Anda di halaman 1dari 89

MALNUTRISI

DI RUMAH SAKIT

Penulis :
1. Hertanto Wahyu Subagio
2. Niken Puruhita
3. Enny Probosari
4. Etisa Adi Murbawani
5. Khairuddin
6. Amalia Sukmadianti
7. Febe Christianto

Penerbit K-Media
Yogyakarta, 2019
MALNUTRISI DI RUMAH SAKIT
viii + 81 hlm.; 14 x 20 cm

ISBN: 978-602-451-598-0

Penulis : Hertanto Wahyu S. … [et al.]


Tata Letak : Uki
Desain Sampul : Nur Huda A

Cetakan : November 2019

Fotografer Cover : Gorodenkoff

Copyright © 2019 by Penerbit K-Media


All rights reserved

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang No 19 Tahun 2002.

Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh


isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektris mau pun
mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem
penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penulis dan Penerbit.

Isi di luar tanggung jawab percetakan

Penerbit K-Media
Anggota IKAPI No.106/DIY/2018
Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.
e-mail: kmedia.cv@gmail.com

ii | Malnutrisi di Rumah Sakit


KATA PENGANTAR

Malnutrisi terjadi akibat defisiensi zat gizi,


peningkatan kebutuhan zat gizi karena penyakit, dan
komplikasi penyakit seperti gangguan absorpsi dan
meningkatknya kehilangan zat gizi, atau kombinasi
keduanya. Malnutrisi dapat terjadi sebelum dan saat pasien
dirawat inap di rumah sakit dan berdampak signifikan
terhadap morbiditas, mortalitas dan lama hari rawat.
Diagnosis dini serta tata laksana gizi yang adekuat
merupakan kunci pengelolaan malnutrisi di rumah sakit.
Buku ini berisi tentang permasalahan malnutrisi di
rumah sakit, identifikasi (meliputi proses skrining, asesmen
dan diagnosis), dan tata laksana gizi untuk pasien malnutrisi.
“Refeeding Syndrome” yang sering terjadi saat pelaksanaan
terapi gizi dibahas secara spesifik dalam sebuah Bab.
Diharapkan buku ini dapat menjadi referensi penanganan
masalah malnutrisi di rumah sakit.
Penulis menyadari bahwa buku ini tidak luput dari
kekurangan-kekurangan, oleh karena itu, tegur sapa yang
bersifat membangun dari para pembaca sangat kami
harapkan.

Tim Penulis

Malnutrisi di Rumah Sakit | iii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................ vii

BAB 1: MALNUTRISI DI RUMAH SAKIT ................... 1


1. Pendahuluan ............................................................ 1
2. Prevalensi malnutrisi di rumah sakit ....................... 3
3. Masalah pelayanan gizi di rumah sakit ................... 5
4. Akibat malnutrisi .................................................... 7
5. Langkah-langkah dasar terapi gizi
medik/medical nutrition therapy (MNT) .............. 11
6. Rangkuman ........................................................... 14
Referensi ..................................................................... 15

BAB II: IDENTIFIKASI MALNUTRISI


DI RUMAH SAKIT ......................................................... 17
1. Pendahuluan .......................................................... 17
2. Skrining ................................................................. 19
3. Assessment ............................................................ 24
4. Diagnosis............................................................... 27
5. Rangkuman ........................................................... 33
Referensi ..................................................................... 34

BAB III: TATALAKSANA MALNUTRISI


DI RUMAH SAKIT ......................................................... 35
1. Pendahuluan .......................................................... 35
2. Waktu dimulai pemberian terapi gizi .................... 37

iv | Malnutrisi di Rumah Sakit


3. Preskripsi Gizi ....................................................... 37
4. Kebutuhan Energi dan Zat Gizi ............................ 38
5. Jalur Pemberian Terapi Gizi dan Jenis Diet
Yang Diberikan ..................................................... 43
6. Monitoring dan Evaluasi ....................................... 51
7. Rangkuman ........................................................... 53
Referensi ..................................................................... 55

BAB IV: REFEEDING SYNDROME............................ 57


1. Pendahuluan ........................................................ 57
2. Patofisiologi Refeeding Syndrome ...................... 59
3. Manifestasi Klinis................................................ 61
4. Manajemen Refeeding Syndrome ........................ 65
5. Rangkuman .......................................................... 75
Referensi ..................................................................... 76

DAFTAR INDEKS ........................................................... 79

Malnutrisi di Rumah Sakit | v


DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tabel Diagnosis Malnutrisi (ASPEN).................. 30


Tabel 2. Faktor Risiko refeeding syndrome ....................... 59
Tabel 3. Rejimen gizi berdasarkan guideline ..................... 66

vi | Malnutrisi di Rumah Sakit


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Algoritma pemilihan Jalur pemberian terapi gizi ..... 50


Gambar 2. Algoritma penilaian awal pasien RFS ...................... 70
Gambar 3. Manajemen awal pasien refeeding syndrome ........... 72
Gambar 4. Memulai pemberian makan pada pasien berisiko
RFS ........................................................................... 74

Malnutrisi di Rumah Sakit | vii


viii | Malnutrisi di Rumah Sakit
BAB 1

MALNUTRISI DI RUMAH SAKIT

1. Pendahuluan

“So it’s time to swing open the door and have a look at this
skeleton in the hospital closet”
“Malnutrition has often been referred to as the skeleton in
the hospital closet, as it is often overlooked, undiagnosed
and untreated” - Butterworth, 1974
“The Skeleton in the Hospital Closet” merupakan
judul artikel yang ditulis oleh Charles Butterworth pada
Nutrition Today tahun 1974. Artikel tersebut menunjukkan
bahwa malnutrisi dapat terjadi saat pasien dirawat inap di
rumah sakit dan konsekuensinya yang sangat besar terhadap
morbiditas, mortalitas dan masa rawat. Jika terdiagnosis
dini, malnutrisi bersifat reversibel dan dapat dicegah, namun
sayangnya sering tidak terdiagnosis. Butterworth
menyatakan bahwa seorang pasien yang dirawat di rumah
sakit seharusnya mengetahui bahwa dirinya dirawat oleh
orang-orang yang memahami prinsip-prinsip gizi dasar

Malnutrisi di Rumah Sakit | 1


untuk menghitung kebutuhan makronutrien dan
mikronutrien pada kondisi sakit. Sejak itu, perhatian
terhadap tata laksana gizi di rumah sakit mulai meningkat.
Malnutrisi merupakan sebuah istilah luas untuk
menggambarkan ketidakseimbangan gizi, baik kelebihan
gizi yang sering ditemukan di negara maju, hingga kurang
gizi di negara berkembang. Malnutrisi dapat merupakan
akibat kekurangan asupan zat gizi, peningkatan kebutuhan
zat gizi karena penyakit, dan komplikasi penyakit seperti
gangguan absorpsi dan kehilangan gizi, atau kombinasi
keduanya. Malnutrisi berdampak buruk pada pasien, seperti
tingginya angka infeksi, peningkatan kehilangan massa otot,
gangguan penyembuhan luka, masa rawat yang lebih lama
dan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
European Society of Parenteral and Enteral Nutrition
(ESPEN) menyatakan bahwa malnutrisi di rumah sakit
seringkali merupakan kombinasi kakeksia (terkait dengan
penyakit) dan asupan zat gizi tidak adekuat. Malnutrisi
menggambarkan interaksi kompleks antara penyakit,
gangguan metabolik terkait penyakit dan penurunan
ketersediaan zat gizi (karena penurunan asupan, gangguan
absorpsi dan/atau peningkatan kehilangan zat gizi.

2 | Malnutrisi di Rumah Sakit


2. Prevalensi malnutrisi di rumah sakit

Hingga saat ini perkiraan prevalensi malnutrisi masih


merupakan tantangan. Hal ini disebabkan oleh adanya
perbedaan kriteria definisi malnutrisi pada empat dekade
terakhir. Prevalensi malnutrisi di rumah sakit memiliki
rentang yang luas pada pustaka yaitu antara 20% hingga
50% tergantung pada populasi pasien serta definisi dan
kriteria yang digunakan untuk diagnosis. Selain angka
malnutrisi, biasanya penelitian-penelitian tersebut juga
menilik aspek lain yang dipengaruhi oleh malnutrisi, yaitu
komplikasi antara lain penggunaan obat, angka infeksi, masa
rawat inap/Length of Stay (LOS), morbiditas dan mortalitas.
Penelitian tahun 2009 di rumah sakit pendidikan tersier
di Australia melaporkan, malnutrisi teridentifikasi pada 23%
dari 275 pasien yang diperiksa dengan Subjective Global
Assessment (SGA). Pasien malnutrisi mengalami
penambahan hari rawat selama 4 sampai 5 hari lebih panjang
dibandingkan pasien dengan status gizi baik. Penelitian ini
mengungkap bahwa meskipun angka malnutrisi yang
teridentifikasi cukup tinggi, namun hanya 36% pasien yang
dirujuk untuk mendapatkan pelayanan gizi, dan 29%

Malnutrisi di Rumah Sakit | 3


diantaranya yang tata laksana gizinya tercatat dalam rekam
medis.
Penelitian-penelitian lain di Australia menunjukkan hasil
yang serupa. Pada tahun 2007, SGA digunakan untuk
menentukan status gizi pasien pada rumah sakit swasta dan
dilaporkan angka malnutrisi sebesar 42% dengan hanya 15%
yang dirujuk untuk mendapat pelayanan gizi. Pada rumah
sakit pendidikan, sebanyak 30% pasien terdiagnosis
malnutrisi menggunakan Mini Nutritional Assessment
(MNA).
Angka malnutrisi di Eropa, Amerika Serikat dan
Amerika Selatan menunjukkan hasil yang mirip dengan
penelitian di Australia. Penelitian di Jerman menunjukkan
angka malnutrisi sebesar 27% di mana pasien malnutrisi
memiliki LOS 43% lebih lama. Sebuah penelitian di
Belanda menyatakan bahwa 40% pasien termasuk kategori
malnutrisi setelah diskrining menggunakan Nutrition Risk
Screening (NRS), namun hanya 8% yang terdokumentasi
sebagai pasien malnutrisi. Dua penelitian di Inggris pada
tahun 2000 dan 2003 melaporkan angka malnutrisi sebesar
20% disertai angka penulisan resep obat untuk infeksi yang

4 | Malnutrisi di Rumah Sakit


lebih tinggi dan mengalami pemanjangan masa rawat selama
3 hari.
Secara ringkas, malnutrisi dapat mengenai satu dari tiga
pasien di negara berkembang pada saat pasien masuk untuk
dirawat di rumah sakit. Jika tidak ditangani, dua dari tiga
pasien akan mengalami penurunan status gizi selama
dirawat. Pasien yang pada saat admisi tidak malnutrisi,
sepertiganya akan mengalami malnutrisi selama masa rawat.
Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
malnutrisi merupakan masalah global dan berdampak buruk
secara klinis maupun ekonomis, namun angka diagnosis dan
dokumentasinya rendah.

