Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembedahan atau operasi merupakan tindakan invasif dengan membuka

bagian tubuh untuk perbaikan.Pembedahan biasanya diberikan anestesi untuk

pengelolaan nyeri, tanda vital, juga dalam pengelolaan perioperatif untuk

mendukung keberhasilan pembedahan (Sjamsuhidajat dan Wim De Jong, 2010).

Operasi atau pembedahan adalah suatu penanganan medis secara invasif yang

dilakukan untuk mendiagnosa atau mengobati penyakit, injuri, atau deformitas

tubuh yang akan mencederai jaringan yang dapat menimbulkan perubahan

fisiologis tubuh dan mempengaruhi organ tubuh lainnya. Pembukaan bagian tubuh

ini umumnya dilakukan dengan membuka sayatan. Berdasarkan data yang

diperoleh dari World Health Organization (WHO) jumlah pasien dengan tindakan

operasi mencapai angka peningkatan yang sangat signifikan dari tahun ke tahun.

Tercatat di tahun 2011 terdapat 140 juta pasien di seluruh rumah sakit di dunia,

sedangkan pada tahun 2012 data mengalami peningkatan sebesar 148 juta jiwa,

sedangkan untuk di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 1,2 juta

jiwa(Sartika,2013).

Berdasarkan data riskesdas tahun 2014 untuk data tahun 2012 sendiri jumlah

kasus pembedahan tetap mengalami peningkatan hingga mencapai 75,12 juta

kasus, dan tahun 2014 terjadi peningkatan hingga mencapai 78,25 juta kasus

pembedahan. RSUD Sawahlunto merupakan satu-satunya rumah sakit di kota

Sawahlunto, menurut data yang penulis dapatkan dari medical record RSUD
Sawahlunto, pada tahun 2018 terdapat 938 kasus pembedahan, dan pada tahun

2019 dari bulan januari – oktober terdapat 712 kasus pembedahan.

Komplikasi pasca pembedahan sering terjadi dikarenakan perbedaan kondisi

tubuh masing-masing pasien. menurut Majid, (2011) komplikasi post operasi

adalah perdarahan dengan manifestasi klinis yaitu gelisah, gundah, terus bergerak,

merasa haus, kulit dingin-basah-pucat, nadi meningkat, suhu turun (hipotermia),

pernafasan cepat dan dalam, bibir dan konjungtiva pucat dan pasien melemah.

Hipotermia adalah keadaan suhu inti tubuh dibawah 36ºC (normotermi: 36,6º

C-37,5ºC) (Guyton & Hall, 2008). Hipotermia merupakan suatu kondisi

kedaruratan medis yang dapat timbul ketika tubuh kehilangan panas lebih cepat

daripada produksi panas. Ketika suhu tubuh turun, sistem saraf dan organ lain

tidak dapat bekerja normal. Jika tidak ditindaklanjuti, hipotermia akhirnya dapat

menyebabkan kegagalan jantung dan sistem pernapasan, dan bahkan kematian

Hipotermia mempengaruhi beberapa sistem organ. Hipotermia pada awalnya

menyebabkan kenaikan laju metabolisme, pada sistem kardiovaskuler terjadi

takikardia, resistensi pembuluh darah perifer untuk menghasilkan mengigil

maksimal. Hipotermia juga menyebabkan penurunan denyut jantung sehingga

kontraktilitas ventrikel menurun dan menyebabkan penurunan tekanan darah.

Resiko terjadi fibrilasi ventrikel meningkat pada suhu dibawah 280 C. Sistem

respirasi pada awalnya mengalami takipneu, apabila berlanjut bisa terjadi

bradipneu dan retensi karbondioksida sehingga kulit menjadi sianosis.

Metabolisme otak menurun 6-7% setiap 10C penurunan suhu, yang

mengakibatkan tingkat penurunan kesadaran, tidak respon terhadap nyeri, pada


hipotermia berat seseorang memperlihatkan gejala seperti kematian (Potter &

Perry, 2009).

