Kelompok 2 :
1. Putri Gusman
2. Melenia Gusnita
3. Deby Aprilia
4. Irma Latania
5. Dedi Kurniawan
6. Bayu Sanjaya Putra
7. Nadya Aida Fardila
8. Winta Hilyati
9. Feren Frasetya
10. Ayu Mega Azhari
2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktunya.
Sholawat dan salam kami haturkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman ilmu pengetahuan yang menjadikan
manusia cerdas dan berwawasan luas.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan ilmu
yang kami miliki. Namun berkat usaha dan bantuan dari beberapa pihak, makalah ini dapat
terselesaikan meski masih banyak terdapat kekurangan.
Ucapan terima kasih kami kepada dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi dan
dorongan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Harapan kami adalah semoga
kritik dan saran dari pembaca tetap tersalurkan kepada kami dan semoga makalah ini bermanfaat.
Amin
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………….….….……............. i
DAFTAR ISI…………………………………………………..……..…... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………........…….... 1
B. Tujuan …………………………………………………….…….…... 2
A. Kesimpulan………………………………..………….……………... 12
B. Saran………………………………………….……………………... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gizi mempunyai peran besar dalam dasar kehidupan. Setiap tahap daur kehidupan
terkait dengan satu set prioritas nutrient yang berbeda. Semua orang sepanjang kehidupan
membutuhkan nutrisi yang sama, namun dalam jumlah yang berbeda. Nutrisi tertentu yang
terdapat dari makanan, melalui peranan fisiologis yang spesifik dan tidak tergantung pada
nutrisi yang lain, sangat dibutuhkan untuk hidup dan sehat. Menurut WHO mengartikan
ilmu gizi sebagai ilmu yang mempelajari proses yang terjadi pada organism hidup. Proses
tersebut mencakup pengambilan dan pengolahan zat padat dan cair dari makanan yang
diperlukan untuk memelihara kehidupan, pertumbuhan, berfungsinya organ tubuh dan
menghasilkan energy (Supariasa ID, 2011).
Zat gizi (nutrisi) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan
fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan serta mengatur
proses-proses kehidupan. Makanan setelah dikonsumsi mengalami proses pencernaan.
Bahan makanan diuraikan menjadi zat gizi atau nutrisi. Zat tersebut selanjutnya diserap
melalui dinding usus dan masuk kedalam cairan tubuh. Peningkatan derajat kesehatan
masyarakat sangat diperlukan dalam mengisi pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia. Salah satu upaya peningkatan derajat kesehatan adalah perbaikan gizi. Gizi yang
seimbang dapat meningkatkan ketahanan tubuh, dapat meningkatkan kecerdasan dan
menjadikan pertumbuhan yang normal (Depkes, 2006). Namun sebaliknya gizi yang tidak
seimbang menimbulkan masalah yang sangat sulit sekali ditanggulangi oleh Indonesia,
masalah gizi yang tidak seimbang adalah kurang energy protein (KEP), kurang vitamin A
(KVA), gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) dan anemia gizi besi.
B. Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
TINJAUAN PUSTAKA
Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan
penyerapan gizi dan penggunaan zat gizi tersebut atau keadaan fiosiologi akibat dari
ketersediaanya zat gizi dalam sel tubuh. Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai
akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi. Dibedakan status gizi buruk, gizi
kurang, gizi baik dan gizi lebih. Faktor yang mempengaruhi status gizi secara langsung
adalah asupan makanan dan infeksi. Pengaruh tidak langsung dari status gizi ada tiga factor
yaitu ketahanan pangan dikeluarga, pola pengasuhan anak dan lingkungan kesehatan yang
tepat termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan (Supariasa, ID, 2011). Untuk
menentukan status gizi seseorang atau kelompok populasi dilakukan dengan interpretasi
informasi dari hasil beberapa metode penilaian status gizi yaitu penilaian konsumsi
makanan, antropometri, laboratorium / biokimia dan klinis. Diantara beberapa metode
tersebut pengukuran antropometri adalah relative paling sederhana dan banyak dilakukan.