3. Masalah pelayanan gizi di rumah sakit

Sebuah artikel oleh Szczygiel menyatakan ada lima


masalah pelayanan gizi di rumah sakit berdasarkan
penelitian-penelitian di Eropa:
1. Kurangnya tanggung jawab yang jelas dalam
perencanaan dan tata laksana pelayanan gizi
Skrining dan asesmen gizi pada beberapa rumah
sakit belum merupakan bagian dari integrasi pelayanan.
Jika adapun, skrining dan asesmen gizi yang diterapkan,

Malnutrisi di Rumah Sakit | 5


masih menggunakan variabel berat badan dan Indeks
Massa Tubuh (IMT) sebagai penanda utama malnutrisi
dimana kedua variabel ini kurang valid karena
dipengaruhi oleh kondisi pasien seperti adanya edema
dan massa tumor misalnya. Diharapkan, adanya alat
skrining dan asesmen gizi yang disepakati secara
nasional akan menjadi modalitas utama dalam menjaring
masalah malnutrisi.
2. Kurangnya pengetahuan petugas pelayanan kesehatan
tentang gizi
Tingkat pengetahuan petugas pelayanan kesehatan
mengenai gizi masih terbatas pada penilaian penampilan
fisik pasien, yaitu kurus atau gemuk. Sedangkan dasar
diagnosis masalah gizi saat ini bukan lagi berdasarkan
berat badan dan IMT namun juga berdasarkan tingkat
stres metabolik, tindakan bedah dan penyakit yang
mendasari.
3. Kurangnya keterlibatan pasien
Beberapa pustaka menyatakan bahwa pasien tidak
dilibatkan dalam pemilihan regimen diet di rumah sakit.
Hal ini berdampak pada sisa makanan yang banyak dan
penurunan status gizi pasien. Pelayanan gizi yang

6 | Malnutrisi di Rumah Sakit


melibatkan pasien dalam memilih dan menentukan
preskripsi gizi yang fleksibel akan meningkatkan
kepatuhan pasien.
4. Kurangnya kerjasama antara kelompok pemberi
pelayanan
Beberapa petugas pelayanan kesehatan misalnya
perawat, ahli gizi, pramusaji, dokter penanggungjawab
pasien, dokter spesialis gizi klinis, harus bekerjasama
untuk mewujudkan pelayanan gizi pasien yang optimal.
5. Kurangnya keterlibatan manajemen rumah sakit
Pimpinan rumah sakit dalam mengatur alur
pelayanan gizi memegang peran penting dalam
terlaksananya tata laksana gizi di rumah sakit.

4. Akibat malnutrisi

Akibat malnutrisi terhadap pasien

Malnutrisi terbukti mengakibatkan gangguan pada


tingkat seluler, fisik dan psikologis. Besarnya masalah
bergantung pada berbagai faktor, termasuk usia, jenis
kelamin, jenis dan durasi penyakit, serta asupan gizi saat ini.
Malnutrisi pada tingkat seluler mengganggu kemampuan

Malnutrisi di Rumah Sakit | 7


tubuh untuk memperkuat respon imun saat infeksi,
meningkatkan risiko ulkus dekubitus, memperlambat
penyembuhan luka, meningkatkan risiko infeksi,
menurunkan absorpsi usus, mengubah termoregulasi dan
mengganggu fungsi ginjal. Pada tingkat fisik, malnutrisi
dapat menyebabkan kehilangan massa otot dan lemak,
penurunan fungsi otot-otot pernapasan dan jantung serta
atrofi organ viseral. Telah terbukti bahwa penurunan 15%
berat badan menyebabkan penurunan kekuatan otot dan
fungsi pernapasan, sedangkan 23% penurunan berat badan
berhubungan dengan 70% penurunan kekuatan fisik, 30%
kekuatan otot dan 30% peningkatan depresi. Malnutrisi pada
tingkat psikologis, berhubungan dengan kelelahan dan
kondisi apatis, yang menunda pemulihan, memperberat
anoreksia dan memperlambat waktu penyembuhan.
Sebuah penelitian terhadap pasien dewasa yang dirawat
inap lebih dari 7 hari menemukan bahwa pasien yang masuk
ke rumah sakit dalam keadaan malnutrisi dan mengalami
penurunan status gizi saat dirawat, memiliki masa rawat
yang lebih lama (kurang lebih 4 hari) dari pada pasien yang
masuk dan pulang dengan gizi baik. Selain masa rawat,

8 | Malnutrisi di Rumah Sakit


pasien malnutrisi lebih rentan mengalami komplikasi selama
masa rawat inap daripada pasien yang masih gizi baik.

Akibat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan

Pasien malnutrisi memiliki angka infeksi dan ulkus


dekubitus yang lebih tinggi (sehingga memerlukan
perawatan ekstra), memerlukan lebih banyak obat, lebih
tergantung pada alat bantu dan orang lain karena kehilangan
massa otot sehingga memiliki masa rawat lebih lama. Semua
masalah ini jika digabungkan akan meningkatkan biaya
rumah sakit jauh melebihi biaya yang seharusnya dihabiskan
jika penyakit tersebut tidak disertai malnutrisi.
Malnutrisi juga memiliki efek tak langsung terhadap
biaya pelayanan kesehatan pada negara-negara yang
menggunakan sistem pendanaan casemix di mana setelah
pasien pulang, nota medis akan diaudit oleh koder medis di
mana diagnosis utama, tindakan bedah, komorbiditas dan
intervensi lain dipilah-pilah dan disusun diagnosis related
group (DRG). Malnutrisi, jika terdokumentasi sebagai
komorbiditas atau komplikasi, dapat menghasilkan
klasifikasi severity yang lebih tinggi pada DRG sehingga

Malnutrisi di Rumah Sakit | 9


berpotensi mendatangkan reimbursement yang lebih besar
untuk rumah sakit.
Dua penelitian di Australia melaporkan estimasi
reimbursement pasien yang mana malnutrisi tidak tercatat
sebagai komorbiditas dalam bagian DRG. Di Melbourne,
penelitian yang menggunakan SGA untuk mendiagnosis
malnutrisi memperkirakan defisit tahunan rumah sakit
sebesar 1.850.540 dolar Australia karena malnutrisi yang
tidak terdiagnosis dan tidak terdokumentasi.
Penelitian di Jerman melaporkan bahwa pasien
malnutrisi mengalami penambahan masa rawat selama 4 hari
dan kerugian finansial sebesar 35.000 Euro akibat malnutrisi
yang tidak terdiagnosis. Penelitian di Amerika melaporkan
kerugian sebesar 86.000 USD yang ditemukan saat audit
retrospektif.
Penelitian-penelitian lain juga menunjukkan
peningkatan biaya pelayanan kesehatan karena malnutrisi
yang tidak tertangani berdasar pemanjangan LOS akibat
malnutrisi. Jika dilihat dari sisi lain, berarti intervensi gizi
pada pasien yang berisiko malnutrisi akan lebih efektif biaya
dan intervensi dini berupa terapi gizi lebih menghemat biaya
sebesar 1064 USD.

10 | Malnutrisi di Rumah Sakit


5. Langkah-langkah dasar terapi gizi medik/medical
nutrition therapy (MNT)

Skrining gizi
Skrining gizi merupakan proses cepat yang dilakukan
untuk mengidentifikasi subjek yang berisiko malnutrisi, dan
harus dilakukan menggunakan alat skrining yang tervalidasi.
Idealnya, skrining harus dilakukan pada 24-48 jam pertama
sejak pasien masuk dan kemudian diulang pada interval
tertentu. Subjek yang teridentifikasi berisiko malnutrisi harus
menjalani asesmen gizi. Alat skrining yang banyak dipakai
adalah Subjective Global Assessment (SGA), Nutrition Risk
Screening-2002 (NRS-2002) dan Malnutrition Universal
Screening Tool (MUST). Pasien lanjut usia, lebih disarankan
menggunakan Mini Nutritional Assessment (MNA).

Asesmen gizi
Asesmen gizi harus dilakukan pada semua subjek
yang teridentifikasi berisiko malnutrisi saat skrining. Hasil
asesmen akan menjadi dasar penegakan diagnosis dan
langkah berikutnya yaitu terapi gizi. Asesmen status gizi
mempertimbangkan hasil anamnesis (riwayat penyakit,
riwayat asupan, berat badan, tinggi badan, indeks massa

Malnutrisi di Rumah Sakit | 11


tubuh, komposisi tubuh dan indikator-indikator biokimiawi
dari hasil laboratorium dan status social ekonomi.

Diagnosis gizi
Dasar penegakan diagnosis belum disepakati secara
universal. Saat ini terdapat beberapa kriteria penegakan
diagnosis malnultrisi, antara lain berdasarkan konsensus
American Society of Parenteral and Enteral Society
(ASPEN) dan European Society of Nutrition and Metabolism
(ESPEN). Kriteria oleh ASPEN lebih banyak dipilih karena
tidak mengharuskan adanya penurunan berat badan atau IMT
di bawah nilai tertentu. Hal ini menguntungkan bagi pasien
yang tergolong malnutrisi bukan karena berat badan kurang
namun karena tindakan bedah mayor maupun stres
metabolik yang berat seperti luka bakar atau trauma multipel.

Terapi gizi
Terapi gizi merupakan cara bagaimana menyediakan
zat gizi untuk mengobati keadaan terkait gizi. Energi dan zat
gizi dapat diberikan secara oral (diet biasa atau oral
nutritional supplements), melalui selang enteral atau berupa
nutrisi parenteral untuk mencegah atau menangani

12 | Malnutrisi di Rumah Sakit


malnutrisi dalam cara yang sangat individual dan berbeda
antar pasien, di dalamnya termasuk penghitungan kebutuhan
energi, zat gizi dan cairan; target jangka pendek dan panjang,
preskripsi gizi, jalur pemberian terapi gizi, evaluasi serta
rencana edukasi saat pasien akan pulang.

Monitoring
Monitoring dan evaluasi merupakan suatu langkah
yang menilai apakah pemberian terapi gizi sesuai dengan
preskripsi/ asupan gizi sesuai target terapi, serta memastikan
toleransi baik terhadap terapi gizi. Penyesuaian lebih lanjut
terhadap terapi gizi yang sudah pernah diberikan dapat
dilakukan pada tahap ini. Monitoring yang perlu dilakukan
antara lain terhadap penyediaan dan asupan gizi baik energi,
protein, lemak dan mikronutrien lainnya; berat badan,
komposisi tubuh, edema; penanda biokimiawi; dan penanda
kapasitas fungsional seperti Hand Grip Strength (HGS); dan
kualitas hidup.

Malnutrisi di Rumah Sakit | 13


6. Rangkuman

Malnutrisi merupakan bentuk ketidakseimbangan gizi


(gizi kurang atau gizi lebih) yang diakibatkan defisiensi zat
gizi, peningkatan kebutuhan zat gizi karena penyakit, dan
komplikasi penyakit seperti absorpsi yang buruk dan
kelebihan kehilangan gizi, atau kombinasi keduanya.
Prevalensi malnutrisi di rumah sakit yang tinggi
menyebabkan peningkatan reimbursement dan lama rawat
inap.
Pelayanan gizi di rumah sakit berkontribusi terhadap
malnutrisi. Masalah pelayanan yang biasanya dihadapi oleh
rumah sakit adalah kurangnya tanggung jawab yang jelas
dalam pelayanan gizi, pengetahuan petugas gizi yang
kurang, kurangnya keterlibatan pasien, kurangnya kerjasama
antar tenaga kesehatan dan kurangnya keterlibatan
manajemen rumah sakit. Malnutrisi berakibat pada
kesehatan pasien dan fasilitas pelayanan kesehatan.
Penerapan medical nutrition therapy (MNT) lebih awal dan
yang tepat dapat mengurangi prevalensi malnutrisi di rumah
sakit.

