Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

Terapi Nutrisi pada Kondisi Kekritisan

Disusun Oleh :
Meilinda Ayu Ningtias 1610201032 Zaini Anindawati 1610201038
Yunita Kris Santi 1610201033 Mia Wulandari 1610201039
Siska Krisdayanti 1610201034 Isna Ayu Herdayanti 1610201040
Putri Dwi Ermawati 1610201035 Aulliya S Goran 201510201124
Safitri Eka Mukti 1610201036 M. Khaerul Rizal Khamzani 1610201073
Dwi Wahyu Wulandari 1610201037

ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan
Kritis yang berjudul “Terapi Nutrisi pada Kondisi Kekritisan”. Makalah ini kami susun guna
untuk mengetahui dan memahami tentang terapi nutrisi apa saja yang digunakan pada kondisi
kekritisan.
Kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar kami memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

Yogyakarta, Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan ...................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Nutrisi ....................................................................................................................3
1. Penilaian Status Nutrisi ...................................................................................3
2. Kebutuhan Nutrisi............................................................................................4
3. Dukungan Nutrisi ............................................................................................7
4. Rute Pemberian Nutrisi ...................................................................................8
BAB III PEMBAHASAN
Rekomendasi Jurnal........................................................................................................10
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan......................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................13
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasien kritis adalah pasien yang secara fisiologis tidak stabil, sehingga mengalami
respon hipermetabolik kompleks terhadap trauma, sakit yang dialami akan mengubah
metabolisme tubuh, hormonal, imunologis dan homeostasis nutrisi. Pasien dengan sakit
kritis yang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU) sebagian besar menghadapi
kematian, mengalami kegagalan multi organ, menggunakan ventilator, dan memerlukan
support tekhnologi. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan adalah pemenuhan
kebutuhan nutrisi untuk melepas ketergantungan ventilator, mempercepat penyembuhan
dan memperpendek lama rawat. Namun selama ini, hal tersebut tidak banyak diperhatikan
karena yang menjadi fokus perawatan adalah mempertahankan homeostatis tubuh
(Menerez, 2012; Schulman, 2012; Ziegler, 2009).
Pasien kritis seringkali mengalami stress akibat trauma, cedera, pembedahan, sepsis
dan penyakitnya sehingga mengakibatkan peningkatan metabolisme dan katabolisme
yang berujung pada malnutrisi. Kondisi malnutrisi dapat meningkatkan kematian dan
komplikasi serta memperlama lama rawat, biaya dan waktu penyembuhan. Hal ini
didukung penelitian dari O Daly (2010) tentang pasien dengan fraktur panggul yang
disertai gangguan malnutrisi energi protein memiliki prevalensi kematian 9,8 % jika
dibandingkan dengan pasien dengan fraktur panggul tanpa disertai gangguan malnutrisi
energy protein. Hampir semua pasien kritis mengalami anoreksia atau ketidakmampuan
makan karena penurunan kesadaran, pemberian sedasi, dan terintubasi. Pasien yang tidak
dapat makan atau tidak boleh makan harus tetap mendapat masukan nutrisi melalui cara
enteral dengan selang nasogastric (NGT) maupun selang oralgastrik (OGT) atau cara
parenteral (intravena) baik itu menggunakan vena central maupun perifer. Survey yang
dilakukan pada tahun 2011 di Inggris menunjukkan bahwa terjadi perubahan trend dalam
peningkatan penggunaan EN di ICU dan pengurangan penggunaan PN terbukti dari 1286
pasien, 707 pasien menggunakan EN, 147 menggunakan PN, 274 menggunakan EN dan
PN dan 158 belum memperhatikan nutrisi sesuai kebutuhan pasien (Schulman, 2012).