Hal-hal yang perlu diketahui antara lain identitas, orang terdekat yang dapat
dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit, riwayat asupan makanan,riwayat operasi yang
menganggu asupan makanan, riwayat penyakit keluarga, aktivitas sehari-hari, riwayat
eliminasi dan kebiasaan lain yang dapat menganggu asupan makanan
2. Pengukuran antropometri
1. Prosedur sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar
2. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang
sudah dilatih
3. Alatnya murah, mudah dibawa, dan tahan lama
4. Metode ini tepat dan akurat karena dapat dibakukan
5. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau
6. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang dan gizi buruk
7. Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode
tertentu.
8. Metode antropometri gizi dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan
terhadap gizi.
Khusus pada penilaian status gizi lansia berdasarkan Mini Nutritional Assessment,
yang diukur dengan menggunakan metode antropometri adalah sebagai berikut :
a. Berat Badan
Berat badan merupakan gambaran massa jaringan termasuk pada cairan tubuh.
Pengukuran berat badan ini paling sering digunakan untuk berbagai kelompok usia
karena pengukuran berat badan ini juga dapat digunakan sebagai indikator status gizi
pada saat skrining gizi dilakukan. Hal ini disebabkan karena berat badan sangat
sensitive terhadap berbagai perubahan komposisi tubuh, sehingga penurunan atau
kenaikan berat badan ini berkaitan erat dengan komposisi tubuh. Arisman (2010)
mengemukakan beberapa pertimbangan mengapa berat badan paling sering digunakan
sebagai indikator penialian status gizi, diantaranya :
1. Parameter yang paling baik, mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat karena
perubahan-perubahan konsumsi makanan dan kesehatan.
2. Memberikan gambaran status gizi sekarang
3. Merupakan ukuran antropometri yang sudah dipakai secara umum dan luas di
Indonesia sehingga tidak merupakan hal baru yang memerlukan penjelasan secara
meluas.
4. Ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi oleh keterampilan pengukur.
b. Tinggi Badan
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau biasa dikenal dengan Body Mass Index
merupakan alat ukur yang sering digunakan untuk mengetahui kekurangan dan
kelebihan berat badan seseorang. Laporan FAO/WHO/UNU dalam Arisman (2004)
menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan
nilai Body Maa Index (BMI). Di Indonesia istilah ini diterjemahkan menjadi Indeks
Massa Tubuh (IMT). Dimana IMT ini merupakan alat yang sederhana untuk memantau
status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan
berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat
mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat diketuhi
nilainya dengan menggunakan rumus
Klasifikasi IMT untuk Indonesia merujuk kepada ketentuan WHO tahun 1985
dimana klasifikasi ini dimodifikasi berdasarkan pengalaman klinis serta hasil penelitian
di Negara berkembang diklasifikasikan kedalam Mini Nutritional Assessment
klasifikasinya merupakan sebagai berikut :
Kategori IMT
Selain beberapa hal yang diukur di atas untuk mengidentifikasi status gizi pada
seseorang, Lingkar Lengan Atas (LLA) juga digunakan untuk menetapkan dan
mengidentifikasi status gizi. Bistrian dzn Blackburn (dalam Murray, 1986, Clinical
Method in antropometri : Dinamic of Nutrition support Assessment Implementation)
yang kemudian dikutip oleh Indriaty (2010) dalam bukunya mengenai antropemetri.
Klasifikasi nilai Lingkar Lengan Atas (LLA) sebagai berikut :
e. Lingkar betis
Lingkar betis ini merupakan salah satu bagian yang diukur pada penilaian
antropometri khusus untuk melihat gambaran status gizi pada lansia.
Mini Nutritional Assessment (MNA) merupakan salah satu alat ukur yang
digunakan untuk menskrining status gizi pada lansia. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui apakah seorang lansia mempunyai resiko mengalami malnutrisi akibat
penyakit yang diderita dan atau perawatan di rumah sakit. MNA ini banyak digunakan
karena sangat sederhana dan mudah dalam pelaksanaannya. Darmojo (2010) dalam
penelitian yang dilakukan pada 200 pasien preoperasi gastrointestinal menunjukkan
bahwa MNA dapat dilakukan oleh klinisi terlatih, mempunyai reprodusibilitas tinggi
dan dapat menskrining pasien yang mempunyai resiiko malnutrisi.
Pada tahun 2006 Guigoz melaporkan bahwa MNA telah digunakan di 36 studi
untuk menilai status gizi orang dewasa dirawat di rumah sakit 8.596 di seluruh dunia;
ini 50% sampai 80% diklasifikasikan sebagai berisiko kekurangan gizi atau malnutrisi.