Hipotermi terjadi karena agen dari obat anestesi menekan laju metabolisme

oksidatif yang menghasilkan panas tubuh, sehingga mengganggu regulasi panas

tubuh (Hujjatulislam, 2015). Hipotermi sebagai komplikasi pasca anestesi

tercepat selama 24 jam pertama setelah tindakan operasi yaitu 10-30%, hal ini

dipengaruhi akibat dari tindakan intraoperative yaitu pemberian cairan yang

dingin, inhalasi gas-gas dingin, luka terbuka pada tubuh, aktivitas otot yang

menurun, usia lanjut atau obat-obatan yang digunakan pada anestesi (Press,

2013).

Hipotermi dapat diartikan suhu tubuh kurang dari 360C (Tamsuri, 2007).

Setiap pasien yang menjalani operasi berada dalam risiko mengalami kejadian

hipotermi (Setiyanti, 2016). Pada penelitian yang dilakukan oleh Harahap (2014)

di RS Hasan Sadikin Bandung, telah membuktikan dampak negatif hipotermi

terhadap pasien, antara lain risiko perdarahan meningkat, iskemia miokardium,

pemulihan pasca anestesi yang lebih lama, gangguan penyembuhan luka, serta

meningkatnya risiko infeksi.

Pengobatan pasien hipotermi harus mencakup ekspansi volume, dukungan

cardiopulmonary, dan rewarming (pemanasan). Beberapa intervensi untuk

rewarming pemanasan aktif maupun pasif. Pemanasan pasif melibatkan isoloasi

efektif pasien, memungkinkan panas spontan pasien untuk mengembalikan suhu

tubuh. Untuk pemanasan aktif ada dua macam yaitu pemanasan internal aktif dan

pemanasan eksternal aktif. Pemanasan internal aktif adalah penggunaan elemen


penghangat cairan intravena (blood/infusion warmer) dan untuk pemanasan

eksternal aktif menggunakan selimut kain, selimut panas yang diberi udara yang

dihangatkan.

Selimut panas adalah selimut yang dirancang untuk memberikan kehangatan

dan kenyamanan pada pasien yang mengalami hipotermia, biasanya selimut ini

dioperasionalkan dengan menggunakan tenaga listrik atau baterai. Selimut hangat

biasa juga disebut elektrik blangket atau blangket warmer, mempunyai pengaturan

suhu dan waktu penggunaan sesuai yang dibutuhkan.

Hasil penelitian Dessy suswitha (2018) tentang efektifitas penggunaan electric

blangket pada pasien yang mengalami hipotermia post operasi di instalsi bedah

sentral (Ibs) rumah sakit umum daerah Palembang Bari adalah rata-rata waktu

yang diperlukan untuk mencapai suhu normal pada kelompok intervensi dengan

electric blangket adalah 15,9 menit (95% CI: 14,89-16,92), dengan standar deviasi

1,5 menit. Sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata waktu yang dibutuhkan

untuk kembali ke suhu normal adalah 26,7 menit (95% CI: 25,77-27,68). Dari

hasil penelitian tersebut jelas terlihat electric blangket lebih efektif daripada

selimut biasa.

Ruangan Pacu bedah sentral RSUD Sawahlunto memiliki selimut panas

tersebut dan sering digunakan pada pasien hipotermia post operasi. Dari data

operasi bulan Oktober 2019 terdapat 60 kasus pembedahan dan pasien yang

mengalami hipotermia hampir 65% yaitu 40 kasus hipotermia, untuk mengatasi

hipotermi tersebut dilakukan berbagai terapi seperti terapi farmakologi, pemberian

cairan, penyinaran, pemakaian selimut biasa dan pemakaian blangket warmer.


Dari survei awal yang penulis lakukan di ruangan pacu bedah sentral RSUD

Sawahlunto terhadap 6 responden, dengan pembagian 3 grup kontrol yang diberi

selimut biasa dan 3 grup intervensi yang diberi selimut panas. Dari hasil survei

awal tersebut didapatkan hasil pada kelompok intervensi waktu yang dibutuhkan

untuk kembali ke suhu normal berkisar 15-20 menit. Pada grup kontrol waktu

yang dibutuhkan untuk kembali ke suhu normal berkisar 25-37 menit.

Dari kasus diatas penulis tertarik meneliti “ Efektifitas penggunaan Selimut

Panas terhadap perubahan suhu tubuh pada pasien hipotermia post operasi

di ruangan Pacu bedah sentral RSUD Sawahlunto tahun 2019”.

