Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN WAHAM

DOSEN PENGAMPU :

Firman Hidayat, M.Kep.,Ns., Sp.Kep.J

DISUSUN OLEH :

1. Andhia Pramesti N.D (C1019004)


2. Evita Wulandari (C1019017)
3. Fajar Maulana (C1010018)
4. Ismi Auliya R (C1019026)
5. Novi Riyanto A (C1019033)
6. Putri Nur Afni (C1019040)
7. Syahril Ikhlalludin (C1019048)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BHAMADA SLAWI
TAHUN AJARAN 2021/2022

A. Definisi
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat. Skizofrenia adalah sindrom
kompleks dari gangguan perkembangan otak yang menyebabkan penyimpangan perilaku
dan kognitif serta disebabkan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan (Owen, et.al,
2016).
Pasien dengan skizofrenia umumnya mengalami gejala-gejala seperti yang disebutkan
dalam enelitian McFarlane (2014) yaitu Gejala positif dan negatif. Delusi dan halusinasi
merupakan salah satu gejala positif yang sering dialami pada skizpfrenia, selain itu
skizofrenia erat hubungannya dengan perilaku kekerasan. Penelitian ini bertujuan
mengetahui pengaruh insight pada proses kesembuhan pasien Skizofrenia.
Waham adalah keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahanan walaupun tidak
diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita normal. Waham sering ditemui
pada beberapa bentuk gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik
sering ditemukan pada Skizofrenia.

B. Etiologi
Menurut World Health Organization (2016) secara medis ada banyak kemungkinan
penyebab waham, termasuk gangguan neurdegeneratif, gangguan sistem saraf pusat,
penyakit pembuluh darah, penyakit menular, penyakit metabolisme, gangguan endoktrin,
defisiensi vitamin, pengaruh obat-obatanm racun, dan zat psikoaktif.
1. Faktor Predisposisi
 Biologis
Pola keterlibatan keluarga relative kuat yang muncul dikaitkan dengan delusi atau
waham. Dimana individu dari anggota keluarga yang di manifestasikan dengan
gangguan ini berada pada resiko lebih tinggi untuk mengalaminya di bandingkan
dengan populasi umum. Studi pada manusia kembar juga menunjukkan bahwa
ada keterlibatan factor.
 Teori Psikososial
 System Keluarga
Perkembangan skizofrenia sebagai suatu perkembangan disfungsi keluarga.
Konflik diantara suami istri mempengaruhi anak. Banyaknya masalah dalam
keluarga akan mempengaruhi perkembangan anak dimana anak tidak mampu
memenuhi tugas perkembangan dimasa dewasa nyya. Beberapa ahli teori
meyakini bahwa individu paranoid memiliki orang tua yang dingin,
perfeksionis, sering menimbulkan kemarahan, perasaan mementingkan diri
sendiri yang berlebihan dan tidak percaya pada individu. Klien menjadi orang
dewasa yang rentan karena pengalaman awal ini.
 Teori Interpersonal
Dikemukakan oleh Priasmoro (2018) di mana orang yang mengalami psikosis
akan menghasilkan suatu hubungan orang tua-anak yang penuh dengan ansietas
tinggi.Hal ini jika di pertahankan maka konsep diri anak akan mengalami
ambivalen.
 Psikodinamika Perkembangan emosi terhambat karena kurangnya rangsangan
atau perhatian ibu,dengan ini seorang bayi mengalami penyimpangan rasa aman
dan gagal untuk membangun rasa percayanya sehingga menyebabkan munculnya
ego yang rapuh karena kerusakan harga diri yang parah,perasaan kehilangan
kendali,takut dan ansietas berat.Sikap curiga kepada seseorang di manifestasikan
dan dapat berlanjut di sepanjang kehidupan. Proyeksi merupakan mekanisme
koping paling umum yang di gunakan sebagai pertahanan melawan perasaan.

Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya waham adalah:


1) Gagal melalui tahapan perkembangan dengan sehat.
2) Disingkirkan oleh orang lain dan merasa kesepian
3) Hubungan yang tidak harmonis dengan orang lain
4) Perpisahan dengan orang yang di cintainya
5) Kegagalan yang sering di alami
6) Keturunan,paling sering pada kembar satu telur
7) Menggunakan penyelesaian masalah yang tidak sehat misalnya menyalahkan
orang lain.

2. Faktor Presipitasi
 Biologi Stress biologi yang berhubungan dengan respon neurologik yang
maladaptif termasuk:
a)Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses informasi
b)Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.
 Stres lingkungan Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
perilaku.
 Pemicu gejala Pemicu merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering
menunjukkan episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat pada
respon neurobiologik yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan.
Lingkungan, sikap dan perilaku individu (Direja, 2011).

