Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK II

PENGKAJIAN STATUS GIZI LANSIA

Dosen : Ns. Helmanis Suci., M.Kep

Kelompok 2 :

1. Putri Gusman
2. Melenia Gusnita
3. Deby Aprilia
4. Irma Latania
5. Dedi Kurniawan
6. Bayu Sanjaya Putra
7. Nadya Aida Fardila
8. Winta Hilyati
9. Feren Frasetya
10. Ayu Mega Azhari

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktunya.

Sholawat dan salam kami haturkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman ilmu pengetahuan yang menjadikan
manusia cerdas dan berwawasan luas.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan ilmu
yang kami miliki. Namun berkat usaha dan bantuan dari beberapa pihak, makalah ini dapat
terselesaikan meski masih banyak terdapat kekurangan.

Ucapan terima kasih kami kepada dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi dan
dorongan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Harapan kami adalah semoga
kritik dan saran dari pembaca tetap tersalurkan kepada kami dan semoga makalah ini bermanfaat.
Amin

Padang, 08 Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………….….….……............. i

DAFTAR ISI…………………………………………………..……..…... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………........…….... 1

B. Tujuan …………………………………………………….…….…... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi Status Gizi Lansia...……………......................................... 3

B. Pengukuran Status Gizi Lansia.......................................................... 3

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………..………….……………... 12

B. Saran………………………………………….……………………... 12

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gizi mempunyai peran besar dalam dasar kehidupan. Setiap tahap daur kehidupan
terkait dengan satu set prioritas nutrient yang berbeda. Semua orang sepanjang kehidupan
membutuhkan nutrisi yang sama, namun dalam jumlah yang berbeda. Nutrisi tertentu yang
terdapat dari makanan, melalui peranan fisiologis yang spesifik dan tidak tergantung pada
nutrisi yang lain, sangat dibutuhkan untuk hidup dan sehat. Menurut WHO mengartikan
ilmu gizi sebagai ilmu yang mempelajari proses yang terjadi pada organism hidup. Proses
tersebut mencakup pengambilan dan pengolahan zat padat dan cair dari makanan yang
diperlukan untuk memelihara kehidupan, pertumbuhan, berfungsinya organ tubuh dan
menghasilkan energy (Supariasa ID, 2011).

Zat gizi (nutrisi) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan
fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan serta mengatur
proses-proses kehidupan. Makanan setelah dikonsumsi mengalami proses pencernaan.
Bahan makanan diuraikan menjadi zat gizi atau nutrisi. Zat tersebut selanjutnya diserap
melalui dinding usus dan masuk kedalam cairan tubuh. Peningkatan derajat kesehatan
masyarakat sangat diperlukan dalam mengisi pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia. Salah satu upaya peningkatan derajat kesehatan adalah perbaikan gizi. Gizi yang
seimbang dapat meningkatkan ketahanan tubuh, dapat meningkatkan kecerdasan dan
menjadikan pertumbuhan yang normal (Depkes, 2006). Namun sebaliknya gizi yang tidak
seimbang menimbulkan masalah yang sangat sulit sekali ditanggulangi oleh Indonesia,
masalah gizi yang tidak seimbang adalah kurang energy protein (KEP), kurang vitamin A
(KVA), gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) dan anemia gizi besi.
B. Tujuan

Tujuan Umum

Mampu menjelaskan kebutuhan nutrisi lanjut usia pengkajian status gizi

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui defenisi status gizi lansia


2. Untuk mengetahui pengukuran status gizi lansia
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi Status Gizi

Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan
penyerapan gizi dan penggunaan zat gizi tersebut atau keadaan fiosiologi akibat dari
ketersediaanya zat gizi dalam sel tubuh. Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai
akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi. Dibedakan status gizi buruk, gizi
kurang, gizi baik dan gizi lebih. Faktor yang mempengaruhi status gizi secara langsung
adalah asupan makanan dan infeksi. Pengaruh tidak langsung dari status gizi ada tiga factor
yaitu ketahanan pangan dikeluarga, pola pengasuhan anak dan lingkungan kesehatan yang
tepat termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan (Supariasa, ID, 2011). Untuk
menentukan status gizi seseorang atau kelompok populasi dilakukan dengan interpretasi
informasi dari hasil beberapa metode penilaian status gizi yaitu penilaian konsumsi
makanan, antropometri, laboratorium / biokimia dan klinis. Diantara beberapa metode
tersebut pengukuran antropometri adalah relative paling sederhana dan banyak dilakukan.