B. Rumusan Masalah

Hipotermia merupakan komplikasi post operasi yang bisa membahayakan

pada pasien, oleh karena itu rumusan masalah pada penelitian ini adalah

keefektifan blangket warmer terhadap perubahan suhu tubuh pada pasien

hipotermia post operasi diruangan Pacu bedah sentral RSUD sawahlunto tahun

2019.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektifitas pemggunaan blangket warmer terhadap

perubahan suhu tubuh pasien hipotermia post operasi diruangan Pacu bedah

sentral RSUD Sawahlunto.


2. Tujuan khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi suhu tubuh pasien post operasi pada kelompok

kontrol di ruangan Pacu bedah sentral RSUD Sawahlunto.

b. Mengetahui distribusi frekuensi suhu tubuh pasien post operasi pada kelompok

intervensi di ruangan Pacu bedah sentral RSUD Sawahlunto

c. Mengetahui efektifitas pemakaian blangket warmer pada pasien hipotermi post

operasi diruangan Pacu bedah sentral RSUD Sawahlunto.

D. Manfaat penelitian

1. Bagi RSUD Sawahlunto

Penulis berharap hasil penelitian ini nantinya bisa menjadi bahan masukan

bagi RSUD Sawahlunto untuk meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya di

ruangan Pacu bedah sentral RSUD Sawahlunto.

2. Bagi institusi pendidikan

Penulis berharap hasil penelitian ini bisa menambah referensi bagi

perpustakaan Stikes Syedza saintika Padang.

3. Bagi peneliti Selanjutnya

Penulis berharap hasil penelitian ini bisa menjadi referensi bahan penelitian

dan bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.


E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas tentang keefektifan penggunaan selimut panas pada

pasien hipotermia post operasi di ruangan pacu bedah sentral RSUD Sawahlunto.

Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Merode yang

digunakan adalah pretest posttet control grup design, dimana terdapat dua grup

kontrol dan grup intervensi. Hasil penelitian diolah dengan sistim komouterisasi

dengan menggunakan SPSS.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Hipotermia

1. Defenisi

Hipotermia adalah keadaan dimana suhu inti tubuh di bawah batas normal

fisiologis. Hipotermia yang tidak diinginkan mungkin dialami oleh pasien akibat

suhu yang rendah diruang operasi, infus dengan cairan yang dingin, inhalasi gas-

gas yang dingin, kavitas atau luka terbuka pada tubuh, aktivitas otot yang

menurun, usia yang lanjut atau agen obat-obatan yang digunakan. Hipotermia juga

dapat secara tidak diinginkan terjadi pada prosedur bedah tertentu untuk

mengurangi laju metabilik pasien (Brunner & Suddart, 2002).

Hipotermia adalah suatu kondisi suhu tubuh yang berada di bawah rentang

normal tubuh. (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016). Pengaturan suhu tubuh hampir

seluruhnya dilakukan oleh mekanisme umpan balik saraf, dan hampir semua

mekanisme ini bekerja melalui pusat pengaturan suhu yang terletak pada

hipotalamus. Mekanisme umpan balik ini akan bekerja membutuhkan detector

suhu, untuk menentukan bila suhu tubuh terlalu panas atau dingin. Panas akan

terus menerus dihasilkan dalam tubuh sebagai hasil sampingan metabolisme dan

panas tubuh juga secara terus menerus dibuang ke lingkungan sekitar (Guyton,

2007).

Hipotermi adalah keadaan klinis suhu tubuh subnormal dimana produksi

panas tidak cukup untuk menyediakan energi agar tubuh berfungsi. Didefinisikan

sebagai suhu tubuh < 36 ˚C, seringkali terjadi selama anestesi dan pembedahan.
Dibawah suhu ini, shivering dan respon otonom tidak mampu berkompensasi

secara komplit tanpa bantuan penghangatan (Stoelting, Hillier, 2006; Miller,

2010).

2. Mekanisme Pengaturan Suhu Tubuh

Mekanisme fisiologis dan perilaku meregulasi keseimbangan suhu tubuh.

Supaya suhu tubuh selalu stabil dan selalu berada dalam batas yang normal.

Hipotalamus yang terletak diantara hemisfer serebral, mengatur suhu inti tubuh.