Hal ini dikemukakan oleh DiMaria-Ghalili, Rose Ann PhD, RN (2009) dalam The
American Journal For Nursing (AJN). MNA saat ini digunakan untuk menilai status
gizi orang lanjut usia di klinik, panti jompo dan rumah sakit. Penelitian lain Wulandari
(2010) mengenai resiko malnutrisi berdasarkan Mini Nutritional Asessment (MNA)
terkait dengan kadar hemoglobin pasien lansia yang menunjukkan hasil bahwa resiko
malnutrisi berdasarkan MNA memiliki keterkaitan dengan kadar Hb. Hardini (2005)
hubungan status gizi (Mini Nutritional Assessment) dengan outcome hasil perawatan
penderita di divisi geriatri Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang dimana hasilnya
menunjukkan 50% lansia yang dirawat di RS jumlah asupan dan konsumsi protein
kurang serta kehilangan nafsu makan dan mengalami stress/penyakit akut. Asupan
makanan yang secara kuantitatif rendah mendukung temuan malnutrisi dan risiko
malnutrisi yang diukur dengan skor MNA.
4. Pemeriksaan klinis
Pada pemeriksaan ini terdapat dua jenis kategori untuk mengetahui status gizi
pada lansia, diantaranya adalah :
a. Pemeriksaan fisik
Berbagai kelaianan akibat kurang gizi dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik
antara lain kehilangan lemak subkutan, ulkus dekubitus karena kekuurangan protein
dan enrgi, edema akibat kekurangan protein, penyembuhan luka yang lambat
karena defisiensi seng dan vitamin C. Manifestasi klinis lain yang sering dijumpai
pada lansia adalah gangguan keseimbangan cairan, khususnya dehidrasi. Dehidrasi
pada lansia dapat berupa peningkatan suhu tubuh, penurunan volume urin,
penurunan tekanan darah, mual, muntah dan gagal ginjal akut (Darmojo, 2010).
b. Pemeriksaan Fungsional
5. Biokimia
Protein yang kaya akan protein disebut juga dengan hemoglobin. Hemoglobin
ini memiliki afinitas atau daya gabung terhadap oksigen dan oksigen tersebut
membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Pengukuran hemoglobin (Hb)
dan kematokrit (Ht) merupakan pengukuran yang mengindikasikan defisiensi sebagai
bahan nutrisi. Kadar hemoglobin dapat mencerminkan status protein pada malnutrisi
berat. Pada pengukuran hematokrit menggunakan satuan persen (%) dan untuk
hemoglobin menggunakan satuan gram/dl.
b. Transferin
Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam mengkaji
status protein visceral. Serum transferin ini dihitung dengan menggunakan kapasitas
total iron binding capacity (TIBC), dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(Blackburn dalam Arisman, 2010)
c. Serum Albumin
Indikator yang tak kalah pentingnya dalam menilai status nutrisi dan sintesa
protein adalah nilai dari serum albumin. Kadar albumin rendah sering terjadi pada
keadaan infeksi, injuri, atau penyakit yang mempengaruhi kerja dari hepar, ginjal,
dan saluran pencernaan.
d. Keseimbangan Nitrogen
PENUTUP
A. Kesimpulan
Zat gizi (nutrisi) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan
fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan serta mengatur
proses-proses kehidupan. Salah satu upaya peningkatan derajat kesehatan adalah perbaikan
gizi. Gizi yang seimbang dapat meningkatkan ketahanan tubuh, dapat meningkatkan
kecerdasan dan menjadikan pertumbuhan yang normal (Depkes, 2006). Status gizi
merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi.
Namun sebaliknya gizi yang tidak seimbang menimbulkan masalah yang sangat sulit sekali
ditanggulangi oleh Indonesia, masalah gizi yang tidak seimbang adalah kurang energy
protein (KEP), kurang vitamin A (KVA), gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY)
dan anemia gizi besi
B. Saran
Arisman. 2010. Gizi Dalam Daur Kegidupan. Editor, Palupi Widyastuti. Jakarta : EGC.
Darmojo, B. 2010. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia). Jakarta : FK UI.
Gibson, R.S. 2009. Principle Nutritional Assessment. Oxford University Press : New York.
Jus’at, I. 2009. Teknik Pengukuran Antropometri Pada Pasien Dewasa, dalam Pelatihan
coordinator tenaga gizi RI : Jakarta.