Anda di halaman 1dari 19

Tugas Resume Kuliah

Diajukan kepada
Prof Usman Chatib Warsa

PERAN MIKROBIOLOGI KLINIK DI RUMAH SAKIT

Diajukan Oleh:
Leli Saptawati
Enty
Iva Puspitasari
E. Hagni Wardoyo
PERAN MIKROBIOLOGI KLINIK DI RUMAH SAKIT

Leli Saptawati, Enty, Iva Puspitasari, dan E. Hagni Wardoyo

PPDS Mikrobiologi Klinik FKUI


Page | 2

A. Mikrobiologi Klinik di RS (page3)

1. Gambaran Umum (page3)

1.1 Peran microbiologist (SpMK) di RS (page 5)

1.2 Laboratorium Mikrobiologi di RS (page 6)

2. Kondisi di Indonesia (page 7)

2.1 Peran mikrobiologist di negara berkembang (page 7)

2.2 Peran mikrobiologist (SpMK) di Indonesia (page 8)

B. Pemakaian antibiotika di RS (page 12)

1. Antibiotics stewardship (page 12)

1.1 Tujuan dibuatnya antibiotics stewardship (page 12)

1.2 Program antibiotics stewardship (page 12)

1.3 Pedoman penggunaan antibiotic pada terapi empiris (page 15)

C. Pendapat dan saran (page 17)


A. Peran ahli mikrobiologi klinik di Rumah Sakit

1. Gambaran Umum

Dewasa ini , penyakit infeksi semakin meluas di seluruh dunia. Peta di bawah ini menunjukkan
Page | 3
jumlah kasus penyakit infeksi di dunia.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perluasan penyakit infeksi. Faktor-faktor

tersebut adalah (1) faktor demografi dan kebiasaan hidup manusia, (2) teknologi dan industri, (3)

perkembangan ekonomi dan pembukaan lahan, (4) perjalanan antar negara dan perdagangan, dan

(5) keterbatasan kemampuan pelayanan kesehatan dalam mengidentifikasi mutasi bakteri. Untuk

mengatasi hal ini, WHO telah menetapkan berbagai strategi. Strategi tersebut adalah : (1)

melakukan surveillance terhadap berbagai agen penyebab infeksi, (2) melakukan surveillance

terjadinya resistensi antimikroba, (3) memperbaiki kualitas laboratorium mikrobiologi dan

meningkatkan kompetensi ahli mikrobiologi klinik, (4) mendorong penelitian terapan yang

menitikberatkan pada pencegahan dan penanggulangan infeksi, (5) mengoptimalkan peran


pelayanan kesehatan masyarakat, (6) surveillance terhadap penyakit menular, (7) mengoptimalkan

laboratorium rujukan, (8) menetapkan standar perosedur penanganan yang tepat bila terjadi

outbreak di komunitas, (9) memberikan edukasi pada petugas kesehatan mengenai peningkatan
Page | 4
upaya pencegahan infeksi, (10) mendorong penelitian di bidang kesehatan masyarakat yang dapat

digunakan sebagai acuan bagi pusat pelayanan kesehatan, (11) menegakkan diagnosis penyakit,

memberikan terapi dan merawat pasien secara individual, (12) menyediakan fasilitas ruang isolasi,

(13) mengontrol penggunaan agen antimikroba, (14) melatih dan mendidik tenaga profesional, (15)

berkomunikasi dengan “outsiders , dan (16) mendorong penelitian klinis mengenai penyakit infeksi

dan alur pelayanannya

Hal pokok dalam pengendalian meluasnya penyakit infeksi adalah :

1. Memberikan pelayanan yang komprehensif untuk menegakkan diagnosis spesifik, memberikan

terapi secara individual dan mencegah terjadinya infeksi, dan untuk menyusun formularium

kebijakan rumah sakit mengenai manajemen penyakit infeksi

2. Mengembangkan kerjasama tim yang meliputi berbagai profesional di bidang manajemen

penyakit infeksi, yaitu : ahli mikrobiologi klinik, klinisi di bidang penyakit infeksi, farmakologi

klinik, tim pengendalian infeksi, dan orang yang memiliki keahlian di bidang teknologi

laboratorium mikrobiologi

3. Menyediakan fasilitas rumah sakit dan sumber daya manusia yang diperlukan untuk

menjalankan misi RS, termasuk laboratorium mikrobiologi klinik, tim pengnedalian infeksi, dan

juga perawat serta klinisi yang didedikasikan untuk menangani penyakit infeksi

4. Organisasi yang bergerak di bidang manajemen penyakit infeksi perlu melakukan peningkatan

sistem rujukan pasien infeksi secara lebih terintegrasi, menyusun formulasi kebijakan

penggunaan antibiotika di RS dan pengendalian infeksi, dan menciptakan komunikasi dengan


pihak lain yang terkait baik yang berada di dalam unit pelayana kesehatan tersebut maupun

yang berada di luar RS (khususnya departemen kesehatan)

