Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

GANGGUAN NUTRISI DAN MANAJEMEN NUTRISI PADA PASIEN SEPSIS

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Dosen : Dina Rahmawati,S.KepNs.,M.Kep

Disusun Oleh : KELOMPOK 4


Dean Febriawan 1022032012
Deasyvia Romadona 1022032013
Jajang 1022032025
Maya Kusmiati 1022032034
Rika Tul Athifah 1022032048
Siti Halimah 1022032052

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS FALETEHAN
SERANG - BANTEN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkah, rahmat dan karunia-
Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas dengan judul ‘’Gangguan Nutrisi
Dan Manajemen Nutrisi Pada Pasien Kritis’’ Tugas ini telah disusun dengan maksimal
dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun daripembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................iii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
A.Latar Belakang ..................................................................................................................1
B.Tujuan ..................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................3
A.Konsep nutrisi ..................................................................................................................3
B.Konsep Penyakit Sepsis.....................................................................................................13
C.Etiologi Sepsis ................................................................................................................13
D.Patofisiologi ................................................................................................................14
E.Manifestasi Klinis Sepsis...................................................................................................17
F.Klasifikasi sepsis................................................................................................................17
G.Komplikasi Sepsis..............................................................................................................18
H.Pemeriksaan Penunjang Sepsis..........................................................................................18
I.Penatalaksanaan Sepsis.......................................................................................................20
J.Konsep dasar keperawatan..................................................................................................20
K.Diagnosa keperawatan.......................................................................................................21
L.Intervensi ................................................................................................................21
M.Implementasi ................................................................................................................22
N.Evaluasi ................................................................................................................23
BAB III KESIMPULAN..............................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Malnutrisi adalah masalah umum yang dijumpai pada kebanyakan pasien


yang masuk ke rumah sakit. Malnutrisi mencakup kelainan yang disebabkan
oleh defisiensi asupan nutrien, gangguan metabolisme nutrien, atau kelebihan
nutrisi. Sebanyak 40% pasien dewasa menderita malnutrisi yang cukup serius
yang dijumpai pada saat mereka tiba di rumah sakit dan dua pertiga dari semua
pasien mengalami perburukan status nutrisi selama mereka dirawat di rumah
sakit. Untuk pasien kritis yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) sering kali
menerima nutrisi yang tidak adekuat akibat dokter salah memperkirakan
kebutuhan nutrisi dari pasien dan juga akibat keterlambatan memulai
pemberian nutrisi. Pasien-pasien yang masuk ke ICU umumnya bervariasi,
yaitu pasien elektif pasca operasi mayor, pasien emergensi akibat trauma
mayor, sepsis atau gagal napas. Kebanyakan dari pasien-pasien tersebut
ditemukan malnutrisi sebelum dimasukkan ke ICU. Keparahan penyakit dan
terapinya dapat mengganggu asupan makanan normal dalam jangka waktu
yang lama. Selanjutnya, lamanya tinggal di ICU dan kondisi kelainan
sebelumnya, seperti alkoholisme dan kanker dapat memperburuk status nutrisi.
Respon hipermetabolik komplek terhadap trauma akan mengubah
metabolisme tubuh, hormonal, imunologis dan homeostasis nutrisi. Efek
cedera atau penyakit berat terhadap metabolisme energi, protein, karbohidrat
dan lemak akan mempengaruhi kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis.
Malnutrisi sering dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, mortalitas
akibat perburukan pertahanan tubuh, ketergantungan dengan ventilator,
tingginya angka infeksi dan penyembuhan luka yang lama, sehingga
menyebabkan lama rawat pasien memanjang dan peningkatan biaya
perawatan. Malnutrisi juga dikaitkan dengan meningkatnya jumlah pasien
yang dirawat kembali. Pentingnya nutrisi terutama pada perawatan pasien-
pasien kritis mengharuskan para klinisi mengetahui informasi yang benar
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen pemberian nutrisi dan
pengaruh pemberian nutrisi yang adekuat terhadap outcome penderita kritis
1
yang dirawat di ICU.
Nutrisi pada pasien kritis seperti sepsis sangatlah penting untuk
memperbaiki jaringan yang rusak yang disebabkan oleh efek inflamasi yang
menyerang seluruh organ tubuh. Infeksi yang ditimbulkan bersifat sitemik.
Infeksi ini ditandai dengan adanya systemic inflammatory response syndrome
(SIRS). SIRS ditandai oleh beberapa variabel yaitu: temperatur, denyut nadi, dan
frekuensi pernafasan. Gejala klinik sepsis didahului tanda-tanda sepsis non
spesifik diantaranya demam, menggigil, dan disorientasi (Herzum, 2019).
Sepsis menimbulkan beberapa masalah pada klien seperti gangguan
termoregulasi, peningkatan asam laktat, dan kehilangan cairan (Fitri, 2020).
Penderita sepsis perlu penanganan dan perawatan dari tenaga kesehatan karena
berbagai masalah keperawatan pada pasien dapat muncul seperti, bersihan jalan
nafas tidak efektif, ketidakstabilan kadar glukosa darah, termoregulasi tidak
efektif, gangguan integritas kulit, gangguan mobilitas fisik, risiko perfusi renal
tidak efektif, kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan risiko jatuh . Di
negara maju maupun berkembang angka kejadiannya dilaporkan selalu tinggi dari
setiap tahunnya. Kondisi ini yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena
pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi (Levy,
2018).
Penatalaksanaan sepsis ini membutuhkan penanganan yang tepat oleh tenaga
medis. Maka seorang perawat ICU dapat memberikan intervensi terhadap
penderita sepsis sesuai kebutuhan dasar manusia yang meliputi observasi apa
yang menyebabkan sepsis, memberikan kebutuhan nutrisi yang sesuai untuk
pasien, jika pasien memiliki luka identifikasi luka dan lakukan pengkajian luka,
observasi vital sign dan pemantauan cairan pada pasien sepsis, intervensi
terapeutik dengan membina hubungan saling percaya antara pasien dan tim medis
untuk menenangkan pasien dan memperbaiki psikologis pasien, edukasi dan
kolaborasi seperti pemberian cairan, nutrisi dan antibiotik penanganan sepsis (Tim
Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).