Suhu lingkungan sangat nyaman atau setara dengan set point maka hipotalamus

akan berespon sangat ringan dan sedikit, sehingga suhu akan mengalami

perubahan yang ringan dan relatif stabil. Hubungan antara produksi dan

pengeluaran panas harus dipertahankan. Hubungan diregulasi melalui mekanisme

neurologis dan kardiovaskuler. Hipotalamus anterior mengendalikan panas yang

keluar, dan hipotalamus mengendalikan panas yang dihasilkan. Penurunan suhu

tubuh terjadi karena sel syaraf di hipotalamus anterior menjadi lebih panas

melebihi set point. Gangguan atau perubahan pada pengaturan suhu yang sangat

fatal dapat terjadi pada kondisi dimana adanya lesi dan trauma pada hipotalamus

atau korda spinalis. Berkeringat, vasodilatasi pembuluh darah, dan hambatan

produksi panas merupakan suatu mekanisme pengeluaran panas. Mekanisme

konversi panas mulai bekerja, apabila hipotalamus posterior merespon suhu tubuh

lebih rendah dari set point Proses menggigil terjadi pada tubuh apabila

ketidakefektifan vasokontriksi pembuluh darah dalam mengurangi tambahan

pengeluaran panas. Distribusi darah ke kulit dan ekstermitas berkurang karena


terjadinya Vasokontriksi pembuluh darah. Kontraksi otot volunter dan gerakan

pada otot merangsang atau merupakan kompensasi pergantian produksi panas

(Guyton & Hall, 2008).

Pusat pengaturan suhu tubuh pada hipotalamus distimulasi oleh dua

termoreseptor. Termoresepror tersebut yaitu termoreseptor perifer kulit dan

termoreseptor sentral (terdapat di hipotalamus, sistem saraf pusat, organ

abdomen). Pada pengaturan suhu tersebut mengatur produksi dan pelepasan panas

dalam tubuh. Tubuh menghasilkan panas dengan cara adaptasi perilaku (aktivitas,

konsumsi makanan, dan perubahan emosi) dan pergerakan tonus otot/ menggigil.

Hilangnya panas dilakukan dengan salah satu cara berkeringat dan berubahnya

pembuluh darah dengan vasokontriksi menjadi vasodilatasi.

3. Etiologi dan Predisposisi

Menurut Tanto (2014) berdasarkan etiologinya hipotermia dapt dibagi

menjadi:

a. Hipotermia primer, apabila produksi panas dalam tubuh tidak dapat

mengimbangi adanya stress dingin, terutama bila cadangan energi dalam

tubuh berkurang. Kelainan panas dapat terjadi melalui mekanisme radiasi

(55%-65%), konduksi (10-15%), konveksi, respirasi dan evaporasi.

Pemahaman ini membedakan antara hipotermia dengan Frost bite (cedera

jaringan akobat kontak fisik dengan benda/zat dingin. Biasanya < 0 C).
b. Hipotermia sekunder, adanya penyakit atau pengobatan tertentu yang

menyebabkan penurunan suhu tubuh. Berbagai kondisi yang menyebabkan

hipotermi, yaitu:

1) Penyakit endokrin (hipoglikemia, hipotiroid, penyakit addison, Diabetes

melitus dan lain-lain)

2) Penyakit kardiovaskuler ( infark miokard, gagal jantung kongestif, dan

lain-lain)

3) Penyakit neurologis (cedera kepala, tumor, cedera tulang belakang, dan

lain-lain)

4) Obat-obatan (alkohol, sedatif, klonisin, neuroleptik)

Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016b) penyebab hipotermia yaitu:

a. Kerusakan Hipotalamus

b. Berat Badan Ekstrem

c. Kekurangan lemak subkutan

d. Terpapar suhu lingkungan rendah

e. Malnutrisi

f. Pemakaian pakaian tipis

g. Penurunan laju metabolisme

h. Transfer panas ( mis. Konduksi, konveksi, evavorasi, radiasi)

i. Efek agen farmakologis


4. Klasifikasi Hipotermia

Menurut O’Connel et al. (2011), hipotermi dapatdiklasifikasikan menjadi 3,

yaitu:

1) Ringan

Suhu antara 32-35°C, kebanyakan orang bila berada pada suhu ini

akan menggigil secara hebat, terutama di seluruh ekstremitas. Bila suhu

lebih turun lagi, pasien mungkin akan mengalami amnesia dan disartria.