1.1. Peran mikrobiologis (SpMK) di rumah sakit


Page | 5

Seorang ahli mikrobiologi klinik berperan sebagai (Verbrugh, 2009) :

1. Sebagai kepala laboratorim mikrobiologi klinik yang profesional

2. Sebagai konsultan yang kompeten di bidang penyakit infeksi

3. Mengatur manajemen sebuah laboratorium mikrobiologi klinik

4. Ketua tim pengendalian infeksi di RS

5. Sebagai konsultan atau penggagas kebijakan penyusunan panduan pemakaian antibiotik di RS

6. Mengkolaborasikan upaya pengendalian mikroba patogen dan upaya peningkatan kesehatan

masyarakat

7. Kontributor dalam pengembangan ilmu penyakit infeksi

8. Kontributor dalam pendidikan di bidang penyakit infeksi.

Di negara-negara maju, masa ini merupakan saat yang paling tepat dan paling baik bagi dunia

mikrobiologi untuk menunjukkan perannya dalam penegakan diagnosis dan penentuan terapi

penyakit infeksi. Menteri kesehatan setempat menyediakn fasilitas ICU di RS, dengan peralatan

medis yang lengkap dan memadai, prosedur pelayanan yang baik, dan intervensi yang tepat. Hal ini

dilakukan karena saat ini semakin banyak pasien yang mengalami gagal ginjal kronik atau gangguan

hematologi yang memerlukan perwatan di unit khusus. Berkembangnya teknologi internet lebih

memudahkan para klinisi untuk memperluas pengetahuan daripada era sebelum ada fasilitas

internet. Seorang ahli mikrobiologi klinik memang dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan

ilmu terkini yang berkaitan dengan bidang keahliannya, sehingga dapat memberikan advise yang

tepat kepada klinisi yang berdasr pada bukti penelitian terbaru. hal ini antara lain dapat diperoleh
melalui akses internet. Seorang ahli mikrobiologi klinik dituntut untuk emeiliki performa yang

optimal dalam memberikan pelayanan. Dia harus mampu meningkatkan dan mengoptimalkan

iteraksi dan komunikasi denganstal lain di RS. Perlu terdapat list khusus yang digunakan
Page | 6
untukmengontrol kualitas pelayanan laboratorium mikrobiologi. Di sisi lain, apa sebenarnya yang

menjadi harapan seorang klinisi terhadap ahli mikrobiologi klinik? Dalam hal penegakkan diagnosis

infeksi, pelayanan harus terorganisir dan juga mengikuti prosedur pengiriman spesimen, prosedur

pemeriksaan mikrobiologi dan prosedur uji sensitivitas antimikroba sesuai standard. Begitu juga

dengan dengan deteksi antigen dan teknologi pengujian modern lainnya. Buku manual prosedur

pelayanan di RS yang bersangkutan serta guideline harus tersedia di setiap departemen. Pada

waktu yang sama, klinisi harus sudah familiar dengan sindrom klinis dan berbagai mikroorganisme

penyebab, hal ini bertujuan agar klinisi dapat memilih permintaan pemeriksaan laboratorium

mikrobiologi dengan benar. Dalam prakteknya, penting untuk selalu menjaga komunikasi dan diskusi

yang efektif antara klinisi dan ahli mikrobilogi klinik dalam mengangani kasus infeksi.

1.2. Peran sebuah laboratorium mikrobiologi klinik di Rumah Sakit

Di Denmark, laboratorium mikrobiologi klinik terletak di dalam Rumah Sakit dan stafnya terdiri

dari ahli mikrobiologi klinik yang telah menjalani pendidikan secara klinik. Masing-masing negara

memiliki unit mikrobiologi klinik sendiri yang bertugas untuk melayani 0.34.6 juta populasi.