Oleh karena itu support nutrisi yang tepat sangat penting.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara menilai status nutrisi pada pasien dengan kondisi kekritisan?
2. Apa saja kebutuhan nutrisi pada kondisi kekritisan?
3. Bagaimana dukungan nutrisi pada pasien-pasien kritis?
4. Bagaimana rute pemberian nutrisi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana cara menilai status nutrisi pada pasien dengan kondisi
kekritisan.
2. Untuk mengetahui kebutuhan nutrisi pada kondisi kekritisan.
3. Untuk mengetahui dukungan nutrisi pada pasien-pasien kekritisan.
4. Untuk mengetahui rute pemberian nutrisi.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Nutrisi
1. Penilaian Status Nutrisi
Menurut Jevon dan Ewens 2009, pasien kritis dapat mengalami
penyakit yang serius, menderita trauma mayor atau menjalani pembedahan
besar. Respon stres terhadap trauma atau cedera menyebabkan keadaan
hipermetabolik dan peningkatan kebutuhan nutrisi. Malnutrisi kalori protein
berat merupakan suatu masalah utama yang banyak dialami pasien di ICU,
akibat laju katabolik yang tinggi terkait penyakit kritis akut dan adanya
kondisi penyakit kronik sebelmunya.
Efek dari tidak adanya asupan nutrisi yang masuk pada pasien kritis
menyebabkan atrofi mukosa, hilangnya jaringan tubuh, atrofi dan kelemahan
otot skeletal, immunosupresi dan pemulihan luka yang lambat.
Mempertahankan integritas saluran cerna merupakan hal terpenting untuk
mendukung sistem pertahanan tubuh tetapi jika memberikan makanan secara
berlebihna dapat menyebabkan hiperglikemia.
Penilaian nutrisi di sisi tempat tidur harus mengidentifikasi apakah
pasien mengalami malnutrisi atau beresiko mengalami malnutrisi. Penderita
kritis ditemukan peningkatan pelepasan mediator-mediator inflamasi atau
sitokin dan peningakatan produksi hormon, sehingga menimbulkan efek pada
status metabolik dan nutisi pasien. Status nutrisi merupakan fenomena
multidimensial yang memerlukan beberapa metode penilaian, termasuk
indikator-indikator yang berhubungan dengan nutrisi, asupan nutrisi dan
pemakaian energi seperti Body Mass Index (BMI). Pengukuran antropometrik
termasuk ketebalan lapisan kulit (skin fold) permukaan daerah trisep (triceps
skin fold, TSF) dan pengukuran lingkar otot lengan atas tidak cukup berguna
banyak untuk pasien kritis karena ukuran berat badan cenderung mudah
berubah.
Jenis protein yang paling sering diukur adalah albumin serum. Level
albumin yang rendah merefleksikan status nutrisi yang dihubungkan dengan
proses penyakit atau proses pemulihan. Pada pasein kritis terjadi penurunan
sintesa albumin, pergeseran distribusi dari ruangan intravaskuler ke interstitial,
dan pelepasan hormon yang meningkatkan dekstruksi metabolisme albumin.
Level serum pre-albumin juga dapat menjadi petunjuk yang lebih cepat adanya
suatu stres fisiologik dan sebagai indikator status nutrisi. Level serum
hemoglobin dan trace elements seperti manesium dan fosfor meruopakan tiga
indikator biokimia tambahan. Hemoglobin digunakan sebagai indikator
kapasitas angkat oksigen, sedangkan magnesium atau fosfor sebagai indikator
gangguan pada jantung, saraf dan neuromuskular.
Tingkat serum albumin dn beberapa protein transportasi lainnya,
biasanya diukur sebagai pengganti status protein viseral. Tingkat sintesis
hepatik harian untuk albumin adalah antara 120 dan 170 mg/kg BB dengan
albumin didistribusikan antara ruang intravaskular dan ekstravaskular spaces.
Namun, kadar serum albumin dan prrotein transportasi lainnya dipengaruhi
oleh banyak faktor seperti, sintesis dan derajat degredasi di samping
kehilangan melalui usus atau ginjal. Akibatnya , kadarnya menurun akibat
peradangan, trauma atau sepsis dimana tingginya tingkat interleukin-6
merangsang produksi protein fase akut yang menghambat produksi protein
transport.
Oleh karena itu hipoalbuminemia jarang hadir dalam kasus
malnutrition. Sebaliknya, hipoalbuminemia adalah penanda respon inflamasi
sistemik yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan kematian
antara pasien rumah sakit. Konsentrasi albumin serum dapat digunakan
sebagai alat skrining gizi pada saat masuk ICU.