Peningkatan kecepatan nafas juga mungkin terjadi.

2) Sedang

Suhu antara 28–32°C, terjadi penurunan konsumsi oksigen oleh sistem

saraf secara besar yang mengakibatkan terjadinya hiporefleks,

hipoventilasi, dan penurunan aliran darah ke ginjal. Bila suhu tubuh

semakin menurun, kesadaran pasien bisa menjadi stupor, tubuh kehilangan

kemampuannya untuk menjaga suhu tubuh, dan adanya risiko timbul

aritmia.

3) Berat

Suhu <28°C, pasien rentan mengalami fibrilasi ventrikular, dan

penurunan kontraksi miokardium, pasien juga rentan untuk menjadi koma,

nadi sulit ditemukan, tidak ada refleks, apnea, dan oliguria.

5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipotermia

Menurut Putri (2017) Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipotermi di

kamar operasi adalah:


1) Suhu kamar operasi

Paparan suhu ruangan operasi yang rendah juga dapat mengakibatkan

pasien menjadi hipotermi, hal ini terjadi akibat dari perambatan antara suhu

permukaan kulit dan suhu lingkungan. Suhu kamar operasi selalu

dipertahankan dingin (20– 240C) untuk meminimalkan pertumbuhan

bakteri.

2) Luasnya luka operasi

Kejadian hipotermi dapat dipengaruhi dari luas pembedahan atau jenis

pembedahan besar yang membuka rongga tubuh, misal pada operasi

ortopedi, rongga toraks atau. Operasi abdomen dikenal sebagai penyebab

hipotermi karena berhubungan dengan operasi yang berlangsung lama,

insisi yang luas, dan sering membutuhkan cairan guna membersihkan

ruang peritoneum.

3) Cairan

Faktor cairan yang diberikan merupakan salah satu hal yang

berhubungan dengan terjadinya hipotermi. Pemberian cairan infus dan

irigasi yang dingin (sesuai suhu ruangan) diyakini dapat menambah

penurunan temperatur tubuh (Madjid, 2014). Cairan intravena yang dingin

tersebut akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan mempengaruhi suhu inti

tubuh (core temperature) sehingga semakin banyak cairan dingin yang

masuk pasien akan mengalami hipotermi (Butwick et al, 2007).


4) Usia

Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu

makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Secara biologis, Depkes

(2009) membagi golongan usia menjadi:

a) Masa balita (0-5 tahun)

b) Masa kanak-kanak (5-11 tahun)

c) Masa remaja awal (12-16 tahun)

d) Masa remaja akhir (17-25 tahun)

e) Masa dewasa awal (26-35 tahun)

f) Masa dewasa akhir (36-45 tahun)

g) Masa lansia awal (46-55 tahun)

h) Masa lansia akhir (56-65 tahun)

i) Masa manula (65 sampai ke atas)

5) Indeks Massa Tubuh (IMT)

Metabolisme seseorang berbeda-beda salah satu diantaranya

dipengaruhi oleh ukuran tubuh yaitu tinggi badan dan berat badan yang

dinilai berdasarkan indeks massa tubuh yang merupakan faktor yang dapat

mempengaruhi metabolisme dan berdampak pada sistem termogulasi

(Guyton, 2008). Apabila manusia berada dilingkungan yang suhunya lebih

dingin dari tubuh mereka,mereka akan terus menerus menghasilkan panas

secara internal untuk mempertahankan suhu tubuhnya, pembentukan panas

tergantung pada oksidasi bahan bakar metabolik yang berasal dari


makanan dan lemak sebagai sumber energi dalam menghasilkan panas

(Ganong, 2008).

6) Jenis Kelamin

Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-

laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh

laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma,

sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu

untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi

biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara

keduanya, dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada

segala ras yang ada di muka bumi (Hungu, 2007).

Pada penelitian Harahap (2014), mendapatkan hasil bahwa kejadian

hipotermi lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu 51,2% dibanding

laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Rosjidi & Isro’ain (2014) juga

mendapatkan hasil bahwa perempuan lebih rentan terserang penyakit/

komplikasi daripada laki-laki.