Tanggungjawab unit mikrobiologi klinik ini meliputi berbagai aspek pengendalian infeksi. Termasuk

mendeteksi adanya outbreak HAI (hospital acquired infection), skrining terhadap orgnasime multi-

resisten, memberikan advice kepada klinisi mengenai desinfeksi, sterilisasi dan prosedur isolasi,

serta penggunaan antibiotika rasional. Seorang ahli mikrobiologi klinik harus bekerja sama erat

dengan perawat yang bertugas di dalam tim pengendalian infeksi. Tim pengendalian infeksi ini

merupakan tim yang paling berperan dalam menyusun guidelines, yang disahkan oleh komite
pengendalian infeksi setempat (regional infection control commitee). Laboratorium mikrobiologi

klinik berhubungan erat dengan National Department of Hospital Hygiene dan laboratorium rujukan

lainnya. Struktur tim pengendalian infeksi telah ditetapkan sejak 25 tahun yang lalu. Tujuan utama
Page | 7
saat itu adalah untuk mendesentralisasi pengendalian infeksi dan menyediakan fasilitas yang

memungkinkan untuk berkomunikasi erat dekat dengan klinisi serta pasien. Tim ini telah mampu

memberikan solusi atas berbagai masalah yang berkaitan dengan pengendalian infeksi, dan

kepatuhan klinisi terhadap berbagai prosedur pengendalian infeksi semakin baik. Pengendalain

infeksi harus dijalankan sebagai bagian integral dari mikrobiologi klinik.

2. Kondisi di Indonesia

Keadaaan di Indonesia, seperti umumnya di Negara berkembang lainnya memiliki resiko akan

penyakit infeksi yang kurang lebih sama. Seperti tersedianya instrument diagnostic canggih,

keberadaan laboratorium mikrobiologi dan kemampuan sumber daya manusia yang berkembang.

Sebagai perbandingan, peran SpMK di Negara berkembang diuraikan mendahului kondisi di

Indonesia.

2.1. Mikrobiologis (SpMK) di negara berkembang

Kemajuan bidang kesehatan dinegara berkembang, maju dengan pesat mengikuti kemajuan di

negara maju. Penggunaan instrumen-instrumen medis canggih dan pembangunan bangsal

perawatan yang ideal. Namun hal ini semua masih dibayangi oleh angka kesakitan dan kematian

yang tinggi karena penyakit infeksi. Beberapa RS di negara berkembang hanya dilengkapi oleh

laboratorium mikrobiologi dasar, sampai pemeriksaan genomik canggih namun justru ‘mengabaikan’

pengecatan Gram. Keahlian dibidang Mikrobiologi jelas dibutuhkan disini, sebagai jembatan antara

klinisi dengan lab. Peran SpMK belum berkembang seiring kemajuan teknik dan instrumentasi di RS.

Peran SpMK dibutuhkan saat timbul penyakit epidemik, TB dan HIV. Sebanyak 95% penderita HIV
tinggal dinegara berkembang, 74.5% diantaranya tinggal di Afrika subsahara dan 25.5% di Asia.

Masalah muncul karena ketiadaan ahli, ketiadaan dana pengembangan lab, atau ketika fasilitas

memadai, penggunaan inapropriate umum terjadi seperti melakukan kultur yang tidak perlu,
Page | 8
pemeriksaan tes sensitivitas tanpa jaminan kualitas, pelaporan hasil lab tetap dilakukan meski

irrelevant secara klinis sehingga pemberian antibiotika yang tidak diperlukan terjadi.

Pengukuran cost-effectiveness yang setengah hati tentang suatu tes yang spesifik merupakan

alasan umum tentang ketiadaan tes tersebut. Langkah pertama mencapai menilai penggunaan suatu

tes mikrobiologi secara cost-effective atau tidak, tes memiliki nilai diagnostik yang cukup untuk

digunakan dan mengembangkan kriteria untuk membatasi proses terhadap organisme tersebut,

yang relevan secara klinis. Konsep nilai klinis ini memunculkan beberapa pertanyaan: kenapa tes

tersebut diperlukan? Apakah hasil akan membantu atau mempengaruhi manajemen pasien? Apakah

tes yang lebih sederhana mampu menggantikannya? Dapatkah kita melakukan manajemen pasien

tanpa tes tersebut? Apakah tes tersebut memiliki nilai penting secara kesehatan publik atau klinis?

Sebagai contoh adalah RS di negara berkembang masih secara rutin melakukan kultur darah

anaerobik meski hasil positif menggambarkan adanya infeksi anaerobik (sepsis intraabdominal,

female UTI) yang sudah dapat diketahui secara klinis. Meski data kultur berguna untuk data

mikrobiologik, namun pada negara berkembang seting ini mungkin tidak dapat diaplikasikan.