B. Tujuan

Untuk membahas penanganan nutrisi pada pasien yang mengalami


kondisi kritis ( sepsis) agar dapat ditangani dengan baik.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep nutrisi

1. Kebutuhan energi pada pasien kritis

Keseimbangan nitrogen dapat digunakan untuk


menegakkan keefektifan terapi nutrisi. Nitrogen secara
kontinyu terakumulasi dan hilang melalui pertukaran yang
bersifat homeostatik pada jaringan protein tubuh.
Keseimbangan nitrogen dapat dihitung dengan
menggunakan formula yang mempertimbangkan nitrogen
urin 24 jam, dalam bentuk nitrogen urea urin (urine urea
nitrogen/UUN), dan nitrogen dari protein dalam makanan:
Keseimbangan Nitrogen = ((dietary
protein/6,25)-(UUN/0,8) + 4)
Karena umumnya protein mengandung 16% nitrogen,
maka jumlah nitrogen dalam makanan bisa dihitung
dengan membagi jumlah protein terukur dengan 6,25.
Faktor koreksi 4 ditambahkan untuk mengkompensasi
kehilangan nitrogen pada feses, air liur dan kulit.
Keseimbangan nitrogen positif adalah kondisi dimana
asupan nitrogen melebihi ekskresi nitrogen, dan
menggambarkan bahwa asupan nutrisi cukup untuk
terjadinya anabolisme dan dapat mempertahankan
leanbody mass. Sebaliknya keseimbangan nitrogen
negative ditandai dengan ekskresi nitrogen yang melebihi
asupan. Kebutuhan energi dapat juga diperkirakan dengan
formula persamaan Harris-Bennedict (tabel 1), atau
kalorimetri indirek. Persamaan Harris-Bennedict pada
pasien hipermetabolik harus ditambahkan factor
stres.Penelitian menunjukkan bahwa rumus perkiraan
3
kebutuhan energi dengan menggunakan prosedur ini
cenderung berlebih dalam perhitungan energy expenditure
pada pasien dengan sakit kritis hingga 15%. Sejumlah ahli
menggunakan perumusan yang sederhana Rule of
Thumb. dalam menghitung kebutuhan kalori, yaitu 25-30
kkal/kgbb/hari. Selain itu penetapan Resting Energy
Expenditue (REE) harus dilakukan sebelum memberikan
nutrisi. REE adalah pengukuran jumlah energi yang
dikeluarkan untuk mempertahankan kehidupan pada
kondisi istirahat dan 12 - 18 jam setelah makan. REE
sering juga disebut BMR (Basal Metabolic Rate), BER
(Basal Energy Requirement), atau BEE (Basal Energy
Expenditure). Perkiraan REE yang akurat dapat membantu
mengurangi komplikasi akibat kelebihan pemberian
nutrisi (overfeeding) seperti infiltrasi lemak ke hati dan
pulmonary compromise.16 Banyak metode yang tersedia
untuk memperkirakan REE, salah satunya adalah
kalorimetri yang dapat dipertimbangkan sebagai gold
standard dan direkomendasi sebagai metode pengukuran
REE pada pasien-pasien sakit kritis.

Rumus Harris Benedict(1919)(BMR)


• Laki – Laki :66 + (13,7 Xbb) + (5 X Tb) – (6,8x U)
• Perem : 655 + (9,6 X Bb) + (1,8 X Tb)- (4,7 X U)
Bb: Berat Badan, Tb : Tinggi Badan , U: Usia

Rule Of Thumb
Bee (Basal Energy Expenditure) = 25-30 K.Kal/Kg/D
Ree ( Resting Energy Expenditur) = (1.2-1.3) X Bee

2. Nutrisi Pada Pasien

a. Makro Nutrien
4
1) Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi yang


penting. Setiap gram karbohidrat menghasilkan
kurang lebih 4 kalori. Asupan karbohidrat di dalam
diet sebaiknya berkisar 50% . 60% dari kebutuhan
kalori. Dalam diet, karbohidrat tersedia dalam 2
bentuk: pertama karbohidrat yang dapat dicerna,
diabsorbsi dan digunakan oleh tubuh
(monosakarida seperti glukosa dan fruktosa;
disakarida seperti sukrosa, laktosa dan
maltosa;polisakarida seperti tepung, dekstrin,
glikogen) danyang kedua karbohidrat yang tidak
dapat dicerna seperti serat. Glukosa digunakan
oleh sebagian besar sel tubuh termasuk susunan
saraf pusat, saraf tepi dan sel-sel darah. Glukosa
disimpan di hati dan otot skeletal sebagai glikogen.
Cadangan hati terbatas dan habis dalam 24 . 36
jam melakukan puasa. Saat cadangan glikogen hati
habis, glukosa diproduksi lewat glukoneogenesis
dari asam amino (terutama alanin), gliserol dan
laktat. Oksidasi glukosa berhubungan dengan
produksi CO2 yang lebih tinggi, yang ditunjukkan
oleh RQ (Respiratory Quotient) glukosa lebih
besar dari pada asam lemak rantai panjang.
Sebagian besar glukosa didaur ulang setelah
mengalami glikolisis anaerob menjadi laktat
kemudian digunakan untuk glukoneogenesis hati.
Kelebihan glukosa pada pasien keadaan
hipermetabolik menyebabkan akumulasi glukosa
dihati berupa glikogen dan lemak. Meskipun
turnover glukosa meningkat pada kondisi stres,
metabolisme oksidatif tidak meningkat dalam
proporsi yang sama. Oleh karena itu kecepatan
5
pemberian glukosa pada pasien dewasa maksimal
5 mg/kgbb/menit

