Anda di halaman 1dari 16

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.S DENGAN DIAGNOSA MEDIS
BPH (BENIGN PROSTATIC HYPERTRHOPY)
LONTARA 2 BAWAH DEPAN
RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO

Oleh

ZAKIRAH UMMU AIMAN


R014182049

PRESEPTOR INSTITUSI PRESEPTOR LAHAN

(................................................. ) (................................................. )

PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Definisi
Hipertropi Prostatitis Benigna (benign prostatic hypertopi – BPH) adalah
pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria (Nursalam &
Fransisca, 2009) dalam (Nurfajri, 2017)
BPH (Benign Prostat Hipertropi) adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hypertropi beberapa atau semua komponen
prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika (Arif Muttaqin dan
Kumala Sari, 2011) dalam (Nurfajri, 2017)
B. Etiologi
Penyebab khusus hyperplasia prostat belum diketahui secara pasti, beberapa
hipotesis menyatakan bahwa gangguan ini ada kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. (Nursalam, 2009) dalam (Nurfajri,
2017)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mungkin ada hubungan genetik,
karena anak laki-laki yang didiagnosis dengan BPH lebih mungkin untuk
mengembangkan penyakit prostat. Usia yang lebih tua dan testosteron hormon seks
pria terkait dengan BPH tetapi mungkin bukan penyebabnya (Peter, 2014)
Patogenesis pada BPH ini terbagi menjadi 3, antara lain:
1. Teori dehidrotestosteron (DHT)
Telah disepakati bahwa aksis hipofisis testis dan reduksi testosterone menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi
DHT ke dalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga
menyebabkan terjadinya sintesis protein. Proses reduksi ini difasilitasi oleh
enzim 5-a-reduktase.
2. Teori hormone
Estrogen berperan pada inisiasi dan maintenance pada prostat manusia.
3. Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor. Basic Fibroblast Growth Factor
(b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konstentrasi yang
lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. B-FHF dapat
dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi (UI, 2009)
C. Manifestasi Klinis
Sejumlah pria dengan BPH tidak memiliki banyak atau gejala apa pun. Para
pria yang memang memiliki gejala BPH biasanya melihat perubahan pada buang air
kecil mereka karena BPH mempengaruhi bagian prostat yang mengelilingi bagian atas
uretra. LUTS (lower urinary tract symptoms) adalah istilah umum yang digunakan
untuk menggambarkan berbagai gejala pada sistem perkemihan. LUTS berhubungan
dengan BPH yang dapat bersifat obstruktif atau iritasi, tetapi gejala lain juga dapat
terjadi. Gejala obstruktif termasuk mengejan saat mulai buang air kecil, dan aliran
urin yang lambat atau menggiring (Peter, 2014)
Gejala-gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary Tract
Symptoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada
malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan
nyeri pada saat miksi (disuria). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran
melemah, rasa tidak lampias setelah miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama
(hesitancy), harus mengedan (straining), retensio urin dan inkonteninen karena
overflow (UI, 2009)
D. Komplikasi
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin. Karena
produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi
menampung urin sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter,
hidro nefrosis dan gagal-ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli.
Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut
dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama-kelamaan dapat
menyebabkan hernia atau hemoroid (UI, 2009)
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya
leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan
etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih,
walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum
dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status
metabolik. Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA) dilakukan sebagai
dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA < 4ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10ng/ml,
hitunglah Prostate Spesific Antigen Disease (PSAD) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi
prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi
intravena USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan
volume residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan
maupun tidak dengan BPH. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada
traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi
osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasanan prostat serta
osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dan fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter berbelok-
belok di vesika) indentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu urin, atau
filling defect di vesika.
Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa
ginjal, mendeteksi residu urin, batu ginjal, divertikulm atau tumor. (UI, 2009)
3. Pemeriksaan colok dubur
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH. Dari pemeriksaan colok dubur ini
dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya
nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur
volume prostat dengan DRE cenderung lebih kecil daripada ukuran yang
sebenarnya (Wei, Calhoun, Jacobsen, 2005) dalam (Mochtar et al., 2015)
4. Clinical Grading
Banyaknya sisa urine diukur setiap pagi hari setelah bangun tidur, pasien
dianjurkan untuk kencing dahulu lalu dipasang kateter.
1) Normal : tidak ada sisa
2) Grade I : sisa 0 - 50cc
3) Grade II : sisa 50 - 150cc
4) Grade III : sisa > 150 cc
5) Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa BAK