B. Pengukuran Status Gizi Pada Lansia

Keadaan gizi seseorang dapat dipengaruhi oleh penampilan, pertumbuhan dan


perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit. Pengkajian
status gizi adalah proses yang digunakan untuk menentukan status gizi, mengidentifikasi
malnutrisi (kurang gizi atau gizi lebih) dan menentukan jenis diet atau menu makanan yang
harus diberikan pada seseorang. Mengkaji status gizi usia lanjut sebaiknya mengunakan
lebih dari satu parameter sebagai hasil kajian lebih akurat. Pada pengukuran dengan
menggunakan MNA ini, pengukuran antropometri menjadi poin yang diukur. Selain
dengan menggunakan MNA, pemeriksaan klinis, dan biokimia juga dapat dilakukan untuk
pengukuran status gizi. Gibson (1999). Pengkajian status gizi pada lansia dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
1. Anamnesis

Hal-hal yang perlu diketahui antara lain identitas, orang terdekat yang dapat
dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit, riwayat asupan makanan,riwayat operasi yang
menganggu asupan makanan, riwayat penyakit keluarga, aktivitas sehari-hari, riwayat
eliminasi dan kebiasaan lain yang dapat menganggu asupan makanan

2. Pengukuran antropometri

Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran, berat badan dan


proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk mengkaji status nutrisi dan ketersediaan
energy pada tubuh serta mendeteksi adanya masalah-masalah nutrisi pada seseorang
(Nurachmah, 2001). Pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk menentukan
status gizi pada lansia meliputi tinggi badan, berat badan, tinggi lutut (knee high),
lingkar betis, tevbal lipatan kulit (pengukuran skinfold) dan lingkar lengan atas. Cara
yang paling sederhana dan banyak digunakan adalah indeks masa tubuh (IMT)
(Fatimah, 2010).

Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi


tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri
digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan
protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan
proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Depkes,
2007). Keunggulan Antropometri gizi sebagai berikut :

1. Prosedur sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar
2. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang
sudah dilatih
3. Alatnya murah, mudah dibawa, dan tahan lama
4. Metode ini tepat dan akurat karena dapat dibakukan
5. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau
6. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang dan gizi buruk
7. Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode
tertentu.
8. Metode antropometri gizi dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan
terhadap gizi.

Khusus pada penilaian status gizi lansia berdasarkan Mini Nutritional Assessment,
yang diukur dengan menggunakan metode antropometri adalah sebagai berikut :

a. Berat Badan

Berat badan merupakan gambaran massa jaringan termasuk pada cairan tubuh.
Pengukuran berat badan ini paling sering digunakan untuk berbagai kelompok usia
karena pengukuran berat badan ini juga dapat digunakan sebagai indikator status gizi
pada saat skrining gizi dilakukan. Hal ini disebabkan karena berat badan sangat
sensitive terhadap berbagai perubahan komposisi tubuh, sehingga penurunan atau
kenaikan berat badan ini berkaitan erat dengan komposisi tubuh. Arisman (2010)
mengemukakan beberapa pertimbangan mengapa berat badan paling sering digunakan
sebagai indikator penialian status gizi, diantaranya :

1. Parameter yang paling baik, mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat karena
perubahan-perubahan konsumsi makanan dan kesehatan.
2. Memberikan gambaran status gizi sekarang
3. Merupakan ukuran antropometri yang sudah dipakai secara umum dan luas di
Indonesia sehingga tidak merupakan hal baru yang memerlukan penjelasan secara
meluas.
4. Ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi oleh keterampilan pengukur.

b. Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan hasil pertumbuhan kumulatif sejak lahir sehingga


parameter ini dapat memberikan gambaran mengenai riwayat status gizi masa lalu.
Tinggi badan ini diukur dengan menggunakan alat ukur dengan menggunakan alat
pengukuran seperti microtoise dengan ketepatan 0 , 1 cm tetapi bisa juga dengan alat
pengukuran non elastik ataupun metal hal ini dikemukan oleh Humlea dalam Natipulu
(2002).

c. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks Massa Tubuh (IMT) atau biasa dikenal dengan Body Mass Index
merupakan alat ukur yang sering digunakan untuk mengetahui kekurangan dan
kelebihan berat badan seseorang. Laporan FAO/WHO/UNU dalam Arisman (2004)
menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan
nilai Body Maa Index (BMI). Di Indonesia istilah ini diterjemahkan menjadi Indeks
Massa Tubuh (IMT). Dimana IMT ini merupakan alat yang sederhana untuk memantau
status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan
berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat
mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat diketuhi
nilainya dengan menggunakan rumus

IMT = Berat badan (kg)

Tinggi badan (m)2

Klasifikasi IMT untuk Indonesia merujuk kepada ketentuan WHO tahun 1985
dimana klasifikasi ini dimodifikasi berdasarkan pengalaman klinis serta hasil penelitian
di Negara berkembang diklasifikasikan kedalam Mini Nutritional Assessment
klasifikasinya merupakan sebagai berikut :