2) Lemak

Komponen lemak dapat diberikan dalam bentuk


nutrisi enteral ataupun parenteral sebagai emulsi
lemak. Pemberian lemak dapat mencapai 30% .
50% dari total kebutuhan. Satu gram lemak
menghasilkan 9 kalori. Lemak memiliki fungsi
antara lain sebagai sumber energi, membantu
absorbsi vitamin yang larut dalam lemak,
menyediakan asam lemak esensial, membantu dan
melindungi organ-organ internal, membantu
regulasi suhu tubuh dan melumasi jaringan-
jaringan tubuh.15 Pemberian kalori dalam bentuk
lemak akan memberikan keseimbangan energi dan
menurunkan insiden danberatnya efek samping
akibat pemberian glukosa dalam jumlah besar.
Penting juga bagi kita untuk memperkirakan
komposisi pemberian lemak yang berhubungan
dengan proporsi dari asam lemak jenuh (SFA),
asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA), asam
lemak tidak jenuh ganda (PUFA) dan rasio antara
asam lemak esensial omega 6 dan omega 3 dan
komponen antioksidan. Selama hari-hari pertama
pemberian emulsi lemak khususnya pada pasien
yang mengalami stres, dianjurkan pemberian infus
selambat mungkin, yaitu untuk pemberian emulsi
Long Chain Triglyseride (LCT) kurang dari 0,1
gram/kgbb/jam dan emulsi campuran Medium
Chain Triglyseride (MCT)/Long Chain
Triglyseride (LCT) kecepatan pemberiannya
kurang dari 0,15 gram/kgbb/jam. Kadar trigliserida

6
plasma sebaiknya dimonitor dan kecepatan infus
selalu disesuaikan denganhasil pengukuran.

3) Protein

Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk


protein adalah 0,8 g/kgbb/hari atau kurang lebih
10% dari total kebutuhan kalori. Para ahli
merekomendasikan pemberian 150 kkal untuk
setiap gram nitrogen (6,25 gram protein setara
dengan 1 gram nitrogen). Kebutuhan ini
didasarkan pada kebutuhan minimal yang
dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan
nitrogen. Dalam sehari kebutuhan nitrogen untuk
kebanyakan populasi pasien di ICU
direkomendasikan sebesar 0,15 - 0,2
gram/kgbb/hari. Ini sebanding dengan 1-1,25 gram
protein/kgbb/hari. Beratnya gradasi hiperkatabolik
yang dialami pasien seperti luka bakar luas, dapat
diberikan nitrogen sampai dengan 0,3
gram/kgbb/hari.6 Kepustakaan lain menyebutkan
rata-rata kebutuhan protein pada dewasa muda
sebesar 0,75 gram protein/kgbb/hari. Namun
selama sakit kritis kebutuhan protein meningkat
menjadi 1,2-1,5 gram/kgbb/hari. Pada beberapa
penyakit tertentu, asupan protein harus dikontrol,
misalnya kegagalan hati akut dan pasien uremia,
asupan protein dibatasi sebesar 0,5
gram/kgbb/hari.15 Kebutuhan protein pada pasien
sakit kritis bisa mencapai 1,5-2 gram
protein/kgbb/hari, seperti pada keadaan kehilangan
protein dari fistula pencernaan, luka bakar, dan
inflamasi yang tidak terkontrol. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Elwyn21 yang hanya

7
menggunakan dekstrosa 5% nutrisi, menunjukkan
bahwa perbedaan kecepatan kehilangan nitrogen
berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit.
Disamping itu, keseimbangan nitrogen negatif
lebih tinggi 8 kali pada pasien dengan luka bakar,
dan 3 kali lipat pada sepsis berat apabila
dibandingkan dengan individu normal. Data ini
dengan jelas mengindikasikan pertimbangan
kondisi penyakit ketika mencoba untuk
mengembalikan keseimbangan nitrogen.

b. Mikro nutrien

Pasien sakit kritis membutuhkan vitamin-vitamin A, E,


K, B1 (tiamin), B3 (niasin), B6 (piridoksin), vitamin C,
asam pantotenat dan asam folat yang lebih banyak
dibandingkan kebutuhan normal sehari-harinya.
Khusus tiamin, asam folat dan vitamin K mudah terjadi
defisiensi pada TPN. Dialisis ginjal bisa menyebabkan
kehilangan vitamin-vitamin yang larut dalam air.
Selain defisiensi besi yang sering terjadi pada pasien
sakit kritis dapat juga terjadi defisiensi selenium, zinc,
mangan dan copper

