Anda di halaman 1dari 19

TUGAS LOOKBOOK

BLOK IMUNOLOGI DAN INFEKSI

DOSEN TUTOR
Dr. Rusdani, M.KKK

DI SUSUN OLEH :
Rifky Al Fariz
61121025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
2022
SKENARIO 1
BERCAK KEMERAHAN DI KULIT

Ny. Raisa, seorang ibu rumah tangga berumur 20 tahun datang ke Dokter Praktek Swasta dengan
keluhan bercak kemerahan berbatas tegas di pergelangan tangan, muncul 4 hari yang lalu.
Bercak tersebut agak hangat pada perabaan, terasa gatal dan tidak ada nyeri pada penekanan.
Kelainan ini sifatnya kambuhan terutama setelah mencuci. Lokasi kelainannya bisa disela-sela
jari tangan atau disela jari kaki. Berdasarkan pemeriksaan fisik oleh Dokter didapatkan papul-
papul eritema pada pergelangan tangan, sela-sela jari tangan dan disela jari kaki. Dokter
menduga Ny. Raisa mengalami suatu reaksi hipersensitivitas karena kontak dengan suatu zat
yang mengakibat suatu proses alergi dan peradangan pada tangan Ny. Raisa. Ny. Raisa sempat
khawatir dengan kondisi penyakit yang dialaminya karena takut menderita penyakit seperti
saudaranya yang mengalami penyakit Lupus. Dokter juga menduga akibat kontak dengan bahan
dari sabun cuci selama ini.Dokter selanjutnya memberikan obat antiinflamasi dan antipruritus
berupa obat oral dan obat oles untuk Ny. Raisa. Dokter juga sempat menerangkan bahwa
penyakit saudaranya Ny. Raisa berbeda dengan kondisi yang dialami oleh Ny. Raisa. Dokter
menjelaskan bahwa penyakit Lupus merupakan penyakit autoimun. Penyakit autoimun itu selain
Lupus juga ada penyakit Rheumatoid artritis dan masih banyak lagi. Dokter menyarankan
kepada Ny. Raisa untuk mengurangi kontak dengan air sabun cuci. Bagaimana anda menjelaskan
kondisi Ny. Raisa dan Kondisi saudaranya Ny. Raisa?

TERMINOLOGI ASING
1. Eritema : Keemrahan pada kulit yang dihasilkan oleh kongesti pembuluh kapiler
(DORLAND ED. 30 HAL 277)
2. Lupus: Kelompok penyakit kulit yang mempunyai lesi khas berupa erosi (Dorland ed 30
hal 443)
3. Hipersensitivitas: keadaan berubahnya reaktivitas, ditandai dengan reaksi tubuh berupa
respons imun yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap sebagai benda asing.
(Dorland ed.30 hal 376)
4. Antipruritus :Mencegah atau meredakan gatal, atau agen yang bekerja seperti demikian
(kamus Dorland edisi 30 hal 51)
5. Autoimun : Ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri, lihat pada disease dan
response ( Dorland ed 30 hal 82 )
6. Antiinflamasi : Melawan atau menekan peradangan ,juga agen yang bekerja seperti
demikian (Dorland ed.30 hal 50)
7. Papul : Lesi menonjol yang kecil, berbatas, tegas, dan padat pada kulit (Dorland ed. 30
Hal 562)
8. Bercak : Daerah berbatas tegas, biasanya memiliki warna yang berbeda dengan
sekitarnya (kamus Dorland ed 30 hal 704)
9. Rheumatoid artritis : Penyakit sistemik kronik yang terutama menyerang sendi,biasanya
poliartikular,ditandai dengan perubahan akibat radang pada membrane sinovialdan
struktur articular,adanya atrofi dan penipisan tulang.pada stadium lanjut,terdapat
deformitas dan ankilosis. ( Dorland edisi 30 hal 73)
10. Inflamasi (inflammation) : Respons jaringan yang bersifat protektif terhadap cidera atau
kerusakan jaringan (Dorland ed 30 hal 394)

RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja yang menyebabkan terjadinya autoimun?
2. Apa yang dimaksud dengan obat anti inflamasi?
3. Bagaimana cara mendiagnosis lupus?
4. Apa saja yang menyebabkan terjadinya penyakit lupus dan yang penderita rasakan pada
penyakit ini?
5. Siapa saja yang beresiko terkena penyakit lupus?
6. Bagaimana terjadinya penyakit rheumatoid arthritis?
7. Bagaimana cara tubuh mencegah munculnya autoimunitas?