C. Rentang Respon Adaptif dan Mal Adaptif

Respon Adaptif Respon Maladatif

Pikiran Logis Disorientasi Pikiran Gg. Pikiran/Waham


Persepsi Akurat Ilusi
Sulit Berespon
Emosi Konsisten Reaksi Emosi Ber (+/-)
Perilaku Kacau
Prilaku Sesuai Perilaku Aneh/Tidak Biasa
Isolasi Sosial
Berhubungan Social Menarik Diri
D. Pathway

Pathway
Diagnosa keperawtan
Asuhan utama
Keperawatan Jiwa
perubahan Proses
Perubahan proses Pikir
piker: :Waham
Faktor Predisposisi : waham Faktor Prespitasi :
Pendukung Terjadinya Pendukung Terjadinya
Perubahan Proses Pikir : Perubahan Proses Pikir :
Waham Waham
Koping Individu dan
atau koping
Predisposisi : Prespitasi :
keluarga inefektif
Faktor perkembangan (yang berakhir Faktor sosial budaya (Perpisahan dengan
dengan gangguan presepsi dan emosi orang yang berarti atau di asingkan dari
tidak efektif.) kelompok)
Faktor sosial budaya (seseorang yang Faktor psikologis (kecemasan yang
merasa di asingkan) memanjang dan selalu menghindar,
Faktor psikologi (hubungan yang tidak karena tidak dapat mengatasi masalah
harmonis, peran ganda, dan tersebut.)
pengingkaran kenyataan) Faktor biokimia (dopamin, norepipenin,
Faktor biologis (disebabkan atrofi otak, dan zat halusinasi lainya
pembesaran ventrikel di otak atau
perubahan pada sel kortikal dan indik)

Rentang Fase terjadinya waham :


Respon Fase human need
Mekanisme Koping (kebutuhan manusia
Regresi ; berhubungan Respom Respom rendah)
dengan masalah proses adaptif adaptif Fase lock of self esteem
informasi dan upaya (kepercayaan diri
untuk mengulangi Pikiran logis Kadang kadang Gangguan isi rendah)
ansietas, hanya Persepsi akurat proses piker piker halusinasi Fase control internal
mempunyai sedikit energi Emosi terganggu Perubahan external (pengendalian
yang tertinggal untuk konsisten Ilusi proses emosi dalam dan luar)
aktivitas hidup sehari hari dengan Emosi berlebih Perilaku tidak Fase envinmenvinment
Proyeksi ; sebagai upaya pengalaman Perlaku yang teroganisasi support (dukung
untuk menjelaskan Perilaku sesuai tidak biasa Isolasi sosial lingkungan)
keracauan persepsi Hubungan Menarik diri Fase comforting
Menarik diri ; pada sosial (nyaman)
keluarga ; mengingkari Fase improving
(peningkatan)

Subjektif
Klien mengatakan dirinya yang paling hebat
Klien mengatakan mempumyai kebesaran
atau kekuasaan khusus
objektiv
Klien terus berbicara tentang kemampuan
yang dimiliki
Pembicaraan cenderung berulang
Isi pembicaraan tidak sesuai dengan
kenyataan
Intervensi : strategi pelaksanaan
jenis perubahan
keperawatan waham
proses piker :
1.daftar masalah yang terkait SP I
waham
Identifikasi tanda dan gejala waham
- resiko tinggi perilaku kekerasan ; bantu orientasi realita : panggil
1. Waham
kebesaran nama, orientasi waktu, orang dan
-Perubahan proses piker :waham tempat/lingkungan; diskusikan
(keyakinan
berlebihan kebutuhan pasien yang tidak
-isolasi sosial
bahwa dirinya terpenuhi;bantu pasien memenuhi
memiliki -harga diri rendah kebutuhanya yang realistis;
kekuatan dan masukan pada jadwal pemenuhan
kelebihan) 2. pohon masalah kebutuhan
2. Waham curiga SP II
(keyakinan Effect Resiko tinggi perilaku kekerasan Evaluasi kegiatan pemenuhan
bahwa pasien dan berikan pujuan;
seseorang/kel Core Perubahan proses pikir waham diskusikan kemampuan yang dia
ompok akan problem miliki;latih kemampuan yang
melukainya) Isola sosial manrik diri dipilih;berikan pujian;masukan
3. Waham agama 3. resiko kekambuhan pada jadwalpemenuhan kebutuhan
(keyakinan dan kegiatan yang telah dilatih
terhadap - regimen terapeutik inefektif SP III
agama yang Evaluasi kegiatan pemenuhan
berlebihan) kebutuhan pasien dan berikan
4. Waham pujian; Jelaskan tentang obat yang
somatic diminum (6 benar : jenis, guna,
(keyakinan frekuensi, cara, kontinuitas minum
bahwa obat, dan manfaat yang dirsa
tubuhnya pasien); masukan pada jadwal
terganggu atau pemenuhan kebutuhan dan
terserang kegiatan yang telah dilatih dan
penyakit) minumobat
5. Waham SP IV
Evaluasi kegiatan pemenuhan
nihilistic
kebutuhan pasien dan berikan
(keyakinan
pujian;minum obat dan berikan
seorang bahwa
pujian;diskusikan tujuan lain dan
dirinya telah
cara pemenuhanya;diskusikan
meninggal)
kemampuan yang dimiliki dan
memilih yang akan
dilatih;kemudian latih dan masukan
ke jadwal pemenuhan kebutuhan.
SP V
Evaluasi kegiatan pemenuhan
kebutuhan pasien dan berikan
pujian; minum obat dan berikan
pujian; nilai kemampuan yang telah
mandiri; frekuensi waham
berkurang atau tidak terkontrol
E. Penatalaksanaan

