Anda di halaman 1dari 24

NAMA : ADE RINA ATIKAH

NIM : 201902010011
JURNAL 1 : WARMER BLANKET
JURNAL 2 : COOLER BLANKET
EFEKTIFITAS PENGGUNAAN BLANKER WARMER TERHADAP
SUHU PADA PASIEN SHIVERING POST SPINAL ANESTESI
REPLACEMENT EKSTREMITAS BAWAH

Effectiveness of Blanket Warmer Use on Temperature of Shivering Post


Spinal Anesthesia Patients Exposed to Lower Extremity Replacement Surgery

Endang Winarni1), Atiek Murharyati2), Gatot Suparmanto3)


1)Mahasiswa Program Studi Sarjana Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta
2)3)
Dosen Program Studi Sarjana Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta

ABSTRAK

Salah satu komplikasi dari spinal anestesi adalah penurunan suhu


(hipotermia), yang akan berakibat lanjut menjadi shivering. Efek samping
shivering diantaranya adalah peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan
metabolisme, peningkatan curah jantung dan ventilasi semenit, penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan darah, tekanan intracranial dan tekanan
intraokuler. Intervensi untuk mengatasi shivering adalah penggunaan blanket
warmer.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penggunaan blanket
warmer terhadap suhu pada pasien shivering post spinal anestesi yang dilakukan
operasi replacement ekstremitas bawah. Menggunakan metode quasi
eksperimental research dengan design one group pre dan posttest design without
group control. Sampel sebanyak 20 orang dengan menggunakan blanket warmer
yang dipasang selama 40 menit dengan pengaturan suhu 460 C.
Hasil penelitian didapatkan mayoritas usia 51 – 60 tahun (65%), jenis
kelamin perempuan (65%), dan bekerja sebagai wiraswasta (40%). Suhu rata –rata
pretest 34,560 C, posttest 36,70 C. Berdasarkan uji wilcoxon signed rank test
menunjukkan bahwa p-value sebesar 0.000 (<0,05), sehingga dapat disimpulkan
bahwa penggunaan blanket warmer terhadap suhu pada pasien shivering post
spinal anestesi replacement ekstremitas bawah adalah efektif.
Kata kunci : anestesi spinal, hipotermia, shivering, blanket warmer.

ABSTRACT
One of the complications of spinal anesthesia is hypothermia, which leads
to shivering. Its side effects include increased oxygen intake, increased
metabolism, increased cardiac output and minute (pulmonary) ventilation,
decreased oxygen saturation, and increased intracranial and intraocular blood
pressure. One of the interventions to deal with it is blanket warmer use. The

1
objective of this research is to investigate effectiveness of blanket warmer use on
temperature of shivering post spinal anesthesia patients exposed to lower
extremity replacement surgery.
This research used the quasi experimental research method with one
group pre-test and post-test design without group control. Its samples consisted of
20 patients exposed to blanket warmer for 40 minutes at the temperature of 460 C.
The result of the research shows that majority or 65% of the patients were
aged 51 – 60 years old, 65% of the patients were female, and 40% of them were
self-employed. Their average temperature in the pre-test was 34.56 0C whereas in
the post-test, their average temperature was 36.70C. The result of the Wilcoxon’s
Signed Rank Test shows that the p-value was 0.000 (<0.05), meaning that the
blanket warmer use was effective toward the temperature of the shivering post
spinal anesthesia patients exposed to lower extremity replacement surgery.
Keywords: Spinal anesthesia, hypothermia, shivering, blanket warmer.

I. PENDAHULUAN digunakan secara luas pada perut bagian

Anestesi merupakan tindakan bawah, karena lebih aman, simpel dan

menghilangkan rasa sakit ketika ekonomis serta onset anestesi yang lebih

melakukan pembedahan. (Morgan, et al, cepat. (Morgan, et, al, 2011).

2011). Anestesi regional merupakan salah Selain memiliki kelebihan, anestesi

satu metode yang digunakan untuk spinal dapat menimbulkan komplikasi.

memberikan efek analgesia pada pasien Komplikasi anestesi spinal dibagi menjadi

baik selama operasi berlangsung maupun 2 kategori yaitu mayor dan minor.

setelah operasi. Teknik analgesik regional Komplikasi mayor adalah alergi obat

tidak hanya digunakan pada kasus – kasus anestesi lokal, transient neurologic

yang berada di tingkat prehospital maupun syndrome, cedera saraf, pedarahan sub

di Unit Gawat Darurat. Teknik anestesi arachnoid, hematom sub arachnoid,

regional paling sering digunakan pada infeksi, anestesi spinal total, gagal nafas,