7) Obat anestesi

Pada akhir anestesi dengan thiopental, halotan, atau enfluran kadang-

kadang menimbulkan hipotermi sampai menggigil. Hal itu disebabkan

karena efek obat anestesi yang menyebabkan gangguan termoregulasi

(Aribowo, 2012).
8) Lama operasi

Lama tindakan pembedahan dan anestesi bepotensi memiliki pengaruh

besar khususnya obat anestesi dengan konsentrasi yang lebih tinggi dalam

darah dan jaringan (khususnya lemak), kelarutan, durasi anestesi yang

lebih lama, sehingga agen-agen ini harus berusaha mencapai

keseimbangan dengan jaringan tersebut (Chintamani, 2008).

Induksi anestesi mengakibatkan vasodilatasi yang menyebabkan proses

kehilangan panas tubuh terjadi secara terus menerus. Panas padahal

diproduksi secara terus menerus oleh tubuh sebagai hasil dari

metabolisme. Proses produksi serta pengeluaran panas diatur oleh tubuh

guna mempertahankan suhu inti tubuh dalam rentang 36-37,5oC (Putzu,

2007).

Durasi pembedahan yang lama, secara spontan menyebabkan tindakan

anestesi semakin lama pula. Hal ini akan menimbulkan efek akumulasi

obat dan agen anestesi di dalam tubuh semakin banyak sebagai hasil

pemanjanan penggunaan obat atau agen anestesi di dalam tubuh. Selain

itu, pembedahan dengan durasi yang lama akan menambah waktu

terpaparnya tubuh dengan suhu dingin (Depkes RI, 2009).

9) Jenis operasi

Jenis operasi besar yang membuka rongga tubuh, misal pada operasi

rongga toraks, atau abdomen, akan sangat berpengaruh pada angka

kejadian hipotermi. Operasi abdomen dikenal sebagai penyebab hipotermi

karena berhubungan dengan operasi yang berlangsung lama, insisi yang


luas dan sering membutuhkan cairan guna membersihkan ruang

peritoneum. Keadaan ini mengakibatkan kehilangan panas yang terjadi

ketika permukaan tubuh pasien yang basah serta lembab, seperti perut

yang terbuka dan juga luasnya paparan permukaan kulit (Buggy &

Crossley, 2000).

B. Tatalaksana Hipotermia

1. Penatalaksanaan Hipotermia

Tujuan intervensi adalah untuk meminimalkan atau membalik proses

fisiologis. Pengobatan mencakup pemberian oksigen, hidrasi yang adekuat, dan

nutrisi yang sesuai. Menurut Setiati et al. (2008), terdapat 3 macam teknik

penghangatan yang digunakan, yaitu:

1) Penghangatan eksternal pasif

Teknik ini dilakukan dengan cara menyingkirkan baju basah kemudian tutupi

tubuh pasien dengan selimut atau insulasi lain.

2) Penghangatan eksternal aktif

Teknik ini digunakan untuk pasien yang tidak berespon dengan penghangatan

eksternal pasif (selimut penghangat, mandi air hangat atau lempengan pemanas),

dapat diberikan cairan infus hangat IV (suhu 39o – 40oC) untuk menghangatkan

pasien dan oksigen.

3) Penghangatan internal aktif.

Ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain irigasi ruang pleura

atau peritoneum, hemodialisis dan operasi bypass kardiopulmonal. Dapat pula


dilakukan bilas kandung kemih dengan cairan NaCl 0,9% hangat, bilas lambung

dengan cairan NaCl 0,9% hangat (suhu 40o – 45oC) atau dengan menggunakan

tabung penghangat esophagus.

2. Selimut Panas (Blangket Warmer)

a. Defenisi

Blanket Warmer merupakan suatu alat untuk menjaga kestabilan suhu

tubuh pasien ketika pasien mengalami hypothermia. Alat ini pada dasarnya

memanfaatkan panas yang dialirkan dengan menggunakan blower sebagai

media penghantar panas sehingga kondisi pasien tetap terjaga dalam keadaan

hangat (Murray, 2012).

