Di Susun Oleh :
Nama : Mario Al Anshari, S.Kep
NIM : 17.04.093
CI Lahan CI Instirusi
( ) ( )
STIKES PANAKKUKANG
MAKASSAR
T.A 2018
A. Konsep Dasar Medis
1. Anatomi Kelenjar Prostat
Prostat merupakan kelenjar terbesar yang diselubungi oleh capsula prostatica
(lapisan tebal berisi pleksus vena dan syaraf) dan vagina prostatica (suatu jaringan
fibrosa bagian dari fascia endopelvica atau lamina viseral pascia pelvis) serta secara
embriologi memiliki muasal yang sama (homolog) dengan glandula paraurehtrales
pada perempuan. Dimensi ukuran prostat yakni memiliki panjang sekitar 3 cm, lebar 4
cm, dan kedalaman AP 2 cm. Prostat memiliki basis yang terletak dekat fundus vesica
urinaria dan apex yang bersentuhan dengan sfingter uretra eksterna serta m. perinei
profundus. Bagian anterior prostat berupa lapisan otot, yang disebut juga isthmus
prostat atau dulunya disebut lobus anterior, dan merupakan bagian dari sfingter uretra
eksterna.
Prostat dipisahkan dari simfisis pubis di anterior oleh lemak peritoneal di
dalam spatium retropubis. Pada masa intrauterin, prostat fetus dibagi menjadi 5 lobus:
1 lobus anterior (merupakan isthmus prostat saat dewasa), 2 lobi laterales, 1 lobus
posterior, dan 1 lobus medius. Sementara di bagian posterior, antara prostat dan
rektum terdapat suatu jaringan ikat pemisah yakni fascia Denonvillier atau septum
recovesicalis yang berguna mencegah invasi karsinoma prostat ke rektum.
Struktur-struktur pemfiksasi prostat diantaranya: ligamentum puboprostaticum
yang merupakan lanjutan anterolateral dari vagina prostatica, diafragma urogenital,
dan M. levator prostat.
a. Vaskularisasi: pasoka darah arteri prostat berasal dari r. Prostaticus a. vesicalis
inferior dan r. Prostaticus a. rectalis media
b. Aliran vena: darah dari prostat akan terdrainasi ke pleksus venosus prostaticus
yang terletak di antara capsula prostatica dan vagina prostatica. Darah dari pleksus
venosus prostaticus akan mengalir ke v. iliaca interna. Pleksus venosus prostaticus
berhubungan di superior dengan pleksus venosus vesicalis dan di posterior dengan
pleksus venosus vertebralis interna.
c. Inervasi: prostat mendapat persyarafan dari pleksus prostaticus tempat prostat
menerima impuls baik rangsang simpatis maupun parasimpatis. Impuls simpatis
prostat bermula dari: nucleus intermediolateralis L1—L3 –> n. sphlanicus
lumbalis –> ganglion mesenterica inferior –> pleksus hipogastricus superior –> n.
hipogastrikus dekstra et sinistra –> plekus hipogastricus inferior (atau pleksus
hemorroidalis medius) –> pleksus prostaticus.
d. Sementara itu, jalaran parasimpatis prostat bermula dari: nucleus intermedius
S2—S4 –> Nn. Errigentes (Nn. Sphlanchnici Pelvici) –> pleksus plekus
hipogastricus inferior (atau pleksus hemorroidalis medius) –> pleksus prostaticus.
e. Nodi limfatik pada prostat yakni: lnn. Iliaci interni dan lnn. Sacrales.