HIPOTESIS
1. Yang menyebabkan terjadinya Penyakit autoimun adalah akibat sistem kekebalan tubuh
atau sistem imun menyerang sel-sel sehat dalam tubuh. Penyakit ini berkembang ketika
sistem kekebalan tubuh salah dalam menilai sel sehat yang ada dalam tubuh dan malah
menganggapnya sebagai zat asing.
2. Obat anti inflamasi adalah golongan obat-obat antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan
yaitu golongan steroid dan golongan non steroid. Obat antiinflamasi golongan steroid
bekerja dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel sumbernya.
Pemakaian obat-obat tersebut mempunyai efek samping seperti iritasi gastrointestinal,
kerusakan ginjal, diare, depresi, pankreatitis dan terapi ini terkadang agresif dan tidaak
efektif dalam beberapa kasus. Untuk obat antiinflamasi golongan non sterois merupakan
obat analgetic lemah, antiflogistik, yang bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi
siklooksigenase.
3. Diagnosis Lupus ada beberapa jenis pemeriksaan yang biasanya dianjurkan jika dokter
mencurigai seseorang menderita LES :
 Penghitungan sel darah lengkap (complete blood count). Penderita lupus dapat
mengalami anemia sehingga dapat diketahui melalui pemeriksaan sel darah
lengkap. Selain terjadinya anemia, penderita lupus juga dapat mengalami
kekurangan sel darah putih atau trombosit.
 Analisis urine. Urine pada penderita lupus dapat mengalami kenaikan kandungan
protein dan sel darah merah. Kondisi ini menandakan bahwa lupus menyerang ke
ginjal.
 Pemeriksaan ANA (antinuclear antibody). Pemeriksaan ini digunakan untuk
memeriksa keberadaan sel antibodi tertentu dalam darah dimana kebanyakan
pengidap SLE memilikinya. Sekitar 98% penderita lupus memiliki hasil positif
jika dilakukan tes ANA sehingga ini merupakan metode yang paling sensitif
dalam memastikan diagnosis.
 Pemeriksaan imunologi. Di antaranya adalah anti-dsDNA antibody, anti-Sm
antibody, antiphospholipid antibody, syphilis, lupus anticoagulant, dan Coombs’
test. Pemeriksaan imunologi tersebut merupakan salah satu kriteria dalam
penentuan diagnosis SLE.
 Tes komplemen C3 dan C4. Komplemen adalah senyawa dalam darah yang
membentuk sebagian sistem kekebalan tubuh. Level komplemen dalam darah
akan menurun seiring aktifnya SLE.
4. Yang nenyebabkan terjadinya lupus adalah inflamasi kronis yang disebabkan oleh sistem
imun tubuh yang bekerja dengan keliru. Dalam kondisi normal, sistem imun seharusnya
melindungi tubuh dari serangan infeksi virus atau bakteri. Sedangkan pada pengidap
lupus, sistem imun justru menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri. Lalu yang di
rasakan oleh penderita adalah nyeri dan kekakuan pada sendi tanpa disertai dengan
pembengkakan, nyeri dan kelemahan pada otot, demam yang tidak diketahui sebabnya,
perasaan sangat lelah, bercak kemerahan pada muka yang menyerupai kupu-kupu
ataupun bercak kemerahan pada kulit di tempat lain
5. Beberapa kelompok tertentu memiliki risiko lebih tinggi terkena lupus. Diantaranya yaitu
A.Wanita dengan Usia Produktif
Wanita memiliki risiko tertinggi karena faktor hormon. Hormon merupakan zat kimia
yang diproduksi tubuh. Hormon bertugas mengontrol dan mengatur aktivitas sel atau
organ tertentu. Lantas bagaimana aktivitas hormonal dapat berpengaruh? Seperti yang
dilaporkan oleh Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat, Wanita 9 kali lebih
mungkin menderita lupus dibanding pria. Selain jenis kelamin, usia juga berpengaruh,
mereka yang sedang berada di rentan usia 15-45 rentan terkena lupus.
B. Kelompok Etnis Tertentu
Meskipun lupus dapat terjadi pada siapa saja. Perlu diketahui bila ras atau etnis tertentu
ternyata menjadi salah satu faktor risiko yang tidak kalah mengkhawatirkannya dengan
faktor genetika dan jenis kelamin. Penyakit ini memiliki potensi dua hingga tiga kali
lebih tinggi terjadi pada mereka yang memiliki kulit berwarna.
Contohnya adalah orang-orang dengan keturunan Afrika, Asia, Hispanik/Latin, penduduk
asli Amerika, Hawaii, atau Kepulauan Pasifik memiliki risiko lebih besar terkena lupus,
dibandingkan etnis berkulit putih.
C. Orang dengan Lingkungan dan
Apa sajakah itu? Pertama adalah lingkungan yang mengandung bahan kimia atau virus.
Jenis lingkungan seperti ini berkontribusi besar dalam memicu penyakit lupus, terlebih
jika Anda berada di kategori rentan secara genetik. Sinar ultraviolet seperti UVA dan
UVB yang diperoleh dari paparan sinar matahari, juga dapat memicu timbulnya penyakit
lupus.
Selain itu, pemicu lain seperti merokok, penggunaan obat-obat tertentu yang membuat
seseorang lebih sensitif terhadap sinar matahari, infeksi, kelelahan, stres emosional akibat
perceraian, penyakit, kematian, atau masalah hidup lainnya, stres fisik seperti operasi
bedah, cedera fisik, kehamilan, atau melahirkan, juga berkontribusi memicu penyakit
lupus.

6. Penyebab dari penyakit Rheumatoid arthritis terjadi ketika sistem kekebalan tubuh yang
seharusnya melindungi tubuh justru berbalik menyerang tubuh. Kondisi ini dinamakan
penyakit autoimun. Penyebab timbulnya penyakit autoimun sendiri belum diketahui
secara pasti, tetapi diduga terkait dengan faktor genetik.
7. Cara terbaik untuk mencegah penyakit autoimun menyerang tubuh adalah menerapkan
pola hidup sehat, makan makanan bergizi seimbang dan teratur, olahraga secara rutin,
mengurangi stres, serta menjaga berat badan ideal.

SKEMA

NY. Raisa (20 tahun)

-Bercak Kemerahan
pada tangan dan pada
perabaan Terasa Hangat
--Gatal dan tidak ada
Nyeri

Faktor Pencetus :
Kambuh terutama saat
mencuci

Pemeriksaan Fisik Oleh


Dokter

Papaul eritema
pergelangan tangan,
sela tangan dan sela
kaki

Hipersensitivitas
LEARNING OBJECTIVE
1. Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas
2. Jenis-jenis hipersensitivitas
3. Mengenai etiologi penyakit-penyakit akibat hipersensitivitas
4. Penegakan diagnosis penyakit hipersensitivitas
5. Penatalaksanaan reaksi hipersensitivitas
6. Komplikasi dan prognosis hipersensitivitas
7. Manifestasi klinis penyakit-penyakit autoimun
8. Penegakan diagnosis penyakit-penyakit autoimun dan membuat diagnosis banding
9. Penatalaksanaan penyakit-penyakit autoimun
10. Komplikasi dan prognosis penyakit-penyakit autoimun

PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE

1. Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas

Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas bervariasi dalam hal awal mula timbulnya
gejala maupun perjalanan klinisnya.
1. Kulit: rasa kesemutan, panas di kulit diikuti dengan kemerahan pada kulit, pruritus,
urtikaria dengan atau tanpa angioedema.
2. Saluran napas: keluarnya cairan dalam rongga hidung, hidung buntu, bersin-bersin, rasa
gatal pada hidung. Keterlibatan saluran napas bagian bawah umumnya berupa
bronkospasm, dan edema saluran napas yang menimbulkan sesak napas, mengi, dan
perasaan dada terhimpit.
3. Kardiovaskular: aritmia berupa gangguan irama atrium maupun ventrikel. Dapat dijumpai
iskemia miokard, palpitasi, dizziness, atau nyeri dada. Hipotensi merupakan gejala yang
paling mengkhawatirkan
4. Gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasm otot polos,
berupa nyeri perut, mual muntah atau diare.
5. Susunan saraf pusat: disorientasi, pingsan, kejang, dan penurunan kesadaran.

Beberapa gejala yang sering timbul pada masing – masing tipe hipersensitivitas menurut Gell
dan Coombs adalah:
1. Hipersensitivitas tipe I: anafilaksis, urtikaria, angioedem, mengi, hipotensim nausea,
muntah, sakit abdomen dan diare.
2. Hipersensitivitas tipe II: agranulositosis, anemia hemolitik dan trombositopenia.
3. Hipersensitivitas tipe III: panas, urtikaria, atralgia, limfadenopato dan serum sickness.
4. Hipersensitivitas tipe IV: eksema, eritema, lepuh, pruritus, fotoalergi, fixed drug eruption,
lesi makulopapular.
2. Jenis jenis hipersensitivitas
 Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan respon jaringan yang terjadi karena adanya ikatan
silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi cepat, reaksi alergi,
atau reaksi anafilaksis. Mekanisme umum dari reaksi ini sebagai berikut : Alergen berikatan
silang dengan IgE. Sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan mediator kimiawi
lainnya. Timbul manifestasi berupa anafilaksis, urtikaria, asma bronkial atau dermatitis atopi.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang
berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan
reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

 Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II terjadi karena dibentuknya IgG dan IgM terhadap antigen
yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi sitotoksik
atau reaksi sitolitik. Reaksi ini terdiri dari 3 jenis mekanisme, yaitu reaksi yang bergantung pada
komplemen, reaksi yang bergantung pada ADCC dan disfungsi sel yang diperantarai oleh
antibodi. Mekanisme singkat dari reaksi tipe II ini sebagai berikut : IgG dan IgM berikatan
dengan antigen di permukaan sel. Fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen,
ADCC dan atau antibody. Pengeluaran mediator kimiawi. Timbul manifestasi berupa anemia
hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis, sindrom Good Pasture, atau pemvigus vulgaris.
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan
imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang secara langsung berhubungan
dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen
permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan
dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II menurut Tan., dkk. (2008) adalah:
1. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
2. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel
pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi
kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah
merah),
3. Sindrom Goodpasture. IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal (David., dkk. 2006).

 Hipersensitivitas Tipe III


Reaksi hipersensitivitas tipe 3 terjadi karena pengendapan kompleks imun (antigen-antibodi)
yang susah difagosit sehingga akan mengaktivasi komplemen dan mengakumulasi leukosit
polimorfonuklear di jaringan. Reaksi ini juga dapat disebut reaksi yang diperantarai kompleks
imun. Reaksi ini terdiri dari 2 bentuk reaksi, yaitu : reaksi Kompleks Imun Sistemik (Serum
Sickness) dan reaksi Sistem Imun Lokal (Arthus). Mekanisme reaksi ini secara umum sebagai
berikut : Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit difagosit. Mengaktifkan
komplemen. Menarik perhatian Neutrofil. Pelepasan enzim lisosom. Pengeluaran mediator
kimiawi. Timbul manifestasi berupa reaksi Arthus, serum sickness, LES, AR, glomerulonefritis,
dan pneumonitis.
Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati,
limpa dan disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limfa dan paru
tanpa bantuan komplemen. Gangguan yang sering terjadi pada reaksi hipersensitivitas III,
menurut Baratawidjaja., dkk (2012) adalah :
1). Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah. Kompleks imun yang terdiri atas
antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3 (dapat juga IgA) diendapkan di membran basal
vaskular dan membran basal ginjal yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks
yang terjadi dapat menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas
vaskular, aktivasi sel mast, prodksi dan pelepasan mediator inflamasi dan bahan kemotaktik serta
influx neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat menimbulkan kerusakan jaringan
setempat.

2). Kompleks imun mengendap di jaringan. Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan
kompleks imun di jaringan ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular
yang meningkat, antara lain arena histamine yang dilepas sel mast.

Bentuk reaksi dari Hipersensitivitas tipe III terdiri dari 2 bentuk, yaitu :
1). Reaksi lokal atau fenomen arthus. Arthus yang menyuntikkan serum kuda ke dalam kelinci
intradermal berulangkali di tempat yang sama menemukan reaksi yang makin menghebat di
tempat suntikan. Reaksi Tipe Arthus dapat terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman, spora
jamur atau protein fekal kering yang dapat menimbulkan pneumonitis atau alveolitis atau
Farmer’s lung. C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen,
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edem. C3a dan C5a
berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik,. Neutrofil dan trombosit mulai dikerahkan di tempat
reaksi dan menimbullkan statis dan obstruksi total aliran darah. Sasaran anafilatoksin adalah
pembuluh darah kecil, sel mast, otot polos, dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi otot
polos, degranulasi sel mast, peningkatan permeabilitas vaskular dan respons tripel terhadap kulit.
Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang
digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, olagenase dan bahan vasoaktif. Akhirnya
terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.

2). Reaksi Tipe III sistemik – serum sickness. Reaksi tipe III sistemik demikian sering terlihat
pada pemberian antitoksin yang mengandung serum asing seperti antitetanus atau antidifteri asal
kuda. Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifan melepas
anafiltoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin. Mediator lainnya
dan MCF (C3a, C5a, C5, C6, C7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan
protein polikationik. Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat dengan
tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya dalam kapiler glomerulus,
bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan korpus silier mata. Komplemen juga menimbulkan
agregasi trombosit yang membentuk mikrotrombi dan melepas amin vasoaktif (Baratawidjaja.,
dkk, 2012).

 Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi ini dapat disebut juga reaksi imun seluler lambat karena diperantarai oleh sel T CD4+
dan CD8+. Reaksi ini dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti reaksi Tuberkulin, reaksi
Inflamasi Granulosa, dan reaksi penolakan transplant. Mekanisme reaksi ini secara umum
sebagai berikut : Limfosit T tersensitasi. Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik
yang diperantarai oleh sel T langsung. Timbul manifestasi berupa tuberkulosis, dermatitis kontak
dan reaksi penolakan transplant.
Hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat) atau yang dipengaruhi oleh sel merupakan salah satu
aspek imunitas yang dipengaruhi oleh sel. Antigen akan mengaktifkan makrofag yang khas dan
membuat limfosit T menjadi peka sehingga mengakibatkan terjadinya pengeluaran limfokin.
Reaksi lokal ditandai dengan infiltrasi sel-sel berinti
tunggal. Ciri-ciri reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Gupte (1990) adalah :
1. Perlu rangsangan antigen.
2. Pada penderita yang peka reaksi terjadi pada pemaparan terhadap antigen yang khas
misalnya reaksi tuberculin.
3. Masa inkubaasi berlangsung selama 7 sampai 10 hari.
4. Hipersensitivitas tipe lambat dapat dipindahkan melalui sel-sel jaringan limfoid, eksudat
peritoneum dan limfosit darah.

Gejala-gejala dari reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu :


1. Toksemia umum: 0,1 ml tuberkulin pada penderita tuberculosis menyebabkan reaksi
hebat yang terlihat berupa kelesuan, batuk, sesak nafas, nyeri tungkai, muntah, kekakuan
dan limfopenia.
2. Reaksi fokal: jika sejumlah besar antigen dimasukkan pada jaringan segar yang peka,
akan timbul reaksi alergi disertai nekrosis jaringan, misalnya pada bronkopneumonia
tuberculosis.
3. Reaksi lokal: merupakan reson kulit yang khas.

Reaksi hipersensitivitas tipe IV terdiri dari 2 jenis, yaitu :


1. Reaksi granulomatosa. Ditandai dengan pembentukan granuloma yang terdiri dari sel-sel
berinti tunggal yang telah berubah, histiosit, sel-sel epiteloid dan sel-sel dari benda asing.
2. Reaksi tuberculin. Hipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergi bakterial spesifik
terhadap produk filtrate biakan yang bila disuntikkan ke kulit, akan menimbulkan reaksi
hipersensitivitas lambat tipe IV. Sel limfosit T CD4+ berperan dalam reaksi ini.. Setelah
suntikan intrakutan ekstrak tuberkulin atau derivate protein yang dimurnikan (PPD),
daerah kemerahan dan indurasi timbul di tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada
individu yang pernah kontak dengan M. Tuberkulosis, kulit bengkak terjadi pada hari ke
7-10 pasca induksi. Reaksi dapat dipindahkan melalui sel T (Baratawidjaja., dkk, 2012).

3. Mengenai etiologi penyakit-penyakit akibat hipersensitivitas


Reaksi hipersensitivitas dapat bersifat idiopatik atau diakibatkan oleh berbagai zat dan
keadaan. Ada yang berupa antigen seperti protein (serum, hormon, enzim, bisa binatang,
makanan, dan sebagainya) atau polisakarida, juga ada yang berupa hapten yang nanti bertindak
sebagai antigen apabila berikatan dengan protein (antibiotik, anastesi lokal, analgetik, zat
kontras, dan lain-lain). Antigen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui oral,
suntikan/sengatan, inhalasi, atau topikal.
Adapun beberapa obat – obatan yang biasa menimbulkan reaksi hipersensitivitas adalah
antibiotik seperti golongan penisilin, streptomisin, klorampenikol, sulfonamide, kanamisin, obat
– obatan kemoterapeutik dan vaksin. Makanan seperti ikan, udang, kacang – kacangan, telur dan
lain – lain. Bisa/cairan binatang, getah tumbuhan dan kosmetik juga dapat menimbulkan reaksi
hipersensitivitas.
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya reaksi
hipersensitivitas adalah:
1. Riwayat keluarga. Suatu studi epidemiologi menyatakan bahwa faktor genetic
berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu orang tua memiliki penyakit alergi,
maka 25 – 40% anak akan menderita alergi. Bila kedua orang tua memiliki alergi maka
risiko pada anak adalah 50 – 70%.
2. Riwayat atopi. Atopi merupakan kecenderungan genetik untuk memproduksi IgE
antibodi terpapar alergen. Adanya riwayat atopi meningkatkan risiko terjadinya reaksi
hipersensitivitas. Sebagian besar penderita anafilaksis idiopatik memiliki riwayat atopi.
3. Sifat alergen. Beberapa zat tertentu lebih sering menyebabkan reaksi hipersensitivitas
(obat golongan Penisilin, pelemas otot, media kontras radiografis, aspirin, lateks, kacang-
kacangan, kerang).
4. Alur pemberian obat. Pemberian obat secara parenteral lebih cenderung menimbulkan
reaksi hipersensitivitas dibandingkan pemberian peroral, namun reaksi hipersensitivitas
dapat terjadi melalui berbagai jalur pemberian.
5. Kesinambungan (constancy) paparan allergen. Pemakaian obat yang sering terputus dapat
meningkatkan risiko terjadinya reaksi hipersensitivitas.
6. Pemberian imunoterapi berupa injeksi ekstrak alergen pada penderita yang penyakit
alerginya sedang tidak terkendali (misalnya injeksi ekstrak alergen pada penderita asma
yang belum terkendali akan meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis).

4. Penegakan diagnosis penyakit hipersensitivitas

Diagnosis hipersensitivitas (Alergi)

Diagnosis alergi tergantung terutama pada riwayat klinis. Anamnesis, diperjelas oleh
pemeriksaan fisik, tes sensitivitas IgE, tes kulit atau alergen spesifik serum. Skin-prick testing
(SPT) diujikan pada kulit, dilakukan dengan ekstrak alergen. Pemeriksaan darah dilakukan
dengan memeriksa IgE total dan IgE spesifik Radio Allergosorbent test (RAST). Pemeriksaan
IgE total digunakan sebagai marker diagnosis alergi, tetapi memiliki kelemahan karena kurang
spesifik. Hal tersebut disebabkan IgE meningkat pada penyakit alergi dan juga non alergi seperti
infestasi parasit. Pemeriksaan IgE spesifik dilakukan dengan mengukur IgE spesifik alergen
dalam serum pasien. Selain itu, pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis penyakit
alergi adalah skrining antibodi IgE multi-alergen, triptase sel mast, dan Cellular antigen
stimulation test (CAST).

Penatalaksanaan/penegakan
Penatalaksanaan yang dilakukan bertujuan untuk mengendalikan gejala alergi, meringankan
intensitas serangan, mengurangi frekuensi serangan, dan membatasi penggunaan obat karena
pada prinsipnya alergi tidak dapat disembuhkan.

Penatalaksanaan dermatitis atopik pada sebagian penderita mengalami perbaikan dengan


sendirinya sesuai dengan bertambahnya usia. Menghindari atau mengurangi faktor penyebab
menjadi langkah pertama penatalaksanaannya. Sedangkan untuk penatalaksanaan rinitis alergi
pada anak dilakukan dengan penghindaran alergen penyebab dan kontrol lingkungan.
Medikamentosa diberikan bila perlu dengan antihistamin oral sebagai obat pilihan utama.

Asma dibagi dalam tiga derajat, yaitu asma episodik jarang, sering dan persisten. Untuk “asma
episodik jarang” tidak perlu menggunakan anti inflamasi. Terapi “asma episodik sering” pada
anak menggunakan anti inflamasi dan obat non steroid. Terapi “asma persisten” menggunakan
anti inflamasi dan obat steroid.

Urtikaria akut pada umumnya lebih mudah diatasi dan kadang sembuh dengan sendirinya.
Sedangkan pada urtikaria kronik lebih sukar diatasi. Idealnya tetap identifikasi dan
menghilangkan faktor penyebab. Selain itu, penggunaan antihistamin penghambat reseptor
histamin H1 dan H2 dan dapat dikombinasikan. Pada kasus berat dapat ditambah dengan
kortikosteroid jangka pendek.

5. Penatalaksanaan reaksi hipersentivitas


Tatalaksana yang diberikan adalah penghentian obat yang dicurigai, digunakan obat
pengganti yang memiliki struktur kimia berbeda. Bila diperlukan dapat diberikan terapi suportif
dan simtomatik. Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial, tetapi pada kasus yang
berat dapat membantu. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan Toxic Epidermal Necrolysis(TEN)
mungkin memerlukan perawatan di ruang rawat intensif.
Setelah diagnosis ditegakkan, pendokumentasian yang akurat di rekam medis diperlukan
untuk mencegah paparan yang tidak perlu. Reaksi non-imun cenderung tidak berat dan tidak
selalu akan berulang. Obat yang dicurigai dapat saja terus dipakai bila risiko tidak memberi obat
akan menyebabkan penyakit makin berat, atau tidak ada obat pengganti lain. Tetapi pemberian
obat harus diberikan secara desensitisasi dan graded challenge. Harus dipersiapkan obat – obatan
dan fasilitas lain untuk mengatasi bila terjadi reaksi anafilaksis.Pasien perlu dibekali daftar obat
penyebab dan alternatif penggantinya untuk identitas setiap kali memerlukan pemberian obat.
Prinsip Tatalaksana
1. Alergi penisilin
a. Sekitar 10% anak dilabel sebagai ”alergi penisilin”.
b. Mayoritas anak yang dilabel ”alergi penisilin”, ternyata cukup aman mengkonsumsi
antibiotik beta laktam yang lain.
c. Cara utama untuk menentukan apakah anak mempunyai alergi penisilin yang diperantarai
IgE adalah melalui uji kulit dengan reagen penisilin yang sesuai.Sayangnya sampai saat
ini reagen tersebut belum ada di Indonesia.
d. Untuk meyakinkan keamanan penisilin, uji oral challenge dapat dilakukan.
e. Waktu ideal untuk mengevaluasi alergi penisilin pada anak adalah saat anak sehat dan
tidak membutuhkan pengobatan antibiotik segera.
f. Dokter harus mengusahakan evaluasi alergi penisilin pada anak sehingga anak yang tidak
alergitidak perlu menyandang label alergi obat sampai dewasa.
2. Alergi antibiotik non penisilin
a. Tidak ada reagen uji kulit yang valid untuk menyingkirkan alergi yang diperantarai IgE.
b. Untuk meyakinkan keamanan obat, uji oral challenge dapat dilakukan.
c. Waktu ideal untuk mengevaluasi alergi obat pada anak adalah saat anak sehat, dan tidak
membutuhkan antibiotik.
d. Graded challenge atau desentisisasi dapat digunakan pada keadaan antibiotik dibutuhkan,
dan alternatif antibiotik pengganti tidak ada. Harus dipersiapkan obat-obatan dan fasilitas
lain yang memadai untuk mengatasi kalau terjadi reaksi anafilaksis.
3. Alergi anestetik lokal
a. Reaksi alergi tipe cepat yang sebenarnya terhadap anestetik lokal jarang terjadi.
b. Uji kulit yang dilanjutkan dengan graded challenge dapat digunakan untuk anak yang
diduga alergi terhadap anestetik local
4. Alergi asam asetilsalisilat/antiinflamasi non-steroid (AINS)
a. Reaksi terhadap AINS muncul lebih jarang pada anak dibandingkan pada dewasa.
b. Reaksi pada pasien dengan asma atau urtikaria kronik bereaksi silang antara semua obat
AINS.
c. Reaksi pada pasien tanpa asma atau urtikaria kronik, termasuk
anafilaksis/angioedema/urtikaria, adalah spesifik pengobatan.

6. Komplikasi dan prognosis hipersensitivitas


Patofisiologi alergi terjadi akibat pengaruh mediator pada organ target. Mediator tersebut dibagi
dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (performed
mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly fored mediator). Menurut asalnya
mediator ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator
primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).19
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu berikatan
dengan mediator alergi yaitu sel mast.4,19 Reaksi alergi dimulai dengan cross-linking dua atau
lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen. Rangsang ini meneruskan
sinyal untuk mengaktifkan sistem 12 nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap
cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan
mediator lain. 19 Mediator yang telah ada di dalam granula sel mast diantaranya histamin,
eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemotactic factor
(NCF). Histamin memiliki peranan penting pada fase awal setelah kontak dengan alergen
(terutama pada mata, hidung, dan kulit). Histamin dapat menyebabkan hidung tersumbat, berair,
sesak napas, dan kulit gatal. 22,23 Histamin menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dan
menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil,
sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar konstriksi karena kontraksi otot polos.
Histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular
menyebabkan respons wheal-flare (triple respons dari Lewis) dan jika terjadi secara sistemik
dapat menyebabkan hipotensi, urtikaria, dan angioderma. Pada traktus gastrointestinal, histamin
menaikkan sekresi mukosa lambung dan apabila pelepasan histamin terjadi secara sistemik,
aktivitas otot polos usus dapat meningkat dan menyebabkan diare dan hipermotilitas.
Faktor Risiko Alergi
Penyebab alergi berasal dari dalam tubuh (intrinsik) yaitu faktor genetik dan penyebab dari luar
tubuh (ekstrinsik) yang terdiri atas lingkungan dan gaya hidup termasuk pola makanan dan
hygiene. Pola makan terdiri dari konsumsi alkohol pada masa kehamilan, pola diet atau
komponen makanan ibu ketika masa kehamilan dan menyusui, penggunaan antibiotik pada ibu
hamil, dan nutrisi yang diperoleh bayi.
Manifestasi Alergi
Manifestasi alergi tampak berbeda-beda sesuai dengan letak dan rute paparan terhadap alergen.
1) Asma Bronkial
Alergen memasuki tubuh dari rute saluran pernapasan, gejala sesak napas yang akan berlanjut ke
serangan asma. Hal tersebut terjadi karena penyempitan saluran napas, terutama pada malam
hari. Alergen pada umumnya menyebabkan timbulnya banyak lendir pada saluran pernapasan.
Kebanyakan anak yang menderita asma mengalami gejala pertama sebelum usia 5 tahun. Gejala
yang menonjol dari asma dapat berupa sesak napas, mengi, dan batuk berulang. Hingga usia lima
tahun, diameter saluran napas bagian bawah pada anak relatif lebih kecil 15 dibandingkan
dengan dewasa sehingga lebih mudah terjadi obstruksi. Dinding dada pada bayi kurang kaku
sehingga mempercepat penutupan saluran napas. Demikian pula tulang rawan trakea dan bronkus
pada bayi kurang kaku sehingga mempermudah kolaps saat ekspirasi. Otot bronkus masih sedikit
menyebabkan brokodilator tidak memberikan hasil yang diharapkan. Pada dinding bronkus
utama anak ditemukan banyak kelenjar mukosa sehingga dapat mengakibatkan hipersekresi dan
memperberat obstruksi. Insertio diafragma pada bayi dan anak posisinya adalah horizontal,
sehingga pada inspirasi diafragma akan menarik dada ke dalam (retraksi).
2) Rhinitis alergi
Manifestasi klinis baru ditemukan pada anak usia 4-5 tahun dan insidennya meningkat progresif
dan akan mencapai 10-15% pada usia dewasa. Gejalanya hidung tersumbat, gatal di hidung dan
mata, bersin, dan sekresi hidung. Anak yang menderita rinitis alergi kronik dapat memiliki
bentuk wajah khas yaitu warna gelap serta bengkak di bawah mata. Bila hidung tersumbat berat,
sering terlihat mulut selalu terbuka (adenoid face). Keadaan ini memudahkan timbul gejala
lengkung palatum yang tinggi, overbite serta maloklusi. Anak yang sering menggosok hidung
karena gatal menunjukkan tanda Allergic salute.
3) Dermatitis Atopik (Eksim)
Penyakit yang sering dijumpai pada bayi dan anak, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit
yang didasari oleh faktor herediter dan lingkungan. Eksim atau dermatitis atopi terjadi pada bayi
sebelum berusia 6 bulan dan jarang terjadi dibawah usia 8 minggu. Angka kejadian1-3% di
masyarakat. Terdapat tiga bentuk klinis dermatitis atopik, yaitu bentuk infant, bentuk anak, dan
bentuk dewasa. Bentuk infant predileksi daerah muka terutama pipi lebih sering pada bayi yang
masih muda dan ekstensor ekstremitas pada bayi sudah merangkak. Lesi yang menonjol adalah
vesikel dan papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder
(infeksi bakteri maupun jamur). Gatal merupakan gejala yang mencolok sehingga bayi sering
rewel dan gelisah dengan tidur yang terganggu.
4) Urtikaria (kaligata, biduran)
Sebanyak 3,2 -12,8% dari populasi pernah mengalami urtikaria. Gejalanya bentol (plaques
edematous) multipel yang berbatas tegas, kemerahan, dan gatal. Warna memerah bila ditekan
akan memutih. Berbentuk sirkuler atau serpiginosa (merambat). Jika dibiarkan dapat menjadi
pembengkakan di hidung, muka, dan bibir. bahkan jika terjadi di mulut dapat terjadi gangguan
pernapasan.
5) Alergi saluran pencernaan
Alergi pada saluran pencernaan jarang terjadi pada bayi dengan asupan ASI. Paling banyak
terjadi pada anak yang minum susu sapi dengan gejala muntah, diare, kolik, konstipasi, buang air
besar bardarah, dan kehilangan nafsu makan.

7. Manifestasi Klinis Arthritis Rheumatoid


Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan. Sering pada
keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum,
keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
1. Keluhan umum Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.
2. Kelainan sendi Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan
tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi
siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang
terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan
nyeri sendi.
3. Kelainan diluar sendi
a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun 40% pada
autopsi RA didapatkan kelainan perikard
c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan kelainan pleura
(efusi pleura, nodul subpleura)
d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering terjadi
berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan gejala foot or wrist
drop
e. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa kekeringan
mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans
f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali, limpadenopati,
anemia, trombositopeni, dan neutropeni