b. Prosedur pemasangan blanket warmer

1) Mencuci tangan

2) Pasang warmer blanket diatas tempat tidur pasien

3) Rapikan sebelah kanan dan kiri warmer blanket

4) Tidurkan pasien diatas warmer blanket

5) Hubungkan slang warmer unit dengan warmer blanket

6) Nyalakan mesin warmer unit dan atur suhunya

c. Manfaat blanket warmer

Ketika pasien tidak dapat menghasilkan cukup panas metabolik untuk

menghangatkan diri maka selimut mungkin hanya apa yang mereka butuhkan.
Pasien dingin lebih hangat dengan selimut bahkan meskipun efek termal

sebenarnya blanket warmer berlangsung tidak lebih dari 10 menit. Jelas, selimut

tidak mengalihkan signifikan-panas kepada pasien. Manusia sensitive untuk

perpindahan panas melalui kulit, serta suhu, yang dapat menjelaskan com- forting

efek selimut hangat. Dan selimut hangat menghindari ketidaknyamanan

kehilangan panas yang disebabkan ketika seorang pasien dibungkus dengan

selimut dingin dari kulit mereka. Juga bermanfaat dalam mengelola trauma klien,

Northern Territory konteks remote Kesehatan umumnya tidak menunjukkan

bahwa kehangatan tambahan akan menjadi pertimbangan penting dalam

manajemen klinis.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan rancangan yang

digunakan adalah pretest postest control group design. Sugiyono (2012)

menyatakan bahwa di dalam penelitian eksperimen ada perlakuan (treatment)

yang diberikan kepada kelompok-kelompok tertentu, dengan demikian metode

penelitian eksperimen adalah “sebuah metode yang digunakan untuk mencari

pengaruh sebuah perlakuan tertentu terhadap objek-objek yang ingin diteliti dalam

kondisi yang terkendalikan”.

Di dalam desain ini pengukuran dilakukan sebanyak dua kali, yaitu

pengukuran yang dilakukan sebelum tindakan atau intervensi terhadap kelompok

kontrol dan kelompok intervensi. Setelah itu kelompok intervensi diberikan

selimut hangat (blangket warmer) dan kelompok kontrol diberikan selimut biasa.

Pengukuran selanjutnya dilakukan saat suhu tubuh pasien kembali normal atau

setelah selesai intervensi.

Desain ini dapat digambarkan sebagai berikut:

R1 O1 X O2

R2 O3 O4

Keterangan

R1 = Kelompok Intervensi
R2 = Kelompok kontrol

O1= Pengukuran pertama pada kelompok intervensi

O2 = Pengukuran kedua pada kelompok kontrol

X = Tindakan/intervensi yang diuji

O3 = Pengukuran pertama pada kelompok kontrol

O4 = Pengukuran kedua pada kelompok kontrol

B. Lokasi dan waktu

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan januari- Februari 2020 di ruang Pacu

bedah sentral RSUD Sawahlunto.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasienyang mengalami

hipotermia post operasi pembedahan, total pasien dengan hipotermia bulan

Oktober 2019 adalah 40 orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil sebagai objek yang akan

diteliti yang dianggap mewakili dari seluruh populasi (Notoatmodjo 2010). Dalam

penelitian ini jumlah populasi adalah sebanyak 40 orang. dengan teknik


pengambilan sampel adalah total sampling. Yang dibagi dua kelompok, 20

kelompok kontrol dan 20 kelompok intervensi Kriteria sampel adalah :

a. Kriteria Inklusi

1) Dapat berkomunikasi dengan baik

2) Pasien post operasi pembedahan dengan hipotermia

3) Pasien melakukan pembedahan di RSUD Sawahlunto

b. Kriteria Eksklusi adalah:

1) Responden tidak bersedia diobsevasi

2) Pasien mengalami komplikasi yang mengancam jiwa setelah

operasi

D. Alur Penelitian
Pengurusan surat izin
melakukan penelitian

Pasien post operatif

Pret test pada kedua


kelompok

Diberikan intervensi selimut


hangat pada kelompok intervensi
Post test mengukur
suhu pasien

Analisa dan penyajian

E. Etika Penelitian

Etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam

penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan

manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan. Masalah etik yang harus

diperhatikan antara lain (Sonatha B, 2012) :

1. Informed Consent ( Persetujuan)

Sebelum responden diwawancarai, peneliti menjelaskan tujuan penelitian

kepada responden, responden yang bersedia menanda tangani Informed

consent diberikan.