PenatalaksanaanMenurut Harnawati (2008) penanganan pasien dengan gangguan jiwa


wahamantara lain :

a.Psikofarmalogi 

b. Litium Karbonata)

a) Indikasi : Mengatasi episode waham dari gangguan bipolar. Gejalahilang dalam


jangka waktu 1-3 minggu setelah minum obat litium juga digunakan
untuk mencegah atau mengurangi intensitas seranganulang pasien bipolar dengan
riwayat mania.
b) Dosis : Untuk tablet atau kapsul immendiate rease biasanya diberikan3 dan 4 kali
sehari, sedangkan tablet controlled release diberikan 2 kali sehari interval 12 jam.
Pemberian dosis litium harus dilakukanhati-hati dan individual, yakni berdasarkan
kadar dalam serum danrespon klinis. Untuk menukar bentuk tablet dari immediate
releasemaka diusahakan agar dosis total harian keduanya tetap sama
c) Control jangka panjang : kadar serum litium yang diinginkan adalah0,6-1,2 mEq/L.
dosis bervariasi per individu,tapi biasanya berkisar900mg-1200mg per hari dalam
dosis berbagi. Monitor dilakukansetiap bulan, pasien yang supersensitive biasanya
memperlihatkantanda toksik pada kadar serum dibawah 10mEq/Ld)
d) Efek Samping : Insiden dan keparahan efek samping tergantung padakadar litium
dalam serum. Adapun efek yang mungkin dijumpai padaawal terapi. Misalnya tremor
ringan pada tangan, poliuria nausea, danrasa haus. Efek ini mungkin saja menetap
selama pengobatan.c.

b. Haloperidola)

a) Indikasi : Haloperidol efektif untuk pengobatan kelainan tingkah


laku berat pada anak-anak yang sering membangkang an eksplosif.Haloperidol juga
efektif untuk pengobatan jangka pendek, pada anakyang hiperaktif juga melibatkan
aktivitas motorik berlebih disertaikelainan tingkah laku seperti : impulsive, sulit
memusatkan perhatian,agresif, suasana hati yang labil dan tidak tahan frustasi. 
b) Dosis Untuk dewasa dosis yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Gejala sedang : 0,5-2mg, 2 atau 3 kali sehari
2. Gejala berat : 3-5mg, 2 atau 3 kali seharic) 
c) Efek samping :
1. Pada sistem saraf pusat akan menimbulkan gejalaekstrapiramidal, diskinesia
Tardif, distonia tardif,
gelisah, cemas, perubahan pengaturan temperature tubuh, agitasi, pusing.Depresi,
lelah, sakit kepala, mengantuk, bingung, vertigo, kejang.
2. Pada kardiovaskular akan menyebabkan timbulnya takikardi,hipertensi/hipotensi,
kelainan EKG (gelombang T abnormaldengan perpanjangan repolarisasi
ventrikel), aritmia.
Sedangkan pada hematologik : Timbul leucopenia dan leukositosis ringan.Pada
hati dapat menimbulkan gangguan fungsi hati
3. Pada kulit memungkinkan timbulnya makulopapular danakneiform, dermatitis
kontak, hiperpigmentasi alopesia. Padaendokrin dan metabolic antara lain laktasi,
pembesaran payudara,martalgia, gangguan haid, amenore, gangguan seksual,
nyeri payudara, hiponatremia. Pada saluran cerna : Anoreksia,konstipasi, diare
dan mual muntah. Mata : Penglihatan kabur.Pernapasan : Spasme laring dan
bronkus. Saluran genitourinaria :Retensi urin.

d. Penarikan Diri High PotensialSelama seseorang mengalami waham. Dia cenderung


menarikdiri dari pergaulan dengan orang lain dan cenderung asyik dengandunianya sendiri
(khayalan dan pikirannya sendiri). Oleh karena itu, salahsatu penatalaksanaan pasien waham
adalah penarikan diri high potensial.Hal ini berarti penatalaksanaannya ditekankan pada
gejala dari waham itusendiri, yaitu gejala penarikan diri yang berkaitan dengan
kecanduanmorfin biasanya dialami sesaat sebelum waktu yang dijadwalkan berikutnya,
penarikan diri dari lingkungan sosial.

e. ECT Tipe KatatonikElectro Convulsive Terapi (ECT) adalah sebuah prosedur dimanaarus
listrik melewati otak untuk memicu kejang singkat. Hal ini tampaknyamenyebabkan
perubahan dalam kimiawi otak yang dapat mengurangigejala penyakit mental tertentu, seperti
skizofrenia katatonik. ECT bisamenjadi pilihan jika gejala yang parah atau jika obat-obatan
tidakmembantu meredakan katatonik episode.

f. PsikoterapiWalaupun obat-obatan penting untuk mengatasi pasien waham,namun


psikoterapi juga penting. Psikoterapi mungkin tidak sesuai untuksemua orang, terutama jika
gejala terlalu berat untuk terlibat dalam prosesterapi yang memerlukan komunikasi dua arah.
Yang termasuk dalam psikoterapi adalah terapi perilaku, terapi kelompok, terapi
keluarga, terapisupportif.

F. Pengkajian

1. Faktor predisposisi

a. Perkembangan

Ketidakmampuan, individu dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan,

misal rasa saling percaya yang tidak terbina, kegagalan dalam mengungkap

perasaan dan pikiran.


b. Lingkungan

Yang tidak terapeutik sering mengancam dan menimbulkan cemas

berkepanjangan.

c. Interaksi

1) Curiga merasa diawasi, kaku dan tidak toleran terhadap dirinya.

2) Yang perlu diantisipasi, yaitu memperhatikan dalam perubahan penampilan,

persepsi dan isi pikir.