8.Penegakkan diagnosis penyakit-penyakit autoimun dan membuat


diagnosis banding
 Diagnosis
Lupus eritematosus sistemik biasanya dimulai dengan gejala dan tanda nonspesifik atau
spesifik, namun dapat juga bermanifestasi pertama dengan memar, splenomegali, neuritis perifer,
mioendokarditis dan endokarditis, pneumonitis interstisial, meningitis aseptik, atau tes Coombs
positif. Keberadaan anemia (71%), leukopenia (56%), trombositopenia (11%), proteinuria,
hematuria, piuria, azotemia, hipergammaglobulinemia, kompleks imun, krioglobulin, antibodi
antifosfolipid, dan Biologic False-Positive Serologic Test for Syphilis juga membuat seseorang
dicurigai SLE. Anak-anak cenderung lebih banyak mengidap penyakit ginjal; pasien yang
berusia lebih tua saat awitan lebih jarang mengalami ruam, artritis, dan penyakit ginjal namun
lebih sering mengalami keratokonjungtivitis Sicca (sindrom Sjörgen); serta lelaki lebih sering
mengalami serositis dan lebih jarang mengalami artritis.
Kriteria yang umum digunakan untuk klasifikasi dan diagnosis adalah kriteria American
Rheumatism Association (ARA). Sensitivitas dan spesifisitas kriteria ini sekitar 96% ketika
dihubungkan dengan sindrom rematik lain. Bagaimanapun, nilai prediktif kriteria ini lebih
rendah. Pasien dapat dinyatakan sebagai bukan SLE (tidak memenuhi kriteria atau hanya
memenuhi satu kriteria), possible SLE (hanya memenuhi dua kriteria), probableSLE (hanya
memenuhi 3 kriteria), atau definite SLE (memenuhi setidaknya empat kriteria).
 Diagnosis banding yaitu SLE,
Rheumatoid Artritis, osteoartritis. Pada pasien ditemukan 4 kriteria ARA yaitu Malar rash,
fotosensitif, artritis non erosif, gangguan hematologi, test ANA +, jadi diagnosis kerja pasien
adalah Sistemik Lupus Eritematosus.
9. Penatalaksanaan penyakit autoimun
Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala
dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di
tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya
obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi
kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan
obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas.
Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif. Penelitian
melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang signifikan dalam menyebabkan
kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk
meningkatkan kualitas tidur. Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan
otot dan luas gerakan dari persendian.
Terapi Farmakologi.
Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila diperlukan, NSAID
dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu mengurangi peradangan dan nyeri pada otot,
sendi, dan jaringan lainnya. Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac.
Pada beberapa keadaan tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat
meningkatkan resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting
untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif dengan efek
samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak enak perut, nyeri abdomen,
ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya diberikan bersamaan dengan makanan untuk
mengurangi efek samping. Kadang- kadang, obat yang mencegah ulser bisa diberikan
bersamaan, seperti misoprostol
Terapi Non Farmakologi.
Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi dari sinar
matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif. Penurunan berat badan
juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihan berat badan untuk mengurangi
beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika ada masalah dengan persendian. Pada pasien
ini diberikan terapi dengan kortikosteroid sesuai teori. Kortikosteroid yang diguna dalam kasus
ini adalah methylprednisolone. Selain itu pasien juga dinasehatkan agar melindungi dirinya
daripada cahaya matahari.

10. Komplikasi dan prognosis penyakit-penyakit autoimun


Penyakit autoimun merupakan sekelompok penyakit yang biasanya kurang
jelas patogenesisnya dan dengan suatu manifestasi fenomena autoimunitas. Biasanya
dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu kelainan yang melibatkan sejumlah sistem tubuh (kelainan
multisistem) dan kelainan yang hanya melibatkan sebuah organ saja (khas organ) (Subowo,
1993).
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit
inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis,
perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam (Hochberg Mc., 1997). Penyakit ini
terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor
genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE
(Tutuncu, 2008).
Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan
penyakit autoimun multisistem yang berat. Pada keadaan ini tubuh membentuk berbagai jenis
antibodi, termasuk antibodi terhadap antigen nuklear (ANAs) sehingga menyebabkan kerusakan
berbagai organ. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode remisi dan episode serangan akut
dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat (Rahman,
2008).
Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara, dan sulit
untuk didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh
penyakit ini sulit diperoleh. SLE menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering
daripada laki-laki.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah,
jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1000
pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut
adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%,
keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% (Jacobsen, 1999). Sedangkan manifestasi
klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam discoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%,
dan lesi subkutaneus akut 6,7% (Cervera, 2003).
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membran
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, dan vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik.
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen.
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis.
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali).
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia.
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, myelitis transversus, gangguan
kognitif neuropati kranial dan perifer.
Untuk penanganan SLE, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut pilar
pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan
berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Pilar pengobatan ini meliputi edukasi dan
konseling, program rehabilitasi, pengobatan medikamentosa (OAINS, antimalaria, steroid,
imunosupresan/ sitotoksik, dan terapi lain).

DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.undip.ac.id/46310/3/Julita_Ashrifah_R_22010111130077_Lap.KTI_Bab2.pdf
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/33428/1/8b68fd4111e6cde8c454b5c400c02ddd.pdf
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/jkss/article/download/3593/3205
http://scholar.unand.ac.id/31793/13/BAB I.pdf
https://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/AI03_Alergi-Obat.pdf
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/14766/1/4b5af7f9d2503f55a347e689e5d7f2ab.pdf

Anda mungkin juga menyukai