2. Kebutuhan Nutrisi
Pemberian nutrisi yang tepat dan akurat pada pasien kritis dapat
menurunkan angka kematian. Mengatur respon inflaasi, penentuan status
nutrisi pada pasien kritis dilakukan berulang-ulang untuk menentukan
kecukupan nutrisi dan untuk menentukan tunjangan nutrisi selanjutnya.
Pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang merupakan hal penting karena
16-20% pasien dirawat di ruang intensif mengalami defisiensi makronutrien
48jam setelah dirawat. Perhitungan energi (kalori), protein, lemak, elektrolit,
vitamin, trace-elemen dan air. Berikut ini beberapa cara menghitung
kebutuhan nutrisi:
a. Metabolisme Chart-Inderect Calorimetry Resting energy Expenditur
(REE).

[(konsentrasi O2)(0,39) + (produksi CO2)(1,11)] x 1440


Rumus ini kurang akurat pada pasien-pasien FiO2 lebih dari 40%.

b. Rumus Harris & Benedict:


 Kebutuhan energi dasar (BMR)
BB = Berat badan (Kg)
T = Tinggi (cm)
U = Usia (tahun)
BMR pria = 66,0+13,7 x BB + (5 x T 6,8 x U)
BMR wanita = 655 + 9,6 x BB + (1,7 x T 4,7 x U)

 Kebutuhan energi aktual (AEE)


AF = Activity Factor (faktor aktivitas)
IF = Injury Factor
TF = Termal Factor

AEE = BMR x AF x IF x TF
Tabel Faktor Koreksi
FAKTOR AKTIFITAS (AF) Koreksi
Istirahat tidur (bed rest) 1,2
Mobilisasi 1,3
FAKTOR PEMBEBANAN (IF) Koreksi
Tanpa komplikasi 1,0
Paska bedah 1,1
Patah tulang 1,2
Sepsis 1,3
Peritonitis 1,4
Multi trauma 1,5
Multi trauma + sepsis 1,6
Luka bakar 30 ± 50% 1,7
Luka bakar 50 ± 70% 1,8
Luka bakar 70 ± 90% 2,0
FAKTOR SUHU (TF)Koreksi
38 ºC 1,1
39 ºC 1,2
40 ºC 1,3
41 ºC 1,4

c. Kebutuhan kalori
Untuk menentukan kebutuhan kalri perlu mengetahui gambaran fisiologis
dari keadaan hiperkatabolik. Keadaan hiperkatabolik dapat terjadi
peningkatan produksi panas, peningkatan kebutuhan energi (meningkat 25
± 50%), meningkatnya kecepatan nafas dan meningkatnya kecepatan nadi.

Kebutuhan kalori (kacl/kg BB) : 25 ± 30 kacl/kg BB

Glukosa merupakan substrat kalori primer, sedangkan kebutuhan lemak


sekitar 15 ± 40%. Menentukan kebutuhn kalori harus dihindari terjadinya
hiperglikemia.

d. Kebutuhan nitrogen
Menghitung balance nitrogen menggunakan area urine 24 jam dan dalam
hubungannya dengan urea darah dan Albumin. Tiap gram nitrogen yang
dihasilkan menggunakan energy sebesar 100-150 kkal. Nitrogen
dibutuhkan pada penderita-penderita dengan kriteria:
1) Hipermetabolik, stress dan penderita yang mengalami trauma
2) Penderita yang mengalami ekskresi urea sebesar 85% dari protein
tubuh yang mengalami pemecahan.
3) Idealnya pemberian nitrogen harus eminimal mungkin sesuai dengan
yang hilang, cukup untuk mempertahankan masa tubuh dan cukup
adekuat untuk penyembuhan.
4) Rata-rata kebutuhan nitrogen 14-16 gm/hari (90±100 gr protein ) ( 1
gr nitogen = 6,25 gr protein = 30 gr jaringan).
Penetapan Resting Energy Expenditure (REE) harus dilakukan sebelum
memberikan nutrisi. REE adalah pengukuran jumlah energy yang dikeluarkan
untuk mempertahankan kehidupan pad konidisi bed rest dan 12 -18 jam setelah
makan. REE sering juga disebut dengan Basal Metabolic Rate (BMR). Basal
Energy Requirement (BER) atau Basal Energy Expenditure (BEE). Perkiraan
REE yang akurat dapat membantu mengurangi komplikasi akiba kelebihan
pemberian nurisi seperti infiltrasi lemak ke hati dan pulmonary compromise.