3. Menilai Status Nutrisi Pada Pasien Kritis

Pada penderita sakit kritis ditemukan peningkatan pelepasan mediator-


mediator inflamasi atau sitokin (misalnya IL-1, IL-6, dan TNF) dan
peningkatan produksi “counter regulatory hormone” (misalnya katekolamin,
kortisol, glukagon, hormon pertumbuhan), sehingga menimbulkan efek pada
status metabolik dan nutrisi pasien. Status nutrisi adalah fenomena
multidimensional yang memerlukan beberapa metode dalam penilaian,
termasuk indikator-indikator yang berhubungan dengan nutrisi, asupan
nutrisi dan pemakaian energi, seperti Body Mass Index (BMI), serum
albumin, prealbumin, hemoglobin, magnesium dan fosfor. Pengukuran
antropometrik termasuk ketebalan lapisan kulit (skin fold) permukaan
8
daerah trisep (triceps skin fold, TSF) dan pengukuran lingkar otot lengan
atas (midarm muscle circumference, MAMC), tidak berguna banyak pada
pasien sakit kritis karena ukuran berat badan cenderung untuk berubah. Jenis
protein yang paling sering diukur adalah albumin serum. Level albumin yang
rendah merefleksikan status nutrisi penderita yang dihubungkan dengan
proses penyakit dan atau proses pemulihan. Pada pasien kritis terjadi
penurunan síntesa albumin, pergeseran distribusi dari ruangan intravaskular
ke interstitial, dan pelepasan hormon yang meningkatkan dekstruksi
metabolisme albumin.Level serum pre-albumin juga dapat menjadi petunjuk
yang lebih cepat adanya suatu stres fisiologik dan sebagai indikator status
nutrisi. Level serum hemoglobin dan trace elements seperti magnesium dan
fosfor merupakan tiga indikator biokimia tambahan. Hemoglobin digunakan
sebagai indikator kapasitas angkut oksigen, sedangkan magnesium atau
fosfor sebagai indikator gangguan pada jantung, saraf dan
neuromuskular.Selain itu Delayed hypersensitivity dan Total Lymphocyte
Count (TLC) adalah dua pengukuran yang dapat digunakan untuk mengukur
fungsi imun sekaligus berfungsi sebagai screening . Penilaian global
subyektif (Subjective global assessment/SGA) juga merupakan alat penilai
status nutrisi, karena mempertimbangkan kebiasaan makan, kehilangan berat
badan yang baru ataupun kronis, gangguan gastrointestinal, penurunan
kapasitas fungsional dan diagnosis yang dihubungkan dengan asupan yang
buruk. Penilaian jaringan lemak subkutan dan penyimpanannya dalam otot
skelet juga merupakan bagian dari SGA, dan bersama dengan evaluasi
edema dan ascites, membantu untuk menegakkan kemungkinan malnutrisi
sebelumnya. Level stres pada pasien sakit kritis juga harus dinilai karena
bisa memperburuk status nutrisi penderita secara keseluruhan.

4. Pemberian Nutrisi Pada Pasien Kritis

a. Enteral

Pada pemberian nutrisi enteral, pipa nasal lebih


dianjurkan daripada oral, kecuali pada keadaan
fraktur basis cranii dimana bisa terjadi resiko
penetrasi ke intrakranial. Pipa naso jejunal dapat
9
digunakan jika terjadi kelainan pengosongan lambung
yang menetap dengan pemberian obat prokinetik atau
pada pankreatitis. Alternatif lain untuk akses nutrisi
enteral jangka panjang adalah dengan gastrostomi dan
jejunum perkutaneus. Larutan nutrisi enteral yang
tersedia dipasaran memiliki komposisi yang
bervariasi. Nutrisi polimer mengandung protein utuh
(berasal dari whey, daging, isolat kedelai dan kasein),
karbohidrat dalam bentuk oligosakarida atau
polisakarida. Formula demikian memerlukan enzim
pancreas saat absorbsinya. Nutrisi elemental dengan
sumber nitrogen (asam amino maupun peptida)
tidaklah menguntungkan bila digunakan secara rutin,
namun dapat membantu bila absorbsi usus halus
terganggu, contohnya pada insufisiensi pankreas atau
setelah kelaparan dalam jangka panjang. Lipid
biasanya berasal dari minyak nabati yang
mengandung banyak trigliserida rantai panjang, tapi
juga berisi trigliserida rantai sedang yang lebih mudah
diserap. Proporsi kalori dari non protein seperti
karbohidrat biasanya dua pertiga dari total kebutuhan
kalori. Serat diberikan untuk menurunkan insiden
diare. Serat dimetabolisme oleh bakteri menjadi asam
lemak rantai pendek, yang digunakan oleh koloni
untuk pengambilan air dan elektrolit. Elektrolit,
vitamin dan trace mineral ditambahkan sampai
volume yang mengandung 2000 kkal. Nutrisi enteral
adalah factor resiko independen pneumonia
nosokomial yang berhubungan dengan ventilasi
mekanik. Cara pemberian sedini mungkin dan benar
nutrisi enteral akan menurunkan kejadian pneumonia,
sebab bila nutrisi enteral yang diberikan secara dini
akan membantu memelihara epitel pencernaan,
10
mencegah translokasi kuman, mencegah peningkatan
distensi gaster, kolonisasi kuman, dan regurgitasi.
Posisi pasien setengah duduk dapat mengurangi
resiko regurgitasi aspirasi. Diare sering terjadi pada
pasien di ICU yang mendapat nutrisi enteral,
penyebabnya multifaktorial, termasuk terapi
antibiotik, infeksi Clostridium difficile, impaksi feses,
dan efek tidak spesifik akibat penyakit kritis.
Komplikasi metabolik paling sering berupa
abnormalitas elektrolit dan hiperglikemia.

b. Parenteral

Tunjangan nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan


enteral tidak dapat dipenuhi dengan baik. Terdapat
kecenderungan untuk tetap memberikan nutrisi
enteral walaupun parsial dan tidak adekuat dengan
suplemen nutrisi parenteral. Pemberian nutrisi
parenteral pada setiap pasien dilakukan dengan tujuan
untuk dapat beralih ke nutrisi enteral secepat
mungkin. Pada pasien ICU, kebutuhan dalam sehari
diberikan lewat infus secara kontinu dalam 24 jam.
Monitoring terhadap factor biokimia dan klinis harus
dilakukan secara ketat. Hal yang paling ditakutkan
pada pemberian nutrisi parenteral total (TPN/Total
Parenteral Nutrition) melalui vena sentral adalah
infeksi.