14 | Malnutrisi di Rumah Sakit


7. Referensi

1. Butterworth C. The Skeleton in the Hospital Closet.


Nutrition Today. March/April 1974
2. Barker LA, Gout BS, Crowe TC. Hospital Malnutrition:
Prevalence, Identification and Impact on Patients and
the Healthcare System. International Journal of
Environmental Research and Public Health. 2011;514-
527
3. Curtis L, Bernier P, Allard J, Duerksen D, Gramlich L,
et al. Costs of Hospital Malnutrition. Curtis L. Clinical
Nutrition. 2017;1391-1396
4. Cederholm T, Barazzoni R, Austin P, Ballmer P, Biolo
G, et al. ESPEN Guidelines on definitions and
terminology of clinical nutrition. Clinical Nutrition.
2017;49-64

Malnutrisi di Rumah Sakit | 15


16 | Malnutrisi di Rumah Sakit
BAB II

IDENTIFIKASI MALNUTRISI DI RUMAH


SAKIT

1. Pendahuluan

Malnutrisi telah diidentifikasi sebagai masalah klinis


yang signifikan di rumah sakit baik secara nasional maupun
internasional. Menurut American Society for Parenteral and
Enteral Nutrition (ASPEN) malnutrisi merupakan
kekurangan gizi akut, subakut atau kronis, dimana terdapat
dua kategori yaitu gizi berlebih dan gizi kurang dengan atau
tanpa inflamasi yang menyebabkan perubahan komposisi
tubuh dan berkurangnya fungsi tubuh. Malnutrisi berdampak
buruk pada kondisi fisik, mengganggu proses perawatan
kesehatan dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan.
Dampak lain malnutrisi adalah peningkatan
pembiayaan perawatan kesehatan, hal ini diketahui melalui
system activity based funding di rumah sakit Australia.
Jumlah pendanaan tergantung pada dokumentasi yang akurat
dari diagnosis dan kegiatan perawatan kesehatan yang

Malnutrisi di Rumah Sakit | 17


terekam dalam catatan medis. Ketika pasien pulang, catatan
medis akan diaudit oleh medical coders. Diagnosis Related
Group (DRG) ditetapkan berdasarkan diagnosis utama,
operasi, kormobiditas, komplikasi dan intervensi yang
dilakukan. Ketika malnutrisi didokumentasikan sebagai
kormobiditas atau komplikasi maka akan mempengaruhi
DRG dan berdampak pada peningkatan reimbursement
rumah sakit. Tahun 2009, sebuah studi di Melbourne
memperkirakan defisit rumah sakit sebesar $1,850,540 atas
kasus malnutrisi yang tidak terdiagnosis dan tidak
terdokumentasi dengan baik. Penelitian yang dilakukan di
Brisbane memperkirakan defisit sebesar $1,677,235 atas
kasus yang serupa.
Pasien malnutrisi harus segera diidentifikasi untuk
mencegah perburukan kondisi klinis. Skrining awal yang
dilakukan dapat dijadikan dasar untuk rujukan diet dan
dukungan perawatan yang tepat. Skrining dan diagnosis
dengan alat yang telah divalidasi dapat membantu rumah
sakit dalam mengurangi penggunaan dana perawatan pasien
serta menurunkan risiko terjadinya lama rawat inap yang
lebih panjang dan peningkatan komplikasi medis.

18 | Malnutrisi di Rumah Sakit


2. Skrining

Skrining gizi merupakan proses cepat yang dilakukan


untuk mengidentifikasi subjek yang berisiko malnutrisi, dan
harus dilakukan menggunakan alat skrining yang tervalidasi.
Idealnya, skrining harus dilakukan pada 24-48 jam pertama
sejak pasien masuk dan kemudian diulang pada interval
tertentu. Subjek yang teridentifikasi berisiko malnutrisi harus
menjalani asesmen gizi. Berikut adalah alat skrining yang
banyak dipakai :
1. Subjective Global Assessment (SGA)
Subjective Global Assessment (SGA)
merupakan alternatif penilaian gizi berdasarkan pada
riwayat medis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan
dengan cermat. Tidak ada indeks antropometri dan nilai
laboratorium yang disertakan. Teknik SGA dianggap
lebih komprehensif karena terdiri dari dua tahap yaitu
anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis pada SGA
bertujuan untuk mencari etiologi malnutrisi apakah
disebabkan oleh penurunan asupan makan, malabsorpsi,
maldigesti atau akibat dari peningkatan kebutuhan
pasien. Anamnesis terdiri dari keterangan mengenai
perubahan berat badan, perubahan asupan makan,

Malnutrisi di Rumah Sakit | 19


gangguan gastrointestinal, gangguan kemampuan
fungsional, dan penyakit yang dialami oleh pasien.
Pemeriksaan fisik menilai kehilangan massa lemak dan
otot serta mengidentifikasi perubahan komposisi tubuh
akibat malnutrisi atau penyakit. Penilaian akhir SGA
dibagi menjadi tiga, SGA A (gizi baik), SGA B
(berisiko malnutrisi), SGA C (malnutrisi berat). Ada
beberapa hal yang paling ditekankan dalam riwayat
medis yaitu:
a. Perubahan berat badan
Mempertimbangkan penurunan berat badan dan
lajunya serta pola penurunan berat badan.
b. Perubahan asupan makan
Asupan makan diklasifikasikan dalam kategori
cukup (adekuat) dan tidak cukup (tidak adekuat).
Frekuensi, konsistensi, durasi dan tingkat asupan
makan di catat.
c. Adanya gangguan gastrointestinal
Keluhan yang tercakup dalam gangguan
gastrointestinal diantaranya adalah anoreksia, mual,
muntah, dan diare. Hal tersebut di catat jika terjadi
setiap hari selama lebih dari dua minggu. Muntah

20 | Malnutrisi di Rumah Sakit


yang terjadi satu atau dua kali dalam sehari akibat
obstruksi juga perlu di catat.
d. Gangguan kemampuan fungsional
e. Metabolisme pasien berdasar penyakit
Perubahan metabolisme pasien yang diakibatkan
oleh penyakit yang dialami dikategorikan dalam
tingkat tinggi, sedang dan rendah
(hipermetabolisme atau normometabolisme).

Terdapat lima hal yang paling ditekankan dalam


pemeriksaan fisik pada SGA yaitu:
a. Kehilangan lemak subkutan
b. Kehilangan massa otot
c. Adanya edema pada pergelangan kaki
d. Adanya edema pada daerah vital
e. Adanya asites

2. Malnutrition Screening Tool (MST)


Merupakan salah satu alat skrining yang
sederhana, cepat, valid, dan terpercaya untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko kekurangan gizi.
Alat ini memiliki dua pertanyaan terkait penurunan

Malnutrisi di Rumah Sakit | 21


berat badan dan penurunan nafsu makan. Skor >2
menunjukan pasien berisiko kekurangan gizi dan
memerlukan penilaian lebih lanjut.
3. DETERMINE Check List
Merupakan sebuah daftar yang telah
dikembangkan dan didistribusikan oleh Nutrition
Screening Initiative untuk skrining pasien lansia.
DETERMINE merupakan akronim untuk tanda-tanda
peringatan terhadap gizi buruk : Disease, Eating Poorly,
Tooth loss/mouth pain, Economic Hardship, Reduced
Social Contact, Multiple Medicines, Involuntary weight
loss/gain, Needs assistance in self care, Elder years
above age 80 .Skor 3-5 menunjukan risiko malnutrisi
sedang, dan skor >6 menunjukan risiko tinggi.
4. Nutrition Risk Screening-2002 (NRS-2002)
Nutrition Risk Screening-2002 adalah alat
skrining yang untuk pasien yang sakit berat sehingga
berisiko malnutrisi, pasien dengan malnutrisi, pasien
dengan penyakit berat disertai malnutrisi. Derajat
keparahan penyakit dan malnutrisi diklasifikasikan
menjadi tidak ada, ringan, sedang atau berat dan diberi
skor numerik. Pertanyaan terkait BMI, penurunan

22 | Malnutrisi di Rumah Sakit


asupan oral, dan penurunan berat badan ikut
didokumentasikan.
5. Malnutrition Universal Screening Tool (MUST)
Malnutrition Universal Screening Tool (MUST)
merupakan alat skrining untuk pasien dewasa. Pasien
akan diukur tinggi badan dan berat badan untuk
menentukan indeks massa tubuh, kemudian ditentukan
persen penurunan berat badan dalam 6 bulan terakhir
serta diperkirakan pengaruh penyakit tersebut terhadap
asupan zat gizi. Skor ini akan dijumlahkan untuk
mendapatkan skor malnutrisi secara keseluruhan. Skor
1 menunjukan risiko sedang, dan skor >2 menunjukkan
risiko tinggi.
6. Mini Nutritional Assessment (MNA)
Mini Nutritional Assessment (MNA) merupakan
alat skrining yang digunakan untuk pasien lanjut usia.
Pengisian form skrining ini mecakup pengukuran
antropometri seperti IMT dan penurunan berat badan.
Alat skrining MNA berisi kuisioner untuk mengukur
asupan makanan dan cairan serta pemberian makan
secara mandiri. Pasien akan dikategorikan dalam
kategori normal, berisiko malnutrisi dan malnutrisi.

Malnutrisi di Rumah Sakit | 23


3. Assessment

Asesmen gizi harus dilakukan pada semua subjek


yang teridentifikasi berisiko malnutrisi saat skrining. Hasil
asesmen akan menjadi dasar penegakan diagnosis dan
langkah berikutnya yaitu terapi gizi. Terdapat 4 metode
untuk mengumpulkan data asesmen yaitu di tinjau dari segi
antropometri, biokimia, klinis dan data laboratorium.
1. Antropometri
Antropometri merupakan pengukuran dimensi
fisik tubuh, contoh antropometri yaitu pengukuran pada
tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, ketebalan
lipatan kulit (skinfold thickness), dan bioelectrical
impedance (untuk mengukur persen lemak dan massa
otot). Penurunan berat badan yang tidak diinginkan
merupakan indikator malnutrisi yang valid. Berat badan
dipantau secara berkala selama pasien menjalani masa
rawat inap. Tinggi badan diukur apabila memungkinkan
atau menggunakan perkiraan dengan algoritma yang
tervalidasi.
2. Biokimia
Metode biokimia atau laboratorium yaitu
mengukur zat gizi atau metabolitnya di dalam darah,

24 | Malnutrisi di Rumah Sakit


feses atau urin atau komponen lain di dalam darah dan
jaringan yang memiliki hubungan dengan status gizi.
Kadar albumin dan protein serum lain dalam tubuh
menggambarkan status protein tubuh. Jumlah
haemoglobin atau serum ferritin menggambarkan kadar
zat besi di dalam tubuh. Indikator respon inflamasi pada
kasus malnutrisi yang sering digunakan adalah albumin
serum dan prealbumin yang harus di interprestasikan
dengan baik. Indikator peradangan yang digunakan
meliputi peningkatan C-Reaktif Protein (CRP), jumlah
sel darah putih, dan glukosa darah. Data biokimia
tersebut dapat membantu dalam menentukan diagnosis
berbasis etiologi malnutrisi. Keseimbangan nitrogen
negatif dan resting energy expenditure (REE) dapat
digunakan untuk mengetahui respon inflamasi sistemik
dan memudahkan identifikasi etiologi malnutrisi.
3. Klinis
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
merupakan metode untuk mendeteksi tanda dan gejala
malnutrisi. Gejala merupakan manifestasi penyakit
yang biasanya disadari dan sering dikeluhkan pasien.
Tanda adalah pengamatan yang dilakukan selama

Malnutrisi di Rumah Sakit | 25


pemeriksaan fisik. Keluhan utama dan riwayat penyakit
dapat membantu dalam menilai risiko malnutrisi serta
ada tidaknya peradangan. Pemeriksaan fisik dapat
membantu dalam menentukan diagnosis gizi seperti
penurunan atau kenaikan berat badan, retensi cairan,
kehilangan otot atau lemak, dan tanda-tanda lain dari
defisiensi mikro/makronutrien tertentu. Pemeriksaan
fisik tanda-tanda klinis dari inflamasi dapat diketahui
dari gejala demam atau hipotermia. Selain itu tanda-
tanda respon inflamasi sistemik yang tidak spesifik
seperti takikardia dan hiperglikemia dapat diketahui
untuk menentukan diagnosis berdasarkan etiologi.
4. Riwayat Diet
Survei mengenai makanan dan minuman yang
dikonsumsi individu selama satu hingga beberapa hari
atau menilai pola konsumsi makanan selama beberapa
bulan sebelumnya merupakan metode recall asupan.
Metode ini dapat memberikan gambaran mengenai
asupan zat gizi atau jenis makanan tertentu. Informasi
mengenai asupan makanan dapat diperoleh dari pasien
atau keluarga pasien. Riwayat makan dalam 24 jam
dinyatakan dalam jumlah kalori (baik asupan yang

26 | Malnutrisi di Rumah Sakit


didapat melalui pengamatan/perkiraan sisa makanan
dan atau dokumentasi asupan makan dalam catatan
medis pasien) dapat digunakan sebagai bukti
pemenuhan asupan gizi.