3) Tidak mampu memfokuskan pikiran dan tidak terselesaikan, tidak mampu

mengorganisasikan pikiran untuk menyelesaikan masalah

2. Faktor Presipitasi

a. Faktor internal

Merasa gagal, kehilangan sesuatu yang bermakna, secara berulang dan ketakutan

karena adanya penyakit fisik.

b. Faktor eksternal

Adanya trauma/serangan fisik, kehilangan hubungan penting dengan orang yang

berarti dan adanya kritikan dari orang lain.

c. Faktor biokimia

Kadar dopamine yang meningkat di atas, kelebihan dopamin akibat meningkatnya

produksi dan pelepasannya.

3. Faktor perilaku

a. Dimensi fisik

1) Nutrisi tidak adekuat terhadap delusi yang menyiksa.


2) Kesukaran tidur

3) Kesenangan dan keindahan, kurang perhatian ketika area pada delusi.

4) Aktivitas tidak fungsional.

Kebiasaan pengobatan menolak tidak menurut aturan hidup karena takut akan

membahayakan (waham penganiayaan)

5) Perilaku destruktif

a) Kurang pengontrolan pikiran berdasarkan delusi.

b) Usaha bunuh diri

c) Pembunuhan

b. Dimensi emosional

1) Ekspresi emosi, kadang-kadang tidak ada

2) Takut yang berlebihan

3) Mencurigai orang lain/tidak percaya pada orang lain

4) Kasar, tidak menghargai, sukar marah

5) Terlihat bingung dan senang berfantasi

6) Merasa bersalah

7) Bermusuhan

c. Dimensi sosial

1) Percaya diri tidak realistik

2) Curiga

3) Menarik diri dan isolasi

4) Merasa dirinya orang terkenal/hebat.

d. Dimensi spiritual

1) Kepercayaan yang berlebihan

2) Tidak mampu menikmati hidup


3) Merasa dirinya Tuhan

4. Mekanisme koping

a. Denial : menghindari kenyataan yang tidak diinginkan.

b. Proyeksi : mengatakan harapan, pikiran, perasaan, motivasi sendiri sebagai

harapan.

c. Disosiasi : memisahkan diri dari lingkungan.

G. DiagnosaKeperawatan

1. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham.

2. Perubahan proses pikir waham berhubungan dengan harga diri rendah kronis.

H. Intervensi

A. Diagnosa : Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan

proses pikir waham.

Tujuan umum : Klien dapat melakukan komunikasi verbal

Tujuan khusus : 1.Klien dapat membina hubungan saling percaya

2.Klien dapat mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi

3.Klien dapat membina hubungan realitas

4.Klien dapat menggunakan obat dengan benar.

Perencanaan :

i. Bina hubungan saling percaya dengan pasien

ii. Jangan menambah dan mendukung waham klien

iii. Yakinkan klien dalam keadaan aman dan terlindung

iv. Observasi apakah waham klien mengganggu aktivitas sehari-hari

dan perawatan diri.


v. Beri tujuan pada penampilan dan kemampuan klien yang realitas.

vi. Observasi kebutuhan sehari-hari.

vii. Bicara dengan klien dalam kontak realitas

viii. Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok

ix. Diskusikan dengan keluarga tentang gejala waham, cara

merawatnya.

B. Diagnosa 2 : Perubahan proses pikir berhubungan dengan harga diri rendah

kronis

Tujuan umum : Proses pikir baik sesuai dengan realita.

Tujuan khusus : 1.Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat

2.Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang

dimiliki

3.Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan

4.Klien dapat menetapkan kegiatan sesuai kondisi

5.Klien dapat menggunakan sistem pendukung yang ada.

Perencanaan :

x. Bina hubungan saling percaya

xi. Diskusikan kemampuan dan aspek yang dimiliki.

xii. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan

selama sakit.
xiii. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap

hari sesuai kemampuan.

xiv. Beri kesempatan pada klien mencoba kegiatan yang telah

direncanakan

xv. Berikan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat

klien dengan harga diri rendah.

I. Jurnal
JIKSH: JurnalIlmiahKesehatan Sandi Husada
Research article
Pengaruh Insight Pada Proses KesembuhanPasienSkizofrenia

Ni Made AyuWulansari
STIKES Telogorejo Semarang

Abstrak
Pendahuluan : Gangguanjiwamasihmenjadimasalahserius di duniasaatini.
Tujuan : Mengetahuipengaruh insight pada proses kesembuhanpasienSkizofrenia.
Metode : Desainpenelitianmenggunakanstudikasus yang
bertujuanuntukmendeskripsikanasuhankeperawatan yang dilaksanakan.
Hasil : Menunjukkanhasilobservasipasien yang
tidakmenyadaribahwadirinyamenderitaSkizofrenia,
pernahkeluarmasukrumahsakitkarenaSkizofrenia.
Kesimpulan : BahwaSkizofreniasalahsatugangguanjiwaberat yang
memerlukanpenangananintensif.