5. Etiologi

Penyebab yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi antara


lain :

a. Pengetahuan

Rendahnya pengetahuan tentang manfaat makanan

11
bergizi dapat mempengaruhi pola konsumsi makan.
Hal tersebut dapat disebabkan oleh kurangnya
informasi sehingga dapat terjadi kesalahan
pemenuhan kebutuhan gizi.
b. Prasangka
Prasangka buruk terhadap beberapa jenis makanan
yang bernilai gizi tinggi dapat mempengaruhi status
gizi seseorang.
c. Kebiasaan
Adanya kebiasaan yang buruk atau pantangan
terhadap makanan tertentu dapat juga mempengaruhi
status gizi.
d. Kesukaan
Kesukaan yang berlebihan terdapat sesuatu jenis
makanan dapat mengakibatkan kurangnya varian
makanan, sehingga tubuh tidak memperoleh zat-zat
gizi yang dibutuhkan secara cukup. Kesukaan banyak
mengakibatkan terjadinya kasus soal nutrisi pada
anak karena asupan gizinya dipengaruhi oleh status
ekonomi.

6. Patofisiologi

a. Faktor intrinsik

1. Status kesehatan

2. Proses penyakit

3. Mual muntah (anoreksia)

4. Demam

5. Pola diet

6. Faktor psikologi

b. Fator ekstrinsik

12
1. Kultur dan kepercayaan

2. Lingkungan

3. Pendidikan

4. Status sosial ekonomi


5. Gaya hidup

7. Gangguan nutrisi

Lebih dari kebutuhan kurang dari kebutuhan resiko penyakit. Resiko


malase anemia hipertensi, jantung hipertensi, penyakit DM. gangguan
kesehatan serius yang terjadi ketika tubuh tidak mendapat asupan
nutrisi yang cukup. Padahal, nutrisi dibutuhkan oleh tubuh untuk dapat
menjalankan fungsinya dengan
baik. Malnutrisi bisa terjadi karena tubuh kekurangan gizi
dalam jangka waktu yang lama

8. Manifestasi klinis

a. Mayor

Melaporkan atau mengalami masukan tidak adekuat


kurang yang dianjurkan atau tanpa penurunan berat
badan.

b. Minor

1) Berat badan 10% sampai 20% atau lebih berat badan


ideal

2) Lipatan kulit trisep,lingkar bagian tengah dan alat pertengahan lengan


kurang dari 60% strandar pengukur
3) Kelemahan otot

4) Peka rangsangan mental dan kekacauan mental.

5) Penurunan akbumin, serum.

6) Penurunan transferin, serum

13
9. Tanda dan gejala

a. Tanda :

1) Penurunan berat badan

2) Anoreksia

3) Tidak ada penyakit yang menurunkan berat badan

4) Penampilan kurus

5) Makan disembunyikan

6) Pemikiran tak rasional tentang makanan

7) Muntah

b. Gejala :

1) Lapar terus-menerus atau menyangkal lapar

2) Takut peningkata berat badan

3) Terlalu memperhatikan makanan, misalnya :


menghitung kalori

4) Menolah mempertahankan berat badan diatas


normal

5) Secara teratur merangsang diri untuk muntah

6) Puasa

10. Pemeriksaan penunjang

a. Rontgen

b. USG

c. Laboratorium

14
11. Faktor-faktor yang mempengaruhi

a. Status kesehatan

b. Kultur dan kepercayaan

c. Status social ekonomi

d. Informasi yang salah tentang makanan dan diet.

B. Konsep Penyakit Sepsis

Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap


infeksi, dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi
darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai
dengan perubahan temperatur tubuh, perubahan jumlah leukosit,
takikardia dan takipnu (PERDACI (Perhimpunan Dokter Intensive
Care Indonesia), 2014).
Pada tahun 2016, The Society of Critical Care Medicine
(SCCM) dan Europan Society of Intensive Care Medicine (ESICM)
berdasarkan The Third International Concensus For Sepsis And
Septic Shock (Sepsis-3) mendefinisikan sepsis sebagai disfungsi
organ yang mengancam nyawa, yang disebabkan oleh adanya
disregulasi respon tubuh terhadap infeksi.
Sepsis merupakan disfungsi organ akibat gangguan regulasi
respons tubuh terhadap terjadinya infeksi (Arifin, 2017). Kondisi
sepsis merupakan gangguan yang menyebabkan kematian.

C. Etiologi Sepsis

Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun


sepsis dapat disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan
oleh jamur). Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan
pada orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella,
dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis
merupakan suatu interaksi yang komplek antara efek toksik
15
langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan
respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi (Caterino JM,
2012). Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah
tuanya populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit
kronis dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis
yang relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis
(misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif
(misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari
tubuh. Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah
paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang
sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
1. Infeksi paru-paru (pneumonia)
2. Flu (influenza)
3. Appendiksitis
4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus
urinarius)
6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus
atau kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
7. Infeksi pasca operasi
8. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak
dapat terdeteksi (NHLBI, 2015)

D. Patofisiologi

Patofisiologi sepsis terjadi sebagai respon terhadap


infeksi yang memicu aktivasi sistem imun pro-inflamasi dan
anti-inflamasi. Proses ini meliputi aktivasi makrofag, monosit,
dan neutrofil yang berinteraksi dengan reseptor patogen.
Respon lanjutan dari reaksi inflamasi melibatkan mediator
inflamasi lain seperti sitokin, protease, dan nitrit oksida.
Endotelium merupakan tempat pertama terjadinya respon
inflamasi, pelepasan mediator inflamasi pada proses lebih