Secara anatomis, meskipun kurang begitu jelas terlihat, lobus-lobus prostat dibagi
menjadi beberapa bagian:
a. Isthmus prostat: disebut juga lobus anterior dan sesuai namanya berada di anterior
urethra, berisi jaringan fibromuskuler lanjutan m. sfingter uretra eksterna dan
sedikit jaringan glandular
b. Lobus dekstra dan sinistra prostat, yakni lobus selain bagian dari isthmus prostat,
yang dibagi lagi menjadi 4 lobulus berdasarkan hubungannya dengan urethra dan
ductus ejaculatorii:
1) Lobulus inferoposterior: berada di posterior urethra dan inferior ductus
ejaculatorii
2) Lobulus inferolateral: berada langsung di lateral urethra dan merupakan
bagian terbesar dari lobus dekstra dan sinistra prostat
3) Lobulus superomedial: berada di dalam dari lobulus infero posterior,
mengelilingi ductus ejaculatorii
4) Lobulus anteromedial: berada di dalam lobulus inferolateral, dan secara
langsung di lateral dari uretra prostatica proksimal
a. Zona sentral: disebut juga lobus medius, mengelilingi ductus ejakulatorius saat
memasuki glandula prostat. Zona ini menyusun 25% jaringan kelenjar dan resisten
mengalami keganasan karsinoma dan peradangan. Sel-sel pada zona sentral
memiliki ciri lebih mencolok dan sitoplasma sedikit basofilik dengan nukleus
lebih besar yang terletak pada level berbeda pada tiap-tiap sel. Kemungkinan zona
ini secara embriologik berasal dari inklusi ductus mesonefrikus saat prostat
berkembang.
b. Zona perifer: menyusun 70% kelenjar prostat dan mengelilingi zona sentral yakni
terletak pada bagian posterior dan lateral glandula prostat. Kebanyakan carcinoma
muncul dari zona perifer prostat dan akan terpalpasi saat tes colok dubur. Selain
itu, zona ini merupakan zona paling rentan terkena radang.
c. Zona transisional: menyusun 5% komponen kelenjar, terdiri dari glandula
mucosal, dan terletak di sekitar urethra prostatica. Pada lansia, sel parenkim pada
zona ini seringkali mengalami hiperplasia (penambahan jumlah sel) dan
membentuk massa nodular sel epitel yang dapat menekan urethra prostatica,
menyebabkan gangguan urinasi. Kondisi tersebut dinamakan benign prostatic
hyperplasia (BPH).
d. Zona periurethra: tersusun atas glandula mukosa dan submukosa. Zona ini dapat
mengalami pertumbuhan abnormal pada fase BPH lanjutan, terutama
pertumbuhan dari komponan stroma. Bersama dengan nodul glandular pada zona
transisional, keduanya akan meningkakan kompresi urethra dan retensi lebih parah
dari urin di vesica urinaria.
e. Zona lain selain komponen glandular yakni stroma fibromuskular yang terletak
pada permukaan anterior glandula prostat, anterior dari urethra.
Uretra dari vesica urinaria akan memasuki prostat dan bagian uretra yang
masuk di dalam prostat tersebut dinamakan uretra pars prostatika (panjang sekitar 3—
4 cm). Uretra ini merupakan bagian yang paling lebar, paling dapat berdilatasi, dan
merupakan tempat bersatunya tractus urinarius dan tractus reproduktivus. Pada uretra
ini glandula prostat akan berkontribusi mengeluarkan sekretnya menuju suatu ruangan
yang disebut sinus prostaticus, yakni suatu muara dari lubang-lubang kecil yang
bernama ductuli prostatici. Struktur-struktur lain yang juga ada pada uretra pars
prostatica yakni, colliculus seminalis yang homolog dengan hymen pada wanita dan
merupakan suatu tonjolan dengan 3 lubang: 2 ductuli ejaculatorii dan 1 utriculus
prostaticus. Dua ductuli ejaculatorii merupakan saluran gabungan antara ampulla
ductus deferentis yang berasal dari vas deferens sebagai saluran pengangkut
spermatozoa dan ductus excretorius glandula/vesicula seminalis tempat
dikeluarkannya produk sekresi dari vesicula seminalis. Kedua sekresi tersebut akan
masuk ke uretra prostatica dan bergabung dengan produk sekresi dari prostat.
Utriculus prostaticus merupakan lubang buntu yang homolog dengan vagina pada
wanita.
2. Fisiologi Prostat
Pertumbuhan epithelium glandula prostat dipengaruhi oleh hormon tertentu
yakni dihidrotestosteron (DHT). Hormon tersebut diperoleh dari konversi testoteron
dan androgen adrenal yang memasuki sel sekretorik epithelium glandular untuk
kemudian diubah menjadi dihidrotestosteron oeh enzim 5alfa-reduktase. DHT
memilliki aktivitas 30 kali lebih kuat dari testosteron dan ikatan DHT dengan reseptor
androgen (AR) akan menyebabkan perubahan konformasional reseptor menuju
nukleus yang pada akhirnya mempengaruhi transkripsi gen yang menstimulasi
pertumbuhan normal epithelium prostat selain itu juga dapat membuat pertumbuhan
benign prostatic hyperplasia (BPH)bahkan dapat menjadi kanker prostat yang
dependen terhadap androgen.
