Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN


RESIKO PERILAKU KEKERASAN

OLEH:

NI WAYAN JUNI ATI


NIM. 2214901159

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN ITEKES BALI
2022
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PERILAKU KEKERASAN

A. Kasus/Masalah Utama
Masalah utama dalam laporan pendahuluan ini adalah perilaku kekerasan.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain. Sering juga disebut gaduh gelisah atau amuk dimana
seseorang marah terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang tidak
terkontrol. (Yosep dalam Damaiyanti, 2012).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran
perasaan frustasi dan benci atau amarah. Hal ini didasari keadaan emosi secara
mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional
kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam diri atau secara
destruktif. (Paatricia, Dalam Yosep 2014)
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi
tersebut maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan
pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi
dalam dua bentuk, yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau
perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan).

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Etiologi Perilaku Kekerasan
Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan
presipitasi sebagai berikut:
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Psikologis
a) Rasa frustasi. Rasa frustasi akan terjadi apabila keinginan
individu untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat.
Keadaan tersebut dapat mendorong individu berprilaku agresif
karena perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku
kekerasan.
b) Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga, atau
lingkungan.
c) Teori psikoanalitik. Teori ini menjelaskan bahwa tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan
tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang
rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak
kekerasan.
d) Imitation, modeling, and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam
lingkungan yang mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model
dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar
memungkinkan individu meniru perilaku tersebut.
e) Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah
saat menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respon
ibu saat marah.
2) Faktor Sosial Budaya
Sesorang akan berespon terhadap peningkatan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Faktor ini dapat
dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan terjadi.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima
perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam
masyarakat merupakan faktor predisposisi perilaku kekerasan.
3) Faktor Biologis
a) Biochemistry factor
Faktor biokimia tubuh seperti neurotrasmiter di otak (epineprin,
norepineprin, dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat
berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem
persyarafan dalam tubuh. Adanya stimulus dari luar tubuh yang
dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantar
melalui impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya
melalui serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan
norepineprin serta penurunan serotonin GABA pada cairan
serebrospinal dapat menajdi faktor predisposisi yang
menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang
b) Brain area disorder
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom
otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensefalitis,
epilepsi (epilepsy lobus temporal) ditemukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

b. Faktor Presipitasi
Terdapat beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan
gangguan perilaku kekerasan. Faktor-faktor tersebut, antara lain
sebagai berikut:
1) Klien: Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan,
kehidupan yang penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak
menyenangkan.
2) Interaksi: Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti,
konflik, merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien
sendiri maupun eksternal dari lingkungan.
3) Kesulitan kondisi sosial ekonomi
4) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah, dan
cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
5) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat ananknya dan ketidak
mampuan dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa.
6) Klien mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti
penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol
emosi pada saat menghadapi rasa frustasi.
7) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.

2. Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan


Adapun tanda dan gejala klien dengan perilaku kekerasan yaitu
sebagai berikut:
a. Fisik : Muka merah dan tegang, mata melotot atau pandangan tajam,
tangan mengepal, rahang mengatup, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal : Mengancam secara verbal atau fisik, mengumpat dengan kata-
kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar, ketus, suara tinggi,
serta membentak atau berteriak.
c. Perilaku : Melempar atau memukul benda/orang lain, menyerang
orang lain, melukai diri sendiri atau orang lain, merusak lingkungan,
jalan mondar mandir, serta amuk atau agresif.
d. Emosi : Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu,
dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin
berkelahi, menyalahkan, dan menuntut.
e. Intelektual : Mendominasi, cerewet, kasar, suka berdebat,
meremehkan, dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada
sarkasme.
f. Spiritual : Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik
pendapat orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli
dan kasar
g. Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan
sindiran.
h. Perhatian : Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan sosial.
C. Pohon Masalah dan Data Yang Perlu Dikaji
1. Pohon Masalah Perilaku Kekerasan