2.2. Mikrobiologis (SpMK) di Indonesia

Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbanyak ke-4 dunia, berjumlah 230 juta jiwa

memerlukan jumlah SpMK ideal (menggunakan rasio 1 SpMK untuk 100.000 penduduk; Verbrugh

2009) sekitar 2,300 SpMK. Meski jumlah SpMK di Indonesia belum tercapai dengan rasio penduduk,

SpMK yang ada sekarang perlu masuk ke RS dan berperan sebagai bagian dari infectious disease

service line.
Seperti yang telah disebutkan diatas mengenai peran ideal SpMK, yang secara garis besar

memiliki tiga peran pencegahan infeksi, penatalaksanaan infeksi dan pengembangan kebijakan

tingkat RS. Ketiga fungsi utama ini dirangkum dalam tabel 1 dibawah.
Page | 9
Keberadaan mikrobiologi klinik di Indonesia masih sebatas pada keberadaan laboratorium

mikrobiologi, hasil yang dikeluarkan oleh laboratorium belum ‘diterjemahkan’ secara klinis, sehingga

hasil laboratorium diaplikasikan dengan salah. Kesalahan interpretasi hasil lab mikrobiologi

disebabkan oleh beberapa kemungkinan:

1. Komunikasi klinisi dan laboratorium yang belum terjalin. Komunikasi penting untuk

menghindari kesalahan – kesalahpahaman seperti: Seorang SpMK yang berwenang dalam lab

mikro membutuhkan gambaran klinis pasien yang menentukan interpretasi hasil lab; hasil lab

positif adanya dugaan kontaminan sebaiknya tidak dilaporkan. Kecenderungan klinisi untuk

memperoleh hasil positif, untuk memberikan antibiotika yang sesuai atau justru mengabaikan

hasil lab. Kualitas spesimen yang buruk, harus segera dikembalikan untuk pengambilan

spesimen ulang.

2. Hasil lab yang keluar lebih bersifat teknis dibandingkan klinis . Pemeriksaan hanya dilakukan

oleh teknisi. Hal ini terjadi akibat belum adanya SpMK yang secara professional mengelola

laboratorium.

3. Manajemen pelayanan penyakit infeksi belum menempatkan diagnosis infeksi sebagai ujung

tombak pelayanan infeksi dan peran lab mikrobiologi adalah sebagai ujung tombak diagnosis

tersebut. Akibat yang terjadi terlihat pada : kultur baru dilakukan setelah pasien yang tidak

sembuh diberikan dengan antibiotika sebelumnya, kebijakan pemakaian antibiotika yang tidak
Tabel 1. Garis besar peran ideal SpMK di Rumah Sakit dan kenyataannya di Indonesia

Peranan Formulasi Job desc Tujuan Komentar


Penyuluhan dan Memberikan evaluasi Insidentil dilakukan, belum
laporan surveilans pencegahan infeksi. secara rutin
Memberikan saran pencegahan Page | 10
Usaha promotif infeksi berdasar hasil survailans.
dan preventif Ronde klinik Menemukan kasus preventif Sudah mulai dilakukan tiap
untuk terjadinya infeksi senin pukul 7.00 bersama
Pencegahan infeksi

nosokomial. diryanmed, wewenang


SpMK?
Pengembangan Menemukan vaksin baru Laboratorium klinik RS
Riset dan vaksin pencegah belum terintegrasi dengan
pengembangan infeksi dari sampel lab mikrobiologi (anggaran
klinik dan keahlian)
Pelatihan Melatih karyawan baru. Sudah dimulai meski SpMK
Pendidikan dan
pencegahan infeksi Refreshment karyawan lama. belum masuk dalam
pelatihan
pelatihan
Secara institusi Mencegah transmisi patogen Depkes pusat dan Deptan
bekerja sama dari hewan ke manusia pusat saja
Kerjasama
dengan dinas
terkait
Menjamin mutu Membantu mendiagnosis Belum masuk di lab RSCM
Penanggung
diagnostik penyebab infeksi
Penatalaksanaan

jawab lab
Diagnosis dan

Menjembatani Memberikan ekspertis Sudah dimulai


mikrobiologi
infeksi

klinisi dengan lab mikrobiologi klinik


klinik
result
Pengembangan Menemukan teknis pemeriksaan Sudah
Riset dan teknik diagnostik baru
pengembangan Evaluasi tes Menilai tes diagnostik baru Sudah
diagnostik
Mengikuti rotasi Turut menyarankan dan Belum dimulai
Pengembangan kebijakan rumah sakit terkait

klinik mengevaluasi pemakaian


antibiotika
Menjamin kualitas pengambilan
Bagian dari tim
spesimen
penyakit infeksi
Interpretasi hasil Memutuskan pemilihan Belum dimulai
penyakit infeksi

lab antibiotika
Menentukan pasien infeksi yang
perlu diisolasi
Panitia antibiotika Menyusun kebijakan Sudah dimulai, seberapa
penggunaan antibiotika tingkat besar perannya?
RS
Bagian dari Mengevaluasi SOP antibiotika
panitia tiap instalasi
kebijakan RS Bagian dari tim Mengevaluasi sistem surveilan Sudah dimulai, seberapa
pengendalian tiap bangsal besar perannya?
infeksi Penyusunan kebijakan
pengendalian infeksi
(dirangkum dari McKendrick M, 2000, The Royal College of Pathologist, 2005 Morgan MS, 1995)
berjalan, tidak menggunakan terapi empiris lokal, sedang kuman pathogen dan sensitivitas pathogen

tidak pernah dilakuakan atau dilakukan tetapi tidak di-update, pembiayaan asuransi yang tidak

meng-cover biaya pemeriksaan laboratorium.


Page | 11
Quality assurance lab mikro merupakan tantangan tersendiri bagi SpMK dan memerlukan dana

yang tidak sedikit. Dibanyak RS di Indonesia lab mikro hanya sebagai satelit dari lab klinik yang

mendapat anggaran yang sudah terbagi. Tantangan bagi SpMK adalah selain sebagai klinisi, ahli lab

mikro juga harus mampu menyusun sebuah formulasi business case bahwa pengembangan lab

mikrobiologi klinik di RS mampu memberikan profit bagi RS, mengurangi biaya pembelanjaan

antibiotika yang berarti menambah profit RS.

Pendidikan mikrobiologi ditingkat S1 tidak sampai pada pendidikan saat rotasi klinik, karena

memang SpMK belum berperan pada tingkat itu. Pendidikan mikrobiologi harus melampaui apa

yang kita sebut sebagai academic achievement kepada clinical outcome dan resources utilization.

Pendidikan SpMK harus mampu memenuhi kebutuhan klinis yang sangat tinggi; baik dari sisi kualitas

maupun kuantitas. Meski keberadaan SpMK di Rumah Sakit sudah didukung oleh landasan hukum

Permenkes No 1045/Menkes/PER/XI/2006 tentang pedoman organisasi rumah sakit di lingkungan

Departemen Kesehatan dan keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Depkes RI No

HK.00.06.3.3 Tahun 1998 tentang Pedoman Pengelolaan Laboratorium Klinik RS bahwa Rumah Sakit

tipe A dan B pendidikan (rumah sakit yang berkolaborasi dengan fakultas kedokteran) dan non

pendidikan wajib memiliki instalasi mikrobiologi klinik yang dikelola dokter spesialis mikrobiologi

klinik, namun tampaknya jalan yang ditempuh masih panjang.


B. Pemakaian antibiotika di RS

1. Antibiotics stewarship

1.1 Tujuan Antibiotika Stewardship


Page | 12
Menggunakan antimikroba yang tepat untuk mendapatkan outcome yang terbaik, menurunkan

resiko dampak yang tidak diinginkan (termasuk timbulnya resistensi antimikroba) dan meningkatkan

efektifitas atau daya guna antimikroba.

Pemakaian antimikroba jangka panjang dan meningkatkan penggunaan antimikroba yang

rasional menjadi fokus perhatian Antimicrobial Stewardship. Masalah resistensi antimikroba

umumnya memerlukan strategi pada semua tingkat mulai dari peresepan di bangsal, departemen,

Rumah Sakit, tingkat nasional sampai pada tingkat internasional

1.2 Program Antibiotics Stewadrship

Penggunaan istilah “antimicrobial stewardship program”, dipakai untuk suatu pendekatan

multidisiplin, yang terprogram dan bersifat intervensi prospektif untuk mengoptimalkan

penggunaan obat anti infeksi. Program antimicrobial stewardship harus multidisiplin dan harus

melibatkan dokter ahli penyakit infeksi, farmasi klinik penyakit infeksi, dimana keduanya harus

nekerja bersama-sama. Anggota tim tambahan harus melibatkan adanya ahli mikrobiologi, analis

data dan representasi dari departemen pengontrolan infeksi. Ada berbagai macam strategi program

namun secara sederhana dapat disimpulkan menjadi 2 hal yaitu: autorisasi awal (prior authorization)

dan kajian berkesinambungan( concurrent review) dengan disertai feedback. Mengapa strategi