Telah sedikit dijelaskan sebelumnya pada pembahasan mengenai histologi
prostat bahwa kelenjar ini bersama dengan kelenjar aksesoris lainnya akan
menghasilkan cairan sekretorik yang akan bercampur dengan spermatozoa
membentuk semen. Penjelasan yangl ebih detail lagi, yakni prostat akan menghasikan
cairan sedikit asam, tipis, cair, dan berkontribusi sebesar 20% volume total semen
dengan sekretnya yang kaya akan asam sitrat, spermin, kolestrol, fosfolipid,
fibrinolisin, fibrinogenase, seng, prostatic acid phosphatase (PAP), amilase, dan
prostate-specific antigen (PSA).
PSA merupakan enzim protease 33-kD yang secara klinis digunakan sebagai
perasat tumor dan kadar normal PSA dalam darah biasanya dibawah 4 ng/mL. PSA
disekresikan baik oleh epitel normal maupun abnormal ke dalam asinus prostat lalu
menuju cairan seminalis dan memiliki fungsi menghidrolisis suatu inhibitor motilitas
sperma yakni semenogelin yang ada pada semen, namun fungsi pastinya pada
sirkulasi darah belum diketahui secara pasti. Bila terjadi peningkatan kadar serum
PSA menjadi 4—10 ng/mL, risiko ditemukan kanker sebesar 25%, sementara
kadarnya di atas 10 ng/mL maka risiko terdeteksi kanker yakni 67%. Selain itu PSA
juga digunakan untuk melihat progresi dan prognosis penyakit. PSA ditemukan di
jaringan non-prostat misalnya mammae, ovarium, glandula saliva, liver, dan tumor
lainnya. Peningkatan PSA juga terjadi pada kondisi non-kanker seperti prostatitis,
BPH, atau kondisi interupsi aliran darah ke prostat.
Prostatic acid phosphatase atau PAP merupakan enzim yang meregulasi
pertumbuhan sel dan metabolisme epithelium glandula prostat. Peningkatan kadarnya
dalam serum dapat menunjukkan metastasis kanker prostat.
Enzim fibrinolisin yang ada pada cairan sekresi prostat mampu mencairkan
semen pasca-ejakulasi
3. Pengertian
Hipertropi prostat merupakan suatu penyakit yang sering ditemukan pada pria
yang berusia lebih tua dari 50 tahun. Dimana istilah hipertropi prostat kurang tepat
karena yang terjadi sebenarnya hyperplasia kelenjar periuretral. (Mansjoer A,
Suprohaita,ikaw, setia wulan w, Kapita selekta Kedokteran, edisi 3 jilid 2, 2007)
Hypertropi prostat merupakan suatu kelainan yang sering terdapat pada
kelenjar prostate, lebih sering terjadi setelah berusia lebih dari 50 tahun dan
berhubugan dengan pembesaran prostat yang jinak (Schwartz, Intisari Prinsip Ilmu
bedah edisi 6, 2006)
4. Etiologi
Benign prostat hyprplasia adalah pembesaran jaringan kelenjar prostat yang bersifat
jinak, walaupun tidak diketahui secara pasti penyebabnya sebab tidak bersifat
universal terjadi pada usia alanjut. Namun demikian diperkirakan bahwa peningkatan
jumlah sel prostat sebgai hasil dari adanya perubahan endokrin yang berhubungan
dengan proses penuaan, terjadi akumulasi dihydroxytestosteron (hormon endrogen
utama dalam kelenjar prostat),stimulasi estrogen,dan aktivitas hormon pertumbuhan
lokal lainnya dianggap berperan dalam terjadinya benign prostatik hyperplasia
(Parakrama chandrasanom. Ringkasan Patologi Anatomi, Edisi 2.2006)
5. Patofisiologi
Kandung kemih yang berfungsi sebagai waduk air seni dan juga sebagai
pompa alam untuk memompakan air senikeluar tubuh harus berkontraksi lebih kuat
untuk mengimbangi sesuatu tahanan outflow pada leher kandung kemih.Seiring
dengan ini maka otot detrusor kandung kemih menga-lami hipertrofi, akibatnya
terbentuk trabekula, cellula dan divertikula. Sedangkan tekanan didalam kandung