pasien trauma adalah pada saat di ruang sindroma kauda equina, dan disfungsi

operasi sebagai bagian dari prosedur neurologis lainnya. Komplikasi minor

tindakan anestesi atau sebagai kontrol berupa hipotensi, Post Operative Nausea

nyeri pasca operasi. (Kresnoadi, 2017). and Vomiting (PONV), nyeri kepala pasca

Salah satu teknik regional anestesi yang pungsi, kecemasan, menggigil, nyeri

digunakan adalah spinal anestesi, yang punggung dan retensi urin. Angka
komplikasi yang tinggi mengakibatkan
mortalitas dan morbiditas meningkat.
warmer. Blanket warmer merupakan suatu
(Hayati, dkk, 2015). Periode pemulihan
alat untuk menjaga kestabilan suhu tubuh
pasca operasi dikenal sebagai waktu
pasien ketika pasien mengalami
dengan resiko tinggi untuk terjadinya
hipotermia. Alat ini pada dasarnya
komplikasi (Suswitha, 2019). Menurut
memanfaatkan panas yang dialirkan
Sessler (2011) 25 % pasien mengalami
dengan menggunakan blower sebagai
kejadian komplikasi setelah menjalani
media penghantar panas sehingga kondisi
anestesi dalam proses operasi.
pasien tetap terjaga dalam keadaan hangat.
Pada pembedahan dapat
(Rositasari, dkk, 2017).
menimbulkan perubahan fisiologis tubuh
Kejadian menggigil pasca anestesi
yaitu penurunan suhu tubuh / hipotermia.
bisa terjadi karena beberapa faktor,
Hipotermia mempengaruhi beberapa
diantaranya adalah terpapar dengan suhu
sistem organ. Hipotermia pada awalnya
lingkungan yang dingin, status fisik ASA,
menyebabkan kenaikan laju metabolisme,
umur, status gizi dan indeks massa tubuh
pada sistem kardiovaskuler terjadi
yang rendah, jenis kelamin, dan lamanya
tachicardi, resistensi pembuluh darah
operasi. (Luggya, et,al, 2016). Beberapa
perifer, sehingga menyebabkan menggigil /
kejadian menggigil (shivering) yang tidak
shivering. (Rositasari, dkk, 2017).
diinginkan mungkin dialami pasien akibat
Shivering adalah sebagai mekanisme
suhu yang rendah di ruang operasi,
kompensasi tubuh terhadap hipotermia.
aktivitas otot yang menurun, usia yang
Pendekatan non farmakologis untuk
lanjut atau agent obat – obatan yang
menjaga agar tubuh tidak mengalami
digunakan seperti vasodilator / fenotiasin.
hipotermia dilakukan dengan metode
(Minarsih, 2013).
penghangatan diantaranya dengan cara
Insidensi shivering pasca anestesi
pemakaian blanket warmer, humidifikasi
regional pada tindakan sectio caesaria (SC)
oksigen, dan pemanasan cairan intravena.
adalah 85%. (Kusumasari,dkk, 2013).
Tindakan mencegah hipotermia dan
Angka kejadian shivering yang terjadi
shivering dengan pendekatan non
setelah dilakukan epidural anestesi berkisar
farmakologis disebut dengan metode
antara 30% – 33%. (Lopez, 2018). Angka
menghangatkan kembali (rewarming
kejadian shivering post spinal anestesi
technique). (Rositasari, dkk, 2017)..
antara 50% – 80%. (Luggya, et, al,
Hipotermia pada pasien post operasi agar
2016). Angka kejadian Post Anesthetic
tidak menggigil melebihi batas aman dapat
Shivering (PAS) pada pasien yang
ditangani dengan memasang blanket
menjalani spinal anestesi sekitar 33 % –
56,7 %. (Mashitoh, dkk, 2018).
ada penelitian mengenai pendekatan non
Efek samping shivering diantaranya
farmakologis yang dilakukan di Rumah
adalah peningkatan konsumsi oksigen
Sakit Ortopedi Prof. DR. R. Soeharso
sampai 400%, peningkatan metabolisme
Surakarta.
sampai 200 – 500%, peningkatan curah
Berdasarkan angka kejadian di atas
jantung dan ventilasi semenit, penurunan
dan belum adanya penelitian mengenai
saturasi oksigen, peningkatan tekanan
pendekatan non farmakologis yang
darah, tekanan intracranial dan tekanan
dilakukan, maka peneliti tertarik
intraokuler. (Kusumasari, dkk, 2013).
melakukan penelitian tentang efektifitas
Shivering menyebabkan
penggunaan blanket warmer terhadap suhu
ketidaknyamanan bagi pasien, hal ini
pada pasien shivering post spinal anestesi
menimbulkan peningkatan laju
replacement ekstremitas bawah di
metabolisme menjadi lebih dari 400% dan
Recovery Room RSO. Prof. DR. R.
meningkatkan intensitas nyeri pada daerah
Soeharso Surakarta.
luka akibat tarikan luka operasi.
II. METODOLOGI
(Mashitoh, dkk, 2018). Aktivitas otot yang
Penelitian ini merupakan penelitian
meningkat akan meningkatkan konsumsi
quasi eksperimental research dengan
oksigen dan peningkatan produksi
desain one group pre dan posttest design,
karbondioksida. Hal ini dapat berbahaya
yaitu satu kelompok dilakukan intervensi
bagi pasien karena dengan kondisi fisik
sebelum perlakuan dan dilakukan
yang tidak optimal akan menyebabkan
intervensi lagi setelah dilakukan perlakuan.
penyakit paru obstruksi menahun yang
Bentuk rancangan ini adalah sebagai
berat atau gangguan kerja pada jantung.
berikut :
Asidosis laktat dan asidosis respiratorik
Pretest Perlakuan Posttest
dapat terjadi bila ventilasi dan kerja dari
01 X 02
jantung tidak meningkat secara
Tabel 3.1
proporsional. (Sasongko, 2015).
Keterangan :
Cara melakukan pencegahan
01 = Pengukuran pertama
terjadinya shivering dengan pendekatan
(pretest) X = Perlakuan atau
farmakologis di Rumah Sakit Ortopedi
eksperimen 02 = Pengukuran
Prof. DR. R Soeharso telah dilakukan
kedua (posttest)
diantaranya tindakan kolaborasi dengan
Populasi pada penelitian ini adalah
dokter pemberian fentanyl injeksi, pethidin
seluruh pasien yang menjalani operasi
injeksi, dan ondansentron injeksi. Belum
Total Knee Replacement (TKR) dan
karakteristik subjek penelitian berdasarkan
Total Hip Replacement (THR) dengan
umur diperoleh subyek penelitian paling
spinal anestesi. Penelitian ini
banyak adalah subjek penelitian dengan
menggunakan teknik sampling kuota
kelompok umur 51 - 60 tahun sebanyak 13
dengan jumlah sampel 20 responden.
responden. Sedangkan subjek penelitian
Tempat penelitian adalah di
berdasarkan umur paling sedikit adalah
Recovery Room Instalasi Bedah Sentral
subjek dengan umur 61 – 70 tahun
Rumah Sakit Ortopedi Prof. DR. R
sebanyak 3 responden.
Soeharso, Surakarta, waktu penelitian
Hasil penelitian ini sejalan dengan
dilaksanakan pada bulan 21 Agustus 2019
hasil penelitian yang dilakukan oleh
sampai 20 September 2019.
Mashitoh,dkk, (2018) yang menyatakan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
bahwa shivering banyak terjadi pada
Hasil distribusi frekuensi subjek
responden dengan usia lansia awal (46– 55
penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
tahun). Responden lansia awal lebih
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi
banyak mengalami shivering karena pada
Subjek Penelitian
usia ini sudah mulai terjadi penurunan
Karakteristik subjek n % metabolisme sehingga kemampuan untuk
penelitian
mempertahankan suhu tubuh juga mulai
Umur
40-50 th 4 20 berkurang.
51-60 th 13 65
Hasil penelitian ini juga sejalan
61-70 th 3 15
Jumlah 20 100 dengan penelitian yang dilakukan Nugroho
Jenis Kelamin (2016) yang menyatakan bahwa pasien
Perempuan 13 65
dewasa akhir (41 – 65 tahun) lebih sering
Laki-laki 7 35
Jumlah 20 100 mengalami shivering dibandingkan usia
Pekerjaan lainnya. Usia dapat mempengaruhi
Petani 4 20
terjadinya Post Anesthetic Shivering
Buruh 1 5
Wiraswasta 8 40 (PAS), dimana ambang batas menggigil
Karyawan 2 10
Ibu Rumah Tangga 4 20 pada usia tua lebih rendah 10 C.
Guru/PNS 1 5 General anestesi yang dilakukan
Jumlah 20 100
pada pasien usia lansia juga dapat
Sumber : Data Primer 2019
menyebabkan pergeseran pada ambang
Berdasarkan hasil penelitian
batas termoregulasi dengan derajat yang
diketahui bahwa distribusi frekuensi
lebih besar. Pada usia lansia awal
pengaturan panas dari produksi dan
kehilangan panas relatif stabil. Pengaturan
melalui peningkatan panas tubuh yang
ini dilakukan oleh hipotalamus.
dipengaruhi oleh kelenjar tiroid.
Hipotalamus yang terletak diantara
Berdasarkan data tersebut maka responden
hemisfer serebral, mengatur suhu inti
dewasa akhir lebih beresiko mengalami
tubuh. Suhu lingkungan sangat nyaman
shivering karena pada dewasa akhir mulai
atau setara dengan set point maka
terjadi penurunan metabolisme sehingga
hipotalamus akan berespon sangat ringan
kemempuan untuk mempertahankan suhu
dan sedikit, sehingga suhu akan
tubuh juga mulai berkurang.
mengalami perubahan yang ringan dan
Menurut pendapat peneliti hal ini
relatif stabil. Hubungan antara produksi
menunjukkan bahwa responden yang
dan pengeluaran panas harus
termasuk dengan kategori lansia awal 46 –
dipertahankan. Hubungan diregulasi
55 tahun ( kategori umur menurut Depkes
melalui mekanisme neurologis dan
RI) lebih rentan dengan kejadian shivering
kardiovaskuler. Hipotalamus anterior
(menggigil). Umur sangat mempengaruhi
mengendalikan panas yang keluar, dan
metabolisme tubuh akibat mekanisme
hipotalamus mengendalikan panas yang
hormonal sehingga memberi efek tidak
dihasilkan. Penurunan suhu tubuh terjadi
langsung terhadap suhu tubuh.
karena sel syaraf di hipotalamus anterior
Penggolongan umur menurut Depkes RI
menjadi lebih panas melebihi set point.
bahwa lansia awal adalah usia 46 – 55
(Guyton dan Hall, 2014).
tahun, sedangkan lansia akhir adalah usia
Penelitian oleh Putzu (2007)
56 – 65 tahun. Usia – usia ini sangat rentan
mengatakan bahwa responden yang
terjadi shivering pasca dilakukan spinal
banyak mengalami shivering yaitu
anestesi. Ini disebabkan oleh fungsi
responden dewasa akhir yang berumur 41
cardiovaskuler yang mulai menurun.
– 65 tahun.
Sistem cardiovaskuler yang mulai
Menurut penelitian Susilowati
menurun menyebabkan elastisitas
(2017) menyebutkan bahwa mekanisme
pembuluh darah menjadi berkurang
shivering erat kaitannya dengan faktor
sehingga mudah terjadi vasodilatasi pada
usia. Pada bayi, anak dan usia dewasa
pembuluh darah pada saat terpapar dengan
akhir shivering dimediasi oleh jaringan
suhu yang dingin di ruang operasi, panas
lemak yang merupakan jaringan khusus
tubuh akan keluar menyesuaikan suhu
kaya akan investasi sistem saraf simpatis
lingkungan sehingga pasien mudah
dan vaskularisasi, sedangkan pada remaja
mengalami hipotermia, dan tubuh akan
dan dewasa awal shivering dimediasi
berkompensasi yang menyebabkan
terjadinya shivering. Pada lansia akhir
Hasil penelitian ini sesuai dengan
kemungkinan terjadi shivering akan lebih
penelitian yang dilakukan Harahap (2014),
besar dibandingkan dengan lansia awal
angka hipotermi lebih banyak terjadi pada
saat terpapar suhu yang dingin di ruang
perempuan daripada laki-laki, yaitu
operasi. Pada penanganan pasien yang
sebanyak 51,2%. Laki – laki dan
mengalami peradangan sendi lutut dan
perempuan memiliki perbedaan
sendi pinggul ada beberapa macam cara
konsistensi suhu tubuh. Secara general,
yaitu dengan prosedur operatif dan non
perempuan mempunyai fluktuasi suhu
operatif. Prosedur operatif yaitu dengan
tubuh yang lebih besar daripada laki – laki.
melakukan penggantian sendi pada daerah