program multidisiplin ini penting? Carling, dkk menunjukkan bahwa diantara Rumah Sakit yang

serupa dalam pelayanan, hanya Rumah Sakit yang menggunakan program Intervensi prospektif

dapat, secara signifikan, mempengaruhi pola penggunaan antibiotik parenteral dan biaya yang

dikeluarkan untuk antibiotik, hal ini sangat berbeda dengan Rumah Sakit yang hanya mengandalkan

strategi pasif saja. Intervensi ini berperan sebagai “alat” untuk memperkuat kedua strategi utama
dan dapat termasuk dalam penghentian pesanan (order), formulis pemesanan antibiotik,

formularium tertutup, pelaporan kepekaan selektif, sesi edukasi, dan membatasi aktivitas promosi

industry farmasi. Hasil akhir (outcomes) dan metode implementasi untuk program antimicrobial
Page | 13
stewardship telah secara luas menjadi bahan kajian di mana-mana. Singkatnya, program ini telah

terbukti dalam menurunkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat, mengurangi biaya dan

meningkatkan keselamatan pasien (patient safety); bahkan pada beberapa tempat telah

menunjukkan perbaikan dari kepekaan bakteri terhadap antibiotik.

Contoh evaluasi pendekatan programatik ini adalah dalam menilai imbas (impact) dari program

intervensi penggunaan antimikroba. Tim multidisipiln terdiri dari:

1. Seorang dokter ahli penyakit infeksi

2. 2 farmasi

3. Seorang ahli mikrobiologi

4. Seorang yang ahli dalam teknologi laboratorium

5. Dokter ahli penyakit dalam

6. Dan seorang analis system computer

Intervensi mencakup:

1. formulir pemesanan antibiotik

2. memperlengkapi para klinisi dengan feedback berdasarkan data yang sudah terkumpul

3. dan secara verbal berkomunikasi dengan para klinisi yang meresepkan, mengenai pemesanan

baru Cephalosporine generasi ke tiga dan Carbapenem, yang difokuskan pada pemilihan

antimikroba dan potensi terjadinya resistensi terhadap Cephalosporine generasi ketiga dan

Carbapenem akibat penggunaan kedua golongan obat tersebut.

Dari beberapa penelitian, peningkatan penggunaan Cefepime dibandingkan dengan

Cephalosporine generasi ketiga ternyata berhubungan dengan kejadian penurunan resistensi


Proteus mirabilis dan Enterobacter cloacae terhadap Cephalosporine generasi ketiga, namun tidak

demikian pada E. coli dan K. pneumonia..

Peningkatan penggunaan aminopenicillin – sulbactam dibandingkan dengan Cephalosporine


Page | 14
generasi ketiga, bersamaan dengan pengurangan penggunaan Vankomisin secara

berkesinambungan, ternyata berkaitan dengan penurunan angka kejadian MRSA (Methicillin-

resistant S. aureus). Dan sebagai tambahan lain, P. aeruginosa yang resistant terhadap Carbapenem

menurun sampai nol. Penurunan ini sangat berkaitan dengan penurunan penggunaan Carbapenem

terus menerus.

Komite gabungan dari Society for Healtcare Epidemiology of America dan Infectious Disease

Society of America telah mengembangkan satu set rekomendasi untuk mencegah dan mengurangi

resistensi antimikroba di Rumah Sakit, yaitu sebagai berikut:

1. Rumah Sakit harus memiliki system monitor resistensi antimikroba baik untuk isolate

nosokomial maupun yang berasal dari masyarakat (community-acquired), berdasarkan lokasi

Rumah Sakit dan tempat pasien) sebulan sekali atau seberapa seringnya disesuaikan dengan

banyaknya isolate yang diterima.

2. Pihak Rumah Sakit atau bagian yang melayani peresepan, harus memonitor penggnaan

antimikroba sebulan sekali atau disesuaikan dengan jumlah peresepan yang diterima.

3. Pihak Rumah Sakit harus memonitor hubungan antara penggunaan antimikroba dengan

timbulnya resistensi dan implementasinya dipertanggungjawabkan melalui pembuatan panduan

praktis atau kebijakan institusional lainnya.

4. Rumah Sakit harus menerapkan kewaspadaan kontak (contact precautions) untuk pasien-pasien

tertentu yang diketahui mengalami kolonisasi atau terinfeksi dengan mikroorganisme penting

yang bisa ditularkan melalui kontak langsung maupun tidak langsung.