Pendahuluan
Gangguan jiwa sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang serius di dunia. Hal ini
sesuai dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2016) mengatakan bahwa sekitar
35 juta orang terkena depresi dan 21 juta terkena skizofrenia. Di Indonesia berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (2018) dalam Infodatin Kemenkes, menjelaskan tahun 2018 mengalami
peningkatan. Peningkatan jumlah menjadi 7 permil rumah tangga, yang artinya per 1000
rumah tangga terdapat 7 rumah tangga dengan ODGJ, sehingga jumlahnya diperkirakan
sekitar 450 ribu ODGJ berat.
Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam
pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau
perubahan perilaku yang bermakna, dan menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi orang sebagai manusia (UU RI NO. 18, 2014). Sedangkan WHO (2018)
mengatakan bahwa gangguan jiwa terdiri dari berbagai masalah dengan berbagai gejala yang
berbeda. Namun pada umumnya ditandai oleh beberapa kombinasi perubahan pada pikiran,
emosi, perilaku, dan hubungan abnormal dengan orang lain. WHO juga berpendapat
bahwaSkizofrenia, depresi, retardasi mental, dan kelainan akibat penyalahgunaan obat
terlarang termasuk kedalam gangguan jiwa.
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat, Skizofrenia adalah sindrom
kompleks dari gangguan perkembangan otak yang menyebabkan penyimpangan perilaku dan
kognitif serta disebabkan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan (Owen, et.al, 2016).
Pasien dengan skizofrenia umumnya mengalami gejala-gejala seperti yang disebutkan dalam
penelitian McFarlane (2014) yaitu Gejala positif dan negaf. Delusi dan halusinasi merupakan
salah satu gejala positif yang sering dialami pada skizofrenia, selain itu skizofrenia erat
hubungannya dengan perilaku kekerasan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh
insight pada proses kesembuhan pasien Skizofrenia.

METODE

Metode pada studi kasus menggunakan studi kasus secara deskriptif yang bertujuan
untuk menggambarkan asuhan keperawatan yang dilaksanakan. Jumlah sampel adalah 1
orang, yang diobservasi selama 7 hari. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara
dan penyajian data disertai ungakapan secara verbal dari subyek studi kasus yang merupakan
data pendukung. Intervensi keperawatan pasien dilakukan psikoedukasi keluarga, manajemen
halusinasi, konseling, mendengar aktif, peningkatan sosialisasi dan terapi aktivitas kelompok.
Implementasi keperawatan antara lain pada saat keluarga datang, perawat melakukan edukasi
pada keluarga dan meminta orang terdekat pasien untuk datang, hal ini merupakan salah satu
cara untuk menyediakan support system bagi pasien. Perawat melakukan konseling dan
mendengar aktif setiap hari selama 7 hari. Perawat juga berkolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat padapasien.
Evaluasi pasien, pada hari ketiga pasien mulai menyadari bahwa dirinya mengalami
masalah gangguan jiwa. Pada saat pasien mulai menyadari masalah yang dialami, pasien
mulai menyedari bahwa bisikan dan bayangan yang dilihat tidak nyata serta mulai mencoba
bersosialisasi dengan pasien lain. Selain itu, pasien mulai berani untuk menceritakan
ketakutan dan masa lalu nya.

Hasil Dan Pembahasan

Seorang perempuan bernama Ny.S berusia 40 tahun dan sudah menikah. Ny. S
mempunyai 5 anak dan tinggal serumah dengan ke lima anak serta ibu Ny. S. Ny. S
menikah sejak usia 18 tahun. Pada saat dua hari sebelum menikah, ayah Ny. S
meninggal dan Ny. S merasa sedih, tidak bersemangat dan mengurung diri dikamar.
Ayah adalah orang terdekat Ny.

S. Ny. S mengatakan dirinya sulit bercerita pada orang lain kecuali dengan
ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, Ny. S sering mendengar suara bisikan seperti
ayahnya yang sedang memanggil ibunya. Setelah menikah, Ny. S pindah ke Jakarta
bersama suami. Suami berprofesi sebagai kuli panggul. Ny. S diberi tempat tinggal
oleh majikan suami. Setelah diusir oleh majikan, Ny. S bersama suami dan 1 anaknya
mulai tinggal berpindah-pindah. Ny. S merasa kesal, marah dan Lelah karena selalu
berpindah kontakan. Akhirnya Ny. S dan anaknya mulai pindah ke Cirebon dan suami
memilih menetap di Jakarta. Di Cirebon, Ny. S tidak bekerja dan fokus mengurus
rumah tangga. Penghasilan hanya dari suami. Dua tahun setelah anak ketiga lahir, Ny.
S memilih untuk menjadi TKW di Yordania. Ny. S menceritakan selama di Yordania,
dia tidak memahami bahasa arab, Ny. S hanya memahami bahasa inggris sedikit. Ny.
S diperlakukan tidak manusiawo oleh majikannya dan tidak diberi makan. Ny. S
mengadu pada agen dan dipindah ke majikan baru. Majikan baru Ny. S baik hati dan
memulangkan Ny. S ke Cirebon. Dua hari setelah pulang, Ny. S mulai mengurung
diri, mengamuk dan dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit hasan sadikin bandung

Ny. S di rawat selama 1 bulan setelah itu kembali di Cirebon. Ny. S mengatakan
setelah dirawat sering mendengar bisikan suara mamangnya. Ny. S mengatakan sakit
hati dengan perlakuan mamangnya ke anaknya. Anaknya pernah dipukul dan
dimarahi ketika meminta uang jajan. Mamang Ny.S selalu mengomentari negative
anak-anak Ny. S dan mamang Ny S selalu minta dilayani pada saat makan serta harus
didahulukan. Ny. S juga sering mendengar bisikan bahwa mamangnya
memperlakukan hal tidak senonoh pada anaknya. Ny. S merasa curiga mamangnya
melakukan pelecehan seksual pada anaknya karena waktu kecil Ny. S pernah
melakukan tindakan sodomi dengan mamangnya. Ny. S juga mencurigai mamangnya
memberikan ilmu hitam kedirinya sehingga jiwa mamang Ny. S dapat merasuk ke
jiwanya.

