DOSEN TUTOR
Dr. Rusdani, M.KKK
DI SUSUN OLEH :
Rifky Al Fariz
61121025
Ny. Raisa, seorang ibu rumah tangga berumur 20 tahun datang ke Dokter Praktek Swasta dengan
keluhan bercak kemerahan berbatas tegas di pergelangan tangan, muncul 4 hari yang lalu.
Bercak tersebut agak hangat pada perabaan, terasa gatal dan tidak ada nyeri pada penekanan.
Kelainan ini sifatnya kambuhan terutama setelah mencuci. Lokasi kelainannya bisa disela-sela
jari tangan atau disela jari kaki. Berdasarkan pemeriksaan fisik oleh Dokter didapatkan papul-
papul eritema pada pergelangan tangan, sela-sela jari tangan dan disela jari kaki. Dokter
menduga Ny. Raisa mengalami suatu reaksi hipersensitivitas karena kontak dengan suatu zat
yang mengakibat suatu proses alergi dan peradangan pada tangan Ny. Raisa. Ny. Raisa sempat
khawatir dengan kondisi penyakit yang dialaminya karena takut menderita penyakit seperti
saudaranya yang mengalami penyakit Lupus. Dokter juga menduga akibat kontak dengan bahan
dari sabun cuci selama ini.Dokter selanjutnya memberikan obat antiinflamasi dan antipruritus
berupa obat oral dan obat oles untuk Ny. Raisa. Dokter juga sempat menerangkan bahwa
penyakit saudaranya Ny. Raisa berbeda dengan kondisi yang dialami oleh Ny. Raisa. Dokter
menjelaskan bahwa penyakit Lupus merupakan penyakit autoimun. Penyakit autoimun itu selain
Lupus juga ada penyakit Rheumatoid artritis dan masih banyak lagi. Dokter menyarankan
kepada Ny. Raisa untuk mengurangi kontak dengan air sabun cuci. Bagaimana anda menjelaskan
kondisi Ny. Raisa dan Kondisi saudaranya Ny. Raisa?
TERMINOLOGI ASING
1. Eritema : Keemrahan pada kulit yang dihasilkan oleh kongesti pembuluh kapiler
(DORLAND ED. 30 HAL 277)
2. Lupus: Kelompok penyakit kulit yang mempunyai lesi khas berupa erosi (Dorland ed 30
hal 443)
3. Hipersensitivitas: keadaan berubahnya reaktivitas, ditandai dengan reaksi tubuh berupa
respons imun yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap sebagai benda asing.
(Dorland ed.30 hal 376)
4. Antipruritus :Mencegah atau meredakan gatal, atau agen yang bekerja seperti demikian
(kamus Dorland edisi 30 hal 51)
5. Autoimun : Ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri, lihat pada disease dan
response ( Dorland ed 30 hal 82 )
6. Antiinflamasi : Melawan atau menekan peradangan ,juga agen yang bekerja seperti
demikian (Dorland ed.30 hal 50)
7. Papul : Lesi menonjol yang kecil, berbatas, tegas, dan padat pada kulit (Dorland ed. 30
Hal 562)
8. Bercak : Daerah berbatas tegas, biasanya memiliki warna yang berbeda dengan
sekitarnya (kamus Dorland ed 30 hal 704)
9. Rheumatoid artritis : Penyakit sistemik kronik yang terutama menyerang sendi,biasanya
poliartikular,ditandai dengan perubahan akibat radang pada membrane sinovialdan
struktur articular,adanya atrofi dan penipisan tulang.pada stadium lanjut,terdapat
deformitas dan ankilosis. ( Dorland edisi 30 hal 73)
10. Inflamasi (inflammation) : Respons jaringan yang bersifat protektif terhadap cidera atau
kerusakan jaringan (Dorland ed 30 hal 394)
RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja yang menyebabkan terjadinya autoimun?