16
lanjut mengaktivasi koagulasi, kaskade komplemen, cedera
vaskular, dan kebocoran kapiler.
Innate Immunity dan Mediator Inflamasi Langkah
pertama terjadinya inisiasi host response terhadap patogen
yaitu dengan aktivasi sel imun, diinisiasi oleh sitokin
proinflamasi seperti makrofag, monosit, neutrofil, dan natural
killer cells (NK cells). Reseptor dari sel-sel tersebut bereaksi
dengan endotoksin bakteri dan B-glucans fungi. Ikatan
reseptor tersebut mengakibatkan terjadinya aktivasi dan
proliferasi leukosit, sistem komplemen, dan keluarnya
kemokin. Pada kondisi sepsis, peningkatan aktivasi respon
imun tersebut mengakibatkan kerusakan kolateral pada sel
jaringan host.
Disregulasi Hemostasis Pada kondisi sepsis, terjadi
disregulasi antara reaksi inflamasi dan jalur hemostasis, yaitu
terjadinya aktivasi kaskade koagulasi. Pada kondisi ini
terjadi trombositopenia ringan hingga disseminated
intravascular coagulation (DIC). Hiperkoagulabilitas terjadi
akibat pelepasan tissue factor yang menyebabkan produksi
trombin, aktivasi platelet, dan pembentukan fibrin
clots. Kondisi ini dapat menyebabkan hipoksia jaringan dan
disfungsi organ.
Imunosupresi Sebelum terjadinya sepsis, terjadi inisiasi
fase proinflamasi yang sering diawali dengan fase
imunosupresi yang memanjang. Pada fase ini, sistem imun
seseorang tidak mampu merespon terhadap infeksi bakteri,
jamur, atau virus. Beberapa aspek seluler yang mengalami
gangguan fungsi pada saat kondisi sepsis, yaitu adanya
apoptosis limfosit, hiperaktivitas neutrofil, dan kegagalan sel
endotel. Kondisi limfopenia merupakan biomarker terjadi
imunosupresi pada sepsis. Pada pasien sepsis terdapat
apoptosis yang signifikan pada limfosit, terutama pada limpa
dan timus. Adanya apoptosis limfosit dapat menjadi penyebab
17
terjadinya penurunan fungsi limfosit pada pasien sepsis
sehingga terjadi kegagalan produksi sitokin.
Disfungsi Tingkat Sel, Jaringan, dan Organ Terjadinya
disfungsi organ pada sepsis akibat adanya hipoperfusi disertai
penurunan suplai oksigen ke organ. Kondisi ini terjadi akibat
disfungsi kardiovaskular seperti penurunan ejeksi fraksi
ventrikel kiri dan dilatasi dari mikrovaskular, yang diperberat
dengan hilangnya barrier endotel. Efek yang terjadi yaitu
peningkatan metabolisme anaerob dan peningkatan asam
laktat. Selain itu, pada pasien sepsis, terjadi kerusakan dan
disfungsi pada mitokondria. Hal ini menyebabkan energi yang
dihasilkan menurun. sehingga terjadi disfungsi organ secara
perlahan dan viabilitas sel dalam menjalankan fungsinya
menurun

18
SEPSIS

Aktivitas makrofag

Perubahan Dispnea Perubahan


aliran darah aliran darah

Merangsang kerja Tarikan otot Permebilitas vaskuler


berlebihan dari PG E2 pernafasan
di hipotalamus
Pola napas Transudasi cairan
tidak efektif
Instabil termoregulasi
Ferkuensi
Vasospasme
napas
pembuluh darah
Hipertermi dan
hipotermi Penggunaaan ventilator
Sirkulasi terhenti
Termoregulasi tidak
efektif
Perfusi perifer tidak
efektif

Nafsu Bersihan jalan napas


makan tidak efektif

Defisit nutrisi

19
E. Manifestasi Klinis Sepsis

Sepsis mempunyai gejala klinis yang tidak spesifik, seperti


demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise,
gelisah atau kebigungan. Tempat terjadinya infeksi paling sering
adalah paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan
lunak dan saraf pusat. Gejala sepsis akan menjadi lebih berat pada
penderita usia lanjut, diabetes, kanker, gagal organ utama, dan
pasien dengan granulosiopenia. Tanda-tanda MODS yang sering
diikuti terjadinya syok septik adalah MODS dengan komplikasi
ARDS, koagulasi intravaskuler, gagal ginjal akut, perdarahan usus,
gagal hati, disfungsi sistem saraf pusat, dan gagal jantung yang
semuanya akan menimbulkan kematian. Pada sepsis berat muncul
dampak dari penurunan perfusi mempengaruhi setidaknya satu
organ dengan gangguan kesadaran, hipoksemia (PO2<75 mmHg),
peningkatan laktat plasma atau oliguria(< 30 ml/ jam meskipun
sudah diberikan cairan). Sekitas satu perempat dari pasien
mengalami sindrom gangguan pernapasan akut dengan infiltrat
parbileteral, hipoksemia (PO2<75 mmHg, FiO2 > 0,4), dan kapiler
paru tekanan <18 mmHg. Pada syok septik terjadi hipoperfusi organ
(Arefian, 2017)

F. Klasifikasi sepsis

Menurut Putri (2014) , antara lain klasifikasi


sepsis dibagi menjadi 4 yaitu:
1. SIRS
Temperature <38°C atau 36°C, HR >90 per menit, RR >20
per menit, PaCO2 < 4,27 kPa Leukosit > 12.000/mm3
ataun<4000/mm3 atau neutofil imatyur > 10%
2. Sepsis
SIRS dengan suspek infeksi
3. Sepsis Berat dan Septic Syok

20
SBP < 0,5 ml/kg/jam untuk 1 jam walaupun telah diberikan
resusitasi yang adekuat. PaO2/FiO2 < 250 pada adanya
kelainan organ atau kelainan system yang lain atau < 200 jika
hanya paru yang mengalami disfungsi. Perhitungan platelet <
80000/mm3 atau turun sebanyak 50% dari harga awal selama
3 hari. Asidosis metabolic pH < 7,30 atau defisit basa > 5,0
mmol/L level laktat > 1,5 kali dari normal
4. MOODS
Kerusakan lebih dari satu organ yang menyebabkan
ketidakmampuan untuk mengatur hemeostasis tanpa
interbensi.