Rekomendasi-rekomendasi tersebut dapat berperan sebagai kerangka dasar dalam memulai

program antimicrobial stewardship yang tentunya disertai dengan dukungan dari pihak manajemen

Rumah Sakit dan dikelola oleh ahli-ahli penyakit infeksi.


Page | 15
1.3 Pedoman Penggunaan Antimikroba Pada Terapi Empiris

Laboratorium selalu tidak merasa menjadi aktor utama sebagai pemimpin seluruh peran

kesuksesan Rumah Sakit dalam rangka memfasilitasi pergeseran paradigma dalam Antimicrobial

Stewardship. Semakin banyak data klinis dan data laboratorium yang tersedia , semakin sempit

terapi antimikroba yang diberikan atau antimikroba tidak lagi diteruskan.

Sementara jika diagnosis tepat belum ada, Antimikroba Stewardship memperkenankan

dipakainya antimikroba spektrum luas pada pasien yang memerlukan terapi utama segera.

Penggunaan diagnostik cepat harus terintegrasi dalam laboratorium sehingga hasilnya dapat

lebih cepat disampaikan pada klinisi yang merawat pasien yang akhirnya dapat memfasilitasi

pergeseran paradigma ini

Antimicrobial Stewardship juga tergantung pada perbaikan komunikasi antara laboratorium

dengan klinisi yang merawat pasien

Data mikrobiologi yang akurat perlu dihasilkan dengan cepat, disebarluaskan, diinterpretasikan

dan dijalankan oleh tim pelayanan kesehatan yang terintegrasi akan membentuk kombinasi antara

diagnostic cepat dengan Antimicrobial Stewardship yang berguna sebagai Pedoman Terapi

(GUIDELINES ANTIMICROBIAL THERAPY) sehingga akan meningkatkan penggunaan antimikroba yang

tepat dan akan memperbaiki outcome pasien

Rekomendasi Pedoman Terapi Empiris yang ada sebagai berikut adalah untuk membantu lebih

rasional dalam memilih antimikroba yang berdasarkan pada sebagian besar patogen penyebab

infeksi dan pola kepekaan patogen yang spesifik pada institusi tersebut.
Guidelines atau Pedoman digunakan sebagai alat pada awal pengelolaan pasien infeksi, yang

bukan berarti menggantikan keputusan klinis pada tiap kasus khusus. Selanjutnya terapi harus sudah

dimodifikasi berdasarkan pada status klinis pasien dan jika sudah ada data mikrobiologi.
Page | 16
Pedoman yang ada bukan berarti menggantikan konsultasi pada ahli penyakit infeksi. Konsultasi

harus terus berlanjut dengan melakukan kontak atau hubungan, serta mengajukan beberapa

pertanyaan dan permintaan konsultasi secara formal.

Antibiogram atau pola kepekaan antimikroba suatu Rumah sakit akan memberikan arti penting

dalam Pedoman terapi empiris dan dapat digunakan untuk melacak timbulnya bakteri resisten pada

isolate nosokomial.

Konsensus Pedoman Terapi Empiris telah dikembangkan oleh Clinical and Laboratory Standars

Institute karena terdapat berbagai variasi dalam membentuk antibiogram Rumah Sakit dengan

menggunakan metode standar. Antibiogram ini umumnya digunakan untuk membantu Pedoman

Terapi Empiris Antimikrobial dan merupakan komponen penting untuk mendeteksi dan memonitor

kecenderungan resistensi antimikroba

Penggunaan Pedoman Antimikroba merupakan peningkatan langkah kedepan dalam

menentukan kebijakan penggunaan antimikroba pada multispesialis dan pusat pelayanan kesehatan

tersier. Hal ini akan dapat menurunkan resistensi antimikroba. Sangat penting untuk melaksanakan

program Antimikroba Stewardship sebagai usaha yang terus-menerus untuk optimasi penggunaan

antimikroba pada pasien rawat inap sehingga memberikan perbaikan outcome, biaya terapi yang

murah dan menurunkan efek yang tidak diinginkan dalam penggunaan antimikroba (timbulnya

resistensi antimikroba)

Kesuksesan intervensi ini diusahakan melalui pentingnya strategi kombinasi antara

Pedoman praktis klinik untuk meningkatkan penggunaan antimikroba yang rasional dengan peran

dari farmasi klinik sebagai penasihat terapi obat. Pada usaha kombinasi ini didapatkan dampak
positip dalam perkembangan dan penerapan Pedoman lokal, khususnya ketika diperkuat oleh

farmasi klinik. Sehingga ntuk membuat Pedoman Terapi diperlukan kolaborasi antara :