Risiko Mencederai Diri,


Orang Lain dan Lingkungan Effect

Resiko Perilaku
Core Ploblem
Kekerasan

Isolasi Sosial : Menarik Diri Causa

2. Data Yang Perlu Dikaji


Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatan perilaku kekerasan:
a. Identitas
Pada identitas mencakup inisial, umur, jenis kelamin, alamat,
pekerjaan, dan hubungan dengan penanggung jawab.
b. Alasan dirawat
Alasan dirawat meliputi: keluhan utama dan riwayat penyakit, keluhan
utama berisi tentang sebab klien atau keluarga datang kerumah sakit
dan keluhan klien saat pengkajian. Pada riwayat penyakit terdapat
faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Pada faktor predisposisi
dikaji tentang faktor-faktor pendukung klien untuk melalukan perilaku
kekerasan. Faktor presipitasi dikaji tentang faktor pencetus yang
membuat klien melakukan perilaku kekerasan
c. Psikososial
1) Genogram
Menggambarkan 3 generasi.
2) Konsep diri
a) Citra diri
Yaitu sikap, persepsi masa lalu atau saat ini tentang ukuran,
penampilan, fungsi dan potensi tubuh, serta pengetahuan
individu secara sadar atau tidak sadar terhadap tubuhnya. Ini
merupakan persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian tubuhnya
yang paling disukai dan tidak disukai
b) Ideal diri
Persepsi individu tentang bagaimana ia harus berprilaku sesuai
dengan standar personal. Ideal diri dapat berupa gambaran
individu yang disukai, tujuan atau nilai yang diinginkan. Ini
merupakan bagaimana harapan klien terhadap tubuhnya, posisi,
status, tugas atau peran dan harapan klien terhadap lingkungan.
c) Harga diri
Penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa
sejauh mana perilaku mencapai ideal diri. Pencapain cita-cita
yang gagal akan menimbulkan HDR (harga diri rendah) yaitu
perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya
percaya diri dan harga diri.
d) Peran diri
Yaitu pola sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan
dari seseorang berdasarkan posisisnya dalam keluarga,
kelompok, dimasyarakat dan bagaimana kemampuan klien
dalam melaksnakan tugas/perannya tersebut.
e) Identitas diri
Merupakan kesadaran klien untuk menjadi diri sendiri yang
tidak ada duanya dengan mensintesa semua gambaran diri
sebagai satu kesatuan utuh dan perasaan berbeda dengan orang
lain. Ini merupakan bagaimana persepsi tentang status dan
posisi klien sebelum dirawat, kepuasan klien terhadap
status/posisi tersebut (sekolah, pekerjaan, kelompok, keluarga,
lingkungan masyarakat sekitarnya), dan kepuasan klien sebagai
laki-laki atau perempuan (gender).
f) Hubungan sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan
ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan
orang lain. Klien sering kali menyalurkan kemarahan dengan
mengkritik tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa
sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan
disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan
individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, dan menolak
mengikuti aturan.
g) Spiritual
Kepercayaan, nilai, dan moral memengaruhi hubungan individu
dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang
dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan
dengan amoral dan rasa tidak berdosa.
d. Status Mental
1) Penampilan
Pada klien dengan perilaku kekerasan kemungkinan penampilan
yang ditunjukkan adalah mata melotot/pandangan tajam, tangan
mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, serta
postur tubuh kaku.
2) Pembicaraan
Pada klien dengan perilaku kekerasan kemungkinan akan berbicara
dengan mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara
dengan nada keras, kasar, dan ketus.
3) Aktifitas motorik
Aktivitas motorik yang mungkin dilakukan klien dengan perilaku
kekerasan adalah menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang
lain, merusak lingkungan, amuk/agresif.
4) Interaksi selama wawancara
Keadaan yang ditampilkan klien saat wawancara seperti
bermusuhan, tidak kooperatif, mudah tersinggung, kontak mata
kurang (tidak mau menatap lawan bicara), defensif (selalu
berusaha mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya) atau
curiga (menunjukan sikap/perasaan tidak percaya pada orang lain).
5) Persepsi
Gangguan pada persepsi sensorik diantaranya halusinasi, ilusi,
derealisasi, depersonalisasi, agnosia, gangguan somatosensorik.
Gangguan persepsi juga dapat memicu klien untuk melakukan
perilaku kekerasan.
6) Proses pikir
Gangguan pada arus dan bentuk pikir dapat dijelaskan dan
dibedakan yaitu sirkumtansila (pikiran berputar-putar), tangensial
yaitu pembicaraan yang berbelit-belit dan tidak sampai pada
tujuan/maksud yang dibeikan, asosiasi longgar (asosiasi
bebas/kehilangan asosiasi) yaitu tidak ada hubungan yang
dikatakan antara satu kalimat dengan kalimat yang lain. Flight of
idea (pikiran melayang) yaitu pembicaraan pada beberapa ide-ide
yang melompat-lompat. Blocking (benturan) yaitu pembicaraan
yang berhenti secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan secara
eksternal. Perseverasi yaitu pembicaraan yang berulang-ulang pada
suatu ide, pikiran dan tema secara berlebihan. Inkoheren
(irrelevansi) yaitu pembicaraan dimana satu kalimat pun sulit
dipahami maksudnya, pembicaraan tidak ada hubungannya dengan
stimulus/pertanyaan atau hal-hal yang sedang dibicarakan,
Logorhoe yaitu banyak bicara yang bertubi-tubi tanpa adnya
kontrol yang jelas bisa koheren atau inkoheren.
7) Tingkat kesadaran
Mengobservasi tingkat kesadaran klien, kesadaran dapat
digambarkan sebagai berikut: Apatis (mengacuhkan
rangsangan/lingkungan sekitarnya), Somnolensia (mengantuk dan
tidak ada perhatian sama sekali), sedasi: (kacau, merasa melayang
antara sadar dan tidak sadar), sopor (ingatan, orientasi,
pertimbangan hilang, hanya berespon terhadap rangsangan yang
keras dan kuat.
8) Memori
Daya ingat klien atau kemampuan mengingat hal-hal yang telah
terjadi, daya ingat jangka panjang (memori masa lalu, lama/lebih
dari 1 tahun), daya ingat jangka menengah, memori yang diingat
dalam 1 minggu terahir sampai 24 jam terakhir, Daya ingat jangka
pendek memori yang sangat baru, tidak dapat mengingat kejadian
yang baru saja terjadi.
9) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Data yang perlu dikaji melalui wawancara antara lain apakah
perhatian klien mudah berganti dari satu objek ke objek lain, tidak
mampu berkonsentrasi, dan tidak mampu berhitung.
10) Kemampuan penilaian
Data yang perlu dikaji melalui wawancara antara lain: Gangguan
ringan yaitu jika gangguan ini terjadi klien tetap dapat mengambil
keputusan secara sederhana dengan bantuan orang lain, seperti ia
dapat memilih akan mandi sebelum makan atau sebaliknya.
Gangguan bermakna jika gangguan ini terjadi, klien tetap tidak
dapat/tidak mampu mengambil suatu keputusan meskipun secara
sederhana dan mendapatkan bantuan orang lain.
11) Daya tilik
Gangguan pada daya tilik diri adalah: Mengingkari penyakit yang
diderita, dimana ia tidak menyadari gejala gangguan
jiwa/penyakitnya, perubahan fisik, dan emosi dirinya.
Menyalahkan hal-hal yang diluar dirinya, cenderung menyalahkan
orang lain/lingkungan dan ia merasa orang lain/lingkungan diluar
dirinya yang menyebabkan ia seperti ini/kondisi saat ini.
D. Diagnosa Keperawatan Perilaku Kekerasan
Dari pengkajian yang dilakukan pada klien dengan perilaku kekerasan
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu:
1. Perilaku kekerasan
2. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
3. Defisit perawatan diri
4. Koping individu tidak efektif.