kemih me-ninggi, bisa dari 20 - 40 cm air menjadi 50 - 100 cm air atau lebih sampai
melampaui tahanan outflow. Keadaan ini kita sebut masa kompensasi.Pada masa ini
otot detrusor lebih sensitif sehingga dengan penambahan sejumlah kecil saja dari air
seni penderita lang-sung berhajat untuk membuang air kecil yang mendesak,tanpa
bisa ditunda seketika pun. Walaupun pancaran dan aliran air seni masih biasa. Hal ini
terjadi berulang-ulang,siang dan malam bahkan pada malam hari lebih sering. Bila
proses berlangsung terus dan tahanan outflow lebih meningkat,maka daya kontraksi
dan tekanan didalam kandung kemihharus lebih tinggi lagi untuk mengimbangi daya
tahanan dengan demikian gangguan buang air kecilpun bertambah
Pancaran air seni lemah , aliran air seni kecil dan penderita harus menunggu
sebentar untuk memulai buang air kecil.Pada suatu saat daya kontraksi otot detrusor
melemah, masakontraksi jadi lebih pendek, otot-otot jadi menipis, masadekompensasi
telah terjadi. Saat ini daya pompa kandung kemih untuk mengalirkan air seni keluar
tubuh lebih kecil dari pada daya tahanan outflow, sehingga pengosongan kandung
kemih tidak sempurna, sisa air seni masih ada tertinggal,yang kita sebut air seni sisa
(residual urine). Adanya air seni sisa terjadi statis, dan ini mudah menghimbau
peradangan dan mengakibatkan edema submucosa kandung kemih, akibat infiltrasi
dari plasma cel, lymphocytes dan polymorpho nuclear cells. Pembentukan batu
mudah terjadi. Pada saat ini gangguan buang air kecil bisa lebih hebat lagi, rasa nyeri,
pedih, berdarah, dan panas seperti terbakar sewaktu buang air kecil. Pada masa
dekompensasi ini air seni sisa makin lama makin bertambah banyak. Dengan
demikian daya tampung dari kandung kemih jadi lebih kecil. Hajat buang air kecil
jadi lebih sering, sedang daya kontraksi otot detrusor sudah melemah. Penderita harus
mengedan untuk buang air kecil, tetapi pancaran air seni tetap lemah,aliran air seni
kecil sekali, menetes dan akhirnya bisa ter-tahan pengeluaran air seni dari subtotal
menjadi total. Ada dua macam masa dekompensasi yaitu masa dekompensasi akut dan
masa dekompensasi kronis. Pada masa dekompensasi kronis kandung kemih bisa
terisi 1000 - 3000 cc air seni,dengan demikian kandung kemih membesar dan
meregang dengan hebatnya sehingga daya kontraksi menghilang dan mengakibatkan
overflow incontinence.
6. Manifestasi klinik
a. Kesulitan dan sering berkemih
b. Retensi urin
c. Nyeri perineal
d. Nokturia
e. Hematuria
f. Sakit pinggang
g. Nyeri panggul
h. Oliguria (penurunan haluan win)
i. Kelemahan, mual
7. KOMPLIKASI
a. Pielonefritis
b. Gangguan fungsi ginjal
c. Septikemia
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan mikrobiologis urin untuk mendeteksi adanya berbagai infeksi yang
memerlukan pengobatan.
b. Pemeriksaan kadar urea dan kreatinin dalam darah untuk memonitor fungsi ginjal;
aktivitas serum asam fosfat tidak selalu meningkat, walaupun sedikit, peningkatan
yang sebentar dapat terjadi setelah dilakukan pemeriksaan perrektat ataupun
kateterisasi uretra.
c. Pemeriksaan ultrasonografi traktus urinarius digunakan untuk menilai traktus
urinarius bagian atas yang mengidentifikasikan beratnya obstruksi yang terjadi.
d. Sistoskopi untuk melihat pembesaran lobus medialis yang tidak teraba pada waktu
pemeriksaan perektal.Pemeriksaan histologis sediaan hasil prostatetomi.
9. PENATALAKSANAAN MEDIK
a. Observasi (watchful waiting).
b. Terapi medicamentosa; penghambat adrenergik, penghambat enzim 5 alfa
reduktrasi.
c. Terapi bedah.