Ny. S mulai menyukai pornografi semenjak menemukan buku yang berisi cerita
pornografi sehingga dirinya mempraktekkan pada mamang (adik). Ny. S merasa
dirinya kotor karena selalu melakukan masturbasi sendiri dengan cara memasukkan
jarinya ke alat kelaminnya. Hal ini dikarenakan Ny. S dan suami tinggal berjauhan.
Alasan ini yang menyebabkan Ny. S merasa kotor, hina dan merasa dirinya adalah
pelacur. Pada saat diruangan, Ny. S merasa tidak nyaman makan dan berkumpul
teman-teman di ruang pattimura, karena ada bisikan yang mengatakan dirinya kotor
dan hina. Faktor pencetus Ny. S masuk ruang pattimura adalah Ny. S marah-mara dan
melempar batu ke rumah tetangga. Menurut Ny. S, dirinya melakukan hal tersebut
karena tetangganya selingkuh dengan suaminya. Ny. S melihat suaminya keluar dari
rumah tetangganya. Tetangga juga sering mengatakan dirinya kotor dan selalu
mengatakan hal-hal negatif pada dirinya, Ny. S mengatakan bahwa tetangganya
adalah orang jahat dan selalu membuat masalah. Selama dirumah, Ny. S hanya duduk
didepan rumah, masak, mengurus anak dan mencuci. Ny. S tidak mau mengikuti
kegiatan di daerahnya dan tidak mau bergaul didaerahnya karena malu dengan
kondisinya. Ny. S mengatakan pernah dikatai sebagai orang gila oleh tetangganya.
Mamangnya juga sering mengatai dirinya adalah orang yang kotor. Menurut Ny. S
tidak ada keluarganya yang mengalami hal yang sama dengan dirinya tetapi dulu
nenek dari ibunya seting marah-marah dan tetangganya menganggap nenek dari
ibunya sebagai oranggila.

Skizofrenia menurut Viedeback (2008), merupakan sindrom atau proses penyakit


yang disebabkan oleh berbagai gejala seperti distorsi pikiran, persepsi, gangguan
emosi, gerakan, dan perilaku. Penderita skizofrenia memiliki gejala positif seperti
waham, halusinasi, dan proses berpikir yang tidak teratur dan gejala negatif seperti
isolasi sosial, apatis, serta kurangnya motivasi dan kemauan. Efek skizofrenia
melibatkan semua aspek kehidupan klien yaitu interaksi sosial, kesehatan emosional,
kemampuan bekerja dan berfungsi di masyarakat. Penelitian Handayani, Sriati, &
Widianti (2013) menambahkan bahwa pasien yang mengalami halusinasi mekanisme
koping yang biasa dilakukan adalah regresi, proyeksi, dan menarik diri. Diagnosis
skizofrenia hebrefenik menurut Maslim (2013) yaitu memiliki kepribadian premorbid
yang menunjukkan ciri khas pemalu, senang menyendiri, mannerisme, hampa
perasaan, hampa tujuan, afek dangkal, senyum sendiri, ungkapan kata yang diulang-
ulang, dan pembicaraan tak menentu. Skizofrenia biasanya menyerang usia 15-
25tahun.

Pasien Skizofrenia secara signifikan mempunya insight rendah berhubungan


dengan gejala neuro-kognitif dibandingkan dengan gejala klinis pasien. Rata-rata,
pasien memiliki insight yang baik pada gejala klinis dan insight yang parsial terhadap
gejala neuro-kognitif. Neuropsikologikal berhubungan dengan insight gejala klinis
tetapi bukan insight neuro-kognitif. Skizofrenia yang memiliki insight yang baik pada
gejala klinis dampaknya adalah ketaatan minum obat. Skizofrenia yang insight neuro-
kognitifnya rendah akan memiliki insight gejala kognitif yang rendah sehingga akan
mengurangi ketaatan terapi yang berfokus pada kognitif seperti psikoterapi (Medalia
dan Thysen, 2010).

Insight jika dijelaskan menurut pandangan neuropsikologikal menurut Antonius,


et.all (2011) yaitu ketidaknormalan white matter pada bagian gitus superior frontal
kanan, girus tengah frontal kiri, girus bilateral parahippocampal,adjacen dari kanan
hingga ujungkepala,thalamus kanan, insula kiri, nucleus lentiform kiri, girus fusiform
kiri, bilateral posterior cingulate, left anterior cingulate, right cingulate gyrus, lingual
gyrus kiri, dan bilateral claustrum berhubungan dengan gejala mengenai
ketidaksadaran. Kerusakan insight pada skizoprenia berimplikasi pada sirkuit neural
komplek. Kerusakan sirkuit komplek terjadi karena adanya kerusakan pada pre frontal
cortek yang menjadi bagian otak sentral untuk insight pada skizofrenia. Selain itu,
kerusakan pada lobus temoral menyebabkan rendahnya kesadaran mengenai tanda
gejala, kesulitan memutuskan sesuatu dan gangguan memori. Ketidak normalan white
matter pada cingulate juga terjadi pada skizofrenia sehingga menganggu mekanisme
insight.

Insight dibutuhkan untuk membantu memaksimalkan terapi pada skizofrenia.