F. Penatalaksanaan
1. Observasi (watchfull waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan
ialah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,
menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi
dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi.
Setiap tiga bulan lakukan kontrol keluhan (sistem skor), sisa kencing
dan pemeriksaan colok dubur.
2. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik 𝛼
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin,
afluzosin atau yang lebih selektif 𝛼 1a (tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari
sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis
𝛼 -1-adrenergik karena secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli
tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-
reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika,
prostat dan kapsul prostat sehingga terjadi relaksasi di daerah prostat. Hal
ini akan menurukan tekanan pada uretra pars postatika sehingga gangguan
aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai
merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2 minggu setelah ia mulai
memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing-pusing
(dizziness), capek, sumbatan hidung, dan rasa lemah.
a. Penghambat enzim 5- 𝛼 -reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (Proscar) dengan dosis 1 x 5 mg/hari.
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat
yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat
daripada golongan 𝛼-bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang
sangat besar.
b. Fisioterapi
Pengobatan fisioterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.
Substansinya misalnya Pygeum africanum, Saw palmetto, Serenoa repeus,
dll. Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan.
3. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan
komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu:
a. Retensio urin berulang
b. Hematuria
c. Tanda penurunan fungsi ginjal
d. Infeksi saluran kemih berulang
e. Tanda-tanda obstruksi berat yang divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis
f. Ada batu saluran kemih

Jenis pengobatan ini paling tinggi efektivitasnya. Intervensi bedah yang dapat
dilakukan meliputi Transurethral Resection of the Prostate (TUR P),
Transurethral Insision of the Prostate (TUIP), prostatektomi terbuka, dan
prostatektomi dengan laser dengan Nd-YAG atau Ho-YAG.

TUR P masih merupakan standar emas. Indikasi TUR P ialah gejala-gejala


sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90g dan pasien cukup sehat
untuk menjalani operasi. Komplikasi TUR P jangka pendek adalah perdarahan,
infeksi, hiponatremia (TUR P), atau retensio oleh karena bekuan darah.
Sedangkan komplikasi jangka panjang ialah striktur uretra, ejakulasi retrograd
(50-90%) atau impotensi (4-40%).

Bila volume prostat tidak terlalu besar atau ditemukan kontraktur leher vesika
dapat dilakukan Transurethral Insision of the Prostate (TUIP). Indikasi TUIP
ialah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil.
Komplikasinya bisa ejakulasi retrograde (0-37%) (UI, 2009)

Pilihan penatalaksanaan lainnya antara lain penggunaan obat-obat herbal,


masase prostat, dan Kegel exercises(Peter, 2014)
4. Irigasi Kandung Kemih
Irigasi kandung kemih adalah sistem drainase yang berguna dalam
pembersihan kandung kemih dan pencegahan pembentukan bekuan darah
setelah dilakukan operasi reseksi prostat (Smeltzer & Bare, 2001) dalam
(Sugito, Hairuddin, & Titi, 2013)
BAB II