Tabel 1 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh

Kategori IMT

Kurang < 18,5

Normal 18,5 – 25,0

Lebih < 25,0

Sumber : Depkes dalam Nurrachmah (2001)


d. Lingkar Lengan Atas (LLA)

Selain beberapa hal yang diukur di atas untuk mengidentifikasi status gizi pada
seseorang, Lingkar Lengan Atas (LLA) juga digunakan untuk menetapkan dan
mengidentifikasi status gizi. Bistrian dzn Blackburn (dalam Murray, 1986, Clinical
Method in antropometri : Dinamic of Nutrition support Assessment Implementation)
yang kemudian dikutip oleh Indriaty (2010) dalam bukunya mengenai antropemetri.
Klasifikasi nilai Lingkar Lengan Atas (LLA) sebagai berikut :

a) LLA < 21 = buruk


b) LLA 21 sampai ≤ 22 = sedang
c) LLA > 22 = baik/normal

e. Lingkar betis

Lingkar betis ini merupakan salah satu bagian yang diukur pada penilaian
antropometri khusus untuk melihat gambaran status gizi pada lansia.

3. Mini Nutritional Assessment (MNA)

Mini Nutritional Assessment (MNA) merupakan salah satu alat ukur yang
digunakan untuk menskrining status gizi pada lansia. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui apakah seorang lansia mempunyai resiko mengalami malnutrisi akibat
penyakit yang diderita dan atau perawatan di rumah sakit. MNA ini banyak digunakan
karena sangat sederhana dan mudah dalam pelaksanaannya. Darmojo (2010) dalam
penelitian yang dilakukan pada 200 pasien preoperasi gastrointestinal menunjukkan
bahwa MNA dapat dilakukan oleh klinisi terlatih, mempunyai reprodusibilitas tinggi
dan dapat menskrining pasien yang mempunyai resiiko malnutrisi.

Pada tahun 2006 Guigoz melaporkan bahwa MNA telah digunakan di 36 studi
untuk menilai status gizi orang dewasa dirawat di rumah sakit 8.596 di seluruh dunia;
ini 50% sampai 80% diklasifikasikan sebagai berisiko kekurangan gizi atau malnutrisi.
Hal ini dikemukakan oleh DiMaria-Ghalili, Rose Ann PhD, RN (2009) dalam The
American Journal For Nursing (AJN). MNA saat ini digunakan untuk menilai status
gizi orang lanjut usia di klinik, panti jompo dan rumah sakit. Penelitian lain Wulandari
(2010) mengenai resiko malnutrisi berdasarkan Mini Nutritional Asessment (MNA)
terkait dengan kadar hemoglobin pasien lansia yang menunjukkan hasil bahwa resiko
malnutrisi berdasarkan MNA memiliki keterkaitan dengan kadar Hb. Hardini (2005)
hubungan status gizi (Mini Nutritional Assessment) dengan outcome hasil perawatan
penderita di divisi geriatri Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang dimana hasilnya
menunjukkan 50% lansia yang dirawat di RS jumlah asupan dan konsumsi protein
kurang serta kehilangan nafsu makan dan mengalami stress/penyakit akut. Asupan
makanan yang secara kuantitatif rendah mendukung temuan malnutrisi dan risiko
malnutrisi yang diukur dengan skor MNA.

Pemeriksaan Mini Nutritional Assesment (MNA) adalah menggolongkan pasien


atau lansia dalam keadaan status gizi baik, beresiko malnutrisi ataukah malnutrisi berat.
MNA mempunyai dua bagian besar yaitu screening dan assessment dimana
penjumlahan semua skor akan menentukan seorang lansia pada status gizi baik,
beresiko malnutrisi, atau beresiko underweight (Darmojo, 2010). Dalam pengukuran
MNA ini, pengukuran antropometri menjadi salah satu yang diukur untuk menilai status
gizi lansia.

4. Pemeriksaan klinis

Pada pemeriksaan ini terdapat dua jenis kategori untuk mengetahui status gizi
pada lansia, diantaranya adalah :

a. Pemeriksaan fisik

Berbagai kelaianan akibat kurang gizi dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik
antara lain kehilangan lemak subkutan, ulkus dekubitus karena kekuurangan protein
dan enrgi, edema akibat kekurangan protein, penyembuhan luka yang lambat
karena defisiensi seng dan vitamin C. Manifestasi klinis lain yang sering dijumpai
pada lansia adalah gangguan keseimbangan cairan, khususnya dehidrasi. Dehidrasi
pada lansia dapat berupa peningkatan suhu tubuh, penurunan volume urin,
penurunan tekanan darah, mual, muntah dan gagal ginjal akut (Darmojo, 2010).
b. Pemeriksaan Fungsional

