KEPERAWATAN KRITIS
“PATOFISIOLOGI, FARMAKOLOGI DAN TERAPI DIET PADA KASUS KRITIS
DENGAN GANGGUAN PADA SISTEM PENCERNAAN DAN PERKEMIHAN”
Sistem perkemihan merupakan salah satu sistem yang tidak kalah pentingnyadalam tubuh manusia. Siste
perkemihan terdiri dari ginjal, ureter, vesicha urinaria dan urethrayang menyelenggarakan serangkaian prorses
untuk tujuan memepertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, memepertahankan asam basa tubuh,
menegeluarkan sisa-sisa metabolismeseperti urea, kreatinin, asam urat dan urine. Apabila terjadi gangguan
pada sistem perkemihan maka dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang sangat serius dan kompleks.
PENGERTIAN
GE (gastroenteritis) atau di masyarakat umum lebih dikenal dengan diare adalah pengeluaran
feces yang tidak normal dan berbentuk cair / encer dengan frekwensi lebih banyak dari
biasanya dalam sehari > 3x (Dewi, 2010).
GE adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair
(setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml
/ 24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuwensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3
kali per hari.
GE akut sering dengan tanda dan gejala klinis lainnya seperti gelisah, suhu tubuh meningkat,
dehidrasi, nafsu makan menurun, BB menurun, mata dan ubun – ubun cekung (terutama pada
balita) keadaan ini merupakan gejala GE infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri dan
parasit perut (corwin, 2009).
PATOFISIOLOGI
1. Gangguan Osmotik.
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap oleh mukosa usus akan menyebabkan peningkatan
tekanan osmotic dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya
Pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus sebagai reaksi dari
enterotoxic dari infeksi dalam usus dan selanjutnya timbul GE karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul GE.
Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya bisa timbul GE
juga.
Lanjutan ……
1. Pengobatan kausatif
Pengobatan yang tepat terhadap kausatif diare diberikan setelah kita mengetahui penyebabnya yang pasti. Jika
kausal diare ini penyakit parenteral, diberikan antibiotik sistemik. Jika tidak terdapat infeksi parenteral,
sebenarnya antibiotik baru boleh diberikan kalau pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan bakteri
patogen. Karena pemeriksaan untuk menemukan bakteri ini kadang-kadang sulit atau hasil pemeriksaan datang
terlambat, antibiotika dapat diberikan dengan memperhatikan umur penderita, perjalanan penyakit, sifat tinja
a. Obat-obat anti diare: Obat-obat yang berkhasiat menghentikan diare secara cepat seperti antispasmodik/spasmolitik atau opium (papaveri, extraktum belladona, loperamid, kodein, dan
sebagainya) justru akan memperburuk keadaan karena akan menyebabkan terkumpulnya cairan di lumen usus dan akan menyebabkan terjadinya perlipat gandaan (overgrowth)
bakteri, gangguan digesti dan absorbsi. Obat-obat ini berkhasiat untuk menghentikan peristaltik, tetapi akibatnya sangat berbahaya karena penderita akan terkelabui. Diarenya terlihat
tidak ada lagi tetapi perut akan bertambah kembung dan dehidrasi bertambah berat yang berakibat fatal untuk penderita.
b. Adsorben: Obat-obat adsorben seperti kaolin, pektin, charcoal (norit, tabonal), bismut sub bikarbonat dan sebagainya, telah dibuktikan tidak ada manfaatnya.
c. Stimulans: Obat-obat stimulans seperti adrenalin, nikotinamide dan sebagainya tidak akan memperbaiki renjatan atau dehidrasi karena penyebab dehidrasi ini adalah kehilangan cairan
d. Antiemetik: Obat antiemetik seperti chlorpromazine (largactil) terbukti selain mencegah muntah juga dapat mengurangi sekresi dan kehilangan cairan bersama tinja. Pemberian dalam
dosis adekuat (sampai dengan 1mg/kg BB/hari) sekiranya cukup bermanfaat. Tetapi pada anak obat antiemetik seperti chlorpromazine dan prochlorperazine mempunyai efek sedatif,
menyebabkan anak tidak mau mengkonsumsi cairan. Oleh karena itu antiemetik tidak digunakan pada anak yang diare (Soebagyo, 2008).
e. Antipiretik: Obat antipiretik seperti preparat salisilat (asetosal dan aspirin) dalam dosis (2mg/th/kali) ternyata selain berguna untuk menurunkan panas yang terjadi sebagai akibat
dehidrasi atau panas karena infeksi penyerta juga mengurangi sekresi cairan yang keluar bersama tinja (Suharyono et al., 1994).