1) Transurethral Resection of the prostate (TURP)
2) Transurethral incision of the prostate (TUIP)
3) Prostaktetomi terbuka
4) Prostaktetomi dengan laser
10. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan pasien dengan hipertropi prostat melalui pendekatan
proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian keperawatan, perencanaan
keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.
a. Pengkajian Keperawatan
1) Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinay
Tract Symptoms) antara lain:
a) Nyeri pada daerah tindakan operasi.
b) Pusing.
c) Perubahan frekuensi berkemih.
d) Urgensi.
e) Dysuria
f) Flatus negatif.
g) Luka tindakan operasi pada daerah prostat.
h) Retensi, kandung kemih penuh.
i) Inkontinensia
j) Bibir kering.
k) Puasa.
l) Bising usus negatif.
m) Ekspresi wajah meringis.
n) Pemasangan catheter tetap.
o) Gelisah.
p) Informasi kurang.
q) Urine berwarna kemerahan.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi da
patmeningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi
sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok – septik.
b) Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk meng
etahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra sim
fiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya
ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urin.
c) Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, strik
tur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d) Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididymitis
e) Rectal touch /pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistens sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
- Derajat I = beratnya ± 20 gram.
- Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
- Derajat III = beratnya > 40 gram.
b. Diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
1) Pre Operasi :
a) Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan
kandung kemih unmtuk berkontraksi secara adekuat.
b) Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi
kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
c) Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca obstruksi
diuresis..
d) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi prosedur bedah
e) Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi
2) Post Operasi :
a) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder
pada TUR-P
b) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
c) Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan
pembedahan
d) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan
impoten akibat dari TUR-P.
c. Intervensi
1) Pre Operasi
a) Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan
kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat, ditandai dengan :
- Perubahan frekuensi berkemih.
- Urgensi.
- Dysuria.
- Pemasangan catheter tetap.
- Urine berwarna kemerahan.
Tujuan : Klien mengatakan tidak ada keluhan, dengan kriteria :
- Catheter tetap paten pada tempatntya.
- Tidak ada sumbatan aliran darah melalui catheter.
- Berkemih tanpa aliran berlebihan.
- Tidak terjadi retensi pada saat irigasi.
Rencana tindakan dan rasional
- Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba
dirasakan.
R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung
kemih
- Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
R / Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
- Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran
perkemihan yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
- Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta
membersihkan ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
- Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat
penyembuhan
b) Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi
kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
Tujuan : Nyeri hilang / terkontrol.
Kritera hasil :
Klien melaporkan nyeri hilang/terkontrol, menunjukkan ketrampilan
relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu.
Tampak rileks, tidur/istirahat dengan tepat.
Rencana tindakan dan rasional
- Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 – 10 ).
R/ Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih/masase urin
sekitar kateter menunjukkan spasme buli-buli, yang cenderung lebih
berat pada pendekatan TURP (biasanya menurun dalam 48 jam).
- Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan selang
bebas dari lekukan dan bekuan.
R/ Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan
resiko distensi/spasme buli– buli.
- Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
- Berikan tindakan kenyamanan (sentuhan terapeutik, pengubahan
posisi, pijatan punggung) dan aktivitas terapeutik.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian
dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
- Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan.
R/ Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema serta
meningkatkan penyembuhan (pendekatan perineal).
- Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik
R / Menghilangkan spasme
c) Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca
obstruksi diuresis.
Tujuan : Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
Kriteria hasil : Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda
-tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer
baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.
Rencana tindakan dan rasional
- Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-
200 ml.
R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena
ketidakl cukupan jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
- Pantau masukan dan haluaran cairan.
R/ Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
- Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan
pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
R/ Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
- Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi
- R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.
- Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indi
kas,contoh:
Hb/Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah
trombosit
R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian.
Serta dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya
penurunan factor pembekuan darah,
d) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
menghadapi prosedur bedah.
Tujuan : Pasien tampak rileks.
Kriteria hasil : Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi,
menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan
rasa takut.
Rencana tindakan dan rasional
- Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
- Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan
dilakukan.
R / Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
- Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau
perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi
pemecahan masalah
e) Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan
prognosisnya.
Kriteria hasil : Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng
perlu, berpartisipasi dalam program pengobatan.
Rencana tindakan dan rasional
- Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian.
R / Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
- Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat
pilihan informasi terapi.