Hal ini terjadi karena pengaruh produksi
lutut atau pinggul. Prosedur non operatif
hormonal yaitu hormon progesteron.
dilakukan dengan cara pemberian
Hormon progesteron rendah, maka suhu
fisoterapi pada sendi yang mengalami
tubuh akan mengalami penurunan
peradangan. Pada penelitian ini sample
beberapa derajat di bawah batas normal.
lebih banyak pada usia lansia awal,
Hal ini sejalan dengan kutipan pada
kemungkinan pada usia lansia akhir lebih
Buletin Orthopedi Indonesia yang
memilih prosedur non operatif atau
menyebutkan bahwa berdasarkan NSQIP
fisioterapi, karena pada lansia usia akhir
(National Surgical Quality Improvement
status fisik ASA akan lebih tinggi yang
Program) terdapat 60,5 % perempuan
menyebabkan resiko kematian yang lebih
dilibatkan dalam studi Total Knee
besar jika dilakukan tindakan anestesi,
Replacement dan Total Hip Replacement.
baik anestesi umum maupun anesresi
Menurut pendapat peneliti hormon
regional.
progesteron meningkat dan menurun
Distribusi frekuensi subjek
secara bertahap selama siklus menstruasi.
penelitian berdasarkan jenis kelamin
Naik turunnya hormon progesteron
diketahui bahwa subjek penelitian paling
mengakibatkan fluktuasi suhu tubuh pada
banyak adalah subyek dengan jenis
wanita. Pada saat ovulasi (pembuahan)
kelamin perempuan yaitu sebanyak 13
pada wanita hormon progesteron lebih
orang sedangkan banyaknya subjek
banyak diproduksi dan masuk ke dalam
penelitian dengan jenis kelamin laki – laki
sistem sirkulasi. Dengan adanya kondisi
sebanyak 7 responden. Hal ini disebabkan
tersebut fluktuasi suhu tubuh dapat
karena mayoritas responden penelitian ini
menjadi perkiraan masa subur pada wanita.
adalah perempuan.
Menopouse (penghentian menstruasi) pada
wanita dapat mempengaruhi perubahan
suhu tubuh. Pada saat terpapar dengan
mobilisasi yang tinggi sehingga dalam
suhu yang dingin di ruang operasi
jangka panjang ketika usia sudah mencapai
perempuan lebih banyak yang mengalami
lansia awal akan terjadi gangguan
shivering karena pada wanita menopouse
metabolisme tubuh dan terjadi gangguan
produksi progesteron sudah mulai
pada beberapa sistem yang mengakibatkan
berhenti, tetapi pada laki – laki masih
mudah terjadi shivering ketika terpapar
memproduksi hormon testosteron
suhu yang dingin di ruang operasi. Meurut
meskipun produksi hormon tersebut sudah
pendapat peneliti seorang buruh juga
mulai menurun.
mempunyai aktivitas yang tinggi sehingga
Karakteristik subjek penelitian
dalam jangka panjang juga akan
berdasarkan pekerjaan diketahui bahwa
mengalami gangguan pada beberapa
subyek penelitian paling banyak bekerja
sistem tubuh yang menjadi penyebab
wiraswasta yaitu sebanyak 8 orang,
terjadinya shivering ketika terpapar dengan
sedangkan karakteristik subjek penelitian
lingkungan yang dingin.Tetapi pada
paling sedikit bekerja sebagai guru /
penelitian ini data yang didapatkan dari 20
Pegawai Negeri Sipil yaitu sebanyak 1
sample yang diteliti kejadian shivering
orang. Seorang wiraswasta mempunyai
paling banyak dialami oleh wiraswasta.
aktivitas mobilisasi yang tinggi sehingga
Kemungkinan buruh lebih memilih
berpengaruh terhadap suhu tubuhnya.
tindakan non operatif ketika mengalami
Menurut Guyton dan Hall (2014)
peradangan pada sendi baik lutut maupun
menyatakan bahwa meningkatnya suhu
pinggul, karena tindakan non operatif
tubuh seseorang tergantung aktifitas kerja
cenderung memakan biaya yang sedikit
dan lingkungan kerjanya. Semakin tinggi
dibandingkan dengan tindakan operatif.
temperatur lingkungan kerja, maka tubuh
Tabel 4.2 Hasil Uji Deskripsi Statistik
akan cenderung untuk mengkonsumsi Pengukuran suhu sebelum dan sesudah
energi yang lebih besar. Kondisi tersebut dipasang Blanket Warmer
mempunyai efek jangka panjang yang Distribusi Pretest Posttest
Frekuensi
terkait pada gangguan hormonal, seperti
Mean 34,56 36,7
keluhan psikosomatik akibat gangguan Standar Deviasi 0,342 0,306
Nilai Minimum 34 36,2
saraf otonom, serta aktivasi hormon
Nilai 35,1 37,2
kelenjar adrenal seperti hipertensi, Maksimum
disritmia jantung, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil uji statistik
Menurut pendapat peneliti seorang
deskriptif diketahui bahwa pada uji pretest
wiraswasta mempunyai aktivitas
nilai suhu tubuh sebelum dipasang
blanket
warmer, didapatkan rata-rata sebesar 34,56
Tabel 4.4 Efektifitas Penggunaan
dengan standar devisiasi sebesar 0,342.
Blanket Warmer Terhadap Suhu
Nilai minimum yang didapatkan sebesar
pada Pasien Shivering Post Spinal
34 sedangkan nilai maksimum yang
Anestesi
didapatkan sebesar 35,1. Pada uji posttest
nilai suhu tubuh setelah dipasang blanket Mean Std. p-value
Deviation
warmer diketahui bahwa nilai suhu tubuh
rata-rata yang didapatkan sebesar 36,7 Pre Test 34,56 0,342 0,000
dengan standar devisiasi sebesar 0,306.. Post Test 36,70 0,306
Nilai minimum yang didapatkan sebesar
36,2 sedangkan nilai maksimum yang Sumber : Data yang diolah (2019)
didapatkan sebesar 37,2. Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui
bahwa hasil uji Wilcoxon signed rank test
Tabel 4.3 Uji Normalitas Data
Kolmogorov- Shapiro-Wilk menunjukkan bahwa nilai p-value sebesar
a
Smirnov
0,000 karena nilaip –value kurang dari
Sta df Sig. Sta df Sig.
tistic tistic 0,05 (0,000<0,05) maka hal ini berarti Ho
Pre ,170 20 ,034 ,625 20 ,025 ditolak atau Ha diterima, yang berarti
Post ,100 20 ,078 ,760 20 ,054
terdapat pengaruh blanket warmer
Sumber : Data yang diolah (2019) terhadap peningkatan suhu pada pasien
Berdasarkan hasil uji normalitas
shivering post spinal anestesi pada
dengan menggunakan Shapiro – Wilk
replacement ekstremitas bawah..
diketahui bahwa nilai p value pada uji coba
Penelitian ini sejalan dengan
pretest sebesar 0,025 < 0,05 sehingga data
penelitian yang dilakukan oleh Suswitha
berdistribusi tidak normal sedangkan
(2018) yang mengatakan bahwa rata – rata
nilaip value pada uji coba posttest sebesar
waktu yang diperlukan untuk mencapai
0,054> 0,05 sehingga data berdistribusi
suhu normal pada kelompok intervensi
normal. Karena salah satu data tidak
(pemakaian blanket warmer) adalah 15,9
berdistribusi normal, maka uji analisis
menit sedangkan pada kelompok kontrol
yang dilakukan akan dilakukan dengan
dengan selimut biasa adalah 26,7 menit.
dengan menggunakan uji statistic
Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui
Wilcoxon signed rank test.
bahwa peningkatan suhu tubuh kelompok
kontrol yang dengan selimut biasa lebih
lambat dibandingkan dengan penggunaan
electric blanket.
Perubahan fisiologis pada tubuh
kehilangan panas tanpa menyebabkan
pasien yang menjalani pembedahan dapat
vasodilatasi yang justru menyebabkan
berupa penurunan suhu tubuh atau
bertambahnya perdarahan. Pasien pasca
hipotermia. Pasien pasca bedah yang
bedah akan mengalami hipotermia, tapi
mengalami hipotermia akan menggigil
tubuh tidak akan tinggal diam menghadapi
sebagai mekanisme kompensasi tubuh
masalah tersebut. Dalam keadaan dingin,
terhadap hipotermia. Shivering (menggigil)
tubuh melakukan dua mekanisme untuk
merupakan keadaan yang ditandai dengan
tetap menjaga keseimbangan suhu inti
adanya peningkatan aktivitas muskuler
(core temperature), yaitu secara fisik dan
yang sering terjadi setelah tindakan
secara kimia. (Woolnough et.al, 2009,
anestesi, khususnya anestesi spinal pada
dalam Minarsih, 2013). Menggigil
pasien yang menjalani operasi. (Arifin,
merupakan respon tubuh involunter
dkk, 2012).
terhadap suhu yang berbeda dalam tubuh.
Pembedahan dengan spinal anestesi
Gerakan otot selama menggigil
yang lama meningkatkan terpaparnya
membutuhkan energi yang signifikan.
tubuh dengan suhu dingin sehingga
Menggigil dapat meningkatkan produksi
menyebabkan perubahan temperatur tubuh.
panas 4 sampai 5 kali lebih besar dari
(Mashitoh, dkk, 2018). Selain itu anestesi
normal (Kozier, 2011).
spinal juga menghambat pelepasan hormon
Sesuai penelitian yang dilakukan
katekolamin sehingga akan menekan
oleh peneliti bahwa hipotermia pasca
produksi panas akibat metabolisme.
bedah tersebut ternyata dapat diatasi secara
(Mashitoh, 2018). Salah satu intervensi
efektif dan meyakinkan sejak 40 menit
yang pada shivering pada pasien yang
pasca pembedahan, dengan menggunakan
menjalani operasi adalah pemakaian
blanket warmer yang diatur suhunya
blanket warmer.
menjadi 460C yakni pengaturan suhu
Penggunaan blanket warmer dapat
maksimal pada blanket warmer. Dengan
membuat tubuh menjadi lebih hangat,
penggunaan alat ini pasien yang menjalani
percepatan peningkatan suhu lebih stabil
pembedahan, khususnya pada pasien
dan kondisi pasien tetap terjaga dalam
replacement ekstremitas bawah akan
keadaan hangat sehingga diharapkan suhu
menerima penghangatan secara eksternal
tubuh tetap normal. (Rositasari, dkk,
sehingga efektif dalam mengurangi atau
2017)..
meminimalisir gejala hipotermia pada
Pasien pasca operasi ini harus dijaga
pasien pasca operasi.
sehangat mungkin untuk meminimalkan
Blanket warmer lebih maksimal
dengan standar deviasii sebesar 0,342.
dalam penanganan hipotermia karena
Nilai minimum yang didapatkan
blanket warmer menghasilkan panas yang
sebesar 34 sedangkan nilai maksimum
dapat diatur dengan suhu tertentu sehingga
yang didapatkan sebesar 35,1.
panas yang dihasilkan akan dialirkan ke
tubuh pasien yang mengalami hipotermia 4. Pada pada uji post test diketahui bahwa
sehingga akan terjadi perpindahan panas nilai suhu tubuh rata-rata yang
dari blanket warmer ke dalam tubuh didapatkan sebesar 36,7 dengan standar
pasien. Pada selimut biasa hanya devisiasi sebesar 0,306. Nilai minimum
membungkus dan melindungi pasien dari yang didapatkan sebesar 36,2
kehilangan panas yang lebih parah, sedangkan nilai maksimum yang
penghangatan hanya mengandalkan panas didapatkan sebesar 37,2.
dari dalam tubuh saja. Selimut hanya 5. Berdasarkan hasil uji Wilcoxon signed
membantu mencegah keluarnya panas rank test diketahui bahwa nilai p -
yang diproduksi di dalam tubuh dan tidak value sebesar 0,000 maka hal ini berarti
terjadi perpindahan panas dari selimut Ho ditolak atau Ha diterima, yang
biasa ke dalam tubuh pasien. berarti terdapat pengaruh blanket
IV. SIMPULAN DAN SARAN warmer terhadap suhu pada pasien
Berdasarkan hasil penelitian maka shivering post spinal anestesi pada
dapat disimpulkan: replacement ekstremitas bawah.
1. Penggunaan blanket warmer terhadap Adapun saran dari peneliti adalah:
suhu pada pasien shivering post spinal 1. Bagi Responden
anestesi replacement ekstremitas
Perlu dijelaskan tentang manfaat
bawah adalah efektif.
penggunaan blanket warmer bagi
2. Distribusi frekuensi karakteristik subjek
responden.
penelitian paling banyak adalah
2. Bagi Rumah Sakit
kelompok umur 51 – 60 tahun,
sedangkan distribusi frekuensi Rumah Sakit perlu memfasilitasi alat