Selain itu, orang dengan skizofrenia kesulitan untuk menyadari dan memikirkan
tentang tahap mental, pikiran dan emosi. Kesulitan tersebut merujuk sebagai
kekurangan dalam metakognisi. Metakognisi adalah sebuah paying yang merujuk paa
pembentukan elemen elemen berbeda tentang kognisi mereka sendiri (mendeteksi
kesalahan) dan representasi komplek tentang dirinya dan orang lain, yang
mengintegrasikan dan menyinkronkan perbedaan elemen, dan menggunakan ide ini
untuk memahami dunia sosial dan merespon gejala masalah sosial dan beradaptasi
dengan masalah sosial (Dimaggio dan Lysaker, 2010; Semerari, et.al., 2003). Menurut
penelitian Nicolò (2012) berjudul Associations of Metacognition with Symptoms,
Insight, and Neurocognitition in Clinically Stable Outpatients with Schizophrenia.
Pengkajian metakognisi berkolerasi dengan pengkajian gejala, insight, kemampuan
neurokognitif (termasuk memori verbal dan visual), premorbid intelligence,
memproses kecepatan, dan mengeksekusi fungsi. Hasil penelitian memunjukkan
defisit metakognisi berhubungan dengan gejala negatif, insight dan
defisitneurokognitif.

Gejala dan insight yang dialami orang dengan skizofrenia perlu adanya observasi
lanjutan. Menurut Saravanan, et.al., (2010), berjudul Outcome of first-episode
schizophrenia in india: longitudinal study of effect of insight and psychopathology,
berdasarkan tindak lanjut data dari 115 pasien selama satu tahun. Sebagian pasien
mengalami gejala residual, sebagian lagi tidak mengalami. Terjadi perubahan
psikopatologi dan insight selama 6 bulan pertama dan berdasarkan pengkajian
menggunakan duration of untreated psychosis (DUP) memprediksi setelah 6 bulan
terjadi relaps. Oeh karena itu, perlu tindakan lebih lanjut untuk menangani
kemungkinanyang terjadi setelah 6 bulan masaperawatan.

Selain itu, Insight mempunyai hubungan dengan medikasi obat. Menurut


Mohamed (2008) dalam penelitiannya berjudul Cross-sectional and Longitudinal
Relationship Between Insght and Attitudes Toward Medication and Clinical
Outcomes in Chronic Schizophrenia, terdapat hubungan signifikan antara insight dan
perilaku minum obat, gejala skizofrenia dan depresi. Tingginya tingkat insight secara
signifikan berhubungan dengan rendahnya gejala skizofrenia dan lebih positif untuk
minum obat. Perubahan nilai insight berhubungan dengan penurunan gejala
skizofrenia tetapi meningkatkan tingkat depresi. Insight yang tinggi dapat
menyebabkan tingginya self-evaluation sehingga menjadi faktor depresi pada
skizofrenia. Hal ini dapat dipahami apabila perubahan perilaku minum obat
berhubungan dengan perubahan insight.
Insight berhubungan dengan kesadaran penyakit. Menurut Beck, et.al (2011),
kesadaran penyakit dikontribusi oleh ketaatan minum obat berdasarkan keyakinan
pasien tentang pentingnya antipsikotik. Model ini juga menemukan hubungan negatif
anatara fokus terhadap antipsikotik dengan ketaatan dan dampak negatif
ketidakpercayaan farmakoterapi dan ketaatan antipsikotik. Keyakinan minum obat
dapat timbuk dengan diberikan psikoedukasi pentingnya minum obat. Ketaatan
minum obat timbul bukan karena kekhawatiran tentang medikasi tetapi kebutuhan
akan medikasi. Adanya keyakinan dan kebutuhan medikasi menimbulkan perilaku
taat minum obat.

Ny. S mengatakan tidak tahu hanya mengetahui sedang dirawat diRSUD


Arjawinangun. Pada hari kedua hingga ke empat, Ny. S masih menjawab dengan
jawaban yang sama. Tetapi pada tanggal 28 November 2018, Ny. S dapat
menceritakan masa lalunya dan mengatakan dirinya gangguan mental sehingga
dirawat diruangan tersebut. Dosis obat Ny. S pada hari kamis dinaikkan dari serquel
dosis 300 mg menjadi 400 mg, obat diberikan satu kali sehari sebelum tidur. Apabila
diakitkan dengan artikel yang ada, insight mempunyai hubungan dengan medikasi
obat.

Setelah Ny. S memahami bahwa dirinya sedang mengalami gangguan mental.


Ny. S terus saja mengatakan dirinya kotor, hina dan seperti pelacur. Setelah dijenguk
anaknya, Ny. S terus memikirkan anaknya dirumah. Ny. S lebih memilih dikamar dan
jarang keluar karena merasa kotor. Selain itu, Ny S juga nafsu makannya menurun.
Tanda gejala tersebut sesuai artikel diatas bahwa pada saat insight tinggi, klien bisa
mengalami depresi. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya depresi
pada saat insight tinggi adalah stigma. Menurut artikel Tranulis, Corin dan Kirmayer
(2008), terdapat hubungan yang signifikan insight (Extracted Insight Scale) pasien
dengan anggota keluarga (r= 0.51, p-0.03) tetapi tidak antara pasien dengan petugas
kesehatan atau keluarga dengan petugas kesehatan. Analisis kualitatif
merekomendasikan insight berdasarkan meaning yang dibangun selama pengalaman
psikotik dan proses meaning serta yang berkontribusi merefleksikan pengalaman
psikotik pada setiap latar belakang budaya sesorang, pengalaman kehidupan, dan
tujuan sosial lainnya terutama stigma. Hal ini menunjukkan insight dibangun dari diri
sendiri dan keluarga.
Stigma tidak hanya didapat dari lingkungan tetapi juga diri sendiri. Stigma yang
didiapat ddari diri sendiri adalah self-stigmatization. Berdasarkan penelitian Hasson-
Ohayon, et.al. (2009), insight memberikan dampak negatif pada kualitas hidup
skizofrenia dengan menurunkan harapan orang tersebut. Selain itu, self-stigmatization
adalah parameter yang mempengaruhi insight orang dengan skizoprenia karena self-
stigmatization dianggap sebagai sumber atau beban. Insight yang tinggi menyebabkan
orang dengan skizofrenia memiliki perbedaan dengan orang lainnya ditambah dengan
adanya self-stigmatization menyebabkan menurunnya harapan. Oleh karena itu, untuk
menaikkan hope perlu menurukan self- stigmatization.