2) Post operasi
a) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder
pada TUR-P
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
- Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
- Ekspresi wajah klien tenang.
- Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
- Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana tindakan :
- Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
R/ Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
- Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk
mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung kemih.
R/ Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan
bisa diberikan
- Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang
dalam 24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
- Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
R/ Mengurang kemungkinan spasmus.
- Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama
sesudah tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
- Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam,
visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan
dapat meningkatkan kemampuan koping.
- Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah
peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat
bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat
menyebabkan distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme.
- Observasi tanda – tanda vital
R/ Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
- Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan (analgesik
atau anti spasmodik )
R / Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung kemih.
b) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
- Klien tidak mengalami infeksi.
- Dapat mencapai waktu penyembuhan.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda
shock.
Rencana tindakan:
- Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan
steril.
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
- Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat
menurunkan potensial infeksi.
R/ . Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi
dan mempertahankan fungsi ginjal.
- Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke
kandung kemih.
- Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan
demam.
R/ Mencegah sebelum terjadi shock.\
- Observasi urine: warna, jumlah, bau.
R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.
- Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
c) Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan
pembedahan .
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
- Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
- Tanda – tanda vital dalam batas normal .
- Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
- Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah
pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda – tanda
perdarahan
- Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
R/ Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan
perdarahan kandung kemih
- Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat
untuk memudahkan defekasi .
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan
mengendapkan perdarahan .
- Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau
huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat .
- Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan
traksi dilepas.
R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa
prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah
pembedahan
- Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran
dan warna urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat
mencegah kerusakan jaringan yang permanen .
d) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan
impoten akibat dari TUR-P.
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
- Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
- Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
- Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
- Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Rencana tindakan :
- Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang
pengaruh TUR – P terhadap seksual .
R/ Untuk mengetahui masalah klien .
- Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti
semula dan kejadian ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
R/ Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak
disfungsi seksual
- Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .
R/ Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
- Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah
sakit dan kunjungan lanjutan .
R / Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan memberikan akses kepada
penjelasan yang spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan
: Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah :
Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press.
Surabaya
Basuki B Purnomo, 2000, Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog
Dalam Terbitan (KTD), Jakarta.
Guyton, Arthur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Editor, Irawati. S, Edisi : 9,
EGC ; Jakarta.
Kumpulan Kuliah, 2010, Modul Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan, Cirebon.
Schwartz, dkk, 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires dkk,
EGC ; Jakarta.
Jong, Wim de, dan Syamsuhidayat R, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Editor : R.
Syamsuhidajat, Wim De Jong, Edisi revisi : EGC ; Jakarta.
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN
I. IDENTITAS
A. KLIEN
Nama Inisial : Tn. N
Tempat/Tanggal Lahir : 21 April 1960
Jenis kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Kawin
Agama/Suku : Islam/Bugis
Warga Negara : Indonesia
Bahasa yang di gunakan : Indonesia dan Bugis
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Alamat : Cangadi, Soppeng
B. PENANGGUNG JAWAB
Nama : Ny. R
Alamat : Cangadi, Soppeng
Hubungan dengan Klien : Anak
G. GENOGRAM
Keterangan :
X : Meninggal : Pasien
GI :
GII :
GIII :
b. Pemeriksaan Radiologi
Tanggal 30 April 2018
Jenis Pemeriksaan : Hydronephrosis bilateral + nephrolith sinistra
MSCT Urografi (Stonegrafi) Non Kontras
1) Ginjal kanan : Ukuran dan densitas parenkim dalam batas normal.
Tampak dilatasi PCS. Tampak densitas batu berukuran +/- 1.1 x.3 x 0.4
cm. Tampak lesi hipodens (22 HU), bentuk relatif bulat, batas tegas, tepi
reguler, ukuran +/- 5.9 x 5.8 x 7 cm kesan pada poleh bawah
2) Ginjal kiri : ukuran dan densitas parenkim dalam batas normal. Tampak di
latasi PCS dengan korteks yang menipis. Tampak densitas batu berukuran
+/- 0.8 x 1.3 x 1.3 cm
3) VU : dinding tidak menebal, mukosa reguler. Tampak multiple densitas
batu
4) Hepar : tidak membesar, permukaan reguler, tip tajam, densitas parenkim
dalam batas normal. Tidak tampak di latasi vaskuler dan bile duct
intra/ekstrahepatik. Tidak tampak cyst/massa/lesi patologik.
