Anda di halaman 1dari 8

0

PENGARUH SHIVERING PADA PSIEN POST OPERASI


DIRUANG OPERASI DI RSU KUMALA SIWI KUDUS

Proposal Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Ujian Akhir


Program Pendidikan S1 Keperawatan
di Universitas Muhammadiyah Kudus

Oleh :
DEWI RAHMAWATI
NIM.

Pembimbing:
1. DEWI HARTINAH,S.Kep.Ns.,M.Si.Med
2. UMI FARIDAH,S.kep.,Ners.MNS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2019

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
1

Shivering adalah salah satu efek samping anestesi umum dan

epidural. insiden menggigil dapat mencapai 65% (5%-65%) pasca anestesi

umum dan 33% pasca anestesi epidural. faktor risiko menggigil adalah jenis

kelamin pria dan jenis obat induksi anestesi yang digunakan (indsiden

shivering lebih tinggi pada propofol dari pada thiopental ).


Shivering selama pembedahan biasanya berhubungan dengan

penurunan suhu tubuh pasien. pada pasien hipotermik. menggigil

merupakan akibat proses termorgulasi fisiologis. pada pasien normotermik,

diduga akibat otak dan medula spinalis tidak pulih secara bersamaan dari

anestesi umum. Pemulihan fungsi medula yang lebih cepat mengakibatkan

tidak adanya hambatan terhadap refleks spinal yang dimenfaestasikan

sebagai aktivitas klonik. teori ini di dukung oleh fakta dahwa doxapra,

stimulan sistem saraf pusat, efektif dalam mengatasi menggigil selama

pembedahan.( j.clin anesth. 2016)


shivering juga meningkatkan konsumsi oksigen dan potensi

merugikan pasien dengan riwayat penyakit jantung. penghangat aktif dapat

digunakan sebelum operasi dan diruang opersi untuk mencegah hipotermi.


Kejadian shivering lebih banyak ditemukan pada responden yang

menjalani operasi besar (>60 menit). Hal ini sesuai dengan teori yang

menyatakan bahwa menggigil merupakan respon terhadap hipotermia selama

pembedahan antara suhu darah dan kulit dengan suhu inti tubuh. Pembedahan

dengan spinal anestesi yang lama meningkatkan terpaparnya tubuh dengan

suhu dingin sehingga menyebabkan perubahan temperatur tubuh (Putzu, et

al., 2007)
Sebuah penelitian menjelaskan adanya hubungan lama durasi anestesi

dan operasi dengan timbulnya hipotermia. Makin lama durasi anestesi dan
2

operasi, maka suhu tubuh dapat semakin rendah sehingga dapat memicu

terjadinya shivering (Vanessa et al., 2009)

Pembedahan diklasifikasikan sebagai bedah mayor atau minor sesuai

dengan derajat resiko klien. Bedah mayor merupakan pembedahan dengan

derajat resiko tinggi dan dapat dilakukan untuk berbagai alasan yaitu

pembedahan mungkin memiliki komplikasi atau lama, kehilangan darah

dalam jumlahbesar mungkin dapat terjadi. Untuk bedah minor memiliki resiko

tapi kecil (Kozier, Erb, Berman, Snyder 2016).


Data World Health Organization (WHO) Diperkirakan setiap tahun ada

230 juta operasi utama dilakukan di seluruh dunia, satu untuk setiap 25

orang hidup (Haynes, et al. 2017). Penelitian di 56 negara dari 192 negara

anggota WHO tahun 2004 diperkirakan 234,2 juta prosedur pembedahan

dilakukan setiap tahun berpotensi komplikasi dan kematian (Weiser, et al.

2008). (WHO, 2016).


shivering juga meningkatkan konsumsi oksigen dan potensi

merugikan pasien dengan riwayat penyakit jantung. penghangat aktif dapat

digunakan sebelum operasi dan diruang opersi untuk mencegah hipotermi.


Keluhan yang sering timbul akibat dari tindakan operasi yaitu nyeri

(Muttaqin, 2014). Salah satu manifestasi klinik pada pasien post operasi

yang paling menonjol adalah nyeri. Nyeri akut adalah pengalaman sensori

dan emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan

yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan

sedemikian rupa (Nurarif, 2012).


Menurut penelitian yang dilakukan Sommer et al(2008) prevalensi

pasien post operasi mayor yang mengalami nyeri sedang sampaiberat

sebanyak 41% pasien post operasi pada hari ke 0, 30 % pasien padake 1,

19 % pasien pada hari ke 2, 16 % pasien padahari ke 3 dan 14 % pasien


3

padahari ke4. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sandika et al,

(2015) yang menyatakan bahwa 50% pasien post operasi mengalami nyeri

berat dan 10% pasien mengalami nyeri sedang sampai berat.