berdasarkan jenis kelamin adalah penghangat yaitu blanket warmer.

subjek penelitian dengan jenis kelamin 3. Bagi Institusi Pendidikan

perempuan. Institusi pendidikan sebaiknya


3. Hasil uji statistik deskriptif diketahui memasukkan sebagai materi pelajaran
bahwa pada uji pretest nilai suhu tubuh dalam kegiatan perkuliahan.
rata-rata yang didapatkan sebesar 34,56
4. Bagi Peneliti Lain
Krisnoadi Erwin, 2017, Penggunaan
Penelitian ini dapat dikembangkan Anestesi Regional Pada Kasus
Trauma.
untuk penelitian selanjutnya.
5. Bagi Peneliti Kusumasari Nur Hesti, IG Ngurah Ra
Artika, Djayanti Sari, 2013,
Dapat menjadi dasar dalam Daya Guna Pethidin 0,1
pengembangan ilmu dan keterampilan
Mg/KgBB dan 0,2 Mg/KgBB
Intrathekal sebagai Adjuvent
bagi peneliti. Bupivacain 0,5% 10 Mg Dalam
V. DAFTAR PUSTAKA Mencegah Shivering Pada
Arifin J, Arif Sanjaya Y, 2012, Sectio Caesaria, Jurnal
Perbandingan Efektifitas Komplikasi Anestesi, BMC
Ondancentron dan Tramadol Anesthesiology.
Intravena Dalam Mencegah
Menggigil Pasca Anestesi Umum, Lopez Maria Bermudez, 2018, Post
Medika Hospital. Anesthetic Shivering from
Pathophysiology to Prevention,
Butterworth, John F, David C Mackey, Romanian Journal of
John D Washnic, Morgan and
Anesthesia and Intensive Care.
Mikhail’s, 2011, Clinical
Anesthesiologi, 5th edition, Mc Luggya Tony Stone Richard Nicholas
Glaw Hall. Kabuye, Cephas Mijumbi,
Guyton dan Hall, 2014, Buku Ajar Joseph Bahe, Tindim Webwa,
Fisiologi Kedokteran, edisi 11, 2016, Prevalence, Associated
Penerbit Buku Kedokteran, ECG. Factors and Treatment of Post
Spinal Shiveringin a Sub
Harahap, 2014, Angka Kejadian
Saharan Tertiary Hospital : a
Hipotermia dan Lama Perawatan
di Ruang Pemulihan pada Pasien
Prospective Observational
Geriatri Pasca Operasi di Rumah Study, BMC Anesthesiology,
Sakit Bandung, Bandung Jurnal DOI 10.1186/s12871-061-
Anestesi Perioperatif, Vol 2. 0268- 0.
Hayati Mardhiyah, Kenangan Marwan Mashitoh Dewi, Ni Ketut Mendri, Abdul
Sikumbang, Ahmad Husairi, 2015, Majid, 2018, Lama Operasi dan
Gambaran Angka Kejadian Kejadian Shivering Pada Pasien
Komplikasi Pasca Anestesi Spinal Pasca Spinal Anestesi, Jurnal
Pada Pasien Seksio Sesaria. Keperawatan Terapan, Vol. 4, No.
1.
Kozier. Erb. Berman. Snyder, 2011, Buku
Ajar Fundamental Keperawatan, Minarsih Rini, 2013, Efektifitas Pemberian
Konsep, Proses dan Praktik Elemen Penghangat Cairan
Penerbit Buku Kedokteran, Vol. 1, Intravena Dalam Menurunkan
Es.7, EGC. Gejala Hipotermia Pasca Bedah,
Jurnal Keperawatan, ISSN, 2086 –
3071.
Nugroho, 2016, Keperawatan Gerontik dan Geriatrik,
EGC, Jakarta.
Rositasari Shinta Mulyanto, Vitri Diah, 2017, Efektifitas
Pemberian Blanket WarmerPada Pasien Sectio
Caesaria Yang Mengalami Hipotermi di Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta, Jurnal
Ilmu Keperawatan Indonesia, Vol. 10, No.1.
Sasongko Himawan, 2015, Perbandingan Efektifitas
Antara Tramadol dan Meperidin Untuk
Pencegahan Menggigil Pasca Anestesi Umum,
Jurnal Anestesiologi Indonesia, Vol 7, No. 3.
Sesler, et, al, 2011, Shivering Post Anesthesia, diakses
tanggal 03 Februari 2015, pada
http://www.cszmedical.com.
Susilowati Andri, Sri Hendarsih, Jenita Dolli Tine
Donsu, 2017, The Correlation of Body Mass
Index with Shivering of Spinal Anesthesic
Patients in RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta.