5) GB : Dinding tidak menebal, mukosa reguler, tidak tampak densitas
batu/sludge
6) Pancreas : Ukuran dan densitas parenkim dalam batas normal. Tidak
tampak dilatasi ductus pancreaticus. Tidak tampak densitas cyst/mass.
7) Lien : tidak membesar, densitas parenkim dalam batas normal. Tidak
tampak densitas SOL
8) Gaster dan loop-loop usu dalam batas normal
9) Tampak cairan bebas pada vacum pleura bilateral dan vacum peritoneum
10) Tulang-tulang intak
Kesan :
1) Hydronephrosis bilateral
2) Nephrolith bilateral
3) Suspek abscess perirenal dextra
4) Efusi pleura bilateral
5) Ascites
Foto Thorax AP :
Tanggal 29 April 2018
1) Tampak di latasi parahillar dan paracardial
2) Cor : kesan membesar, aorta dilatasi
3) Sinus kiri berselubung, sinus dan diagfragma kanan baik
4) Tulang-tulang intak
5) Jaringan lunak sekitar baik
Kesan : Cardiomegali di sertai dilatasio aortae dengan tanda-tanda
bendungan paru
c. Terapi
1) Infus Nacl 20 Tpm
2) Obat
NO NAMA DOSIS RUTE
1 Ceftriaxone 1gr/ 12 jam Intravena
2 Ketorolac 30 mg/8 jam Intravena
3 Ranitidin 50 mg/12 jam Intravena
4 Paracetamol 1 gr/8 jam Intravena
5 Nefrosteril 250 mg/24 jam Intravena
6 Omeprazole 40 mg/ 12 jam Intravena
V. PENGELOMPOKKAN DATA
NANDA: Nursing Diagnosis 2015- Nursing Outcomes Classification Nursing Interventions Classification
NO
2017 (NOC) (NIC)
1. Domain 4 : Aktivitas/Istirahat Setelah dilakukan tindakan keperawatan 4120 manajemen cairan
Kelas 4 : Respons selama 3x24 jam, klien akan : 1. Jaga intake/asupan yang akurat dan
Kardiovaskuler/Pulmunal 0601 Keseimbangan cairan cacat output
Resiko ketidakefektifan perfusi ginjal 1902 Kontrol resiko 2. Berikan cairan dengan tepat
Faktor Resiko : Kriteria Hasil : 3. Monitor hasil laboratorium yang
1. Lanjut Usia (58 tahun) 1. Mampu mengidentifikasi fator resiko relevan dengan retensi cairan
2. Infeksi 2. Mampu mngenali perubahan satatus
Hipertropi prostat kesehatan
3. Riwayat merokok (+)
4. Hasil pemeriksaan LAB
Kreatinin 6.93 mg/dl
2. Domain 12 : Kenyamanan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1400. Manajemen Nyeri halaman 198
Kelas 1 : Kenyamanan fisik selama 3x24 jam, klien akan : 1. Observasi reaksi nonverbal dari
Nyeri akut berhubungan dengan agen 2102. Tingkat Nyeri halaman 577 ketidaknyamanan.
cedera fisik dibuktikan dengan : 1605. Kontrol Nyeri halaman 247 2. Lakukan pengkajian nyeri secara
Ds : 2109. Tingkat Ketidaknyamanan komprehensif termasuk lokasi,
a. Pasien mengatakan nyeri pada
halaman 576 karakterisitik, durasi, frekuensi,
abdomen bagian bawah karena
2101. Nyeri: Efek yang Mengganggu kualitas dan faktor presipitasi.
operasi Batu Ureter
halaman 321, yang dibuktikan dengan 3. Observasi TTV
P : Hipertropi Prostat indicator sebagai berikut: (4-5 = ringan 4. Ajarkan teknik non farmakologis :
Q : Nyeri seperti tertusuk-tusuk – tidak ada) tekni relaksasi napas dalam.
R : Pada daerah Abdomen 5. Berikan informasi mengenai nyeri
bagian bawah Kriteria Hasil: seperti penyebab nyeri, berapa lama
S : Skala Nyeri 3 (NRS 1-10) a. Mampu mengenali nyeri (skala, nyeri dirasakan.
