Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KEPERAWATAN KRITIS
“PATOFISIOLOGI, FARMAKOLOGI DAN TERAPI DIET PADA KASUS KRITIS
DENGAN GANGGUAN PADA SISTEM PENCERNAAN DAN PERKEMIHAN”

1. Aulia Hamiyatul Fitri


2. Ni Nyoman Mariani
3. Wiwin Apriani
4. Ahmad Rifai
Patofisiologi, Farmakologi Dan Terapi Diet
Pada Kasus Kritis Dengan Gangguan
Pada Sistem Pencernaan
(Gastroentritis /GE)
Latar Belakang

Sistem perkemihan merupakan salah satu sistem yang tidak kalah pentingnyadalam tubuh manusia. Siste

perkemihan terdiri dari ginjal, ureter, vesicha urinaria dan urethrayang menyelenggarakan serangkaian prorses

untuk tujuan memepertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, memepertahankan asam basa tubuh,

menegeluarkan sisa-sisa metabolismeseperti urea, kreatinin, asam urat dan urine. Apabila terjadi gangguan

pada sistem perkemihan maka dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang sangat serius dan kompleks.
PENGERTIAN

GE (gastroenteritis) atau di masyarakat umum lebih dikenal dengan diare adalah pengeluaran
feces yang tidak normal dan berbentuk cair / encer dengan frekwensi lebih banyak dari
biasanya dalam sehari > 3x (Dewi, 2010).

GE adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair
(setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml
/ 24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuwensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3
kali per hari.

GE akut sering dengan tanda dan gejala klinis lainnya seperti gelisah, suhu tubuh meningkat,
dehidrasi, nafsu makan menurun, BB menurun, mata dan ubun – ubun cekung (terutama pada
balita) keadaan ini merupakan gejala GE infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri dan
parasit perut (corwin, 2009).
PATOFISIOLOGI

Menurut Suriadi (2011), patofisiologi dari Gastro


enteritis adalah meningkatnya motalitas dan cepatnya
pengosongan pada intestinal merupakan akibat dari
gangguan absorbsi dan ekskresi cairan dan elektrolit
yang berlebihan, cairan sodium, potasium dan
bikarbonat berpindah dari rongga ekstra seluler kedala
tinja, sehingga mengakibatkan dehidrasi kekurangan
elektrolit dan dapat terjadi asidosis metabolik
Menurut Muttaqin (2011), mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya GE meliputi hal – hal berikut yaitu:

1. Gangguan Osmotik.

Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap oleh mukosa usus akan menyebabkan peningkatan

tekanan osmotic dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya

sehingga timbul GE.

2. Gangguan sekresi akibat respon inflamasi mukosa (misalnya toksin)

Pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus sebagai reaksi dari

enterotoxic dari infeksi dalam usus dan selanjutnya timbul GE karena terdapat peningkatan isi rongga usus.

3. Gangguan motalitas usus

Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul GE.

Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya bisa timbul GE

juga.
Lanjutan ……

Dari ketiga mekanisme diatas GE dapat menyebabkan :

Kehilangan air dan


eletrolit (terjadi
dehidrasi) yang Gangguan gizi
mengakibatkan akibat kelaparan Hipoglikemia dan
gangguan (masukan kurang, gangguan sirkulasi
keseimbangan pengeluaran darah
asam basa berlebihan)
(asidosis metabolik
hipokalemia)
FARMAKOLOGI

1. Pengobatan kausatif
 Pengobatan yang tepat terhadap kausatif diare diberikan setelah kita mengetahui penyebabnya yang pasti. Jika

kausal diare ini penyakit parenteral, diberikan antibiotik sistemik. Jika tidak terdapat infeksi parenteral,

sebenarnya antibiotik baru boleh diberikan kalau pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan bakteri

patogen. Karena pemeriksaan untuk menemukan bakteri ini kadang-kadang sulit atau hasil pemeriksaan datang

terlambat, antibiotika dapat diberikan dengan memperhatikan umur penderita, perjalanan penyakit, sifat tinja

dan sebagainya (Suharyono dkk., 1994).