E. Perencanaan Keperawatan Pada Pasien Perilaku Kekerasan


Adapun rencana keperawatan yang diberikan pada klien dengan perilaku
kekerasan dalam bentuk strategi pelaksanaan yaitu sebagai berikut:

PASIEN KELUARGA
SPIP SPIK
1. Membina hubungan saling 1. Memberikan pendidikan kesehatan
percaya kepada keluarga tentang cara
2. Mengidentifikasi penyebab marah merawat pasien perilaku kekerasan
3. Mengidentifikasi tanda dan gejala di rumah
yang dirasakan 2. Diskusikan masalah yang dihadapi
4. Mengidentifikasi perilaku keluarga dalam merawat pasien,
kekerasan yang dilakukan 3. Diskusikan bersama keluarga
5. Mengendalikan perilaku tentang perilaku kekerasan:
kekerasan dengan cara fisik penyebab, tanda dan gejala, perilaku
pertama (latihan nafas dalam). yang muncul, dan akibat dari
perilaku tersebut
4. Diskusikan bersama keluarga
kondisi pasien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat, seperti
melempar atau memukul
benda/orang lain.
SP2P SP2K
1. Membantu pasien latihan 1. Melatih keluarga melakukan cara-
mengendalikan perilaku kekerasan cara mengendalikan kemarahan
dengan cara fisik kedua (evaluasi 2. Evaluasi pengetahuan keluarga
latihan nafas dalam, latihan tentang marah
mengendalikan perilaku kekerasan 3. Anjurkan keluarga untuk
dengan cara fisik kedua: pukul memotivasi pasien melakukan
kasur dan bantal) tindakan yang telah diajarkan oleh
2. Menyusun jadwal kegiatan harian perawat
cara kedua. 4. Ajarkan keluarga untuk memberikan
pujian kepada pasien jika pasien
dapat melakukan kegiatan tersebut
secara tepat
5. Diskusikan bersama keluarga
tindakan yang harus dilakukan jika
pasien menunjukkan gejala-gejala
perilaku kekerasan.
SP3P SP3K
1. Membantu pasien latihan 1. Membuat perencanaan pulang
mengendalikan perilaku kekerasan bersama keluarga.
secara sosial/verbal (evaluasi
jadwal harian tentang dua cara fisik
mengendalikan perilaku kekerasan,
latihan mengungkapkan rasa marah
secara verbal: menolak dengan
baik, meminta dengan baik,
mengungkapkan perasaan dengan
baik)
2. Susun jadwal latihan
mengungkapkan marah secara
verbal.
SP4P
1. Bantu pasien latihan
mengendalikan perilaku kekerasan
secara spiritual (diskusikan hasil
latihan mengendalikan perilaku
kekerasan secara fisik dan
sosial/verbal, latihan beribadah dan
berdoa
2. Buat jadwal latihan ibadah/berdoa.