3. Dukungan Nutrisi
Dukungan nutrisi pada pasien kritis meliputi terapi obat, perawatan,
diet dan peran interdisipliner diantaranya dokter, apoteker, ahli gizi, dan
peawat. Dukungan nutrisi merupakan tugas penting dalam perawatan pasien
kritis. Makna nutrisi tidak hanya sebatas makanan masuk ke dalam tubuh
pasien. Tetapi, makanan dapat memaksimalkan proses penyembuhan pasien.
Oleh karena itu nutrisi pada pasien kritis di kelola oleh multidisiplin ilmu,
diantaranya dokter bertanggungjawab pada seluruh proses pelaksana, apoteker
bertanggung jawab memberikan terapi obat, yang tidak mempengaruhi proses
penyerapan makanan, ahli gizi bertanggungjawab menyediakan formula
makanan yang tepat sesaui dengan kebutuhan pasien dan perawat
bertanggungjawab menyediakan akses masuknya makanan, maksimalkan
penyerapan makanan sampai makanan dihantarkan ke sel tubuh.
Perawat merupakan disiplin ilmu dengan dasar pemikiran bahwa
perawatan dilakukan secra komprehensif meliputi
bio,psiko,sosio,kultur,spiritual. Perawat memandang tiga dasar penting dalam
memenuhi kebutuhan nutrisi pasien; 1) kemampuan memasukan meliputi
fungsi digesti mekanis seperti mengunyah dan menelan; 2) kemampuan
mencerna meliputu fungsi enzim-enzim perncernan didalam tubuh untuk
membantu pemecahan molekul nutrien menjadi lebih kecil gar bisa di serap
oleh usus; 3) kemampuan mengabsopsi yaitu dimulai dari penyerapan sampai
menghantarkan zat nutrien ke sel. Perawat dan ahli gizi merupakan tenaga
profesional yang berasal dari disiplin ilmu berbeda namun, saling
bersinggungan dalam tugas pengelolaan nutrisi.

4. Rute Pemberian Nutrisi


Perawatan terhadap penderita sakit kritis nutrisi enternal yang menjadi
pilihan utama di bandingkan nutrisi parental. Pemberian nutrisi melalui enteral
lebih banyak disukai karena dapat melihara integritas mukosa usus sehingga
translokasi bekteri usus ke pembuluh darah lebih kecil. Apabila asupan
melalui enteral terganggu dapat melalui parenteral seperti pada pasien
pascabedah dab sakit berat.
a. Nutrisi Enteral
Nutrisi yang di berikan secara enteral merupakan rute nutrisi yang
paling menyerupai proses fisiologi pada pasien yang tidak dapat makan.
Nutrisi enteral dapat diberikan melalui rute oral, gastrictube (nasogastrik
atau orogastrik) atau small bowel feeding tube (nasoduodenal,
gastroduodenal, jejunal). Pemberian nutrisi enteral menjadi pilihan karena
dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi. Pemberian nutrisi melalui
jalur enteral diberikan pada pasien yang tidak dapat makan dan tidak
memiliki kontraindikasi untuk pemberian enteral. Misalnya pada pasien
obstruksi usus, iskemik usus, ileus dan pasien-pasien yang mengalami
syok dengan kebutuhan dosis tinggi obat vasopressor. Nutrisi enteral
dapat dmulai dalam waktu 24-48jam sejak mulainya perawatan di ICU.
Pemberian nutrisi enteral dalam waktu dini dapat menurunkan angka
kejadian sepsis di ICU dan menurunkan lama waktu perawatan di ICU.
Nutrisi yang diberikan melalui jalur enteral sebaiknya pada semua
pasien kritis kecuali pada pasien mengalami distensi adomen, perdarahan
gastrointestinal, diare dan muntah. Nutrisi enteral yang diberikan pada
pasien gangguan gastrointestinal dapat menyebabkan ketidakcukupan
pemenuhan nutrisi dan berisiko terjadi malnutrisi.
b. Nutrisi Parental
Nutrisi parental adalan bentuk pemberian nutrisi yang di berikan
langsung melalui pembuluh darah tanpa melalui saluran pencernaan.
Metode pemberian nutrisi perental bisa melalui vena perifer dan vena
central, namun resiko terjadinya phlebitis lebih tinggi pada pemberian
melalui vena perifer sehingga metode ini tidak banyak di gunakan. Nutrisi
parental diberikan bila asupan nutrisi enteral tidak tidak dapat memenuhi
kebutuhan pasien dan tidak dapat di berikan dengan baik. Nutrisi parental
di berikan pada pasien dengan kondisi reseksi usus massif, reseksi kolon,
fistula dan pasien sudah dirawat selama 3-7hari. Pemberian nutri parental
harus berdsarkan standar yang ada agar tidak terjadi komplikasi
diantaranya menentukan tempat inseri yang tepat (tidak boleh digunakan
untuk plebotomi dan memasukan obat), persiapan formula parenteral secra
steril 24jam sebelum diberikan kepada pasien dan di simpan di dalam
kulkas serta aman dari pemcahayaan agar menurunkan degradasi biokimia
dn kontaminasi bakteri, sebelum diberikan kepada pasien suhu formula
harus disesuaikan dengan suhu ruangan.komponen dalam pemberian
nutrisi parenteral sebaiknya tidak menggunakan lemak dalam minggu
pertama, penggunakan asam lemak omega 3 masih boleh di berikan. Zat
gizi yang di rekomendasikan adalah penambahan pemberian glutamin.
Penambahan pemberian glutamin dilakukan untuk meningkatkan toleransi
pasien terhadap nutrisi yang di berikan.