G. Komplikasi Sepsis

1. MODS (Disfungsi Organ Multipel)


Penyebab kerusakan multipel organ disebabkan karena
adanya gangguan perfusi jaringan yang mengalami hipoksia
sehingga terjadi nekrosis dan gangguan fungsi ginjal dimana
pembuluh darah memiliki andil yang cukup besar dalam
patogenesis ini
2. KID (Koagulasi Intravaskular Diseminata)
Patogenesis sepsis menyebabkan koagulasi intravaskuler
diseminata disebabkan oleh faktor komplemen yang berperan
penting seperti yang sudah dijelaskan pada patogenesis sepsis
diatas.
3. ARDS
Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan
gangguan pada aliran darah kapiler dan perubahan
permebilitas kapiler, yang dapat mengakibatkan edema
interstitial dan alveolar. Neutrofil yang terperangkap dalam
mirosirkulasi paru menyebabkan kerusakan pada membran
kapiler alveoli. Edema pulmonal akan mengakibatkan suatu
hipoxia arteri sehingga akhirnya akan menyebabkan Acute
Respiratory Distress Syndrome.
4. Gagal ginjal akut

21
Pada hipoksia/iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus
ginjal.vaskular dan sel endotel ginjal sehingga memicu
terjadinya proses inflamasi yang menyebabkan gangguan
fungsi organ ginjal.
5. Syok septik
Sepsis dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap
walaupun telah dilakukan terapi cairan yang adekuat karena
maldistribusi aliran darah karena adanya vasodilatasi perifer
sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif tidak
memadai untuk perfusi jaringan sehingga terjadi hipovelemia
relatif

H. Pemeriksaan Penunjang Sepsis

Skrining awal dan cepat dapat dilakukan di setiap unit gawat


darurat. Kriteria baru sepsis menggunakan Sequential Organ Failure
Assessment (SOFA). SOFA melakukan evaluasi terhadap 6 fungsi
sistem organ, yaitu respirasi, koagulasi, hepar, kardiovaskular,
sistem saraf pusat, dan ginjal. Makin tinggi skor SOFA akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas sepsis. Kriteria simpel
menggunakan qSOFA. qSOFA dinyatakan positif apabila terdapat 2
dari 3 kriteria. Skoring tersebut cepat dan sederhana serta tidak
memerlukan pemeriksaan laboratorium. Syok septik dapat
diidentifikasi dengan adanya klinis sepsis dengan hipotensi menetap.
Kondisi hipotensi membutuhkan tambahan vasopressor untuk
mempertahankan kadar MAP >65 mmHg dan laktat serum >2
mmol/L walaupun telah dilakukan resusitasi.
Kriteria SOFA muncul setelah pembaharuan definisi dan
kriteria sepsis bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas
sepsis. Kriteria tahun 1992 menggunakan istilah Sindrom Respons
Inflamasi Sistemik (SIRS). SIRS terdiri dari kriteria umum yang
meliputi kondisi vital pasien, terdapat kriteria inflamasi, kriteria
hemodinamik, dan kriteria gangguan fungsi organ. Kriteria qSOFA,
laju pernafasan >22x/mnt, perubahan status mental/kesadaran,
tekanan darah sistolik <100mmHg. (Arefian, 2017)
Bila sindrom klinis mengarah ke sepsis, perlu dilakukan

22
evaluasi sepsis secara menyeluruh. Hal ini termasuk biakan darah,
pungsi lumbal, analisis dan kultur urin, serta foto dada. Diagnosis
sepsis ditegakkan dengan ditemukannya kuman pada biakan darah.
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan neutropenia dengan
pergeseran ke kiri (imatur:total seri granulosit>0,2). Selain itu dapat
dijumpai pula trombositopenia. Adanya peningkatan reaktans fase
akut seperti C-reactive protein (CPR) memperkuat dugaan sepsis.
Diagnosis sebelum terapi diberikan (sebelum hasil kultur positif)
adalah tersangka sepsis. Selain itu pemeriksaan penunjang yg lain
adalah:
a. SDP
Ht mungkin meningkat pada status hipovolemik karena
hemokonsentrasi. Leukopenia (penurunan SDP) terjadi
sebelumnya, diikuti oleh pengulangan leukosit (15.000-
30.000) dengan peningkatan pita (berpindah ke kiri) yang
mempublikasikan produksi SDP tak matur dalam jumlah
besar.
b. Elektrolit Serum
Berbagai ketidak seimbangan mungkin terjadi dan
menyebabkan asidosis, perpindahan cairan, dan perubahan
fungsi ginjal.
c. Trombosit
d. PT/PTT: mungkin memanjang mengidentifiksikan koagulopati yang
diasosiasikan dengan hati/sirkulasi yoksin/status syok
e. Laktat serum
Meningkat dalam asidosis metabolic, disfungsi hati, syok
f. Glukosa serum
Terjadi hiperglikemia yang terjadi menunjukkan
glukoneogenesis dan glikogenolisis di dalam hati sebagai
respon dari perubahan selulaer dalam metabolisme.
g. BUN/Kreatinin
Terjadi peningkatan kadar disasosiasikan dengan
dehidrasi, ketidakseimbangan / gagalan hati
h. GDA
Terjadi alkalosis respiratori dan hipoksemia dapat terjadi
sebelumnya dalam tahap lanjut hipoksemia, asidosis
23
respiratorik dan asidosis metabolic terjadi karena
kegagalan mekanisme kompensasi
i. EKG

I. Penatalaksanaan Sepsis

Menurut Ivan Aristo (2019).