Ny. S dengan insight yang lebih baik dari sebelumnya, dapat dimaksimalkan
terapi yang diberikan tetapi hambatan yang ada adalah stigma yang diberikan pada
dirinya sendiri, yaitu menilai bahwa dirinya kotor, hina dan pelacur, menyebabkan
Ny. S tidak ingin makan (karena bergabung dengan teman-teman), tidak ada semangat
untuk bergabung dalam terapi aktivitas kelompok, sering menunduk, lebih nyaman
menyendiri dikamar dan tidak bersosialisasi dengan teman lainnya. Fokus pada
interveni Ny. S adalah memberikan pujian dan membantu menangani pikiran-pikiran
negatif padadirinya.

Pada saat, sebelum Ny. S menyadari bahwa dirinya sakit mental, Ny. S
menyerang teman yang berisik dan menganggu Ny. S pernah bertengkar dengan Ny. I
karna Ny. I menyanyi dengan kerasa dan Ny. S merasa suaranya Ny. I berisik. Suara
Ny. I membuat dirinya pusing dan membuat emosinya naik. Menurut Lincoln dan
Hofgins (2008), insight tidak berhubungan dengan perilaku agresif tetapi
berhubungan dengan karakter individu yang psikopati dan gejala positif skizofrenia.
Hal ini berbeda dengan artikel Ekinci dan Ekinci (2012), mengemukakan insight dan
cognitive insight meningkatkan kemungkinan kekerasan. Petugas kesehatan sebaiknya
memberikan teknik non-farmakologi yang berfokus pada terapi kognitif-perilaku dan
memperluas insight untuk mencegah perilakukekerasan

Keyakinan dan kebutuhan merupakan perilaku implisit dan eksplisit. Menurut


Rüsh, et.al. (2009) juga menemukan hal yang sama dalam penelitiannya berjudul
Implicit versus explicit attitudes toward psychiatric medication: Implications for
insight and treatment adherence. Kedua prediktor tidak berhubungan. Implisit,
perilaku postif ssecara signifikan memprediksi peningkatan level insight dan
keyakinan untuk terapi; perilaku ekplisit positifmengenai keyakinan kebutuhan untuk
terapi. Perilaku eksplisit memprediksikan self-reported ketaatan medikasi.
Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Suprapto Mulat, T.C.,
Lalla, N.S.N.,2021).

Menurut O’donoghue (2011), orang dengan skizofrenia akan kembali


memeriksakan diri kerumah sakit dipengaruhi oleh insight. Penelitian ini menemukan
insight berhubungan dengan involuntary admission. Involuntary admission adalah
salah satu praktik kedokteran dalam menangani gangguan jiwa. Ketatan dan insight
memberikan dampak pada hasil, program psikoterapi dan psikoedukasi. Gaya
recovery yang tidak stabil mempengaruhi involuntary admission. Pentingnya recovery
yang terencana dan terintegrasi untuk membantu program involuntary admission di
rumah sakit. Menurut (Tiara et al., 2020) bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara dukungan keluarga dilihat dari dukungan emosional, informasi, nyata dan
pengharapan dengan kekambuhan pada pasien skizofrenia. Menurut (Suprapto, 2020)
bahwa menerapkan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan berdasarkan prioritas masalah akan memudahkan dalam merawatpasien.

Simpulan Dan Saran

Skizofreniamerupakansalahsatugangguanjiwaberat yang
memerlukanpanangananintensif.Berdasarkankasus, beberapa diagnose yang
munculmengacupadagejalapositifdan negative dariskizofrenia. PadaNy. S
terdapatdukungandariobat, lingkungandandukungankeluargasehinggainsightNy. S
dapatmenjadilebihbaikdanmempercepatwakturawatinap di rumahsakit.
J. DaftarPustaka

DIANTI, NINDY APRILA (2017) “ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN


SKIZOFRENIA DENGAN PERUBAHAN PROSES PIKIR : WAHAM KEAGAMAAN
DI RUMAH SAKIT JIWA MENUR SURABAYA”,
http://repository.unusa.ac.id/4674/, diakses pada 19 september 2021

Juksen Loren, sumarni teti,dkk.2008.”ASUHAN KEPERAWATAN JIWAKLIEN


DENGANGANGGUAN ALAM PERASAAN (WAHAM)”,
https://id.scribd.com/doc/85004709/Asuhan-Keperawatan-Jiwa-Waham. diakses
pada 19 september 2021

Wulansari Ni Made Ayu. 2021. “Pengaruh Insight Proses Kesembuhan Pasien Skizofrenia”
https://akper-sandikarsa.e-journal.id/JIKSH/, diakses pada 19 september 2021

(DOC) Askep waham | Luthfi Zati - Academia.edu

Anda mungkin juga menyukai