2. Apa yang dimaksud dengan obat anti inflamasi?
3. Bagaimana cara mendiagnosis lupus?
4. Apa saja yang menyebabkan terjadinya penyakit lupus dan yang penderita rasakan pada
penyakit ini?
5. Siapa saja yang beresiko terkena penyakit lupus?
6. Bagaimana terjadinya penyakit rheumatoid arthritis?
7. Bagaimana cara tubuh mencegah munculnya autoimunitas?
HIPOTESIS
1. Yang menyebabkan terjadinya Penyakit autoimun adalah akibat sistem kekebalan tubuh
atau sistem imun menyerang sel-sel sehat dalam tubuh. Penyakit ini berkembang ketika
sistem kekebalan tubuh salah dalam menilai sel sehat yang ada dalam tubuh dan malah
menganggapnya sebagai zat asing.
2. Obat anti inflamasi adalah golongan obat-obat antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan
yaitu golongan steroid dan golongan non steroid. Obat antiinflamasi golongan steroid
bekerja dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel sumbernya.
Pemakaian obat-obat tersebut mempunyai efek samping seperti iritasi gastrointestinal,
kerusakan ginjal, diare, depresi, pankreatitis dan terapi ini terkadang agresif dan tidaak
efektif dalam beberapa kasus. Untuk obat antiinflamasi golongan non sterois merupakan
obat analgetic lemah, antiflogistik, yang bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi
siklooksigenase.
3. Diagnosis Lupus ada beberapa jenis pemeriksaan yang biasanya dianjurkan jika dokter
mencurigai seseorang menderita LES :
Penghitungan sel darah lengkap (complete blood count). Penderita lupus dapat
mengalami anemia sehingga dapat diketahui melalui pemeriksaan sel darah
lengkap. Selain terjadinya anemia, penderita lupus juga dapat mengalami
kekurangan sel darah putih atau trombosit.
Analisis urine. Urine pada penderita lupus dapat mengalami kenaikan kandungan
protein dan sel darah merah. Kondisi ini menandakan bahwa lupus menyerang ke
ginjal.
Pemeriksaan ANA (antinuclear antibody). Pemeriksaan ini digunakan untuk
memeriksa keberadaan sel antibodi tertentu dalam darah dimana kebanyakan
pengidap SLE memilikinya. Sekitar 98% penderita lupus memiliki hasil positif
jika dilakukan tes ANA sehingga ini merupakan metode yang paling sensitif
dalam memastikan diagnosis.
Pemeriksaan imunologi. Di antaranya adalah anti-dsDNA antibody, anti-Sm
antibody, antiphospholipid antibody, syphilis, lupus anticoagulant, dan Coombs’
test. Pemeriksaan imunologi tersebut merupakan salah satu kriteria dalam
penentuan diagnosis SLE.
Tes komplemen C3 dan C4. Komplemen adalah senyawa dalam darah yang
membentuk sebagian sistem kekebalan tubuh. Level komplemen dalam darah
akan menurun seiring aktifnya SLE.
4. Yang nenyebabkan terjadinya lupus adalah inflamasi kronis yang disebabkan oleh sistem
imun tubuh yang bekerja dengan keliru. Dalam kondisi normal, sistem imun seharusnya
melindungi tubuh dari serangan infeksi virus atau bakteri. Sedangkan pada pengidap
lupus, sistem imun justru menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri. Lalu yang di
rasakan oleh penderita adalah nyeri dan kekakuan pada sendi tanpa disertai dengan
pembengkakan, nyeri dan kelemahan pada otot, demam yang tidak diketahui sebabnya,
perasaan sangat lelah, bercak kemerahan pada muka yang menyerupai kupu-kupu
ataupun bercak kemerahan pada kulit di tempat lain
5. Beberapa kelompok tertentu memiliki risiko lebih tinggi terkena lupus. Diantaranya yaitu
A.Wanita dengan Usia Produktif
Wanita memiliki risiko tertinggi karena faktor hormon. Hormon merupakan zat kimia
yang diproduksi tubuh. Hormon bertugas mengontrol dan mengatur aktivitas sel atau
organ tertentu. Lantas bagaimana aktivitas hormonal dapat berpengaruh? Seperti yang
dilaporkan oleh Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat, Wanita 9 kali lebih
mungkin menderita lupus dibanding pria. Selain jenis kelamin, usia juga berpengaruh,
mereka yang sedang berada di rentan usia 15-45 rentan terkena lupus.