2. Pengobatan simptomatik

a. Obat-obat anti diare: Obat-obat yang berkhasiat menghentikan diare secara cepat seperti antispasmodik/spasmolitik atau opium (papaveri, extraktum belladona, loperamid, kodein, dan

sebagainya) justru akan memperburuk keadaan karena akan menyebabkan terkumpulnya cairan di lumen usus dan akan menyebabkan terjadinya perlipat gandaan (overgrowth)

bakteri, gangguan digesti dan absorbsi. Obat-obat ini berkhasiat untuk menghentikan peristaltik, tetapi akibatnya sangat berbahaya karena penderita akan terkelabui. Diarenya terlihat

tidak ada lagi tetapi perut akan bertambah kembung dan dehidrasi bertambah berat yang berakibat fatal untuk penderita.

b. Adsorben: Obat-obat adsorben seperti kaolin, pektin, charcoal (norit, tabonal), bismut sub bikarbonat dan sebagainya, telah dibuktikan tidak ada manfaatnya.

c. Stimulans: Obat-obat stimulans seperti adrenalin, nikotinamide dan sebagainya tidak akan memperbaiki renjatan atau dehidrasi karena penyebab dehidrasi ini adalah kehilangan cairan

sehingga pengobatan yang paling tepat adalah pemberian cairan secepatnya.

d. Antiemetik: Obat antiemetik seperti chlorpromazine (largactil) terbukti selain mencegah muntah juga dapat mengurangi sekresi dan kehilangan cairan bersama tinja. Pemberian dalam

dosis adekuat (sampai dengan 1mg/kg BB/hari) sekiranya cukup bermanfaat. Tetapi pada anak obat antiemetik seperti chlorpromazine dan prochlorperazine mempunyai efek sedatif,

menyebabkan anak tidak mau mengkonsumsi cairan. Oleh karena itu antiemetik tidak digunakan pada anak yang diare (Soebagyo, 2008).

e. Antipiretik: Obat antipiretik seperti preparat salisilat (asetosal dan aspirin) dalam dosis (2mg/th/kali) ternyata selain berguna untuk menurunkan panas yang terjadi sebagai akibat

dehidrasi atau panas karena infeksi penyerta juga mengurangi sekresi cairan yang keluar bersama tinja (Suharyono et al., 1994).
3. Pengobatan cairan

a. Cairan Rehidrasi Oral (CRO)

 Cairan oralit yang dianjurkan oleh WHO-ORS, tiap 1 liter mengandung osmolalitas 333 mOsm/L, glukosa 20 g/L, kalori 85 cal/L. Elektrolit

yang dikandung meliputi sodium 90 mEq/L, kalium 20 mEq/L, klorida 80 mEq/L, bikarbonat 30 mEq/L (Dipiro et al., 2005).

1) Cairan rehidrasi oral yang mengandung NaCl, KCL, NaHCO3 dan glukosa, yang dikenal dengan nama oralit.

2) Cairan rehidrasi oral yang tidak mengandung komponen-komponen di atas misalnya: larutan gula, air tajin, cairan-cairan yang tersedia di

rumah dan lain-lain, disebut CRO tidak lengkap.

3) Cairan Rehidrasi Parenteral (CRP), pada umumnya digunakan cairan Ringer laktat

4) Pengobatan antibiotic Doxycicline


1) Ciprofloxacin

2) Metronidazole

3) Metronidazole

4) Azithromycin

5) Azithromycin atau Ciprofloxacin

6) Ceftriaxone
Terapi diet

Terapi non farmakologis


• Pasien sebaiknya mengkonsumsi makanan-makanan yang tinggi kalori, tinggi protein, diet
lunak tidak merangsang, bila tidak tahan laktosa diberikan rendah laktosa, bila maldigesti
lemak diberikan rendah lemak. Bila penyakit chron dan kolitis ulserosa diberikan rendah
serat pada keadaan akut. Minum yang banyak dan bila perlu infus untuk mencegah
dehidrasi.
Terapi farmakologis

a. Bila sesak nafas dapat diberikan oksigen, infus untuk memberikan cairan dan elektrolit.

b. Pemberian antibiotika apabila terdapat infeksi

c. Bila penyebab penyakit berupa amoeba/parasit/giardia dapat diberikan metronidazol.

d. Apabila pasien alergi terhadap makanan/obat/susu, dapat diobati dengan menghentikan makanan/obat penyebab

alergi tersebut.

e. Keganasan/polip diobati dengan pengangkatan kanker/polip.

f. TB usus diobati dengan OAT

g. Diare karena kelainan endokrin, diobati dengn kelainan endokrinnya.

h. Malabsorbsi di atasi dengan pemberian enzim.

i. Kolitis diatasi sesuai jenis kolitisnya.


Patofisiologi, Farmakologi Dan Terapi
Diet Pada Kasus Kritis Dengan
Gangguan Pada Sistem Pencernaan
(Gagal Ginjal Kronik/GGK)
Pengertian
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir End Stage Renal Disease (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan reversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2001) dalam (Nuari &
Widayati, 2017).