2. Anonimity (Tanpa Nama)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subjek peniliti dengan tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian akan

disajikan.
3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan.

F. Jenis Data Dan Instrumen Penelitian

1. Jenis Data

a. Data primer

Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara pada

responden dengan instrumen kuesioner dalam bentuk pertanyaan yang

berkaitan dengan peubahan suhu tubuh sebelum dan setelah diberikan

intervensi selimut panas.

b. Data sekunder

Data sekunder yaitu data penunjang untuk mendapatkan data pasien

post operatif di RSUD Sawahlunto yang diambil dari laporan operasi

Bedah Sentral RSUD Sawahlunto.

2. Instrumen Penelitian

Menurut Nursalam, (2010) instrumen penelitian merupakan alat bantu bagi

peneliti dalam mengumpulkan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian

ini adalah berupa lembar observasi untuk mengukur perubahan suhu tubuh

sebelum intervensi dan sesudah intervensi.


G. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data menurut Notoadmodjo (2010) dilakukan secara manual

dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Penyuntingan data (editing)

Melakukan pememeriksaan data hasil jawaban dari kuesioner yang telah

ditanyakan kepada responden dan kemudian dilakukan koreksi

kelengkapan jawabannya. Editing dilakukan di lapangan dalam

pelaksanaan tidak ditemukan kekurangan / kelebihan dari data responden

2. Pengkodean data (coding)

Melakukan penilaian / kode angka pada jawaban kuesioner agar lebih

mudah dalam pengolahan data selanjutnya. Jawaban yang benar untuk

pertanyaan pengetahuan jawaban benar diberi nilai 1 dan salah diberi nilai

0.

3. Tabulasi data (tabulating)

Memasukkan kode- kode ke dalam tabel dimana jawaban dari masing-

masing responden dalam bentuk kode (angka atau huruf) dimasukkan ke

dalam program atau soffware komputer.

4. Pembersihan data (cleaning)

Melakukan pemeriksaan data atai mengecek kembali data dalam komputer

untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidak

lengkapan dan sebagainya, kemudian di lakukan pembetulan atau koreksi.


H. Teknik Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat adalah analisis yang dilakukan untuk satu

variabel atau analisa yang dilakukan tiap variabel dari hasil penelitian

(Notoatmodjo, 2005). Analisa Univariat merupakan penyajian dalam

bentuk satu variabel dengan menggunakan tabel rerata.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk menguji hipotesa dan melihat

bagaimana pengaruh antar variabel independen (perubahan suhu tubuh)

terhadap variabel dependen yaitu (selimut panas) dengan uji Wilxocon

signed rank test untuk uji hipotesis komparatif berpasangan dan mann-

withney test untuk uji komparatif kategorik kelompok berbeda

(kontrol/perlakuan).

Uji ini digunakan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan proporsi

yang bermakna antara distribusi frekuensi yang diamati dan yang

diharapkan dengan derajat kemaknaan 0,05, bila p-value ≤ 0,05 berarti ada

hubungan yang bermakna (Ho ditolak), sedangkan bila p value > 0,05

berarti tidak ada hubungan yang bermakna (Ho gagal ditolak)

(Notoatmodjo, 2010).
I . Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan

antara konsep-konsep yang diinginkan atau diukur melalui penelitian-

penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo,2010). Kerangka konsep yang

digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan sistem yang terdiri

dari input, proses, dan output. Sistem adalah prosedur logis dan rasional

untuk merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu dengan

yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam

usaha mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan (Notoatmodjo, 2010).

Dependen Independen

Keefektifan selimut Perubahan suhu tubuh


panas pasien hipotermia

J. Defenisi Operasional

Variabel Defenisi Cara ukur Alat ukur Hasil Ukur Skala

operasional Ukur

Independen

Perubahan Perubahan Observasi Lembar Hasil Ratio

Suhu pada yang terjadi observasi pengukuran

pasien pada suhu suhu pada


hipotermia tubuh pasien kelompok

setelah kontrol dan

tindakan post intervensi

operasi

pembedahan

Dependen

Kefektifan Perubahan Observasi Lembar 0= Tidak Ordinal

selimut suhu setelah observasi efektif

panas dilakukan 1= tidak

intervensi efektif

penggunaan

selimutpanas

Anda mungkin juga menyukai