F. Diagnosa Medis
1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia merupakan sekelompok gangguan psikotik, dengan
gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir. Kadang-
kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan kekuatan
dari luar. Gangguan skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan
persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh efek yang tidak serasi atau
tumpul.
Skizofrenia juga dapat diartikan sebagai sindrom heterogen kronis yang
ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan
perilaku yang tidak tepat serta adanya gangguan fungsi psikososial.
Gangguan pemikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan
perhatian yang keliru, afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai
gangguan aktivitas motorik yang aneh. OSD (orang dengan skizofrenia)
menarik diri dari orang lain dan kenyataan, sering kali masuk ke dalam
kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi.
2. Etiologi Skizofrenia
a. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubungan dengan sering timbulnya
skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan
waktu klimakterium, tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
b. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita skizofrenia tampak pucat, tidak
sehat, ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat
badan menurun serta pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi
zat asam menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian dengan
pemberian obat halusinogenik.
c. Teori Adolf Meyer
Menurut Meyer, skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah, suatu
maladaptasi, sehingga timbul disorganisasi kepribadian dan lama
kelamaan orang tersebut menjauhkan diri dari kenyataan (otisme).
d. Teori Eugen Bleule
Penggunaan istilah skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit ini
yaitu jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau
ketidakharmonisan antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan.
Bleuler membagi gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok yaitu gejala
primer (gangguan proses pikiran, gangguan emosi, gangguan kemauan
dan otisme), gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala katatonik
atau gangguan psikomotorik yang lain).

3. Klasifikasi Skizofrenia
a. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa
kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berfikir sukar ditemukan, waham dan halusinasi jarang didapat, jenis ini
timbulnya perlahan-lahan.
b. Skizofrenia Hebefrenia
Permulaannya perlahan-lahan atau sub akut dan sering timbul pada
masa remaja atau antaraa 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah
gangguan proses berfikir, gangguan kemauaan dan adanya
depersonalisasi atau double personality.
c. Skizofrenia Katatonia
Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah
katatonik atau stupor katatonik.
d. Skizofrenia Paranoid
Gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan waham-
waham sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang teliti
umumnya ada gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi dan
kemauan.

4. Penatalaksanaan Skizofrenia
a. Terapi somatik (medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut
antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan
perubahan pola fikir yang terjadi pada skizofrenia. Pasien mungkin dapat
mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau
kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien.
Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan
terapi obat-obatan pertama yang efektif untuk mengobati Skizofrenia.
Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu:
1) Antipsikotik konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunaannya disebut
antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik
konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius. Contoh
obat antipsikotik konvensional yaitu: Haldol (haloperidol), stelazine
(trifluoperazine), mellaril (thioridazine), thorazine (chlopromazine),
trilafon (perphenazine), dan prolixin (flufenazine)
2) Newer atypical antipsycotics
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip
kerjanya berbeda, serta sedikit menimbulkan efek samping
dibandingkan dengan antipsikotik konvensional. Contoh newer
atypical antipsycotics yang tersedia yaitu: Risperdal (risperidone),
seroquel (quetiapine), dan zyprexa (olanzopine).
3) Clozaril (Clozapine).
Clozaril memiliki efek samping yang jarang tetapi sangat serius.
Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk
melawan infeksi. Ini artinya pasien yang mendapat crozaril harus
memeriksakan kadar sel darah putihnya secara reguler. Para ahli
merekomendasikan penggunaan crozaril bila paling sedikit 2 dari obat
antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil.

b. Terapi Psikososial
1) Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk
meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri,
latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif
didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal
yang diharapkan, seperti hak istimewa. Dengan demikian, frekuensi
perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara lantang,
berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat
diturunkan.
2) Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, pasien skizofrenia kembali
seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat
namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera, topik
penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses
pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali anggota
keluarga dengan jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena
skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur.
3) Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana,
masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin
terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau
tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan
isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan. Kelompok yang
memimpin dengan cara suportif sangat baik dilakukan untuk
memulihkan kondisi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, Mukhripah & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung:


Refika Aditam.

Dermawan, Deden & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka
Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publisin.

Kusumawati, F & Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:


Salemba Medika

Herdman. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta. Nuha Medika

Prabowo, Eko. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta: Nuha Medika

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai