, David C Mackey,
John D Washnic, Morgan and Anesthesia and Intensive Care.
Mikhail’s, 2011, Clinical Luggya Tony Stone Richard Nicholas
Anesthesiologi, 5th edition, Mc
Kabuye, Cephas Mijumbi,
Glaw Hall.
Joseph Bahe, Tindim Webwa,
Guyton dan Hall, 2014, Buku Ajar 2016, Prevalence, Associated
Fisiologi Kedokteran, edisi 11, Factors and Treatment of Post
Penerbit Buku Kedokteran, ECG. Spinal Shiveringin a Sub
Harahap, 2014, Angka Kejadian Saharan Tertiary Hospital : a
Hipotermia dan Lama Perawatan Prospective Observational
di Ruang Pemulihan pada Pasien Study, BMC Anesthesiology,
Geriatri Pasca Operasi di Rumah DOI 10.1186/s12871-061-0268-
Sakit Bandung, Bandung Jurnal 0.
Anestesi Perioperatif, Vol 2.
Mashitoh Dewi, Ni Ketut Mendri, Abdul
Hayati Mardhiyah, Kenangan Marwan Majid, 2018, Lama Operasi dan
Sikumbang, Ahmad Husairi, 2015, Kejadian Shivering Pada Pasien
Gambaran Angka Kejadian Pasca Spinal Anestesi, Jurnal
Komplikasi Pasca Anestesi Spinal Keperawatan Terapan, Vol. 4, No.
Pada Pasien Seksio Sesaria. 1.
Kozier. Erb. Berman. Snyder, 2011, Buku Minarsih Rini, 2013, Efektifitas Pemberian
Ajar Fundamental Keperawatan, Elemen Penghangat Cairan
Konsep, Proses dan Praktik Intravena Dalam Menurunkan
Penerbit Buku Kedokteran, Vol. 1, Gejala Hipotermia Pasca Bedah,
Es.7, EGC. Jurnal Keperawatan, ISSN, 2086 –
3071.

12
Nugroho, 2016, Keperawatan Gerontik
dan Geriatrik, EGC, Jakarta.
Rositasari Shinta Mulyanto, Vitri Diah,
2017, Efektifitas Pemberian
Blanket WarmerPada Pasien
Sectio Caesaria Yang Mengalami
Hipotermi di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Surakarta, Jurnal
Ilmu Keperawatan Indonesia, Vol.
10, No.1.
Sasongko Himawan, 2015, Perbandingan
Efektifitas Antara Tramadol dan
Meperidin Untuk Pencegahan
Menggigil Pasca Anestesi Umum,
Jurnal Anestesiologi Indonesia,
Vol 7, No. 3.
Sesler, et, al, 2011, Shivering Post
Anesthesia, diakses tanggal 03
Februari 2015, pada
http://www.cszmedical.com.
Susilowati Andri, Sri Hendarsih, Jenita
Dolli Tine Donsu, 2017, The
Correlation of Body Mass Index
with Shivering of Spinal Anesthesic
Patients in RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta.

Suswitha Dessy, 2018, Efektifitas


Penggunaan Electric – Blanket
pada Pasien yang Mengalami
Hipotermi Post Operasi di
Instalasi Bedah Sentral (IBS)
Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang Bari, Jurnal Ilmiah
Kesehatan, Volume 8 No. 1.
Woolnough, M, Allam, J. Hemingway, C.
Cox,M, & Yentis, SM 2009, Intra
– Operative Fluid Warming in
Elective Caesarean Section :
Randomized Controlled Trial,
International Journal of Obstetric
Anesthesia, Vol 8, Issue 4.

13

Anda mungkin juga menyukai