Apabila nyeri pada pasien post operasi tidak segera ditangani akan

mengakibatkan proses rehabilitasi pasien akan tertunda, hospitalisasi pasien

menjadi lebih lama, tingkat komplikasi yang tinggi dan membutuhkan lebih

banyak biaya. Hal ini karena pasien memfokuskan seluruh perhatiannya

pada nyeri yang dirasakan (Smeltzer &Bare, 2008). Selain itu juga nyeri

dapat mengakibatkan pasien mengalami gelisah, imobilisasi, menghindari

kontak sosial, penurunan rentang perhatian, stres dan ketegangan yang

akan menimbulkan respon fisik dan psikis (IASP, 2012; Potter & Perry,

2006).
Menurut penelitian yang dilakukan Sommer et al (2016) prevalensi

pasien post operasi mayor yang mengalami nyeri sedang sampaiberat

sebanyak 41% pasien post operasi pada hari ke 0,30 % pasien pada ke 1,

19 % pasien pada hari ke 2, 16 % pasien padahari ke 3 dan 14 % pasien

pada hari ke 4. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sandika et

al, (2015) yang menyatakan bahwa 50% pasien post operasi mengalami

nyeri berat dan 10% pasien mengalami nyeri sedang sampai berat.Nyeri

post operasi yang dirasakan pasiendipengaruhi oleh beberapa faktor antara

lain yaitu usia, jenis kelamin, perhatian, kebudayaan, makna nyeri,

ansietas,keletihan, gaya koping dan dukungan keluarga (Potter &Perry,

2016).
Untuk mengurangi nyeri, diperlukan tindakan manajemen nyeri

farmakologi dan non-farmakologi. Managemen nyeri adalah salah satu

bagian dari displin ilmu medis yang berkaitan dengan upaya-upaya

menghilangkan nyeri atau pain relief (Pratintya, 2014). Bebarapa manajemen


4

nyeri keperawatan adalah mengatur posisi fisiologis dan imobilisasi

ekstremitas yang mengalami nyeri, mengistirahatkan pasien, kompres,

manajemen lingkungan, teknik relaksasi nafas dalam, teknik distraksi,

manajemen sentuhan (Muttaqin, 2011). Terapi non farmakologis dapat

digunakan sebagai pelengkap untuk mendapatkan efek pengobatan

farmakologis yang lebih baik.


Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Instalasi Bedah Sentral

Rumah Sakit Umum Kumala Siwi Kudus, didapatkan informasi bahwa pada

bulan Oktober – November 2019 terdapat 50 pasien pasca operasi.

Umumnya perawat Pencegahan atau penanganan shivering masih belum

cukup, terlihat dengan tersedianya satu buah selimut penghangat di ruang

pemulihan, sehingga jika terdapat lebih dari satu pasien yang mengalami

shivering maka selimut harus dipakai bergantian


Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul Hubungan Suhu Ruang Operasi Dengan

Kejadian Shivering Pada Pasien Post Operasi Di RSU Kumala Siwi Kudus”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalh

sebagai berikut “Bagaimana Perbandingan Dari Hubungan Suhu Ruang di

Ruang Opersi Pada Kejadian Shivering Pada Pasien Post Operasi Di RSU

Kumala Siwi Kudus?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
5

Mengetahui hubungan suhu ruang operasi dengan kejadian

shivering pada pasien post operasi Di Rsu Kumala Siwi Kudus.

2. Tujuan Khusus

a. Mendiskripsikan Faktor Lama Operasi Dengan Terjadinya

Shivering Pada Pasien Post Operasi Di Rsu Kumala Siwi Kudus.

b. Mendiskripsikan Faktor Usia Dengan Terjadinaya

Shivering Pada Pasien Post Operasi Di Rsu Kumala Siwi Kudus.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Instansi Kesehatan (Rumah Sakit)

Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun prosedur preventif

berkaitan dengan hubungan suhu ruang opersi dengan kejadian shivering

pada pasien post operasi.

2. Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan

Memberikan referensi kepada sumbangan ilmu keperawatan

tentang hubungan suhu ruang opersi dengan kejadian shivering pada pasien

post operasi.

3. Bagi Universitas Muhammadiyah

Sebagai referensi untuk menambah wawasan dan pengetahuan

tentang hubungan suhu ruang opersi dengan kejadian shivering pada pasien

post operasi.

4. Bagi Peneliti

Untuk mengembangkan dan memperluas wawasan di bidang

pelayanan keperawatan pasien dengan hubungan suhu ruang opersi dengan

kejadian shivering pada pasien post operasi.


6

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang sejenis dengan judul “ hubungan suhu ruang opersi

dengan kejadian shivering pada pasien post operasi.” belum pernah diteliti

sebelumnya. Adapun penelitian yang sejenis yaitu sebagai berikut:

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis

penelitian observasional analitik dan desain menggunakan studi potong lintang

(cross sectional). Tempat penelitian di ruangan IBS RSUD Kota Yogyakarta

dan dilakukan pada tanggal 2-24 Juni 2017. Instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini berupa lembar observasi untuk mencatat lama tindakan operasi

dan lembar observasi Corssley&Mahajan untuk mengamati kejadian shivering

yang terjadi pada pasien post operasi di IBS RSUD Kota Yogyakarta. Peneliti

dibantu oleh satu orang asisten peneliti yaitu perawat anestesi di IBS RSUD

Kota Yogyakarta yang membantu sejak pemberian informed consent

praoperasi sampai observasi di ruang pemulihan selama 30 menit setiap pasien

Karakteristik F %
responden
Usia
26-35 tahun 10 25
36-45 tahun 8 20
56-55 tahun 22 25
jumlah 40 100
JENIS
KELAMIN 24 60
LAKI-LAKI 16 40
PEREMPUAN

F. Ruang Lingkup Penelitian


7

1. Ruang Lingkup Materi

Masalah yang dikaji adalah mengenai Perbandingan Posisi

Supinasi Dan Elevasi 300 Terhadap Keluhan Nyeri Pada Pasien Post

Operasi Di Rsu Kumala Siwi Kudus.

2. Ruang Lingkup Waktu

Waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan Desember 2019.

3. Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini akan dilakukan di RSU Kumala Siwi Kudus.

Anda mungkin juga menyukai