Suswitha Dessy, 2018, Efektifitas Penggunaan


Electric – Blanket pada Pasien yang
Mengalami Hipotermi Post Operasi di
Instalasi Bedah Sentral (IBS) Rumah Sakit
Umum Daerah Palembang Bari, Jurnal
Ilmiah Kesehatan, Volume 8 No. 1.
Woolnough, M, Allam, J. Hemingway, C. Cox,M, &
Yentis, SM 2009, Intra
– Operative Fluid Warming in Elective
Caesarean Section : Randomized Controlled
Trial, International Journal of Obstetric
Anesthesia, Vol 8, Issue 4.

158 Volume 3 Nomor 3 Desember 2015


Perbedaan Efek Kompres Selimut Basah dan Cold-pack terhadap
Suhu Tubuh Pasien Cedera Kepala di Neurosurgical Critical Care Unit

Sri Hartati Pratiwi1, Helwiyah Ropi1, Ria Sitorus2


1
Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran, 2RSHS
Email: srihartatipratiwi86@gmail.com

Abstrak
Peningkatan suhu tubuh pada pasien cedera kepala bisa menyebabkan peningkatan metabolisme yang dapat
memperburuk kondisi pasien, meningkatkan lama hari rawat dan menambah resiko kematian. Metode
pendinginan yang sering digunakan adalah kompres selimut basah dan cold-pack. Namun belum ada penelitian
yang membuktikan efek kedua metoda tersebut terhadap suhu tubuh pasien cedera kepala. Penelitian ini
menggunakan rancangan perbandingan tidak berpasangan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
consecutive sampling dengan jumlah 24 orang responden. Penelitian ini memberikan hasil tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara penurunan suhu tubuh setelah kompres selimut basah dan setelah kompres
cold-pack (p=0,371). Oleh karena itu, kompres cold-pack dapat dijadikan alternatif kompres selimut basah
yang biasa digunakan.

Kata kunci : Cold-pack, cedera kepala, selimut basah, suhu tubuh.

Wet Blanket and Cold-pack Application to Reduce Body


Temperature among Patients with Head Injury in Neurosurgical
Critical Care Unit

Abstract
The elevation of body temperature among patients with head injury may lead to increase total metabolism of the
body. Such situation may worsen the patient condition, prolonged length of stay and increase risk of death.
Cooling methods using wet blanket and cold-pack have been commonly adopted to reduce the body heat.
However no empirical studies have proved these methods are effective to reduce high temperature of patients
with head injury. This non-paired comparative study seeks to examine the difference of those two methods
towards body temperature involving 24 patients with head injury that recruited using consecutive sampling
technique. Results indicated that there is no significant difference of the temperature decrease after wet blanket
and cold-pack application (p= 0,371). However, cold-pack still can be used as an alternative compress
beside wet blanket application.

Key words: Cold-pack, head injury, body temperature, wet blanket.