BAB III
PEMBAHASAN

Rekomendasi artikel jurnal


1. Judul :
Pengaruh Pemberian Nutrisi Enteral Intermitten Terhadap Kadar Gula Darah Sewaktu
Pada Pasien Cedera Otak Berat Pasca Bedah
2. Nama pengarang :
- Julia Hasir
- Hisbullah
- Muhammad Ramli Ahmad
- Syafri Kamsul Arif
- Arifin Seweng
3. Hasil penelitian:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna kadar gula
darah sewaktu 24 jam, 48 jam dan 72 jam pemberian nutrisi pada kelompok intermitten. Hal
ini menunjukkan, teknik apapun yang dilakukan dalam pemberian nutrisi enteral tidak akan
memberikan efek terhadap kadar GDS jika pasien mendapatkan makanan / nutrisi yang
adekuat. Namun kelebihan pemberian nutrisi enteral adalah : pemberian dini nutrisi enteral
pada pasien trauma akan meningkatkan outcome pasien, cost efektive, komplikasi dari
pemasangan vena sentral berkurang.
4. Rekomendasi
Pemberian nutrisi enteral intermitten baik 50% pada 24 jam, 75% pada 48 jam dan
100% pada 72 jam tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kadar gula darah,
sehingga nutrisi enteral intermitten pada pasien cedera otak berat (COB) yang dirawat di
Intensive care unit (ICU) dapat dilanjutkan, namun kelompok kami merekomendasikan
jurnal ini sebagai acuan untuk peneliti selanjutnya mengenai hubungan petanda inflamasi,
stress dan pH gaster pada pemberian nutrisi secara intermitten pada pasien cidera otak berat
(COB).

BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
Pasien kritis seringkali mengalami stres akibat trauma, cedera, pembedahan, sepsis
dan penyakitnya sehingga mengakibatkan peningkatan metabolisme dan katabolisme yang
berujung pada malnutrisi. Kondisi malnutrisi dapat meningkatkan kematian dan komplikasi
serta memperlama lama rawat, biaya dan waktu penyembuhan. Respon stres terhadap trauma
atau cedera menyebabkan keadaan hipermetabolik dan peningkatan kebutuhan nutrisi.
Pemenuhan kebutuhan nutrisi adalah salah satu hal penting yang harus diperhatikan pada
pasien kritis. Kebutuhan nutrisi pada pasien kritis untuk mempercepat pertumbuhan, melepas
ketergantungan ventilator dan memperpendek rawat inap. Perawatan terhadap pasien kritis
nutrisi enteral yang menjadi pilihan utama dibandingkan nutrisi parental, karena dapat
memelihara integritas mukosa usus sehingga translokasi bakteri usus ke pembuluh darah
lebih kecil. Apabila asupan nutrisi melalui enteral terganggu dapat melalui parenteral seperti
pada pasien pascabedah sakit berat. Hampir semua pasien kritis mengalami anoreksia atau
ketidakmampuan makan karena penurunan kesadaran, pemberian sedasi dan terintubasi.
Pasien yang tidak dapat makan atau tidak boleh makan harus tetap mendapat masukan nutrisi
melalui cara enteral dengan selang nasogastric (NGT) maupun selang oralgastrik (OGT) atau
cara parental (intravena) baik itu menggunakan vena central maupun perifer. Efek dari tidak
adanya asupan nutrisi yang masuk pada pasien kritis menyebabkan atrofi mukosa, hilangnya
jaringan tubuh, kelemahan otot skeletal, immunosupresi dan pemulihan luka yang lambat.
Mempertahankan integritas cerna merupakan hal yang penting untuk mendukung
sistem pertahanan tubuh, tetapi jika memberikan makanan secara berlebihan dapat
menyebabkan hiperglikemia. Pasien kritis ditemukan peningkatan pelepasan mediator-
mediator inflamasi atau sitokin dan peningkatan produksi hormon, sehingga menimbulkan
efek pada status metabolik dan nutrisi. Status nutrisi memerlukan beberapa metode penilaian,
termasuk indikator-indikator yang berhubungan dengan nutrisin, asupan nutrisi dan
pemakaian energi. Pemberian nutrisi yang tepat dan akurat pada pasien kritis dapat
menurunkan angka kematian. Penentuan status nutrisi pada pasien kritis dilakukan berulang-
ulang untuk menentukan kecukupan nutrisi dan untuk menentukan tunjangan nutrisi
selanjutnya. Dukungan nutrisi pada pasien kritis meliputi terapi obat, perawatan, diet dan
peran interdisiplin diantaranya dokter, apoteker, ahli gizi dan perawat. Dukungan nutrisi
merupakan tugas penting dalam keperawatan pasien kritis.
Nutrisi pada pasien kritis dikelola oleh multidisiplin ilmu, diantaranya dokter
bertanggungjawab pada seluruh proses pelaksana, apoteker bertanggungjawab memberikan
terapi obat, ahli gizi bertanggungjawab menyediakan formula makanan yang tepat sesuai
dengan kebutuhan pasien dan perawat bertanggungjawab menyediakan akses masuknya
makanan, memaksimalkan penyerapan makanan sampai makanan dihantarkan ke sel tubuh.
Perawat memandang tiga dasar penting dalam memenuhi nutrisi pasien kritis, yaitu
kemampuan memasukkan makanan seperti mengunyah dan menelan, kemampuan mencerna
meliputi fungsi enzim-enzim pencernaan didalam tubuh untuk membantu pemecahan
molekul nutrien menjadi lebih kecil agar bisa diserap usus dan kemmapuan mengabsopsi
mulai dari penyerapan sampai menghantarkan zat nutrien ke sel. Perawat dan ahli gizi
merupakan tenaga professional yang berasal dari disiplin ilmu berbeda namun saling
bekerjasama dalam pengelolaan nutrisi pada pasien kritis.

DAFTAR PUSTAKA
Menerez, Fernanda de Souza., Heitor Pons Leite., Paulo Cesar Koch Nogueira. 2011.
Malnutrition as An Independent Predictor Of Clinical Outcome In Critically Ill Children.
Journal of Nutrition 28 (2012) 267–270
Schulman, Rifka C and Jeffrey I Mechanick. 2012. Metabolic and Nutrition Support in the
Chronic Critical Illness Syndrome. Respiratory Care June 2012 Vol 57 No 6
Ziegler, Thomas R. 2009. Parenteral Nutrition in the Critically Ill Patient. The new england
journal of medicine 361;11 nejm.org september 10, 2009
Jevon, P., & Ewens, B. (2009). Pemantauan Pasien Kritis. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Soenarjo. Pemberian Nutrisi Pada PAsien di ICU. Bag. Anestesiologi. SMF. Anestesi
FK.UNDIP.RS.DR.Karsiadi Semarang. 201
Wiryana, M. Nutrisi Pada Penderita Sakit Kritis. J Peny dalam, volume 8 no.2 Mei 2007
BIBLIOGRAPHY Pitri, A. D., Ismail, S., & Erawati, M. (2019). Eksplorasi Peran Perawat
dan Ahli Gizi dalam Pemberian Nutrisi pada Pasien Kritis. Jurnal Perawat Indonesi,
Vol 3 No 2 109-116.
Rehatta, M., Hanindito, E., & Tantri, A. (2019). Anestesiologi dan Terapi Intensif: Buku
Teks Kati-Perdati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Setianingsih, & Anna, A. (2014). Perbandingan Enteral dan Parentteral Nutrisi pada Pasien
Kritis : A Literature Riview.

Anda mungkin juga menyukai