4. Diagnosis

Setelah melakukan proses asesmen, proses


selanjutnya adalah proses perumusan diagnosis gizi.
Perumusan diagnosis gizi diharapkan dapat menemukan
penyebab utama terjadinya malnutrisi dan juga menemukan
faktor-faktor yang memperparah keadaan pasien yang akan
menjadi sign/symptom dari diagnosis gizi. Menurut
American Society for Parenteral and Enteral (ASPEN)
diagnosis yang ditegakkan untuk pasien malnutrisi adalah:
1. Asupan energi tidak adekuat
Malnutrisi merupakan hasil dari asupan
makanan dan zat gizi yang tidak adekuat. Penilaiannya
berdasarkan data riwayat makan dan asupan zat gizi,
memperkirakan kebutuhan energi optimal,
membandingkannya dengan perkiraan energi yang
dikonsumsi dan melaporkan asupan yang tidak adekuat.

Malnutrisi di Rumah Sakit | 27


2. Penurunan berat badan
Mengevaluasi berat badan berdasarkan temuan
klinis yang lain seperti under-hydration ataupun over-
hydration. Perlu menilai perubahan berat badan dari
waktu ke waktu yang dilaporkan dalam bentuk
presentase berat badan yang hilang.
3. Kehilangan lemak subkutan
Kehilangan lemak subkutan (orbital, trisep dan
lemak disekitar tulang rusuk)
4. Kehilangan massa otot
Kehilangan massa otot berupa pengecilan pada
pelipis (otot temporalis), klavikula (pectoralis dan
deltoid), bahu (deltoid), otot interoseus, skapula
(latissimus dorsi, trapezious, deltoid), paha (paha
depan) dan betis (gastrocnemius).
5. Edema
Mengevaluasi akumulasi cairan di seluruh
tubuh atau lokal yang ditemukan pada saat pemeriksaan
(ekstremitas, edema vulva/skrotum atau asites).
Penurunan berat badan sering tertutup oleh retensi
cairan di seluruh tubuh (edema).

28 | Malnutrisi di Rumah Sakit


6. Status fungsional menurun
Minimal 2 karakteristik direkomendasikan
untuk mendiagnosis malnutrisi berat atau ringan.
Penentuan indeks massa tubuh (IMT) lebih baik
dilakukan dengan menimbang berat badan dan
mengukur tinggi badan dibandingkan dengan metode
estimasi. Berat badan aktual perlu diketahui terlebih
dahulu untuk menentukan persentase dan penafsiran
penurunan berat badan. Berikut adalah contoh tabel
diagnosis menurut ASPEN :

Malnutrisi di Rumah Sakit | 29


Tabel 1. Tabel Diagnosis Malnutrisi (ASPEN)

30 | Malnutrisi di Rumah Sakit


Malnutrisi di Rumah Sakit | 31
32 | Malnutrisi di Rumah Sakit
5. Rangkuman

Pasien malnutrisi harus segera di identifikasi untuk


mencegah kondisi klinis yang semakin memburuk. Skrining,
asesmen dan diagnosis dengan alat yang telah divalidasi
dapat membantu rumah sakit dalam mengurangi penggunaan
dana perawatan pasien serta menurunkan risiko terjadinya
lama rawat inap yang lebih panjang dan peningkatan
komplikasi medis. Beberapa alat skrining yang digunakan
adalah Subjective Global Assessment (SGA), Malnutrition
Screening Tool (MST), determine check list, Nutrition Risk
Screening-2002 (NRS-2002), Malnutrition Universal
Screening Tool (MUST) dan Mini Nutritional Assessment
(MNA) untuk lansia
Beberapa hal yang diperhatikan saat melakukan
asesmen pada pasien malnutrisi adalah pengukuran
antropometri, biokimia, klinis dan riwayat diet. Asesmen
yang baik membantu dalam perumusan diagnosis yang tepat.
Diagnosis yang dapat digunakan yaitu mengacu pada
American Society for Parenteral and Enteral (ASPEN)
diantaranya adalah asupan energi yang tidak adekuat,
penurunan berat badan, kehilangan lemak subkutan, masa
otot, edema, dan penurunan status fungsional.

Malnutrisi di Rumah Sakit | 33


8. Referensi

1. Gibson RS. Principles of Nutritional Assessment. New


York: Oxford University Press; 2005. 595-597.
2. Barker LA, Gout BS, Crowe TC. Hospital Malnutrition:
Prevalence, Identification and Impact on Patients and
the Healthcare System. Int J Environ Public Heal.
2011;514–27.
3. Kellett J, Kyle G, Itsiopoulos C, Naunton M, Luff N.
Malnutrition: The Importance of Identification,
Documentation, and Coding in the Acute Care Setting. J
Nutr Metab. 2016;1–6
4. Abby Sauer. Hospital Malnutrition: Assessment and
Intervention Methods
5. White J V, Guenter P, Jensen G, Malone A.
Characteristics Rfecommended for the Identification and
Documentation of Adult Malnutrition (Undernutrition)
Need to Standardized Character. J Parenter Enter Nutr.
2012;275–183.

34 | Malnutrisi di Rumah Sakit


BAB III

TATALAKSANA MALNUTRISI
DI RUMAH SAKIT

1. Pendahuluan

Setelah melakukan asesmen gizi dan menegakkan


diagnosis gizi pada pasien, maka langkah selanjutnya adalah
menyusun rencana terapi gizi yang sesuai. Langkah-langkah
yang harus dilakukan dalam menyusun rencana terai gizi
dalam menyusun rencana terapi gizi adalah: 1) menentukan
jumlah kebutuhan energi dan zat gizi lainnya, serta
komposisi karbohidrat, lemak dan protein yang akan
diberikan; 2) menentukan jalur pemberian terapi gizi yang
akan digunakan, apakah melalui oral, enteral, atau parenteral,
atau kombinasinya; 3) menentukan jenis diet yang akan
diberikan, baik dari segi komposisinya maupun
konsistensinya, serta jadwal pemberiannya; 4) melakukan
pemantauan dan evaluasi terhadap terapi diet yang diberikan.
Hasil pemantauan dan evaluasi ini menjadi dasar untuk

Malnutrisi di Rumah Sakit | 35


menentukan apakah diperlukan perubahan terhadap terapi
gizi yang telah diberikan.
Pemberian diet kepada pasien malnutrisi tidak hanya
sekedar memberikan makan sesuai keinginan pasien atau
sesuai jadwal makan harian yang berlaku secara umum,
melainkan harus disesuaikan dengan kebutuhan gizi dan
kondisi klinis pasien. Asesmen gizi yang detail sangat
diperlukan untuk menyusun preskripsi gizi. Pasien dengan
malnutrisi berat yang menyertai penyakit kanker berbeda
kebutuhan zat gizinya dengan pasien gagal ginjal kronis atau
diabetes melitus atau stroke.
Pasien yang sama-sama menderita diabetes melitus
atau gagal ginjal kronis pun belum tentu bisa menerima
preskripsi diet yang sama, tergantung kondisi klinis pasien
pada saat itu. Pasien yang sama dapat menerima preskripsi
diet yang berbeda antara saat ini dengan beberapa bulan
sebelumnya. Preskripsi gizi harus dibuat secara personal
dengan memperhatikan kebutuhan energi, makronutrien dan
mikronutrien, perbandingan komposisi protein, karbohidrat
dan lemak, jalur yang akan digunakan untuk pemberian
terapi gizi, serta jenis diet yang akan diberikan baik
konsistensi, komposisi, maupun palatabilitasnya. Preferensi

36 | Malnutrisi di Rumah Sakit


pasien dalam memilih jenis diet juga akan mempengaruhi
penyusunan preskripsi gizi. Bab ini akan menguraikan secara
detail hal-hal yang terkait dengan pemberian terapi gizi
tersebut.

2. Waktu dimulai pemberian terapi gizi

Berdasarkan American Society for Parenteral and


Enteral Nutrition (ASPEN) Skrining gizi dilakukan ketika
pasien 24 jam pertama masuk rumah sakit kemudian
dilanjutkan assesmen serta terapi gizi bila pasien berisiko
malnutrisi atau malnutrisi.

3. Preskripsi Gizi

Tujuan Pemberian Diet


Dua tujuan utama ketika memberikan dukungan gizi
kepada pasien malnutrisi adalah:
1. Mengembalikan jaringan selular dan fungsi fisiologis
(tujuan jangka pendek)
2. Menggantikan jaringan (terutama massa sel tubuh)
yang hilang selama dalam fase malnutrisi (tujuan
jangka panjang)

Malnutrisi di Rumah Sakit | 37


Peningkatan fungsi selular tubuh terjadi dalam 10
hari pertama selama intervensi gizi. Pemulihan ini tidak
terkait dengan peningkatan massa otot akan tetapi berkaitan
dengan pengisian defisit dan peningkatan fungsi sel tubuh.
Sel-sel tubuh pada pasien malnutrisi memerlukan
energi dan asam amino untuk pemulihan jaringan. Pemberian
formula pada pasien malnutrisi bukan hanya untuk
memenuhi defisiensi zat gizi dengan segera akan tetapi juga
untuk energi dan protein yang cukup untuk memulihkan
jaringan yang hilang selama fase penyembuhan atau fase
anabolik. Pada tahap penyembuhan vitamin harus diberikan
cukup bersama dengan protein (asam amino), karbohidrat,
dan lemak. Asupan energi dan protein harus ditingkatkan
secara bertahap untuk memastikan pengisian kembali massa
sel tubuh dan untuk menghindari refeeding syndrome.

4. Kebutuhan Energi dan Zat Gizi

Perhitungan kebutuhan energi merupakan hal yang


penting dalam pemberian terapi gizi pada pasien malnutrisi.
Pemberian energi yang kurang dari kebutuhan akan
menyebabkan keadaan malnutrisi pasien semakin memberat.
Sebaliknya pemberian energi yang berlebihan dapat

38 | Malnutrisi di Rumah Sakit


menyebabkan overfeeding yang akan memberikan
konsekuensi metabolik serius, terutama pada pasien dengan
risiko refeeding syndrome. Kebutuhan energi setiap orang
berbeda-beda, dipengaruhi oleh pengeluaran energi saat
istirahat (resting energy expenditure, REE), tingkat aktivitas
fisik, serta tingkat stress metabolik. REE tergantung pada
hal-hal antara lain umur, komposisi tubuh, ukuran tubuh,
keadaan cuaca, jenis kelamin, status hormonal, dan suhu
tubuh. Aktivitas fisik terbagi menjadi aktivitas fisik harian
dan aktivitas fisik saat olahraga atau latihan fisik. Stress
metabolik berhubungan dengan dampak dari penyakit yang
diderita pasien terhadap laju metabolisme tubuh. Sebagai
contoh, pasien dengan luka bakar luas akan mengalami stress
metabolik yang jauh lebih tinggi daripada pasien starvasi
tanpa inflamasi.
Beberapa cara dapat digunakan untuk menghitung
kebutuhan energi. Baku emas untuk perhitungan kebutuhan
energi menggunakan kalorimetri indirek, akan tetapi cara ini
membutuhkan peralatan yang mahal serta pelaksanaannya
relatif rumit sehingga umumnya digunakan dalam penelitian.
Pada praktik klinis sehari-hari, kebutuhan energi dapat
dihitung dengan rumus seperti formula Harris-Benedict,

Malnutrisi di Rumah Sakit | 39


formula Mifflin-St. Jeor, formula Owen, serta beberapa
formula lain yang digunakan dalam keadaan klinis yang
berbeda. Formula-formula tersebut digunakan untuk
menghitung REE, selanjutnya angka REE dikalikan dengan
tingkat aktivitas fisik dan faktor stres untuk mendapatkan
angka kebutuhan energi.
Perhitungan kebutuhan energi dapat juga
menggunakan cara yang lebih sederhana yaitu dengan
metode rule of thumb berdasarkan guideline yang sudah ada,
misalnya untuk pasien malnutrisi berat dapat diberikan
energi 30-35 kkal/kgBB/hari dan dapat ditingkatkan sampai
40-45 kkal/kgBB/hari. Perhitungan kebutuhan energi pada
pasien dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang normal atau
kurang dari normal menggunakan berat badan (BB) aktual,
sedangkan pada pasien dengan IMT yang lebih dari normal
(overweight atau obesitas) perhitungannya menggunakan
berat badan ideal (BBI). BBI dihitung dengan menggunakan
rumus Broca yaitu: BBI = 0,9 x (TB dalam cm – 100).
Sebagai contoh, seseorang dengan tinggi badan (TB) 170
cm, maka BBI-nya adalah 0,9 x (170 – 100) = 0,9 x 70 =
63kg.