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
a. Aktivitas / istirahat
o Kelemahan atau keletihan
o Perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur
o Keterbatasan partisipasi dalam hobi atau latihan
b. Sirkulasi
o Palpitasi dan nyeri
o Perubahan pada tekanan darah
c. Integritas ego
o Faktor stress, dan cara mengatasi stress, Pencarian pengobatan, keyakinan
religius/ spiritual
o Masalah perubahan dalam penampilan ( mis ; alopasia, pembedahan ).
o Perasaan tidak berdaya , putus asa, tidak mampu, tidak bermakna, depresi.
d. Eliminasi
o Perubahan eliminasi urinarius, misalnya nyeri atau rasa terbakar pada saat
berkemih, hematuria, sering berkemih.
o Perubahan pada bising usus, distensi abdomen
e. Makanan dan cairan
o Anoreksia, mual dan muntah
o Intoleransi makanan
o Penurunan berat badan, kakeksia, berkurangnya masa otot.
o Perubahan pada kelembaban/trugor kulit.
f. Neurosensoris
o Pusing atau sinkope.
g. Seksualitas
o Masalah seksual; dampak pada hubungan , perubahan pada tingkat kepuasan
h. Interaksi sosial
o Ketidakkuatan / kelemahan system pendukung.
i. Dukungan atau support dari keluarga.
o Masalah tentang fungsi/ tanggung jawab peran

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis
2. Retensi urine
3. Intoleran aktivitas berhubungan dengan imobilitas
4. Resiko perdarahan
5. Resiko infeksi (Herdman & Heather, 2018)
C. Intervensi Keperawatan

Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan dengan agens NOC: NIC :
cedera biologis Manajemen Nyeri
Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi
lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas,
selama …, nyeri yang dirasakan klien intensitas atau berat nyero dan faktor pencetus
berkurang dengan kriteria hasil: - Tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadap
kualitas hidup pasien (mis. Tidur, nafsu makan,
pengertian, perasaan, hubungan)
Tingkat Nyeri berkurang, yang ditandai
- Pastikan perawatan analgesic bagi pasien dilakukan
dengan: dengan pemantauan yang ketat
- Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk membantu
- Nyeri yang dilaporkan berkurang penurunan nyeri
- Panjang episode nyeri berkurang Pemberian Analgesik
- Tidak tampak ekspresi nyeri wajah - Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan
- Dapat beristirahat dengan baik nyeri
- Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
Kontrol Nyeri yang ditandai dengan: frekuensi obat analgesik yang diresepkan
- Cek adanya riwayat alergi obat
- Klien mampu mengenali kapan - Tentukan pilihan obat analgesik (narkotik, non
nyeri terjadi narkotik atau NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan
- Kolaborasi penggunaan obat nyeri
analgesik - Evaluasi efektivitas pemberian analgesik setelah
- Klien melaporkan nyeri terkontrol dilakukan injeksi. Selain itu observasi efek samping
pemberian analgesik seperti depresi pernapasan, mual
(Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, muntah, mulut kering dan konstipasi.
- Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali (Bulechek, Butcher,
Dochterman, & Wagner, 2013)
2013)

Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Retensi urine NOC: NIC :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Urinary Retention Care
selama …. retensi urin - Monitor intake dan output
pasien teratasi dengan kriteria hasil: - Monitor penggunaan obat antikolinergik
- Kandung kemih kosong secarapenuh - Monitor derajat distensi bladder
- Tidak ada residu urine >100-200 cc - Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat
- Intake cairan dalam rentang normal output urine
- Bebas dari ISK - Sediakan privacy untuk eliminasi
- Tidak ada spasme bladder - Stimulasi reflek bladder dengan kompres dingin pada
- Balance cairan seimbang abdomen.
- Kateterisaai jika perlu
- Monitor tanda dan gejala ISK (panas, hematuria,
perubahan bau dan konsistensi urine)
Rencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Diagnosa Keperawatan
Intoleransi aktivitas berhubungan NOC: NIC:
dengan imobilitas Terapi aktivitas
Setelah dilakukan tindakan keperawatan - Pertimbangkan kemampuan klien dalam berpartisipasi
selama …. Intoleran aktivitas teratasi melalui aktivitas spesifik
- Berkolaborasi dengan (ahli) terapis fisik, okupasi dan
dengan kriteria hasil:
terapis rekresional dalam perencanaan dan pemantauan
- Klien dapat melakukan aktivitas program aktivitas, jika diperlukan
rutin - Bantu klien untuk mengeksplorasi tujuan personal dari
- Melakukan aktivitas fisik aktivitas-aktivitas yang biasa dilakukan dan aktivitas
yang disukai
- Bantu dengan aktivitas fisik secara teratur (mis.,
ambulasi, berpindah, berputar, dan kebersihan diri)
sesuai kebutuhan
- Bantu klien untuk tetap fokus pada kekuatan (yang
dimilikinya) dengan kelemahan (yang dimilikinya)
Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Risiko perdarahan NOC: NIC:
Pencegahan perdarahan
kriteria hasil: - Monitor dengan ketat risiko terjadinya perdarahan pada
pasien
- Catat nilai hemoglobin dan hematocrit sebelum dan
- Klien tidak mengalami hematuria
setelah pasien kehilangan darah sesuai indikasi
- Tidak ada kehilangan darah yang
- Monitor tanda dan gejala perdarahan menetap (contoh;
terlihat
cek semua sekresi darah yang terlihat jelas maupun
- Tidak perdarahan paska
yang tersembunyi)
pembedahan
- Monitor TTV
- Tekanan darah sistolik dalam batas
- Lindungi pasien dari trauma yang dapat menyebabkan
normal
perdarahan
Tekanan darah diastolik dalam batas
- Hindarkan pemberian injeksi IV, IM atau Subkutan
normal dengan cara yang tepat
- Berikan obat-obatan (misalnya; antasida) jika
dibutuhkan
Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Risiko infeksi NOC: NIC:
Kontrol infeksi
Kriteria hasil: - Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
- Ganti peralatan perawatan per pasien sesuai protocol
institusi
- Klien bebas dari tanda dan gejala
- Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan
infeksi
- Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
- Suhu dalam batas normal
keperawatan
- Jumlah leukosit dalam batas
- Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
normal
- Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
- Tingkatkan intake nuttrisi
- Berikan terapi antibiotik bila perlu
- Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, dan drainase
- Dorong masukan cairan
- Dorong istirahat
- Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
- Laporkan kecurigaan infeksi
BAB III

WEB OF CAUTION (WOC)


DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013).


Nursing Interventions Classification (6th ed.). Jakarta: Elsevier Inc.

Herdman, & Heather, T. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Mochtar, C., Umbas, R., Rasyid, N., Noegroho, B., Poernomo, B., Tjahjodjati, …
Hamid, A. (2015). Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak
(Benign Prostatic Hyperplasia/BPH) (2nd ed.). Jakarta: Ikatan Ahli Urologi
Indonesia.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (5th ed.). Jakarta: Elsevier Inc.

Nurfajri, A. (2017). Asuhan Keperawatan pada Tn.M dengan benigna prostat


hiperplasia post op hari ke I di ruang dahlia RSUD Purbalingga. Universitas
Muhammadiyah Purwokerto. Retrieved from
http://repository.ump.ac.id/3990/3/Achmad Nurfajri BAB II.pdf

Peter, P. R. (2014). Prostate Enlargment. Andrology Australia. Retrieved from


https://andrologyaustralia.org/wp-content/uploads/Prostate-Enlargement-Guide-
WEB.pdf

Sugito, Hairuddin, & Titi, L. (2013). Efektifitas Irigasi Kandung Kemih dengan
Cairan NaCl 0,9% dingin terhadap Hematuria pada Pasien Post Operasi TUR-
Prostat di RSD DR. Soebandi Jember. The Indonesian Journal of Health
Science, 3. Retrieved from http://digilib.unmuhjember.ac.id/files/disk1/53/umj-
1x-sugitohair-2613-1-8jurnal-%5E.pdf

UI, F. K. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. (A. Mansjoer, Suprohaita, W. I.


Wardhani, & W. Setiowulan, Eds.) (3rd ed.). Jakarta: Media Aesculapius.

Anda mungkin juga menyukai