1. Laboratorium Mikrobiologi yang ditunjang oleh kecepatan pemeriksaan diagnostic, data pola
Page | 17
kepekaan antimikroba, hasil pemeriksaan disebarluaskan, diinterpretasikan dan dilaksanakan

2. Klinisi yang merawat pasien diharapkan dapat memperbaiki komunikasi dengan laboratorium,

perawat dan antar spesialis

3. Farmasi Klinik sebagai penasihat dalam mempersiapkan obat-obat terapi

4. Ahli penyakit infeksi sebagai konsultan penerapan penggunaan antimikroba yang rasional

Pelaksanaan Pedoman Terapi ini diharapkan agar antimicrobial digunakan secara bijaksana (pada

kasus tertentu dapat menggunakan antimikroba spectrum luas tetapi setelah didapatkan data

mikrobiologi harus segera dirubah menggunakan antimikroba yang lebih sempit) sehingga dapat

memberikan perbaikan outcome pasien yang terbaik, menurunkan resiko dampak yang tidak

diinginkan dalam menggunakan antimikroba (timbulnya resistensi antimikroba) dan dapat

meningkatkan daya guna antimikroba

C. Pendapat dan saran

Fokus pada peningkatan peranan klinis SpMK di RS, SpMK memiliki peran yang penting dalam

penggunaan antibiotika dan pencegahan infeksi di RS. Organisasi profesi (PAMKI) sudah seharusnya

memulai dan merintis jalan bagi anggotanya untuk berkarya sebagai klinisi diluar tanggung jawabnya

sebagai akademisi. Ilmu mikrobiologi bukan hanya ilmu akademik tetapi juga ilmu diagnosis infeksi,

penatalaksanaan dan pencegahan infeksi. Keahliah mikrobiologi klinik yang diaplikasikan di RS harus

segera dimulai di RSUPN Cipto Mangunkusumo sebagai pusat acuan nasional, dimulai oleh dan dari

PAMKI untuk keselamatan pasien.


Tabel 2. Langkah-langkah peningkatan peranan klinik SpMK di Rumah Sakit

Langkah Contoh langkah


PAMKI melakukan sosialisasi peran dan fungsi SpMK di RS kepada
Taktis sejawat, provider kesehatan dan pemegang kebijakan
Memberikan ekpertis rutin mengenai hasil lab mikro bagi klinisi Page | 18
Melakukan surveilans rutin, mengolah hasil surveilans dan
mengkorelasikannya dengan signifikansi klinis
Memberikan keahlian mikrobiologi dalam penanganan outbreak bukan
Strategis menengah sebagai individu,tetapi dengan keputusan panel ahli keprofesian
mikrobiologi
Membentuk /bergabung dengan wadah kesiapsiagaan terhadap wabah
penyakit menular
PAMKI sebagai organisasi (bukan personal) memiliki kerjasama dengan
organisasi lain seperti ahli infeksi (Interna dan pediatric), panitia
antibiotika RS dan pengendalian infeksi RS
Strategis jangka panjang PAMKI menyusun panel keahlian penyakit infeksi (seperti pengembangan
vaksin, ahli pengendalian infeksi dan penggunaan antibiotika) yang dapat
melakukan kegiatan konsultatif nasional
Menyusun kebijakan nasional (guidelines) PAMKI untuk penyakit infeksi

(Dikutip dan dikembangkan apa yang pernah diutarakan Prof Verbrugh dalam kunjungan ke RSCM
Februari 2009 lalu, There is no way somebody else to fight for you, you must fight to increase
patient safety through professional body of clinical microbiologist in Indonesia, which I know is
PAMKI )
Referensi

1. Verbrugh, lecture in FMUI, 2009.

2. Clinical Microbiology in developing countries: Microbiology resources in developing countries.


Page | 19
www.medscape.com

3. Bhattacharya S. Laboratory microbiology to clinical microbiology: Are we ready for a transition?


Indian Journal of Medical Microbiology 2009;27: 97-99

4. McKendrick M. Clinical infection services-the UK perspective. Clin Microbiol Infect 2000;6:419-22

5. Morgan MS. Perceptions of a medical microbiology service: a survey of laboratory users. J Clin
Pathol 1995;48:915-8

6. The Royal College of Pathologist. Curriculum for specialty training in medical microbiology and
virology. January 2007

7. Barenfanger J, Bente J, Havener G. Optimal Performance for Clinical Microbiologist and their

interaction with Infection Control Staff. In: Clinical Microbiology Newsletter. Vol.31, issue 2,

Anda mungkin juga menyukai