40 | Malnutrisi di Rumah Sakit


Setelah menentukan kebutuhan energi yang akan
diberikan kepada pasien, langkah selanjutnya adalah
menentukan komposisi makronutrien. Energi dari makanan
berasal dari komponen karbohidrat, protein, dan lemak.
Setiap 1 gram karbohidrat menghasilkan 4 kkal, protein juga
menghasilkan 4 kkal/gram, sedangkan lemak menghasilkan
energi yang lebih tinggi yaitu 9 kkal/gram. Energi yang
berasal dari karbohidrat setidaknya mencakup 45 – 65 % dari
kebutuhan energi total, protein sekitar 10 – 20 %, sedangkan
lemak sekitar 20 – 30 %. Perhitungan kebutuhan protein
selain menggunakan persentase tersebut juga dapat dihitung
menggunakan metode rule of thumb dengan
mempertimbangkan keadaan klinis dan hasil laboratorium,
khususnya fungsi ginjal. Pada umumnya kebutuhan protein
pada sebagian besar pasien malnutrisi adalah 1,0 – 1,2
gram/kgBB. Angka ini bisa meningkat sampai 2,0
gram/kgBB bahkan lebih pada kasus-kasus tertentu seperti
pasien luka bakar luas, tetapi bisa cukup rendah sampai 0,6
gram/kgBB pada pasien dengan gagal ginjal kronis yang
tidak mendapat terapi hemodialisis.
Selain ketiga komponen sumber energi tersebut, zat
gizi lain juga harus diperhatikan yaitu serat, cairan, serta

Malnutrisi di Rumah Sakit | 41


vitamin dan mineral. Pada umumnya kebutuhan serat adalah
sekitar 20 – 30 gram/hari, tetapi beberapa jenis penyakit
tertentu perlu membatasi asupan serat, misalnya pada kasus-
kasus inflamasi pada saluran cerna. Kebutuhan cairan
rumatan untuk memelihara status cairan dan keseimbangan
elektrolit adalah 25 – 30 ml/kgBB, atau disesuaikan dengan
energi total yang diberikan yaitu 1 ml/kkal. Beberapa faktor
seperti demam, pengeluaran keringat yang berlebih, atau
hiperventilasi dapat meningkatkan kebutuhan cairan,
sedangkan pasien-pasien dengan gagal jantung atau gagal
ginjal kronis memerlukan pembatasan asupan cairan. Pada
kasus-kasus seperti ini pemberian cairan disesuaikan dengan
balans cairan harian pasien tersebut.
Pemberian vitamin dan mineral idealnya disesuaikan
dengan status defisiensi dari masing-masing mikronutrien
pada pasien, namun pemeriksaan laboratorium untuk
mengetahui status defisiensi ini biayanya tidak murah dan
hanya dapat dilakukan di laboratorium tertentu. Oleh karena
itu suplementasi vitamin dan mineral dilakukan berdasarkan
panduan dari literatur yang ada atau berdasarkan nilai angka
kecukupan gizi (AKG). Secara umum, dengan pemberian
makanan ke pasien yang mengkombinasikan berbagai

42 | Malnutrisi di Rumah Sakit


sumber hewani dan nabati diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan mikronutrien sehingga jika asupan pasien baik
dan tidak ada gangguan absorpsi maka untuk memenuhi
kebutuhan vitamin dan mineral tidak perlu suplementasi
secara khusus.

5. Jalur Pemberian Terapi Gizi dan Jenis Diet yang


Diberikan

1. Jalur oral
Sesuai dengan fisiologi normal manusia, maka
jalur utama pemberian terapi gizi adalah melalui oral.
Selama fungsi mengunyah dan menelan pada pasien
masih baik maka diet dapat diberikan per oral. Namun
demikian, pada banyak kasus asupan makan pasien
tidak adekuat meskipun fungsi mengunyah dan
menelannya masih baik. Pada keadaan seperti ini harus
dicari faktor yang menyebabkan asupan yang tidak
adekuat tersebut serta dicari solusinya. Misalnya, jika
penyebabnya adalah rasa nyeri maka dapat
dipertimbangkan pemberian analgetik, begitu juga
dengan pasien yang tidak mau makan akibat depresi
maka dapat dikonsulkan ke bagian kesehatan jiwa

Malnutrisi di Rumah Sakit | 43


untuk mendapatkan tata laksana yang sesuai untuk
depresinya. Pasien dengan keluhan mual dan muntah
dapat diberikan obat-obat antiemetik. Pada kasus-kasus
anoreksia berat seperti pada pasien kanker dapat
dipertimbangkan untuk pemberian obat-obatan
appetite stimulant. Selain itu, beberapa hal bisa
dilakukan untuk memaksimalkan asupan pasien per
oral antara lain mengubah tekstur, kekentalan, suhu
atau densitas makanan, mengubah posisi pasien saat
makan, menjaga kebersihan mulut serta mengatasi
masalah terkait gigi-geligi. Jika semua upaya tersebut
sudah dilakukan akan tetapi asupan pasien per oral
tetap tidak adekuat, maka pemberian diet melalui jalur
selain oral dapat dipertimbangkan.
Pilihan bentuk diet untuk pasien yang bisa
menerima diet oral dapat berupa diet cair, lunak atau
padat. Secara umum pemilihannya disesuaikan dengan
preferensi pasien. Namun demikian, kondisi klinis
pasien dapat membatasi pilihan bentuk diet ini.
Sebagai contoh, pemberian diet dalam bentuk nasi
pada pasien gagal jantung atau gangguan paru dengan
dispnea berat dapat memperburuk keadaan klinis

44 | Malnutrisi di Rumah Sakit


pasien tersebut sehingga dietnya dipilih yang
bentuknya tidak memerlukan banyak energi untuk
mengunyah, misalnya bentuk cair atau lunak.
2. Jalur enteral
Pemberian melalui jalur enteral yaitu pemberian
makanan dan minuman langsung ke dalam saluran
cerna tanpa melalui mulut. Jalur enteral merupakan
pilihan kedua jika pemberian melalui jalur oral tidak
dapat dilakukan atau tidak mencukupi kebutuhan
gizinya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
pemberian asupan diet melalui jalur enteral
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan
pemberian melalui jalur parenteral. Pemberian diet
melalui enteral dapat mempertahankan fungsi dan
integritas struktural saluran cerna, menstimulasi
kontraktilitas intestinal dan pelepasan IgA sekretori
sehingga dapat mengontrol jumlah bakteri dalam
lumen saluran cerna dan menurunkan komplikasi
infeksi. Selain itu, penggunaan jalur enteral juga dapat
menurunkan tingkat keparahan penyakit, mengurangi
komplikasi dan memperbaiki outcome pasien.

Malnutrisi di Rumah Sakit | 45


Ungkapan “if the gut works, use it!” mungkin
paling sesuai untuk menjelaskan indikasi penggunaan
jalur enteral. Pasien-pasien yang secara klinis
pemberian melalui oral tidak dapat dilakukan, tidak
mencukupi, atau tidak aman, jika saluran cernanya
masih fungsional, maka pemberian melalui jalur
enteral dapat dilakukan. Indikasi pemberian diet
melalui enteral antara lain pasien dengan anoreksia
berat (sering terjadi pada penyakit kronis seperti
kanker), pasien dengan gangguan menelan (disfagia)
akibat gangguan neurologis atau masalah di orofaring,
pasien dengan penurunan kesadaran, atau pasien-
pasien dengan trauma mayor, luka bakar luas, atau
penyakit kritis yang menyebabkan kebutuhan
metaboliknya sangat meningkat. Sebagian besar kasus-
kasus ini jalur enteralnya menggunakan selang
nasogastrik (nasogastric tube, NGT). Pada kasus-kasus
yang tidak memungkinkan untuk pemasangan NGT,
misalnya obstruksi total pada esofagus atau gaster,
maka pemberian asupan dilakukan melalui gastrostomi
atau yeyunostomi per kutan (percutaneous endoscopic

46 | Malnutrisi di Rumah Sakit


gastrostomy, PEG atau percutaneous endoscopic
jejunostomy, PEJ).
Pemberian makan melalui jalur enteral
dikontraindikasikan pada keadaan-keadaan yang
menyebabkan saluran cerna sama sekali tidak dapat
difungsikan, antara lain seperti pada obstruksi total
saluran cerna bagian bawah, peritonitis generalisata,
perdarahan masif saluran cerna, fistula enterokutan
high output, ileus paralitik, serta vomitus masif.
Namun demikian, jika keadaan-keadaan tersebut telah
mendapatkan tata laksana yang sesuai, maka penilaian
kembali terhadap fungsi saluran cerna harus segera
dilakukan sehingga pemberian diet melalui enteral
dapat dimulai secepatnya. Selama saluran cerna belum
dapat berfungsi atau fungsinya belum optimal untuk
memenuhi kebutuhan asupan energi pasien, maka
asupan pasien diberikan melalui jalur parenteral.
Semua jenis diet yang berbentuk cair dapat
diberikan melalui pipa makanan, seperti makanan yang
diblender dan disaring, jus buah tanpa ampas, sari
kacang hijau, susu sapi maupun susu formula. Saat ini
terdapat berbagai jenis formula komersial yang

Malnutrisi di Rumah Sakit | 47


ditujukan untuk pemberian diet melalui enteral, yang
terdiri dari formula oligomerik, formula polimerik dan
formula untuk keadaan khusus. Pemilihan jenis diet
enteral yang akan diberikan mempertimbangkan hal-
hal berikut : 1) jumlah energi dan protein serta zat gizi
lainnya per saji, apakah sudah memenuhi target asupan
harian pasien; 2) komposisi formula (kandungan
makro- dan mikronutrien); 3) total jumlah cairan yang
diberikan (termasuk air yang digunakan untuk
pembilasan sebelum dan sesudah pemberian diet
sonde).
3. Jalur parenteral
Pemberian diet melalui jalur parenteral dilakukan
jika pemberian melalui jalur oral atau enteral tidak
dapat dilakukan, atau dapat dilakukan tetapi tidak
adekuat untuk memenuhi kecukupan asupan energinya.
Diet parenteral dapat diberikan melalui 2 jalur vena
yaitu vena perifer dan vena sentral. Kedua jalur vena
ini mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga
pemilihan jalur yang akan digunakan disesuaikan
dengan karakteristik masing-masing jalur tersebut.
Jalur perifer lebih mudah diakses daripada jalur sentral

48 | Malnutrisi di Rumah Sakit


sehingga umumnya menjadi pilihan pertama untuk
pemberian diet melalui parenteral. Namun demikian,
jika diet parenteral diperkirakan akan diberikan dalam
jangka panjang (> 2 minggu) maka pilihannya adalah
jalur sentral. Osmolalitas larutan yang akan diberikan
juga harus diperhatikan. Vena perifer hanya dapat
dilewati larutan dengan osmolalitas < 900 mOsm/L,
sehingga jika diet parenteral membutuhkan larutan
dengan osmolalitas yang lebih tinggi maka sebaiknya
menggunakan vena sentral.
Formula diet parenteral yang ada di pasaran saat
ini terdiri dari beberapa jenis sediaan. Ada sediaan
yang hanya mengandung satu jenis makronutrien
(protein, karbohidrat atau lemak), ada juga yang terdiri
dari beberapa komponen, baik kombinasi 2 – 3
makronutrien dalam satu sediaan maupun yang
menggabungkan makronutrien dengan elektrolit.
Pemahaman yang baik tentang komposisi dari masing-
masing formula mutlak diperlukan pada saat memilih
jenis formula yang akan digunakan. Secara skematis,
pemilihan jalur pemberian diet tersebut di atas
ditampilkan dalam Gambar berikut :

Malnutrisi di Rumah Sakit | 49


Apakah pasien
dapat mengunyah
dan menelan?