Menurut Darmojo (2010) mengatakan gangguan fungsi pada kemampuan


untuk menyiapkan makanan dan makan secara mandiri dapat menganggu asupan
makan seorang lansia. Seorang lansia yang dapat bergerak bebas di dalam rumah
akan banyak menyiapkan makanan sesuai dengan yang diinginkannya, sedangkan
lansia yang menderita stroke, misalnya tidak dapat bergerak bebas untuk
menyiapkan makanan sesuai selera sehingga hanya bergantung kepada orang lain
untuk makan. Fungsi kognitif dan psikologis juga menentukan status gizi lansia.
Sebagian besar kehiilangan berat badan pada lansia disebabkan karena depresi.

5. Biokimia

Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris


yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan
antara lain darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.
Selain itu kadar protein dan kolesterol juga bisa dijadikan sebagai indikator untuk
mengetahui status gizi pada lansia. Pengukuran simpanan protein tubuh seperti albumin,
trransferin dan total iron binding (TIBC) sering dipakai untuk mengukur status gizi
lansia. Sementara serum kolesterol yang rendah pada lansia juga merupakan indikator
status gizi yang kurang pada lansia (Darmojo, 2010).

a. Hemoglobin dan Hematokrit

Protein yang kaya akan protein disebut juga dengan hemoglobin. Hemoglobin
ini memiliki afinitas atau daya gabung terhadap oksigen dan oksigen tersebut
membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Pengukuran hemoglobin (Hb)
dan kematokrit (Ht) merupakan pengukuran yang mengindikasikan defisiensi sebagai
bahan nutrisi. Kadar hemoglobin dapat mencerminkan status protein pada malnutrisi
berat. Pada pengukuran hematokrit menggunakan satuan persen (%) dan untuk
hemoglobin menggunakan satuan gram/dl.
b. Transferin

Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam mengkaji
status protein visceral. Serum transferin ini dihitung dengan menggunakan kapasitas
total iron binding capacity (TIBC), dengan menggunakan rumus sebagai berikut
(Blackburn dalam Arisman, 2010)

Transferin serum = ( 8 x TIBC ) – 43

c. Serum Albumin

Indikator yang tak kalah pentingnya dalam menilai status nutrisi dan sintesa
protein adalah nilai dari serum albumin. Kadar albumin rendah sering terjadi pada
keadaan infeksi, injuri, atau penyakit yang mempengaruhi kerja dari hepar, ginjal,
dan saluran pencernaan.

d. Keseimbangan Nitrogen

Pemeriksaan keseimbangan nitrogen digunakan untuk menentukan kadar


pemecahan protein di dalam tubuh. Dalam keadaan normal, tubuh memperoleh
nitrogen melalui makanan dan kemudian dikeluarkan melalui urin. Seseorang
beresiko mengalami malnutrisi protein terjadi jika nilai keseimbangan nitrogen yang
negatif terjadi secara terus menerus. Dikatakan keseimbangan nitrogen dalam tubuh
negative jika katabolisme protein melebihi pemasukan protein melalui makanan
yang dikonsumsi setiap hari.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Zat gizi (nutrisi) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan
fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan serta mengatur
proses-proses kehidupan. Salah satu upaya peningkatan derajat kesehatan adalah perbaikan
gizi. Gizi yang seimbang dapat meningkatkan ketahanan tubuh, dapat meningkatkan
kecerdasan dan menjadikan pertumbuhan yang normal (Depkes, 2006). Status gizi
merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi.
Namun sebaliknya gizi yang tidak seimbang menimbulkan masalah yang sangat sulit sekali
ditanggulangi oleh Indonesia, masalah gizi yang tidak seimbang adalah kurang energy
protein (KEP), kurang vitamin A (KVA), gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY)
dan anemia gizi besi

B. Saran

Sebagai seorang perawat hendaknya memberikan pengetahuan terhadap status gizi


lansia baik itu kepada ahli gizi sendiri, lansia maupun keluarga dari lansia tersebut.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca dalam menambah ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2010. Gizi Dalam Daur Kegidupan. Editor, Palupi Widyastuti. Jakarta : EGC.

Darmojo, B. 2010. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia). Jakarta : FK UI.

Gibson, R.S. 2009. Principle Nutritional Assessment. Oxford University Press : New York.

Jus’at, I. 2009. Teknik Pengukuran Antropometri Pada Pasien Dewasa, dalam Pelatihan
coordinator tenaga gizi RI : Jakarta.

Nurachmah, E. 2011. Nutrisi Dalam Keperawatan. Jakarta : Sagung seto.

Supariasa, ID. 2011. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai