Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH IMUNOLOGI

OLEH :

KELOMPOK VI

NAMA : CLARA ADE RESHA SIMBOLON (19.18.034)


DIAN MAYASARI SINAMBELA (19.18.050)
LILY GOKLAS LAURENTIA GULTOM (19.18.127)
NITA TAMALA (19.18.151)
RAHMAT HIDAYAT (19.18.171)

INSTITUT KESEHATAN DELI HUSADA DELI TUA


FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI PROGRAM SARJANA
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

.1. Latar Belakang


Istilah Lupus diambil dari bahasa latin yang berarti serigala dan dipakai
pertama kali pada abad pertengahan untuk menggambarkan lesi kulit yang erosive
yang mirip dengan gigitan serigala. Pada tahun 1846 seorang ahli dari Vienna
bernama Ferdinand von Hebra memperkenalkan istilah “kupu-kupu” untuk
menggambarkan ras di daerah malar dan menyebutnya sebagai lupus
erythematosus . Ilustrasi ini dipublikasikan pertama kali dalam bukunya berjudul
Atlas os Skin Disease pada tahun 1856. Lupus kemudian dibagi menjadi tiga
bentuk, yaitu Discoid Lupus Erythematosus,Neonatal Lupus Erythematosus, Drug
Induced Lupus dan Systemic Lupus Erythematosus. (Yazdany, 2013)
Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun
yang menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat
sistem kekebalan tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga
merupakan penyakit multi-sistem dimana banyak manifestasi klinis yang didapat
penderita, sehingga setiap penderita akan mengalami gejala yang berbeda dengan
penderita lainnya tergantung dari organ apa yang diserang oleh antibody tubuhnya
sendiri.
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja
penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh perempuan dimana perbandingan
antara perempuan dan laki-laki adalah 10 : 1. SLE menyerang perempuan pada
usia produktif, puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah
penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan
jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus
Indonesia).
SLE ditemukan hampir di seluruh dunia dengan angka prevalensi dan
insiden yang berbeda-beda menurut letak geografisnya. Penelitian menunjukkan
bahwa angka kejadian SLE di seluruh dunia sekitar 1-10 per 100.000 orang
pertahun dengan angka prevalensi sekitar 20-70 per 100.000 orang pertahun. Di
USA angka kejadian SLE untuk semua ras sekitar 5,1 per 100.000 orang pertahun
dengan prevalensi diperkirakan 300.000 orang pertahun (Vaillant, 2015)
SLE paling banyak di derita oleh perempuan dengan perbandingan rasio
lakilaki : perempuan = 1: 12 pada usia subur. Selain itu penyakit ini juga bisa
didapatkan pada anak-anak dan lansia. SLE lebih banyak didapatkan pada ras non
Caucasian seperti African American, Hispanic, dan asia. Pada ras-ras tersebut,
SLE cenderung lebih aktif, lebih berat, resiko relaps dan terjadinya kerusakan
organ lebih tinggi. (Vaillant, 2015)

Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE


yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria,
kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat
obatobat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1
fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih
menjadi penelitianparailmuwan.

.2. Tujuan
Untuk mengetahui tentang penyakit lupus, penyebab penyakit lupus, gejala
penyakit lupus, mekanisme penyakit lupus, dan cara penyembuhan penyakit
lupus.

.3. Rumusan Masalah


 Pengertian penyakit Lupus
 Penyebab penyakit Lupus
 Gejala penyakit Lupus
 Mekanisme penyakit Lupus
 Cara penyembuhan penyakit Lupus
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun multisystem
di mana organ, jaringan, dan sel mengalami kerusakan yang dimediasi oleh
autoantibodi pengikat jaringan dan kompleks imun. Gambaran klinis SLE dapat
berubah, baik dalam hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan organ.
Imunopatogenesis SLE kompleks dan sejalan dengan gejala klinis yang beragam.
Tidak ada mekanisme aksi tunggal yang dapat menjelaskan seluruh kasus, dan
kejadian awal yang memicunya masih belum diketahui.
Sesuai dengan teori, pada kasus ini juga terdapat penglibatan multisystem
yaitu system mukokutan (malarrash), muskoloskeletan(arthritis),hematology
(anemia), neurology(serebri)danginjal (nefritis).

2.2 Penyebab
Penyebab penyakit ini belum diketahui pasti, tetapi diduga terdapat faktor
yang berperan terhadap terjadinya penyakit lupus yang antara lain terdiri dari
faktor endogen dan faktor eksogen.

2.2.1 Faktor-faktor Endogen


 FaktorGenetik
Lupus merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel
HLADRB1, IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan
gen, pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan, menghasilkan responsimun
abnormal. Respons imun mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit
T dan B dan regulasi antigen dan respons antibodi yang tidak efektif.

 Pengaruh Hormonal
Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai
penyebab Lupus. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita
usia produktif, peningkatan aktivitas Lupus selama kehamilan, dan risiko yang
sedikit lebih tinggi pada wanita pasca menopause yang menggunakan
suplementasi estrogen. Walaupun hormon seks steroid dipercaya sebagai
penyebab Lupus, namun studi yang dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan bahwa
pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya
peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penderita Lupus yang penyakitnya
stabil.
2.2.2. Faktor Eksogen

 Sinar Matahari
Paparan sinar matahari langsung merupakan salah satu faktor yang
memperburuk kondisi segala Lupus. Diperkirakan sinar matahari dapat
memancarkan sinar ultraviolet yang dapat merangsang peningkatan hormon
estrogen yang cukup banyak sehingga mempermudah terjadinya reaksi autoimun
dan juga dapat mengubah struktur dari DNA sehingga memicu inflamasi.
Kemudian diserap aliran darah dan terbawa ke bagian tubuh lainnya. Akibatnya
timbul inflamasi pada berbagai organ tubuh yang terserang Lupus.

 Infeksi Virus
Partikel Ribonuclead Acid (RNA) virus telah ditemukan pada jaringan ikat
Odapus yang membut reaksi respon imun abnormal. Virus-virus yang terlibat
dalam penyebab Lupus diantaranya myxoviruz, reoviruz, measle, parainfluenza,
mump, Epstein-Barr, dan onco atau retrovirus jenis C. Hal ini bisa diketahui dari
adanya partikel-partikel virus dalam jaringan lupus, dan dari beberapa catatan
yang menunjukan bahwa mikroba bisa menyerupai zat-zat asing atau antigen yang
menyebabkan autoimun.

 Makanan dan Minuman


Makanan dan minuman dalam kemasan, terutama minuman berjenis isotonik
yang mengandung zat pengawet, seperti Natrium Benzoate, dan Kalium sorbet
serta yang mengandung kafein menyebabkan gejala Lupus. Sedangkan makanan
yang dapat memicu lupus sendiri adalah yang mengandung L-canavanine dan
biasa terdapat pada jenis polong-polongan, selain itu juga makanan yang
mengandung pemanis buatan (aspartan), serta sayuran yang mengandung
belerang, misalnya kubis,dll.

 Obat-obatan
Obat-obatan darijenis klorpromazin, metilpoda, isoniazid, dilantin,
penisilamin, kuinidine, hydralazine (obat hipertensi) dan procainamide (untuk
mengobati detak jantung yang tidak terartur), jika terus dikonsumsi akan
membentuk antibodi penyebab lupus.
2.3 Gejala
Seseorang dikatakan menderita penyakit lupus, jika memenuhi 4 dari 11
kriteria lupus menurut American Reumatism Association (ARA,1992), yakni :
1. Artritis / nyeri sendi.
2. ANA diatas titer normal
3. Bercak merah / Butterfly Rash
4. Sensitif terhadap sinar matahari (timbul bercak setelah terkena sinar
ultraviolet Adan B)
5. Terjadi satu kelainan darah
a. Anemia hemolitik
b. Leukosit < 4.000/ mm3
c. Limfosit < 1.500/ mm3
d. Trombosit < 100.000/ mm3
6. Kelainan ginjal proteinuria > 0,5 g per 24 jam
7. Terjadi pleuritis ataupun perikarditis
8. Terjadi kelainan neurologi baik konvulsi maupun psikologis
9. Terjadi Ulser di rongga mulut
10. Adanya salah satu kelainan imunologi
a. Sel lupus erythematosus (LE) positif
b. Anti ds- Deoxyribonuclead Acid (DNA) diatas titer normal
c. Anti Sm (Smith) titer normal
d. Tes serologi sifilis positif palsu

2.4 Mekanisme Penyakit

Penyakit Lupus terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang


menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awal mula penyakit yang biasanya terjadi pada usia
reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, infeksi, paparan zat kimia). Akibat
kombinasi hal-hal tersebut sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk
membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi
imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga
berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit
inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan.

       Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan


pertahanan tubuh untuk melawan infeksi. Pada penyakit Lupus dan penyakit
autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan antigen dari
tubuh sendiri. Antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi
ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga dapat terjadi
kerusakan organ.
2.5 Pengobatan

 Terapi Farmakologi
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk Lupus. Tujuan dari terapi
adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan
dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang
ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang
intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ
dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan
obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas.

Pasien dengan Lupus lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya


aktif. Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang
signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan Lupus. Hal ini
memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas
tidur. Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan
luas gerakan dari persendian.

Jenis obat dan dosis yang diberikan kepada satu penderita lupus tidak sama
dengan penderita lupus yang lain, dan dapat berganti dari waktu ke waktu
tergantung dari gejala yang dirasakan dan tingkat keparahannya.

Berikut ini adalah obat-obatan yang mungkin dibutuhkan oleh penderita SLE:

 Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS). Nyeri sendi atau otot


merupakan salah satu gejala utama SLE. Dokter akan meresepkan obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs) untuk mengurangi gejala ini seperti
ibuprofen dan diclofenac. Meski demikian, penderita SLE sebaiknya
waspada terhadap efek samping OAINS seperti perdarahan lambung,
masalah pada ginjal, dan peningkatan risiko penyakit jantung. Untuk
mencegah efek samping perdarahan lambung, dokter dapat memberikan
obat tambahan untuk melindungi lambung.

 Kortikosteroid. Kortikosteroid seperti methylprednisolone dapat


mengurangi peradangan dengan cepat dan efektif. Obat ini biasanya
diberikan oleh dokter jika penderita SLE mengalami gejala yang parah
atau sedang aktif. Pada tahap awal. obat ini akan diberikan dalam dosis
tinggi. Dosis akan diturunkan secara bertahap seiring membaiknya kondisi
penderita. Beberapa efek samping yang akan timbul dari obat ini, terutama
jika digunakan dalam jangka panjang dan dengan dosis tinggi meliputi
pengeroposan tulang, penipisan kulit, bertambahnya berat badan,
peningkatan tekanan darah, peningkatan gula darah, dan risiko infeksi.
Namun kortikosteroid merupakan pengobatan yang aman dan efektif
selama dikonsumsi dengan benar dan di bawah pengawasan dokter.

 Hydroxychloroquine. Selain pernah digunakan untuk menangani malaria,


obat ini juga efektif untuk mengobati beberapa gejala utama SLE, seperti
nyeri sendi dan otot, kelelahan, dan ruam pada kulit. Dokter umumnya
akan menganjurkan konsumsi obat ini untuk jangka panjang. Tujuannya
adalah untuk mencegah terjadinya serangan gejala yang parah, mencegah
aktifnya penyakit, dan mencegah munculnya komplikasi yang lebih serius.
Keefektifan hydroxychloroquine biasanya akan dirasakan oleh penderita
SLE setelah menggunakannya selama 1,5 hingga 3 bulan. Efek samping
yang mungkin timbul dari penggunaan obat ini meliputi gangguan
pencernaan, diare, sakit kepala, dan ruam pada kulit.

 Obat Imunosupresan. Cara kerja obat ini adalah dengan menekan sistem
kekebalan tubuh. Ada beberapa jenis imunosupresan yang biasanya
diberikan dokter, yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil,
cyclophosphamide dan methotrexate. Imunosupresan akan meringankan
gejala SLE dengan menghambat kerusakan pada bagian-bagian tubuh yang
sehat akibat serangan sistem kekebalan tubuh. Obat ini dapat diberikan
bersamaan dengan kortikosteroid, sehingga dosis kortikosteroid dapat
diturunkan. Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat
imunosupresan antara lain adalah:

 Muntah.

 Kehilangan nafsu makan.

 Pembengkakan gusi.

 Diare

 Kejang-kejang.

 Mudah lebam atau berdarah.

 Jerawat

 Sakit kepala

 Bertambahnya berat badan.

 Pertumbuhan rambut secara berlebihan.


Risiko terjadinya infeksi akan meningkat akibat penekanan sistem
kekebalan tubuh oleh imunosupresan. Gejala infeksi tersebut terkadang mirip
dengan gejala aktifnya lupus. Beberapa di antaranya adalah : batuk disetai dengan
sesak, demam, diare, sensasi terbakar saat buang air kecil, serta kencing darah
(hematuria).

Hindarilah kontak dengan orang yang sedang mengalami infeksi seringan


apa pun, meski sudah memiliki kekebalan tubuh terhadap infeksi tersebut,
misalnya cacar air atau campak. Penularan mungkin akan tetap terjadi karena
kinerja sistem kekebalan tubuh sedang menurun akibat penekanan oleh obat
imunosupresan. Obat ini juga dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Karena
itu, penderita SLE membutuhkan pemeriksaan kesehatan dan tes darah secara
rutin selama menggunakan imunosupresan.

 Rituximab. Jika obat-obat lain tidak efektif bagi penderita SLE, dokter
akan menganjurkan rituximab. Obat ini awalnya dikembangkan untuk
menangani kanker, seperti limfoma. Tetapi rituximab terbukti efektif untuk
menangani penyakit autoimun, seperti SLE dan rheumatoid arthritis. Cara
kerja rituximab adalah dengan mengincar dan membunuh sel B, yaitu sel
yang memproduksi antibodi yang menjadi pemicu gejala SLE. Obat ini
akan diberikan melalui infus. Efek samping yang dapat muncul dari
penggunaan rituximab meliputi pusing, muntah, serta gejala yang mirip
flu, misalnya demam dan menggigil. Obat ini juga dapat menimbulkan
reaksi alergi, namun jarang terjadi.

 Terapi Non-Farmakologi.

Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang


melindungi dari sinarmatahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan
fotosensitif. Penurunan berat badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan
kelebihan berat badan untuk mengurangi beberapa efek dari penyakit ini,
khususnya ketika ada masalah dengan persendian.1,6 Pada pasien ini diberikan
terapi dengan kortikosteroid sesuai teori. Kortikosteroid yang digunanakan dalam
kasus ini adalah methylprednisolone. Selain itu pasien juga dinasehatkan
agarmelindungi dirinya dari cahaya matahari. Langkah yang dapat dilakukan untuk
melindungi kulit dari sinar matahari adalah:

 Mengenakan pakaian yang menutupi seluruh bagian kulit.


 Memakai topi yang lebar dan kacamata hitam.
 Mengoleskan krim tabir surya (minimal SPF 55 ketika keluar rumah) agar
kulit tidak terbakar sinar matahari.
Dengan menghindari paparan sinar matahari, penderita lupus berisiko
kekurangan vitamin D, karena sebagian besar vitamin D dibentuk dalam tubuh
dengan bantuan paparan sinar matahari. Oleh karena itu, diperlukan pemberian
suplemen vitamin D untuk mencegah osteoporosis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit lupus merupakan penyakit yang belum ada obatnya, dengan kata
lain hingga kini penyakit lupus belum dapat disembuhkan. Oleh karena itu pihak
keluarga hendaknya terus memberikan dukungan dan cinta serta kesediaan untuk
memberi kesempatan pada penderita lupus (odapus) untuk mengembangkan
dirinya dan potensi yang dimiliki.
Bagi para penderita lupus (odapus), teruslah mempunyai pandangan yang
positif diri sehingga odapus mampu meneruskan hidupnya dengan
sebaik-baiknya dan memaksimalkan kemampuan yang ada sehingga mampu
menatap masa depan dengan cerah. Sedangkan bagi para medis menyarankan
pada odapus untuk bisa hidup bersahabat dengan penyakit lupus. Namun yang
bisa ditafsirkan bahwa sebagian (48,4%) masyarakat belum mengembangkan
kemampuan hidup bersahabat dengan lupus. Oleh karenanya dibutuhkan adanya
sosialisasi dari tim medis untuk hidup berdampingan dengan
lupus dan dukungan sharing dengan sesama odapus.
DAFTAR PUSTAKA

Budiastuti A. Lupus. [Online] 2006. Available from: http:// www.pikiran-


rakyat.com/cetak/2006/052006/09/belia/selancar.htm

Indonesia, Y.L., 2012. Info tentang Lupus. Available at:


www.yayasanlupusindonesia.org.

Nadhiroh, F., 2007. Lupus: penyakit seribu wajah dominan menyerang


wanita. Available at: http://surabaya.detik.com

Utomo, Y.W., 2012. Tingkatkan Riset dasar Tentang Lupus. Available at:
www.health.kompas.com.

Anda mungkin juga menyukai