Ya Tidak

Apakah ada kontraindikasi untuk


Apakah ada kontraindikasi untuk
pemberian diet via oral / enteral?
pemberian diet per oral / enteral?

Tidak Ya
Tidak Ya

Berikan diet Berikan diet via


Berikan diet Berikan diet via
via oral parenteral
via enteral parenteral

Apakah asupan via


oral dapat memenuhi Apakah asupan via
kebutuhan gizinya? enteral dapat memenuhi
kebutuhan gizinya?

Ya Tidak Ya Tidak

Lanjutkan Kombinasikan Lanjutkan diet Kombinasikan


diet via oral diet via oral + via enteral diet via enteral
enteral + parenteral

Gambar 1. Algoritma pemilihan Jalur pemberian terapi gizi

50 | Malnutrisi di Rumah Sakit


6. Monitoring dan Evaluasi

Setelah membuat preskripsi gizi dan diet yang


diberikan sudah diterima oleh pasien, maka langkah
selanjutnya adalah melakukan pemantauan dan evaluasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat pemantauan
terapi gizi adalah:
1. Status hemodinamik, kondisi klinis dan laboratorium
pasien
Pasien-pasien sakit kritis status
hemodinamiknya bisa berubah dalam waktu singkat.
Pemberian diet pada pasien dengan status
hemodinamik yang tidak stabil harus dipantau secara
ketat agar perubahan diet dapat dilakukan secepatnya
menyesuaikan dengan perubahan hemodinamik.
Pasien-pasien dengan diabetes melitus serta
pasien sakit kritis perlu dilakukan pemantauan kadar
gula darah secara berkala. Pasien-pasien dengan
gangguan fungsi ginjal juga memerlukan pemantauan
kadar ureum dan kreatinin serum secara berkala. Pada
beberapa kasus pemantauan balans cairan dan produksi
urine juga perlu dilakukan untuk mengetahui status
hidrasi pasien. Hal-hal tersebut akan menjadi dasar

Malnutrisi di Rumah Sakit | 51


dalam memutuskan apakah komposisi diet pasien perlu
diubah atau tidak.
2. Jumlah asupan
Preskripsi diet dibuat dengan menentukan
target asupan kalori dan protein. Pada saat dilakukan
pemantauan, dievaluasi berapa jumlah kalori dan
protein yang diasup oleh pasien. Jika asupan pasien
tidak mencapai target harian maka harus dicari
penyebabnya dan dicari solusinya. Pada sebagian besar
kasus, edukasi yang memadai dan modifikasi menu
dapat meningkatkan jumlah asupan pasien.
3. Toleransi pasien terhadap diet yang diberikan
Penilaian toleransi pasien terhadap diet yang
diberikan meliputi jumlah yang bisa diasup dan apakah
terdapat gangguan gastrointestinal seperti mual,
muntah, nyeri perut, kembung atau diare setelah pasien
mengkonsumsi diet tersebut?
4. Evaluasi dampak pemberian terapi gizi
Perbaikan terhadap status gizi pasien setelah
pemberian terapi gizi antara lain dinilai dari perubahan
berat badan, perubahan ukuran lingkar lengan atas
(LLA), serta peningkatan kapasitas fungsional.

52 | Malnutrisi di Rumah Sakit


Temuan-temuan pada saat monitoring dan evaluasi
merupakan dasar dalam merencanakan terapi gizi
selanjutnya seperti penuyesuaian target energi dan
protein harian, perubahan jenis diet atau formula serta
jalur pemberian terapi gizi. Pada pasien-pasien sakit
kritis pemantauan dan evaluasi dilakukan setiap hari,
bahkan pada kasus-kasus tertentu dapat dilakukan
setiap 4 atau 8 jam. Pasien-pasien yang secara klinis
keadaannya relatif stabil pemantauannya dapat
dilakukan dalam rentang waktu 2-3 hari sekali

7. Rangkuman

Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam


pemberian terapi gizi adalah menentukan jumlah kebutuhan
zat gizi, menentukan jalur pemberian terapi gizi, menentukan
jenis diet serta melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
terapi diet yang diberikan. Pasien malnutrisi memiliki
kebutuhan zat gizi yang berbeda tergantung pada penyakit
yang menyertainya. Tujuan jangka pendek dalam pemberian
terapi gizi adalah mengembalikan jaringan selular dan fungsi
fisiologis, sedangkan tujuan jangka panjangnya yaitu untuk
mengisi jaringan yang hilang.

Malnutrisi di Rumah Sakit | 53


Kebutuhan energi untuk pasien malnutrisi dapat
ditentukan dengan menggunakan formula Harris-Benedict
atau formula lainnya, atau dengan cara yang lebih sederhana
yaitu menggunakan metode rule of thumb. Kebutuhan
karbohidrat mencakup 45–65 % dari kebutuhan energi total,
protein sekitar 10–20 %, sedangkan lemak sekitar 20–30 %.
Pemberian mikronutrien untuk pasien malnutrisi juga tidak
kalah penting. Serat diberikan sekitar 20–30 gram/hari,
cairan diberikan 25–30 ml/kgBB, akan tetapi perlu
diperhatikan gejala klinis dan penyakit penyerta dalam
pemberian terapi diet.
Ada beberapa pilihan jalur pemberian terapi gizi
yaitu melalui oral, enteral atau parenteral. Jenis diet yang
diberikan disesuaikan dengan jalur pemberian diet.
Pemantauan dan evaluasi dilakukan selama pemberian terapi
gizi. Hal ini menjadi dasar untuk menentukan apakah perlu
dilakukan perubahan terhadap terapi gizi. Hal-hal yang
diperhatikan pada saat pemantauan terapi gizi adalah status
hemodinamik, kondisi klinis dan laboratorium pasien,
jumlah asupan, toleransi pasien terhadap diet yang diberikan,
serta evaluasi dampak pemberian terapi gizi.

54 | Malnutrisi di Rumah Sakit


9. Referensi

1. Sobotka L, Allison SP, Forbes A, Ljungqvist O, Meier


RF, Pertkiewicz M et al. (eds). Basics in Clinical
Nutrition, 4th edn. Galen: Prague, Czech Republic, 2011
2. Gottschlich MM (ed) The ASPEN Nutrition Support
Core Curriculum: A Case-Based Approach - The Adult
Patient. American Society for Parenteral and Enteral
Nutrition, 2007

Malnutrisi di Rumah Sakit | 55


56 | Malnutrisi di Rumah Sakit
BAB IV

REFEEDING SYNDROME

1. Pendahuluan

Refeeding syndrome (RFS) secara luas meliputi


gangguan elektrolit (hipofosfatemia, hipomagnesemia, dan
hipokalemia) dan kelainan metabolik pada pasien malnutrisi
yang diberikan asupan makanan berlebihan. Pada dasarnya
RFS mencerminkan perubahan mendadak dari metabolisme
katabolik menjadi anabolik. RFS merupakan kondisi yang
berpotensi fatal dan dapat dicegah jika terdeteksi lebih awal.
RFS pertama kali dilaporkan setelah perang dunia II
pada narapidana dengan periode kelaparan yang panjang
yang mengalami gangguan jantung, kerusakan hati, serta
gangguan neurologis termasuk koma dan kejang setelah
pemberian asupan makanan yang berlebihan.
RFS dapat terjadi pada sekitar 10% pasien dengan
fistula, 14% pada pasien geriatri, 25% pada pasien kanker
dan 28% pada pasien dengan anorexia nervosa. Angka
kejadian RFS pada pasien malnutrisi mencapai 50%,

Malnutrisi di Rumah Sakit | 57


setengahnya terjadi setelah 3 hari pemberian terapi gizi. Pada
umumnya hal tersebut terjadi pada pasien yang mendapatkan
realimentasi enteral dan parenteral.
Berdasarkan penelitian, RFS terjadi pada pasien
kanker dengan konsentrasi fosfat yang rendah (<0,40
mmol/l) sebesar 24,5%. Pasien yang menerima terapi gizi
enteral lebih banyak mengalami RFS (37,5%) dibandingkan
dengan paien yang menerima terapi gizi parenteral (18,5%).
Penelitian lain menunjukan sebanyak 61,5% pasien yang
mengalami RFS terjadi setelah 3 hari pemberian terapi gizi.
NICE membuat klasifikasi pasien yang mempunyai
risiko tinggi mengalami RFS yang dapat dilihat pada tabel 2
berikut:

58 | Malnutrisi di Rumah Sakit


Tabel 2. Faktor Risiko refeeding syndrome
Satu atau lebih hal di bawah ini :
- IMT <16 Kg/m2
- BB turun >15% dalam 3-6 bulan terakhir
- Asupan makan sangat sedikit atau tidak makan sama
sekali selama >10 hari terakhir
- Kadar kalium, fosfat, atau magnesium rendah sebelum
pemberian asupan
Atau 2 atau lebih hal di bawah ini :
- IMT <18 kg/m2
- BB turun 10% dalam 3-6 bulan terakhir
- Asupan makan sedikit atau tidak sama sekali selama >5
hari terakhir
- Riwayat penyalahgunaan alkohol, obat-obatan termasuk
insulin, kemoterapi, diuretik, atau antasida.

2. Patofisiologi Refeeding Syndrome

Refeeding syndrome ditandai dengan gangguan


keseimbangan fosfat, kalium, dan magnesium dalam tubuh.
Selain itu kelainan dalam metabolisme glukosa, cairan dan
natrium juga berkontribusi terhadap morbiditas dan
mortalitas pada RFS. Mekanisme refeeding syndrome
didasarkan pada serangkaian perubahan biokimia yang saling

Malnutrisi di Rumah Sakit | 59


terkait yang terjadi di dalam tubuh ketika periode kelaparan.
Selama kelaparan atau puasa berkepanjangan, fisiologi tubuh
diubah untuk mengkompensasi pengurangan glukosa dan
asupan energi. Hal ini menyebabkan peningkatan hormon
glukagon dan penurunan sekresi insulin.
Level glukosa dalam tubuh dipertahankan oleh
glikogenolisis (pemecahan glikogen) akan tetapi cadangan
glikogen hanya bertahan tidak lebih dari 72 jam.
Homeostatis glukosa penting untuk jaringan seperti otak,
eritrosit, dan sel medulla renal. Kebutuhan glukosa
selanjutnya dipenuhi dari glukoneogenesis, yaitu glukosa
diperoleh dari sumber non karbohidrat yaitu lemak dan
protein. Oksidasi asam lemak membentuk keton yang akan
dikonversi menjadi asetil KoA membentuk energi melalui
siklus krebs, sedangkan produksi energi dari laktat dan asam
amino terjadi melalui siklus Cori. Kehilangan lemak dan
protein terjadi beriringan dengan kehilangan mineral
intraselular seperti fosfat, kalium dan magnesium. Kofaktor
metabolik lainnya seperti vitamin atau zat gizi mikro seperti
tiamin mengalami deplesi kemudian habis.
Selama refeeding, masuknya glukosa menginduksi
serangkaian perubahan biokimiawi. Metabolisme tubuh

60 | Malnutrisi di Rumah Sakit


selama periode kelaparan yang berkepanjangan bergeser
secara tiba-tiba karena metabolisme karbohidrat menjadi
fokus utama, dan metabolisme lemak mengalami penurunan.
Kadar glukosa yang meningkat (hiperglikemia) menginduksi
pengeluaran insulin. Insulin menstimulasi absorpsi kalium ke
dalam sel (melalui transporter Na-K-ATPase) yang disertai
juga dengan masuknya magnesium dan fosfat. Air ditarik
menuju kompartemen intraseluler oleh proses osmosis.
Penurunan level fosfat, kalium, dan magnesium dalam serum
selanjutnya menyebabkan manifestasi klinis RFS.
Metabolisme glukosa dan lipid yang berubah menyebabkan
asidosis metabolik, ketoasidosis dan keadaan hiperosmolar.