Volume 3 Nomor 3 Desember 2015 159


Sri Hartati: Perbedaan Efek Kompres Selimut Basah dan Cold-pack

Pendahuluan memiliki tekanan intrakranial yang lebih tinggi


dan angka mortalitas 78% serta hari rawat yang
Kejadian cedera kepala dan trauma tulang lebih lama dibandingkan dengan pasien
belakang di Indonesia mencapai 7,5% dari normotermia. Berdasarkan penelitian yang
populasi (Badan Penelitian dan Pengembangan dilakukan oleh Geffroy, Bronchard, Merckx,
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Seince, Faillot, Albaladejo et al. (2003) lamanya
Indonesia, 2007). Angka kejadian cedera kepala peningkatan suhu tubuh pasien tergantung pada
di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin derajat keparahan cedera kepala yang
(RSHS) pada tahun 2010 sebanyak 1378 kasus dialaminya.
dan pada tahun 2011 sebanyak 1095 kasus Oleh karena itu, untuk mencegah
(rekam medik RSHS, 2011). Hal ini perburukan kondisi akibat peningkatan suhu
memperlihatkan bahwa angka kejadian cedera tubuh yang banyak dialami pasien cedera kepala,
kepala di Jawa Barat masih tinggi. Cedera petugas kesehatan harus menjaga suhu tubuh
kepala dapat menimbulkan berbagai gangguan pasien agar tetap normal (Mcilvoy, 2007).
mental, fisik bahkan kematian. Menurut Werner Terdapat beberapa metode dalam menangani
dan Engelhard (2007), cedera kepala merupakan peningkatan suhu tubuh yaitu manajemen
penyebab kematian dan kesakitan terbesar di farmakologis dan non farmakologis. Metode non
dunia pada usia dibawah 45 tahun sehingga farmakologis untuk menangani peningkatan
memerlukan perhatian yang besar dari kalangan suhu tubuh dapat dilakukan dengan metode
petugas kesehatan. pendinginan baik dari dalam maupun luar.
Kerusakan bagian otak pada pasien cedera Pendinginan dari dalam dapat dilakukan
kepala dapat menyebabkan peningkatan suhu dengan cara pemberian cairan dingin melalui
tubuh (Muttaqin, 2008). Peningkatan suhu tubuh intravena. Berdasarkan penelitian yang
sangat umum terjadi pada pasien cedera kepala. dilakukan oleh Larrson, Wallin, dan Rubertsson
Hal ini diakibatkan adanya gangguan pada set (2010), infus dingin memiliki efek yang cepat
point di hipotalamus (Agrawal, Timothy, & dalam mendinginkan suhu tubuh pasien tetapi
Thapa, 2007). Selain itu, peningkatan suhu pada tidak stabil. Oleh karena itu, dalam
pasien cedera kepala juga bisa disebabkan oleh melaksanakan metoda ini membutuhkan kontrol
inflamasi otak, kerusakan hipotalamus secara yang ketat dari perawat. Metoda pendinginan
langsung, atau infeksi sekunder. Prevalensi dari dalam lain adalah penggunaan intravaskuler
peningkatan suhu tubuh pada pasien cedera line dan pemberian oksigen melalui nasal cavitis.
kepala sebesar 68% terjadi pada 72 jam pertama, Prosedur intravascular line dilakukan dengan
dan mencapai peningkatan suhu sebesar 2,10C menggunakan Cool gard dan cool line catheter.
(Thompson, Tkacs, Saatman, Raghupathi, & Namun metoda ini hanya dapat dilakukan pada
McIntosh, 2003). pasien yang terintubasi (Khorooshi & Jensen,
Pasien cedera kepala yang mengalami 1999).
peningkatan suhu tubuh dapat mengalami Metode pendinginan dari luar yang biasa
perburukan. Hal ini didukung oleh penelitian digunakan adalah penggunaan selimut dingin.
yang dilakukan oleh Dietrich dalam Thompson, Namun metoda ini memerlukan biaya yang
Tkacs, Saatman, Raghupathi, dan McIntosh cukup besar, sehingga jarang digunakan. Metoda
(2003) yang menyatakan bahwa jika pendinginan luar lain yang banyak dilakukan
dibandingkan dengan pasien cedera kepala adalah penggunaan ice-pack dan cold-pack.
dengan suhu tubuh normal, pasien yang Kompres es dan kompres air dingin merupakan
mengalami peningkatan suhu tubuh akan salah satu metoda kompres yang banyak
memiliki resiko kematian yang lebih besar. digunakan (Thompson, Mitchell, & Webb,
Selain itu, volume contusio cerebri akan 2007). Dalam pelaksanaannya kedua metode ini
bertambah dalam 4 hari pertama. Sejalan dengan dapat menyebabkan tubuh pasien menjadi basah
penelitian tersebut, Diringer, Reaven, Funk, dan sehingga mengganggu kenyamanannya. Oleh
Uman (2004) mengungkapkan bahwa pasien karena itu, beberapa tahun yang lalu telah
cedera kepala yang mengalami peningkatan suhu dikembangkan cold-pack instan yang terbuat
tubuh dari gel ammonium nitrat.
Selain dapat menurunkan nyeri, kompres dengan
menggunakan cold-pack instan dapat digunakan tubuh pasien cedera kepala belum diketahui
untuk menurunkan suhu tubuh. Jika dengan jelas. Metoda selimut basah belum
dibandingkan dengan metoda lain, penggunaan terbukti efektif dalam penelitian, serta belum ada
cold-pack lebih nyaman, murah, dan mudah standar prosedurnya. Oleh karena itu, peneliti
dilakukan. Namun, penelitian mengenai tertarik untuk meneliti perbedaan kompres
efektivitas metoda tersebut dalam menurunkan selimut basah dan cold-pack terhadap suhu
suhu tubuh pasien cedera kepala masih terbatas. tubuh pasien cedera kepala di ruang NCCU
Peningkatan suhu tubuh merupakan salah Rumah Sakit Hasan Sadikin.
satu gangguan kebutuhan dasar yang sering Melihat kondisi yang telah dipaparkan
dialami pasien. Perawat bertanggung jawab sebelumnya bahwa hanya metoda selimut dingin
mengidentifikasi pasien yang mengalami yang biasa dilakukan di NCCU, padahal masih
peningkatan suhu tubuh, membuat rencana ada metoda lain yang bisa dikembangkan.
asuhan keperawatan, mengimplementasikan dan Metode yang lebih mudah, nyaman dan murah
mengevaluasinya. Perawat harus memperhatikan adalah penggunaan cold- pack instan. Namun,
keamanan dan kenyamanan pasien. Selain itu penelitian mengenai cold-pack instan dalam
pemberian metoda pendinginan yang diberikan menurunkan suhu tubuh pasien cedera kepala
harus efektif dan mudah dilakukan sehingga belum diketahui dengan jelas. Sedangkan
tidak memperberat beban kerja perawat. Pada metoda selimut basah belum terbukti efektif
tatanan keperawatan kritis, pemberian metoda dalam penelitian, serta belum ada standar
pendinginan sangat penting. Hal ini berkaitan prosedurnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik
dengan besarnya pengaruh peningkatan suhu untuk meneliti perbedaan kompres selimut basah
tubuh terhadap peluang kesembuhan dan dan cold- pack terhadap suhu tubuh pasien
meningkatnya resiko kematian pasien cedera kepala di ruang NCCU Rumah Sakit
(Thompson, Tkacs, Saatman, Raghupathi, & Hasan Sadikin.
McIntosh, 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Berdasarkan studi pendahuluan, di perbedaan penurunan suhu tubuh setelah
Neurosurgical Critical Care Unit (NCCU) dilakukan kompres dengan menggunakan
RSHS terdapat 4 orang pasien cedera kepala. 3 selimut basah dibandingkan dengan cold- pack
diantaranya mengalami peningkatan suhu pada pasien cedera kepala yang mengalami
tubuh.. Tindakan yang dilakukan perawat adalah peningkatan suhu tubuh di ruang NCCU Rumah
mengompres dengan menggunakan handuk Sakit Hasan Sadikin.
basah yang diselimutkan diatas dada dan perut
pasien yang biasa disebut selimut basah. Dengan
menggunakan metoda ini, suhu tubuh pasien Metode Penelitian
menurun namun dalam waktu yang lama.
Berdasarkan komunikasi personal dengan salah Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
satu perawat, di ruang NCCU belum ada standar dengan menggunakan perbandingan tidak
prosedur operasional (SPO) mengenai berpasangan. Perlakuan yang dilakukan pada
penanganan peningkatan suhu tubuh pada penelitian ini adalah kompres selimut basah dan
pasien. Metoda pendinginan lain belum cold-pack pada pasien cedera kepala yang
dilakukan di ruangan NCCU (Oded, 2012). mengalami peningkatan suhu tubuh dengan
Melihat kondisi yang telah dipaparkan kriteria inklusi pasien cedera kepala sedang dan
sebelumnya bahwa hanya metoda selimut basah berat, pasien mengalami peningkatan suhu tubuh
yang biasa dilakukan di NCCU, padahal masih (38–39,9 0C), berjenis kelamin laki-laki dengan
ada metoda lain yang bisa dikembangkan. usia 18 sampai 60 tahun dengan berat badan 50–
Metode yang lebih mudah, nyaman dan murah 70 kg. Kriteria eksklusi untuk sampel pada
adalah penggunaan cold- pack instan. Namun, penelitian ini adalah apabila pasien mengalami
penelitian mengenai cold-pack instan dalam dehidrasi sebelum dilakukan kompres, pasien
menurunkan suhu dengan kondisi hemodinamik tidak stabil, pasien
mengalami gangguan hormon tiroid.
Kelompok pertama dilakukan kompres

160 Volume 3 Nomor 3 Desember 2015


dengan menggunakan selimut basah
sebagaimana yang sering dilakukan di ruang suhu tubuh setelah 20 menit dilakukan kompres.
NCCU, sedangkan pada kelompok kedua Bagan berikut ini menunjukkan rancangan
dilakukan kompres cold-pack. Evaluasi yang penelitian yang akan digunakan. Rancangan
dilakukan dengan melakukan pengukuran Penelitian
Data pada penelitian ini diperoleh dengan

Kompres Kompres
1 Selimut 2 Selimut 3
Basah Basah
Sampel 4

Kompres Kompres
1 Cold-pack 2 Cold-pack 3

Gambar 1 Rancangan Penelitian


Keterangan:
1 : Pengukuran Suhu Tubuh Awal
2 : Pengukuran setelah 10 menit intervensi (evaluasi 1)
3 : Pengukuran setelah 20 menit intervensi (evaluasi 2)
4 : Perbedaan penurunan suhu tubuh

menggunakan lembar observasi. Lembar Hasil Penelitian


observasi tersebut terdapat beberapa bagian yang
akan diisi diantaranya adalah suhu dan respon Perbedaan Suhu Tubuh Sebelum dan Sesudah
tubuh responden. Lembar observasi diisi pada Kompres Selimut Basah
sepuluh menit pertama dan sepuluh menit kedua. Sebelum dilakukan analisa perbedaan suhu
Data suhu tubuh pasien didapat dengan tubuh, dilakukan analisa normalitas data dengan
melakukan pemeriksaan suhu tubuh dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasil uji
termometer timpani bermerk Clever TD-1116. normalitas data suhu awal responden kelompok
Alat yang digunakan untuk melakukan kompres kompres selimut basah adalah p
adalah cold-pack pada kelompok pertama dan = 0,199, suhu 10 menit pertama dengan p =
selimut basah pada kelompok kedua. Cold-pack 0,274 dan p data suhu setelah 20 menit adalah
merupakan alat kompres instan berisi gel yang 0,235. Dari semua data tersebut didapatkan hasil
bisa digunakan untuk kompres dingin dan panas, p > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data
namun dalam hal ini kompres dingin yang suhu responden kelompok selimut basah
digunakan. Cold-pack digunakan dengan berdistribusi normal. Perbedaan suhu tubuh
diselimuti kain waslap terlebih dahulu. sebelum dan sesudah kompres selimut basah
Sedangkan kompres dengan selimut basah, dapat dilihat dari tabel 1.
menggunakan handuk yang dibasahi air suhu Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa suhu
ruangan (23–25oC). Pengumpulan data dilakukan tubuh responden sedikit turun menjadi 38,59 oC
setelah melalui proses seminar usulan penelitian dengan simpang baku 0,67oC pada evaluasi 1 dan
dan mendapatkan surat ijin serta ethical 38,48oC dengan simpang baku 0,07 oC pada
clearance dari Komite Etik Fakultas Kedokteran evaluasi 2. Secara statistik terdapat perbedaan
Universitas Padjadjaran. yang bermakna antara suhu tubuh sebelum dan
setelah dilakukan kompres selimut basah (p=
0,000).
Tabel 1 Perubahan Suhu Tubuh Responden Kelompok Kompres Selimut Basah
Evaluasi Suhu Tubuh x (0C) Sd t P
Evaluasi 1 Suhu Awal 38.64 0.65 3.317 0.007
Suhu 10’ pertama 38.59 0.67
Evaluasi 2 Suhu Awal 38.64 0.65 6.092 0.000
Suhu 10’ kedua 38.48 0.07