3. Pengobatan cairan
Cairan oralit yang dianjurkan oleh WHO-ORS, tiap 1 liter mengandung osmolalitas 333 mOsm/L, glukosa 20 g/L, kalori 85 cal/L. Elektrolit
yang dikandung meliputi sodium 90 mEq/L, kalium 20 mEq/L, klorida 80 mEq/L, bikarbonat 30 mEq/L (Dipiro et al., 2005).
1) Cairan rehidrasi oral yang mengandung NaCl, KCL, NaHCO3 dan glukosa, yang dikenal dengan nama oralit.
2) Cairan rehidrasi oral yang tidak mengandung komponen-komponen di atas misalnya: larutan gula, air tajin, cairan-cairan yang tersedia di
3) Cairan Rehidrasi Parenteral (CRP), pada umumnya digunakan cairan Ringer laktat
2) Metronidazole
3) Metronidazole
4) Azithromycin
6) Ceftriaxone
Terapi diet
a. Bila sesak nafas dapat diberikan oksigen, infus untuk memberikan cairan dan elektrolit.
d. Apabila pasien alergi terhadap makanan/obat/susu, dapat diobati dengan menghentikan makanan/obat penyebab
alergi tersebut.
GGK adalah penurunan faal ginjal yang menahun mengarah pada kerusakan jaringan ginjal yang
tidak reversible dan progresif. Adapun GGT (gagal ginjal terminal) adalah fase terakhir dari GGK
dengan faal ginjal sudah sangat buruk. Kedua hal tersebut bias di bedakan dengan tes
klirens kreatinin (Irwan, 2016)
Gagal ginjal kronik adalah suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada gagal ginjal
kronik (Suwitra, 2014).
Patofisiologi
Patofisiologi GGK beragam, bergantung pada proses penyakit penyebab. Tanpa
melihat penyebab awal, glomeruloskerosis dan inflamasi interstisial dan fibrosis
adalah cirri khas GGK dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal (Copsted &
Banasik, 2010) dalam (Nuari &Widayati, 2017). Seluruh unit nefron secara
bertahap hancur. Pada tahap awal, saat nefron hilang, nefron fungsional yang
masih ada mengalami hipertrofi. Aliran kapiler glomerulus dan tekanan
meningkat dalam nefron ini dan lebih banyak pertikel zat larut disaring
untuk mengkompensasi massa ginjal zat yang hilang. Kebutuhan yang meningkat
ini menyebabkan nefron yang masih ada mengalami sklerosis (jaringan parut)
glomerulus, menimbulkan kerusakan nefron pada akhirnya. Proteinuria akibat
kerusakan glomelurus diduga menjadi penyebab cedera tubulus. Proses hilangya
fungsi nefron yang kontinu ini dapat terus berlangsung meskipun setelah proses
penyakit awal teratasi (Faunci et al, 2008) dalam (Nuari & Widayati, 2017).
Farmakologi
b. Jangan memberikan kombinasi ACE Inhibitor atau ARBs untuk pasien penyakit ginjal kronik
d. Pada pasien penyakit ginjal kronik, konsentrasi serum kalium (potassium) dan perkiraan GFR sebelum memulai terapi ACE inhibitor atau ARBs.
E. Jangan memberikan/memulai terapi ACE inhibitor atau ARBs, jika konsentrasi serum kalium (potassium) > 5.0 mmol/liter.
F. Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut, karena menurut hasil penelitian terapi tersebut dapat mencetuskan hiperkalemia.
G. Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE inhibitor atau ARBs yang dapat mencetuskan hiperkalemia (bukan kontraindikasi), tapi konsentrasi serum kalium
Pengaturan
Pengaturan Pengaturan
diet natrium
diet protein diet kalium
dan cairan
DAFTAR PUSTAKA