3. Manifestasi Klinis

1. Hipofosfatemia
Hipofosfatemia (<0,8 mmol/l) dapat terjadi
secara cepat terkadang dalam waktu 48 jam setelah
refeeding pada pasien malnutrisi. Fosfat merupakan
elektrolit intraselular yang memiliki peran penting
dalam sistem jantung, pernapasan, neurologis, ginjal,
gastrointestinal, hematologis, dan muskuloskeletal.

Malnutrisi di Rumah Sakit | 61


Pada RFS deplesi fosfat jangka panjang terjadi seiring
dengan penggunaan fosfat dalam sel yang disebabkan
oleh lonjakan insulin. Hal tersebut menyebabkan defisit
fosfat intraselular dan ekstraselular.
2. Hipomagnesemia
Hipomagnesemia (<0,70 mmol/L) merupakan
prediktor perkembangan RFS. Magnesium merupakan
ion intraseluler dan kofaktor penting untuk berbagai
enzim. Magnesium berfungsi dalam pemeliharaan
homeostatis selular, fosforilasi oksidatif dan produksi
ATP, selain itu magnesium juga merupakan komponen
dalam struktur asam nukleat dan ribosom. Oleh karena
itu, defisiensi magnesium menyebabkan aritmia jantung
dan kejang yang berpotensi pada kematian.
Hipomagnesemia juga dapat menyebabkan nyeri perut,
anoreksia, ataksia, kebingungan, tremor, vertigo dan
tubuh menjadi lemah. Level magnesium dalam tubuh
berkaitan dengan kadar kalium, sehingga jika terjadi
hipomagnesemia akan menyebabkan hipokalemia.

62 | Malnutrisi di Rumah Sakit


3. Hipokalemia
Seperti fosfat dan magnesium, kalium sebagian
besar berada di intraselular. Kalium merupakan kation
univalent yang penting dalam optimalisasi sel
membran. Hipokalemia (<3,5 mmol/l) berhubungan
dengan berbagai gambaran klinis seperti aritmia,
konstipasi, hipotonia dan kelemahan otot. Sedangkan
hipokalemia berat (<2,5 mmol/l) dapat menyebabkan
ensefalopati, ileus paralitik, kerusakan tubulus ginjal,
rhabdomiolisis serta alkalosis metabolik.
4. Defisiensi Vitamin
Tubuh manusia tidak mampu mensintesis tiamin
(vitamin B1). Tiamin merupakan kofaktor penting
untuk transketolase dalam jalur pentose-fosfat.
Defisiensi tiamin menyebabkan beri-beri serta asidosis
metabolik dan lebih khusus lagi asidosis laktat.
Defisiensi tiamin dianggap bertanggung jawab atas
morbiditas dan morltalitas pada RFS seperti pada
sindroma Korsakoff dan ensefalopati Wernicke.
Penelitian menunjukan suplementasi vitamin B pada
pasien dengan kelaparan yang berkepanjangan
menyebabkan penurunan tingkat kesakitan dan

Malnutrisi di Rumah Sakit | 63


kematian. Selain itu pada pasien malnutrisi juga
menunjukan defisiensi vitamin B12 dan B6.
5. Keseimbangan Cairan
RFS dapat menyebabkan kelainan
keseimbangan cairan yang berakibat pada gagal
jantung, dehidrasi atau sebaliknya kelebihan caian,
hipotensi dan gagal ginjal akut. Pemberian protein
yang berlebih dapat menyebabkan hipernatremia yang
terkait dengan dehidrasi hipertonik.
6. Glukosa
Setelah kelaparan, pemberian glukosa dapat
menekan glukoneogenesis, sehingga mengurangi
penggunaan asam amino (terutama alanin) dan
menyebabkan berkurangnya keseimbangan nitrogen
negatif. Jika dikonsumsi dalam jumlah besar, konsumsi
glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia dengan
diuresis osmotik, dehidrasi, asidosis metabolik, serta
ketoasidosis. Kelebihan glukosa juga menyebabkan
konversi glukosa menjadi lemak (lipogenesis), serta
menyebakan peningkatan produksi karbondioksida,
hiperkapnia, dan kegagalan pernafasan.

64 | Malnutrisi di Rumah Sakit


4. Manajemen Refeeding Syndrome

Secara umum telah disepakati bahwa pencegahan


dan pengelolaan RFS mencakup identifikasi individu yang
berisiko, asupan gizi yang dimonitor secara menyeluruh
dan penggantian elektrolit beserta cairan secara hati-hati
oleh tim multidisiplin. Asesmen pasien harus dilakukan
secara cermat terkait dengan hipofosfatemia,
hipomagnesemia, dan hipokalemia setiap hari selama masa
refeeding hingga stabil. Pasien direhidrasi secara hati-hati
dan ditambahkan kalium (diberikan 2-4 mmol/kg), fosfat
(0,3-0,6 mmol/kg), kalsium, magnesium (0,2 mmol/kg
intravena atau 0,4 mmol/kg secara oral).
Beberapa guideline merekomendasikan bahwa
suplementasi vitamin harus diberikan dengan segera.
Sebelum pemberian makan dimulai diberikan tiamin oral
200-300 mg/hari, satu hingga dua tablet vitamin B 3 kali
sehari. Suplemen multivitamin juga dapat diberikan satu
kali/hari, namun risiko terjadinya anafilaksis tetap harus
diawasi. Berikut adalah rejimen pemberian terapi gizi
pada pasien RFS berdasarkan guideline, literatur serta 3
algoritma manajemen RFS.

Malnutrisi di Rumah Sakit | 65


Tabel 3. Rejimen gizi berdasarkan guideline

Hari - Energi (melalui semua rute) mulai dari 10


1-3 kkal/kg/hari (karbohidrat 50-60%, lemak 15-
20%, protein 15-20%)
- Pengukuran konsentrasi serum elektrolit (4-6
jam kemudian) dan pengukuran harian sebelum
pemberian makan. Pemberian suplemen
profilaksis pada kebanyakan kasus diberikan
melalui intravena. Anjuran pemberiannya yaitu
fosfat 0,5-0,8 mmol/kg/hari, kalium 1-2,2
mmol/kg/hari, magnesium 0,3-0,4 mmol/hari
Kadar harus sering dipantau dan suplemen
ditingkatkan jika perlu;

- Cairan : batasi hingga cukup untuk


mempertahankan fungsi ginjal, mengganti
defisit dan menghindari kenaikan BB. Pasien
membutuhkan cairan 20-30 ml/kg/hari
- Membatasi sodium hingga <1 mmol/kg/hari.
Jika terjadi edeme pembatasan sodium
ditingkatkan.

66 | Malnutrisi di Rumah Sakit


- Mineral dan vitamin diberikan 100% dari RDI.
Zat besi tidak boleh diberikan pada minggu
pertama.
- Tiamin diberikan 200-300 mg melalui intravena
30 menit sebelum pemberian makanan.
Kemudian diberikan 200-300 ml melalui
intravena atau oral setiap hari hingga 3 hari.
- Monitor harian :
- Berat badan (keseimbangan cairan)
- Pemeriksaan klinis (edeme, tekanan darah,
denyut nadi, kardiovaskular dan sistem
respirasi)
- Biokimia (fosfat, magnesium, kalium, sodium,
kalsium, glukosa, urea, kreatinin).
Hari - Energi (dari semua rute) 10-20 kkal/kg/hari
4-6 (karbohidrat 50-60%, lemak 30-40%, protein
15-20% protein)
- Ketika kondisi RFS sudah stabil maka
pemberian elektrolit bertujuan untuk
mengembalikan menjadi kadar normal. Jika
fosfat <0,6 mmol/kg/hari maka diberikan fosfat

Malnutrisi di Rumah Sakit | 67


melalui intravena sebanyak 30-50 mmol/kg/hari.
Jika magnesium <0,5 mmol/kg/hari maka
diberikan magnesium sulfat melalui intravena
sebanyak 24 mmol/kg/hari. Jika kalium <3,5
mmol/kg/hari maka diberikan kalium klorida
melalui intravena sebanyak 20-40 mmol/kg/hari.
- Ukur kembali dan ulangi jika perlu :
- Mineral dan vitamin
- Cairan : tergantung pada status hidrasi,
perubahan BB. Pasien membutuhkan 25-30
ml/kg/BB
Hari - Energi (dari semua rute) 20-30 kkal/kg/hari
7-10 (karbohidrat 50-60%, lemak 30-40%, protein
15-20% protein)
- Suplementasi zat besi diberikan saat 7 hari
- Cairan diberikan sebanyak 30 ml/kg/hari
- Monitoring :
Berat badan dan biokimia (dua kali seminggu),
Pemeriksaan klinis (setiap hari)

68 | Malnutrisi di Rumah Sakit


Algoritma 1 : Penialain awal pasien refeeding syndrome
Menilai dan identifikasi pasien yang berisiko RFS

Pasien berisiko mengalami RFS jika : mempunyai riwayat malnutrisi


kronis, kehilangan BB secara akut (>10%), asupan makan sedikit atau
tidak sama sekali 7-10 hari

Risiko RFS lebih besar pada pasien dengan kormobiditas yang


signifikan seperti infeksi, operasi, kanker, pasien post operasi, pasien
gawat darurat, puasa berkepanjangan, anoreksia nervosa, alkoholik,
kelainan elektrolit (kalium/magnesium.fosfat), lansia.

Berisiko Tidak Berisiko

Dikelola tim Dikelola ahli gizi dan diberikan


nutrisi seperti pasien lain.

Anamnesis dan
pemeriksaan Fisik

Penilaian status gizi : Berat badan, tingkat penurunan BB, asupan,


alasan terjadinya malnutrisi, kesulitan menelan, gangguan fungsi
intestinal, dan lain-lain

Malnutrisi di Rumah Sakit | 69


Monitor:
1. Laju denyut jantung, laju nadi, tekanan darah, laju nafas, tingkat
kesadaran tiap 6 jam selama 72 jam pertama
2. Suhu tubuh
3. EKG jika terjadi nadi ireguler, laju denyut jantung abnormal,
kadar kalium atau fosfat serum di bawah nilai normal
Jika ada kelainan jantung perlu dilakukan monitoring fungsi jantung
dan penempatan di bangsal yang sesuai

Gambar 2.Algoritma penilaian awal pasien refeeding syndrome

70 | Malnutrisi di Rumah Sakit


Algoritma 2 : Manajemen awal refeeding syndrome
Manajemen awal refeeding Syndrome

1. Identifikasi dan treatmen


2. pengelolaan
sepsis
sepsis

2. Resusitasi cairan dan monitoring keseimbangan cairan


3.
- Menilai dandan menjaga
menjagavolume
volumesirkulasi,
sirkulasi,monitor
monitorlaju
laju
nadi,
nadi,
asupan
asupan
cairan, dan
dan urin
urinoutput.
output.Pasien
Pasien
malnutrisi
malnutrisimengalami
mengalamipenurunan
penurunan
toleransi cairan intravena
intravena.pada
Padaasupan
asupancairan
cairanmoderate
berlebihanatau
(misal >2
berlebihan
liter dalam (misal
24 jam)>2bisa
litermenyebabkan
dalam 24 jam) gagal
biasjantung.
menyebabkan gagal
- Pemberian
jantung. cairan intravena diperlukan dalam 72 jam pertama
- sampai
Pemberian asupan
cairan
adekuat.
intravena diperlukan dalam 72 jam pertama
- Jika
sampaidehidrasi
asupan lakukan
adequate.rehidrasi misal 2 liter pada 24 jam pertama
- tergantung
Jika dehidrasi
respon.
lakukan
Volume
rehidrasi
yangmisal
tinggi2 hanya
liter pada
untuk
24 dehidrasi
jam pertamayang
tergantung respon. Volume yang tinggi hanya untuk dehidrasi yang
parah.
- Total
parah. asupan cairan (intravena, enteral dan oral) maksimal
- diberikan
Total asupan30 ml/kgBB.
cairan (intravena, enteral dan oral) maksimal
- Monitoring
diberikan 30tekanan
ml/kgBB. darah, nadi dan laju nafas setiap 6 jam untuk
- deteksi
Monitoringadanya
tekanan
gagaldarah,
jantung
nadiatau
dan pengisian
laju nafas volume
setiap 6 intravaskuler
jam untuk
deteksi
yang tidak
adanya
adekuat.
gagal jantung atau intravaskuler yang tidak adekuat.

3. Koreksi abnormalitas elektrolit


- Pemeriksaan laboratorium 48 jam terakhir meliputi urea, fosfat,
kalsium, magnesium, tes fungsi hati dan darah rutin
- EKG jika kalium<3,5 mmol/l atau fosfat <0,8 mmol/liter
- Suplementasi jika fosfat <0,8 mmol/liter, kalium <3,5 mmol/liter,
magnesium <0,5 mmol/liter, pemberian zat gizi berlebihan dapat
menyebabkan penurunan elektrolit hingga level kritis
- Koreksi elektrolit dengan suplementasi oral atau intravena
diperlukan untuk mencapai ambang batas sebelum pemberian
terapi gizi

Malnutrisi di Rumah Sakit | 71


4. Koreksi Hipoglikemia/kontrol glukosa darah
- Monitor gula darah 1-2x/hari, pada pasien DM dilakukan lebih
sering
- Jika hipoglikemia berikan glukosa 5% intravena

6. Manajemen Hipotermia
- Koreksi hipotermia secara simultan dengan rehidrasi cairan,
pemberian minuman hangat dan selimut.

7. Koreksi/pencegahan defisiensi mikronutrien


- Pemberian tiamin 100 mg/oral atau melalui feeding tube 3x/hari
selama 10 hari atau sampai tingkat asupan yang direkomendasikan
tercapai dengan dosis pertama diberikan sedikitnya 30 menit
sebelum pemberian makan.
- Pemberian vitamin B 1 tablet 3x/hari dan tablet multivitamin
mineral 1 tablet perhari peroral atau dihancurkan melalui
feeding tube

Gambar 3. Manajemen awal pasien refeeding syndrome

72 | Malnutrisi di Rumah Sakit


Algoritma 3 : Terapi gizi pasien refeeding syndrome

Memulai pemberian makan perlahan-lahan

Weekdays Weekend
- Pemberian makan - Pemberian makan bersifat individual
tergantung dari - Pemberian makan pasien berisiko 10
rejimen yang kkal/kg/24 jam dalam 48 jam.
direncanakan tim Pemberian makan dilakukan lebih
terapi gizi perlahan-lahan pada pasien yang
- Pemberian makan risikonya lebih besar
disertai suplementasi - Pemberian makan dilakukan dengan
elektrolit yang tepat memperhatikan keseimbangan cairan

Rejimen enteral :
Pemberian makan harus meningkat secara perlahan, tergantung
dari rejimen di bawah ini setelah pemberian tiamin
Hari ke Tipe Asupan ml/jam Durasi Volume
(jam) (mL)
Hari 1 Water 30 4 120
Makanan enteral 15 20 300
polimerik standar
Hari 2 Water 30 4 120
Fresubin original 20 20 400
Hari 3 Water 30 4 120
Makanan enteral 25 20 500
polimerik standar
Jangan memberi suplemen seperti fresubin energy, dan lain-lain
bersamaan dengan permulaan rejimen di atas
Jangan memberi cairan secara bolus

Malnutrisi di Rumah Sakit | 73


Monitoring minimal 72 jam

- Monitor urea serum dan elektrolit, kalsium, fosfat, tes fungsi hati
- Monitor magnesium serum tiap 3 hari, dan kemudian setiap
minggu hingga stabil
- Monitor keseimbangan cairan
- Glukosa darah 1-2x/hari
- Suhu tubuh, laju nadi, laju denyut jantung, laju nafas setiap hari
- Tekanan darah setiap 6 jam
- EKG jika laju denyut jantung dan nadi abnormal. Jika ada
kelainan jantung dilakukan monitoring fungsi jantung
- Kondisi klinis yang memburuk menunjukan pemberian makan
terlalu cepat, maka berikan setengah dari makanan yang diberikan
dan observasi.

Gambar 4. Memulai pemberian makan pada pasien berisiko RFS

74 | Malnutrisi di Rumah Sakit


5. Rangkuman

Refeeding syndrome (RFS) merupakan gangguan


elektrolit dan kelainan metabolik pada pasien malnutrisi
yang mendapatkan asupan berlebihan. Mekanisme refeeding
syndrome didasarkan pada serangkaian perubahan biokimia
yang saling terkait yang terjadi di dalam tubuh ketika
metabolism berubah mengikuti periode kelaparan. Selama
refeeding, reintroduksi glukosa menginduksi serangkaian
perubahan biokimiawi. Metabolism tubuh selama periode
kelaparan yang berkepanjangan bergeser secara tiba-tiba
karena metabolism karbohidrat menjadi fokus utama, dan
metabolism lemak mengalami penurunan. Manifestasi klinis
yang biasa ditemukan pada pasien dengan RFS adalah
hipofosfatemia, hipomagnesemia, hypokalemia, defisieni
vitamin serta gangguan pada keseimbangan cairan dan
glukosa.
Pencegahan dan pengelolaan RFS mencakup
identifikasi individu yang berisiko, asupan gizi yang
dimonitor secara menyeluruh dan penggantian elektrolit
beserta cairan secara hati-hati oleh tim multidisiplin.
Berdasarkan guideline, manajemen penanganan pasien RFS
pada hari 1-3 diberikan energi (melalui semua rute) mulai

Malnutrisi di Rumah Sakit | 75


dari 10 kkal/kg/hari (karbohidrat 50-60%, lemak 15-20%,
protein 15-20%) serta penambahan elektrolit melalui
intravena dan dilakukan monitoring. Kemudian hari ke 4-6
diberikan Energi (dari semua rute) 10-20 kkal/kg/hari
(karbohidrat 50-60%, lemak 30-40%, protein 15-20%
protein) dan elektrolit serta dilakukan pemantauan. Pada hari
ke 7-10 diberikan Energi (dari semua rute) 20-30
kkal/kg/hari (karbohidrat 50-60%, lemak 30-40%, protein
15-20% protein)

10. Referensi

1. Sobotka L, Allison SP, Forbes A, Ljungqvist O,


Meier RF, Pertkiewicz M et al. (eds). Basics in
Clinical Nutrition, 4th edn. Galen: Prague, Czech
Republic, 2011
2. Mehanna H, Nankivell PC, Moledina J, Travis J.
Refeeding syndrome – awareness , prevention and
management. Biomed Cent. 2009;1–5.
3. Crook MA. Refeeding syndrome : Problems with
definition and management. Nutrition. 2014;1448–
1455.

76 | Malnutrisi di Rumah Sakit


4. Boland K, Solanki D, Hanlon CO. Prevention and
Treatment of Refeeding Syndrome in the Acute Care
Setting. irSPEN Guideline; 2013. 9-10 p.
5. Partsmouth hospitals NHS trust formulary and
medicines group. Guidelines for the prevention and
treatment of adult patients at risk of developing
refeeding syndrome. Drug Ther Guidel. 2008;3–7.

Malnutrisi di Rumah Sakit | 77


78 | Malnutrisi di Rumah Sakit
DAFTAR INDEKS
A disfagia, 48
absorpsi, ii, 2, 3, 8, 44 E
ahli gizi, 7
anamnesis, 12 edema, 14, 21, 29
anoreksia, 9, 21, 46, 48 energi, 14, 28, 39, 40, 41,
antasida, 62 42, 43, 47, 50, 56
antiemetik, 46 ensefalopati, 67
antropometri, 19, 24, 25 enteral, 13, 36, 47, 48, 49,
asesmen gizi, 6, 12, 19, 36 50, 51, 56
asidosis, 64, 66, 68 ESPEN, 2, 13, 16
ASPEN, 13, 17, 28, 30, 38 etiologi, 26, 27
evaluasi, 14, 36, 38, 54, 56
B
F
berat badan, 6, 7, 8, 12,
13, 14, 20, 22, 23, 24, faktor stres, 41
25, 27, 29, 30, 42, 56 fistula, 49
biokimiawi, 13, 14 fosfat, 61, 62, 63, 64, 65,
Broca, 42 66, 68, 69, 70, 71
Butterworth, 1, 15
G
C gagal ginjal, 37, 43, 44
cairan, 14, 24, 27, 29, 43, gastrointestinal, 21, 55
50, 55 glikogen, 63
glikogenolisis, 63
D glukagon, 63
diagnosis, 3, 5, 6, 10, 12, H
13, 17, 18, 24, 26, 27,
28, 30, 36 Harris-Benedict, 41
Hemodinamik, 54

Malnutrisi di Rumah Sakit | 79


Hipofosfatemia, 64 lemak, 8, 14, 21, 25, 27,
Hipokalemia, 66 29, 36, 37, 39, 42, 52
Hipomagnesia, 65 lipogenesis, 68
Hipotermia, 27 LOS, 4, 11

I M
IMT, 6, 13, 24, 30, 42 magnesium, 62, 63, 64,
infeksi, 2, 3, 5, 8, 9, 47 65, 66, 68, 69, 70, 71
insulin, 62, 63, 64, 65 makronutrien, 1, 27, 37,
intestinal, 47 42, 52
intravena, 68, 70, 71 massa otot, 2, 8, 9, 21, 25,
29, 39
K Mifflin-St. Jeor, 41
kakeksia, 2 mikronutrien, 1, 14, 37,
kalium, 60, 62, 63, 64, 66, 44, 50
69, 70, 71 mineral, 43, 44
kalorimetri indirek, 41 MNA, 4, 12, 24
katabolik, 60 Monitoring, 14, 54
kebutuhan energi, 14, 28, morbiditas, ii, 1, 2
36, 37, 40, 41, 42 mortalitas, ii, 1, 2, 3, 48
keton, 63 MUST, 12, 23
komplikasi, ii, 2, 9, 10, 18,
N
47
kormobiditas, 18 nasogastric tube, 49
kurus, 6 natrium, 62

L O
laboratorium, 13, 19, 24, obstruksi, 21, 49
25, 43, 44, 54 oral, 13, 23, 36, 45, 46,
lanjut usia, 24 47, 48, 51, 56
osmolalitas, 51

80 | Malnutrisi di Rumah Sakit


overweight, 42 sonde, 50
starvasi, 41
P stres metabolik, 7, 13
parenteral, 13, 36, 47, 50, suplementasi, 44
51, 52, 56
T
perawat, 7
prevalensi, 3 tiamin, 63, 69
profilaksis, 69 tinggi badan, 12, 23, 25,
protein, 14, 25, 36, 37, 39, 30, 42
42, 50, 52, 55, 56
U
R ulkus, 8, 9
refeeding sindrom, 39
reimbursemen, 10 V
reversibel, 1 vena, 51
rule of thumb, 41, 43 vitamin, 39, 43, 44
S Z
SGA, 3, 4, 10, 12, 19, 21 zat besi, 25, 71
Skrining, 6, 11, 12, 18, 19,
38

Malnutrisi di Rumah Sakit | 81

Anda mungkin juga menyukai