1. Antibiotik Spektrum Luas (Rekomendasi kuat, bukti
penelitian Sedang) Pemberian antibiotik spektrum luas sangat
direkomendasikan pada manajemen awal pemilihan
antibitiotik disesuaikan dengan bakteri empirik yang
ditemukan. Pemberian kemoterapi antimikroba harus dimulai
secepatnya setelah darah dan spesimen lainnya dikultur.
Apabila hasil pemeriksaan kultur belum didapatkan, maka
dapat dilakukan terapi empirik yang efektif melawan bakteri
gram positif dan negatif.
2. Cairan Intravena (Rekomendasi kuat, bukti penelitian Lemah)
Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi pasien
sepsis, atau sepsis dengan hipotensi dan peningkatan serum
laktat. Cairan resusitasi adalah 30 mg/kgBB cairan kristaloid;
tidak ada perbedaan manfaat antara koloid dan kristaloid.4
Pada kondisi tertentu seperti penyakit ginjal kronis,
dekompensasi kordis, harus diberikan lebih hati –hati.

J. Konsep dasar keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian keperawatan terhadap masalah gangguan


pemenuhan kebutuhan nutrisi yaitu :
a) Data subjektif :

 Biodata : ) Identitas Tulis nama pasien, umur


biasanya terjadi pada lanjut usia, dan tempat
tinggal

 Alasan datang

24
 Keluhan utama : Keluhan Utama Ditemukan
pasien mengalami hiperglikemi hingga penurunan
kesadaran

 Riwayat kesehatan pasien dan keluarga

b) Data objektif :

 Pemeriksaan fisik umum : Keadaan umum


Pasien biasanya dengan penurunan kesadaran,
buruknya kontrol suhu: hipotermi dan hipertermi

 Pemeriksaan fisik dengan cara inspeksi,


palpasi, auskultasi, dan perkusi : Cek airway,
cek kepatenan jalan napas, berikan alat bantu
napas jika perlu.
 Pemeriksaan khusus

 Pemeriksaan penunjang

1) Kultur (luka, sputum, urine, darah):


mengidentifikasi organisme penyebab sepsis

2) SDP: Ht mungkin meningkat pada status


hipovolemik karena hemokonsentrasi,
leukositosis, dan trombositopenia

3) Elektrolit serum: asidosis, pemindahan cairan


dan perubahan fungsi ginjal

4) Glukosa serum: hiperglikemia

5) GDA: alkalosis respiratpry dan hipoksemia

K. Diagnosa keperawatan

1. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan


mengsbsorbsi nutrien

L. Intervensi

Dx : Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan


mengsbsorbsi nutrien

25
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.

Kriteria hasil :

 BB meningkat/stabil

 TTV dalam batas normal

 Porsi makan yang isedikan habis 1 porsi

 Pasien tidak muntah lagi

M. Implementasi

Melakukan tindakan asuhan keperawatan yang sesuai dengan


intervensi yang telah disusun.

Manajemen nutrisi
Observasi

− Identifikasi status nutrisi


− Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
− Identifikasi makanan yang disukai
− Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
− Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
− Monitor asupan makanan
− Monitor berat badan
− Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

Terapeutik

− Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu


− Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. piramida
makanan)
− Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
26
Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
− Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
− Berikan suplemen makanan, jika perlu
− Hentikan pemberian makan melalui selang nasogatrik jika
asupan oral dapat ditoleransi

Edukasi

− Anjurkan posisi duduk, jika mampu


− Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi

− Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis.


pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
− Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrien yang dibutuhkam jika perlu

N. Evaluasi

Kegiatan dalam menilai suatu tindakan keperawatan yang


telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien
secara opyimal dan megukur hasil dari proses.

27
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis tergantung dari tingkat keparahan
cedera atau penyakitnya, dan status nutrisi sebelumnya. Pasien sakit kritis
memperlihatkan respon metabolik yang khas terhadap kondisi sakitnya. Pada
sakit kritis terjadi pelepasan mediator inflamasi (misalnya IL-1, IL-6, dan TNF)
dan peningkatan produksi “counter regulatory hormone” (misalnya
katekolamin, kortisol, glukagon, GH), yang dapat menyebabkan serangkaian
proses yang mempengaruhi seluruh sistem tubuh dan menimbulkan efek yang
jelas pada status metabolik dan nutrisi pasien.
Pemberian nutrisi pada kondisi sakit kritis bisa menjamin kecukupan energi
dan nitrogen, namun harus dihindari overfeeding seperti uremia, dehidrasi
hipertonik, steatosis hati, gagal napas hiperkarbia, hiperglisemia, koma non-
ketotik hiperosmolar dan hiperlipidemia. Pada pasien sakit kritis tujuan
pemberian nutrisi adalah menunjang metabolik, bukan untuk pemenuhan
kebutuhannya saat itu. Bahkan pemberian total kalori mungkin dapat merugikan
karena menyebabkan hiperglisemia, steatosis dan peningkatan CO 2 yang
menyebabkan ketergantungan terhadap ventilator dan imunosupresi. Secara
umum dapat diuraikan tujuan pemberian dukungan nutrisi pada kondisi kritis
adalah meminimalkan keseimbangan negatif kalori dan protein dan kehilangan
protein dengan cara menghindari kondisi starvasi, mempertahankan fungsi
jaringan khususnya hati, sistem imun, sistem otot dan otot-otot pernapasan, dan
memodifikasi perubahan metabolik dan fungsi metabolik dengan menggunakan
substrat khusus.

28
DAFTAR PUSTAKA

Adriani M, Wirjatmadi B. Peranan Gizi Dalam Siklus Kehidupan. Jakarta: Kencana


Prenada Media Group; 2014. 2. Peraturan Menteri Kesehatan RI. Angka Kecukupan
Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Kementerian Kesehatan RI Nomor 75
Tahun 2013.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.

Siregar, Ade Rahmawati. 2006. Harga Diri pada Remaja Obesitas. Dari:
www.library.usu.ac.id (16 Oktober 2016)

29

Anda mungkin juga menyukai