Tabel 2 Perubahan Suhu Tubuh Responden Kelompok Kompres Cold-pack


Evaluasi Suhu Tubuh x (0C) Sd t P
Evaluasi 1 Suhu Awal 38.79 0.87 4.690 0.001
Suhu 10’ pertama 38.72 0.86
Evaluasi 2 Suhu Awal 38.79 0.87 8.373 0.000
Suhu 10’ kedua 38.60 0.80

Tabel 3 Perbedaan Penurunan Suhu Tubuh Responden Kelompok Kompres Selimut Basah
dengan Cold-pack
Evaluasi Perubahan Suhu t p
Selimut Basah Cold-pack
Rerata Standar Rerata Standar
Deviasi Deviasi
Evaluasi 1 0.05 0.05 0.07 0.04 0.790 0.237
Evaluasi 2 0.16 0.09 0.19 0.07 0.914 0,371

Perbedaan suhu tubuh sebelum dan sesudah


kompres cold-pack, dapat dilihat hasil uji tubuh responden kelompok selimut basah 0,16 oC
normalitas data suhu awal responden kelompok dengan simpang baku 0,09. Penurunan suhu
cold-pack dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk p tubuh responden kelompok kompres cold-pack
= 0,589 adalah p suhu 10 menit pertama 0,485, sebesar 0,19oC dengan simpang baku 0,07.
dan p suhu setelah Berdasarkan hasil uji t tidak berpasangan yang
20 menit adalah 0,591. Semua hasil uji dilakukan didapatkan hasil p= 0,371. Hal ini
normalitas tersebut didapatkan hasil p > 0,05 dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan yang
sehingga dapat disimpulkan bahwa data suhu bermakna antara penurunan suhu tubuh
responden kelompok cold-pack berdistribusi responden pada kedua kelompok perlakuan
normal. Perbedaan suhu tubuh sebelum dan (Tabel 3).
sesudah kompres cold-pack dapat dilihat bahwa
suhu tubuh responden pada evaluasi
1 menjadi 38,72oC dengan simpang baku 0,87oC Pembahasan
dan 38,60oC dengan simpang baku 0,8oC pada
evaluasi 2. p yang dihasilkan dari uji t Penanganan peningkatan suhu tubuh dapat
berpasangan adalah 0,000 sehingga dapat dilakukan dengan metode farmakologis dan
disimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna metode pendinginan. Metode pendinginan dari
antara suhu tubuh sebelum dan sesudah kompres luar dapat dilakukan dengan berbagai cara
cold-pack secara statistik (Tabel 2). diantaranya adalah kompres. Metoda
Perbedaan penurunan suhu tubuh responden pendinginan pada pasien cedera kepala lebih
kelompok kompres selimut basah dan cold-pack, banyak menggunakan prinsip konduksi
dapat dilihat penurunan suhu (Thompson, Mitchell, & Webb, 2007). Kompres
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
kompres selimut basah dengan
menggunakan handuk yang dibasahi dengan air
suhu kamar, kemudian diselimutkan di atas dada perbedaan metoda yang digunakan. Selimut
dan perut responden. Metoda ini menggunakan basah dapat membantu proses evaporasi
prinsip konduksi dan evaporasi. Melalui kedua dibandingkan dengan kompres es biasa.
metode tersebut, panas dari tubuh responden Meskipun terjadi penurunan suhu tubuh pada
dapat pindah ke selimut basah. Selain itu, responden setelah dilakukan kompres selimut
evaporasi diharapkan bertambah karena air yang basah, namun suhu tubuh responden masih
terkandung dalam selimut basah dapat diatas normal. Hal ini bisa dikarenakan berbagai
memperantarai perpindahan panas ketika air faktor diantaranya yaitu waktu (Hoedemaekers,
berubah menjadi gas. Konduksi terjadi antara Ezzahti, Gerritsen, & Hoeven, 2007). Waktu
suhu selimut basah dengan jaringan sekitarnya yang digunakan untuk pengompresan hanya 20
termasuk pembuluh darah sehingga suhu menit, jika dilakukan lebih dari itu
darah yang melalui area tersebut akan menurun. dimungkinkan masih terjadi penurunan suhu.
Kemudian darah tersebut akan mengalir ke Hal ini dapat dilihat dari evaluasi pertama dan
bagian tubuh lain dan proses konduksi terus kedua, dimana suhu tubuh responden semakin
berlangsung sehingga setelah dilakukan kompres menurun pada evaluasi kedua. Sehingga dapat
dengan selimut basah, suhu tubuh pasien dapat disimpulkan semakin lama waktu yang
menurun. Hal ini didukung oleh penelitian digunakan untuk pengompresan, penurunan suhu
Morgan dalam Axelrod (2000), metoda tubuh dimungkinkan akan semakin bertambah.
pendinginan selimut dingin lebih cepat Cold-pack merupakan alat kompres instan
menurunkan panas pada pasien cedera kepala yang bisa digunakan untuk kompres panas
dibandingkan dengan metoda tepid-water maupun dingin yang dapat digunakan berulang
sponge. Hal ini sesuai dengan penelitian yang kali. Alat ini terbuat dari gel ammonium nitrat
dilakukan oleh Henker (1999) yang menyatakan yang tidak beracun. Gel ammonium nitrat dapat
bahwa penanganan peningkatan suhu tubuh memelihara suhu tetap dingin dalam jangka
dengan memberikan acethaminophen dan waktu yang lama dibandingkan dengan zat lain.
metode pendinginan lebih efektif dibandingkan Cold-pack yang telah didinginkan diharapkan
dengan pemberian obat atau metode pendinginan dapat menyerap panas tubuh melalui prinsip
saja. konduksi yang terjadi antara cold-pack dengan
Selimut basah merupakan modifikasi dari jaringan di sekitarnya termasuk pembuluh darah.
kompres konvensional yang diletakkan di atas Suhu darah yang mengalir melalui pembuluh
dada dan perut responden. Penelitian darah disekitar area pengompresan akan
sebelumnya yang telah dilakukan mengenai menurun karena proses konduksi yang terjadi
efektivitas kompres konvensional adalah dengan suhu cold-pack.
penelitian Hoedemaekers, Ezzahti, Gerritsen, Cold-pack merupakan modifikasi dari
dan Hoeven (2007). Penelitian ini kompres es dan kompres air dingin. Gel
membandingkan berbagai metoda pendinginan ammonium nitrat yang ada di dalam cold- pack
untuk menurunkan suhu tubuh pasien di ICU memiliki fungsi yang sama dengan es dan air
sampai mencapai suhu tubuh normal dan dingin tanpa membasahi bagian tubuh
memberikan hasil yang tidak jauh berbeda responden. Penelitian sebelumnya yang telah
dimana kecepatan penurunan suhu dengan dilakukan mengenai kompres es adalah
metoda ini adalah 0,31oC/jam (0,055oC/min). penelitian yang dilakukan oleh Hoedemaekers,
Penurunan suhu dari penelitian ini adalah Ezzahti, Gerritsen, dan Hoeven (2007). yang
0,158oC ± 0,09oC dalam 20 menit. Jika menyimpulkan bahwa kompres es merupakan
dibandingkan dengan penelitian Hoedemaekers, salah satu kompres konvensional yang dapat
Ezzahti, Gerritsen, dan Hoeven (2007), menurunkan suhu tubuh dengan kecepatan
penurunan kecepatan kompres selama 20 menit 0,31oC/jam sehingga apabila kompres dilakukan
adalah 0,1oC. Disimpulkan bahwa hasil selama 20 menit maka penurunan suhu akan
penelitian ini tidak jauh berbeda dengan mencapai 0,1oC. Tidak jauh dengan penelitian
penelitian tersebut. Sedikit perbedaan penurunan tersebut, kompres dengan menggunakan cold-
ini dapat dipengaruhi oleh adanya pack selama 20 menit dapat menurunkan suhu
tubuh sekitar 0,196oC. dengan menggunakan cold-pack tidak
Selimut basah dan cold-pack merupakan menimbulkan basah pada linen pasien. Hal ini
salah satu metode pendinginan yang banyak berkaitan dengan area kompres yang lebih
dilakukan. Penelitian ini, perbandingan efek sedikit dibandingkan dengan selimut basah. Oleh
kompres selimut basah dan cold- pack karena itu, metoda kompres ini tidak
dilakukan dengan membandingkan penurunan meningkatkan resiko dekubitus sehingga kondisi
suhu yang terjadi setelah kompres. Dilakukan uji pasien tidak menjadi lebih buruk dan
statistik t tidak berpasangan, didapatkan hasil pertambahan lama hari rawat karena dekubitus
tidak ada perbedaan yang bermakna antara tidak terjadi. Selain itu, pasien tidak perlu
penurunan suhu tubuh setelah dilakukan mengeluarkan biaya tambahan untuk perawatan
kompres selimut basah dengan cold-pack (p = luka dekubitus. Dalam penggunaannya, cold-
0,371). Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pack dibungkus dengan menggunakan kain
persamaan mekanisme pengeluaran panas dari sehingga lebih dirasakan nyaman oleh pasien.
kedua metode ini yaitu dengan menggunakan Keuntungan bagi pihak Rumah Sakit, kompres
prinsip konduksi. Konduksi berjalan dengan cold-pack lebih mudah dikerjakan karena
darah di pembuluh darah di sekitar area perawat tidak perlu sering mengganti cold-pack
pengompresan. Darah tersebut akan mengalir ke sehingga tidak menambah beban kerja. Selain
bagian tubuh lain dan proses konduksi berjalan itu, dengan berkurangnya resiko dekubitus dapat
terus sehingga suhu tubuh akan menurun. meningkatkan mutu pelayanan.
Meskipun luas cold-pack hanya 2,9% dari luas
selimut basah namun cold-pack memiliki suhu
yang lebih rendah. Cold-pack memiliki suhu
sekitar 15 – 18oC, sedangkan selimut basah 18 – Simpulan
27oC. Sehingga proses konduksi berjalan
seimbang. Selain itu kedua metode tersebut Simpulan dari penelitian ini adalah secara
memiliki persamaan lain yaitu metode statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna
pendinginan dari luar sehingga konduksi yang antara penurunan suhu responden yang
terjadi sebagian besar akan mempengaruhi suhu mendapatkan kompres selimut basah dengan
perifer dibandingkan dengan suhu inti (Tranter, kompres cold-pack. Perbedaan penurunan suhu
2011). Oleh karena itu, laju penurunan suhu tubuh setelah kompres menggunakan cold-pack
tidak jauh berbeda. lebih dari 20% penurunan suhu setelah kompres
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selimut basah sehingga bermakna secara klinis.
metode kompres selimut basah yang biasa Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
digunakan memiliki efek yang sama terhadap tidak ada perbedaan yang bermakna antara
penurunan suhu tubuh pasien cedera kepala penurunan suhu pasien yang diberikan kompres
dengan kompres cold-pack. Oleh karena itu, cold-pack dan selimut basah yang biasa
kompres dengan menggunakan cold- pack dapat dilakukan diruangan, sehingga kompres
dijadikan alternatif dalam pemberian metode menggunakan cold-pack dapat dijadikan
pendinginan. Metode kompres selimut basah alternatif pemberian metode pendinginan pada
tidak membutuhkan biaya, perawat hanya pasien cedera kepala yang mengalami
memerlukan handuk dan air bersuhu ruangan. hipertermia. Kompres cold-pack tidak
Namun, air yang terkandung dalam selimut menimbulkan efek basah sebagaimana selimut
basah cenderung turun ke bawah sehingga basah sehingga lebih nyaman untuk pasien selain
menyebabkan linen menjadi lembab dan basah. itu lebih mudah dilakukan oleh perawat.
Hal ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan Hasil penelitian ini diharapkan dapat
pada pasien dan dapat menimbulkan tumbuhnya dijadikan data dasar bagi penelitian selanjutnya
jamur. Metode ini dapat menyebabkan bagian mengenai metode lain yang lebih efektif dalam
belakang tubuh pasien bertambah lembab menurunkan suhu tubuh pasien dengan
sehingga dapat meningkatkan resiko dekubitus. memperhatikan kenyamanan dan keamanan bagi
Berbeda dengan selimut basah, kompres pasien. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya
mengenai metoda yang sama tetapi dengan waktu
dan jumlah yang berbeda.
Daftar Pustaka
Agrawal, A., Timothy, J., & Thapa, A. (2007). Neurogenic Fever. Singapore
Medicine Journal, 48, 492–494. Melalui http://smj. sma.org. Diakses pada tanggal
4 Maret 2012.