T : Waktu Tidak menentu intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri) 2210. Pemberian Analgesik halaman 247
Do : b. Mampu mengontrol nyeri (tahu 1. Cek kebenaran pengobatan meliputi
a. Pasien meringis kesakitan penyebab nyeri, mampu menggunakan obat, dosis, dan frekuensi obat
b. Pasien tampak mengelus area teknik nonfarmakologi untuk analgesic yg diresepkan.
nyeri mengurangi nyeri, mencari bantuan) 2. Cek adanya riwayat alergi obat
c. Tanda-tanda vital c. Melaporkan bahwa nyeri berkurang 3. Pilih analgesic atau kombinasi
TD : 120/80 mmHg dengan menggunakan manajemen analgesic yang sesuai ketika lebih dari
N : 80x/menit nyeri. satu diberikan.
S : 36,5oc d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri 4. Pilih rute pemberian analgesic
P : 20x/menit berkurang (Intravena, Intramuskular atau per
Oral)
5. Resiko infeksi ditandai dengan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 6540 Kontrol Infeksi halaman 134
Faktor Resiko: selama 3x24 jam, klien akan : Aktivitas Keperawatan:
a. Terpasang kateter urine 1924 Kontrol Resiko: Proses Infeksi 1. Lakukan cuci tangan sebelum dan
b. Terpasang NaCl 0,9% 20 tetes halaman 267. sesudah kontak / merawat pasien
permenit pada ekstremitas atas 0703 Keparahan Infeksi yang dengan menggunakan antiseptic
dextra dibuktikan dengan indicator sebagai 6550 Perlindungan Infeksi halaman
berikut: (4-5 = ringan – tidak ada) 398
Kriteria Hasil: Aktivitas Keperawatan:
Tidak ditemukan adanya darah dalam 1. Monitor adanya tanda dan gejala
urin infkesi sitemik dan lokal
Tidak terjadinya Demam 2. Monitor hitung mutlak White Blood
Tidak adanya nyeri. Cell (WBC)
Tidak terjadinya Peningkatan jumlah 3. Anjurkan asupan cairan dengan tepat.
leukosit 4. Anjurkan untuk istirahat.
1876. Perawatan selang: perkemihan
halaman 389
Aktivitas keperawatan:
1. Jaga kebersihan tangan sebelum,
selama dan sesudah perawatan selang
kateter.
2. Bersihkan kateter urin eksternal pada
meatus
3. Posisikan kantong urine berada
dibawah atau lebih rendah dari vesika
urinaria.
4. Kolaborasi pemberian antibiotik
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI HARI KE-I
4. 00004 Jumat, 11 Mei 6540 Kontrol Infeksi halaman 134 Jumat, 11 Mei 2018
Resiko 2018
Aktivitas Keperawatan: Jam 13.10
infeksi
08.10 1. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah S:
kontak / merawat pasien dengan O:
menggunakan antiseptic - Terpasang kateter Frekuensi 2000
Hasil : perawat kooperatif melakukan cc/jam
tekhnik aseptik sebelum dan sesudah - Terpasang NaCl 0.9% 20 Tpm
kontak dengan pasien A: Masalah belum teratasi
6550 Perlindungan Infeksi halaman 398 P: Lanjutkan intervensi
Aktivitas Keperawatan: 1. Monitor adanya tanda dan gejala infkesi
08.40 1. Monitor adanya tanda dan gejala infkesi sitemik dan local
sitemik dan lokal 2. Bersihkan kateter urin
Hasil : adanya kemerahan pada daerah 3. Kolaborasi pemberian antibiotik
insisi,.
08.55 2. Menganjurkan asupan cairan dengan tepat.
Hasil : pasien minum 8 gelas per hari
09.20 3. Menganjurkan untuk istirahat.
Hasil : pasien beristrahat dengan baik
1876. Perawatan selang: perkemihan
halaman 389
Aktivitas keperawatan:
10.10 1. Menjaga kebersihan tangan sebelum,
selama dan sesudah perawatan selang
kateter.
Hasil : perawat dan keluarga kooperatif
mencuci tangan sebelum dan setelah
melakukan perawatan kateter
10.30 2. Bersihkan kateter urin eksternal
Hasil : keluarga setiap hari membersihkan
kateter urin
10.45 3. Posisikan kantong urine berada dibawah
atau lebih rendah dari vesika urinaria.
Hasil : kantong urine di gantung pada
bagian bawah bed pasien