GGK adalah penurunan faal ginjal yang menahun mengarah pada kerusakan jaringan ginjal yang
tidak reversible dan progresif. Adapun GGT (gagal ginjal terminal) adalah fase terakhir dari GGK
dengan faal ginjal sudah sangat buruk. Kedua hal tersebut bias di bedakan dengan tes
klirens kreatinin (Irwan, 2016)

Gagal ginjal kronik adalah suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada gagal ginjal
kronik (Suwitra, 2014).
Patofisiologi
Patofisiologi GGK beragam, bergantung pada proses penyakit penyebab. Tanpa
melihat penyebab awal, glomeruloskerosis dan inflamasi interstisial dan fibrosis
adalah cirri khas GGK dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal (Copsted &
Banasik, 2010) dalam (Nuari &Widayati, 2017). Seluruh unit nefron secara
bertahap hancur. Pada tahap awal, saat nefron hilang, nefron fungsional yang
masih ada mengalami hipertrofi. Aliran kapiler glomerulus dan tekanan
meningkat dalam nefron ini dan lebih banyak pertikel zat larut disaring
untuk mengkompensasi massa ginjal zat yang hilang. Kebutuhan yang meningkat
ini menyebabkan nefron yang masih ada mengalami sklerosis (jaringan parut)
glomerulus, menimbulkan kerusakan nefron pada akhirnya. Proteinuria akibat
kerusakan glomelurus diduga menjadi penyebab cedera tubulus. Proses hilangya
fungsi nefron yang kontinu ini dapat terus berlangsung meskipun setelah proses
penyakit awal teratasi (Faunci et al, 2008) dalam (Nuari & Widayati, 2017).
Farmakologi

1. Kontrol tekanan darah


• Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, harus mengontrol
tekanan darah sistolik <140 mmHg (dengan target antara 120-
139 mmHg) dan tekanan darah diastolik <90 mmHg.
• Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan diabetes dan
juga pada
• pasien dengan ACR (Albumin Creatinin Ratio) 70 mg/mmol
atau lebih, diharuskan untuk menjaga tekanan darah sistolik
<130 mmHg (dengan target antara 120-129 mmHg) dan
tekanan darah diastolik <80 mmHg.
2. Pemilihan agen antihipertensi
a. Pemilihan obat antihipertensi golongan ACE Inhibitor atau ARBs

b. Jangan memberikan kombinasi ACE Inhibitor atau ARBs untuk pasien penyakit ginjal kronik

c. Untuk meningkatkan hasil pengobatan yang optimal,

d. Pada pasien penyakit ginjal kronik, konsentrasi serum kalium (potassium) dan perkiraan GFR sebelum memulai terapi ACE inhibitor atau ARBs.

E. Jangan memberikan/memulai terapi ACE inhibitor atau ARBs, jika konsentrasi serum kalium (potassium) > 5.0 mmol/liter.

F. Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut, karena menurut hasil penelitian terapi tersebut dapat mencetuskan hiperkalemia.

G. Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE inhibitor atau ARBs yang dapat mencetuskan hiperkalemia (bukan kontraindikasi), tapi konsentrasi serum kalium

(potassium) harus dijaga.


3. Pemilihan statins dan antiplatelet

Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular.


Pada pasien penyakit ginjal kronik, penggunaannya pun tidak berbeda.

Penggunaan statin pada pasien penyakit ginjal kronik merupakan


pencegahan sekunder dari penyakir kardiovaskular, terlepas dari batas nilai
lipidnya.

Penggunan antiplatelet pada pasien penyakit ginjal kronik merupakan


pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular. Penyakit ginjal kronik
bukan merupakan kontraindikasi dari penggunaan aspirin dosis rendah,
tetapi dokter harus memperhatikan adanya kemungkinan perdarahan minor
pada pasien penyakit ginjal kronik yang dieberikan antiplatelet multiple.
Terapi Diet

Pengaturan
Pengaturan Pengaturan
diet natrium
diet protein diet kalium
dan cairan
DAFTAR PUSTAKA

 Irwan. (2016). Epidemologi Penyakit Tidak Menular. Yogyakarta: Deepublish.


 LeMone, Priscilla dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed 5 Vol 3. Jakarta: EGC
 Muttaqin, A. and Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Edited by
S. Carolina. Jakarta: Salemba Medika.
 National Institute for Health and Care Excellence guideline 182. 2014. Early Identification and
Management of Chronic Kidney Disease In Adults In Primary and Secondary Care
 Nuari, N. A. and Widayati, D. (2017). Gangguan pada Sistem Perkemihan dan Penatalaksanaan
Kperawatan. Yogyakarta: CV Budi Utama.
 Price, S & Wilson, L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. EGC :
Jakarta.
 Suwitra, K. (2014). Penyakit Ginjal Kronik. In: S. Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing , pp. 2375-80
Terimaksih 

Anda mungkin juga menyukai