Axelrod, P. (2000). External Cooling in the Management of Fever. The Infectious


Disease Society of America, 31, 224–229. Melalui http://cid.oxfordjournals.org.
Diakses pada tanggal 28 Februari 2012.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik


Indonesia. (2007). Laporan Tahunan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Diakses
pada tanggal 28 Maret 2012.
Diringer, M.N., Reaven, N. L., Funk, S. E., & Uman, G.C. (2004). Elevates Body
Temperature Independently Contributes to Increased Length of Stay in Neurologic
Intensive Care Unit Patients. Critical Care Medicine 32, 1489–1495.

Geffroy, A., Bronchard, R., Merckx, P., Seince,P.F., Faillot,T., Albaladejo,P., et al.
(2003). Severe Traumatic Head Injury in Adults: Which Patients are at risk of Early
Hyperthermia. Intensive Care Medicine, 30, 785–790.

Henker, R. (1999). Evidence Based Practice


: Fever – Related Interventions. American Journal of Critical Care, 8, 481–487.
Melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/. Diakses pada tanggal 28 Februari 2012.

Hoedemaekers, C.W., Ezzahti, M., Gerritsen, A., & Hoeven, J.G. (2007).
Comparison of Cooling Methods to Induce and Maintain Normo and
Hypothermia in Intensive Care Unit Patients : a Proppective Intervention Study.
Melalui http://ccforum.com. Diakses pada tanggal 28 Januari 2012.
Khorooshi, M. H. & Jensen, N.E. (1999). Cooling of The Brain Through Oxygen
Flushing of The Nasal Cavities in Intubated Rats: an Alternative Model for Treatment of
Brain Injury. Exp Brain Res, 130, 244–247, doi:10.1007/s002219900230..

Larrson, I.M., Wallin,E., & Rubertsson,


S. (2010). Cold Saline Infusion and Ice Packs Alone are Effective in Inducing and
Maintaining Therapeutic Hypothermia After Cardiac Arrest. Resuscitation, 81, 15–19
doi: 10.1016/j.resuscitation.2009.09.012.

Mcilvoy, L. (2007). The Impact of Brain Temperature and Core Temperature on


Intracranial Pressure and Cerebral Perpusion Pressure. Journal Neuroscience Nurses, 39,
324–331. Melalui http://www.ncbi.nlm.nih. gov. Diakses pada tanggal 28 Februari 2012.

Muttaqin. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Thompson,H. J., Tkacs, N. C., Saatman, K
.E., Raghupathi, R. & McIntosh,T.K. (2003). Hyperthermia Following Traumatic Brain
Injury: a Critical Evaluation. Neurobiology of Disease, 12, 163–173.

Thompson, H.J., Mitchell, P.H., & Webb,D.J. (2007). Fever Management Practices of
Neuroscience Nurses : National and Regional Perspectives. Journal Neuroscience
Nurses. 39, 151–162. Melalui http://www.ncbi.nlm. nih.gov/. Diakses pada tanggal 28
Februari 2012.

Tranter, S.W. (2011). Improving Evidence- Based Care for Patients with Pyrexia.
Nursing Standard, 25, 37–41. Melalui http://www. ncbi.nlm.nih.gov/. Diakses pada
tanggal 1 Maret 2012.
Werner, C. and Engelhard, K. (2007). Pathophysiology of Traumatic Brain
Injury. British Journal of Anaesthesia, 99, 4–9.

Anda mungkin juga menyukai