B. Kelompok Etnis Tertentu
Meskipun lupus dapat terjadi pada siapa saja. Perlu diketahui bila ras atau etnis tertentu
ternyata menjadi salah satu faktor risiko yang tidak kalah mengkhawatirkannya dengan
faktor genetika dan jenis kelamin. Penyakit ini memiliki potensi dua hingga tiga kali
lebih tinggi terjadi pada mereka yang memiliki kulit berwarna.
Contohnya adalah orang-orang dengan keturunan Afrika, Asia, Hispanik/Latin, penduduk
asli Amerika, Hawaii, atau Kepulauan Pasifik memiliki risiko lebih besar terkena lupus,
dibandingkan etnis berkulit putih.
C. Orang dengan Lingkungan dan
Apa sajakah itu? Pertama adalah lingkungan yang mengandung bahan kimia atau virus.
Jenis lingkungan seperti ini berkontribusi besar dalam memicu penyakit lupus, terlebih
jika Anda berada di kategori rentan secara genetik. Sinar ultraviolet seperti UVA dan
UVB yang diperoleh dari paparan sinar matahari, juga dapat memicu timbulnya penyakit
lupus.
Selain itu, pemicu lain seperti merokok, penggunaan obat-obat tertentu yang membuat
seseorang lebih sensitif terhadap sinar matahari, infeksi, kelelahan, stres emosional akibat
perceraian, penyakit, kematian, atau masalah hidup lainnya, stres fisik seperti operasi
bedah, cedera fisik, kehamilan, atau melahirkan, juga berkontribusi memicu penyakit
lupus.
6. Penyebab dari penyakit Rheumatoid arthritis terjadi ketika sistem kekebalan tubuh yang
seharusnya melindungi tubuh justru berbalik menyerang tubuh. Kondisi ini dinamakan
penyakit autoimun. Penyebab timbulnya penyakit autoimun sendiri belum diketahui
secara pasti, tetapi diduga terkait dengan faktor genetik.
7. Cara terbaik untuk mencegah penyakit autoimun menyerang tubuh adalah menerapkan
pola hidup sehat, makan makanan bergizi seimbang dan teratur, olahraga secara rutin,
mengurangi stres, serta menjaga berat badan ideal.
SKEMA
-Bercak Kemerahan
pada tangan dan pada
perabaan Terasa Hangat
--Gatal dan tidak ada
Nyeri
Faktor Pencetus :
Kambuh terutama saat
mencuci
Papaul eritema
pergelangan tangan,
sela tangan dan sela
kaki
Hipersensitivitas
LEARNING OBJECTIVE
1. Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas
2. Jenis-jenis hipersensitivitas
3. Mengenai etiologi penyakit-penyakit akibat hipersensitivitas
4. Penegakan diagnosis penyakit hipersensitivitas
5. Penatalaksanaan reaksi hipersensitivitas
6. Komplikasi dan prognosis hipersensitivitas
7. Manifestasi klinis penyakit-penyakit autoimun
8. Penegakan diagnosis penyakit-penyakit autoimun dan membuat diagnosis banding
9. Penatalaksanaan penyakit-penyakit autoimun
10. Komplikasi dan prognosis penyakit-penyakit autoimun
Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas bervariasi dalam hal awal mula timbulnya
gejala maupun perjalanan klinisnya.
1. Kulit: rasa kesemutan, panas di kulit diikuti dengan kemerahan pada kulit, pruritus,
urtikaria dengan atau tanpa angioedema.
2. Saluran napas: keluarnya cairan dalam rongga hidung, hidung buntu, bersin-bersin, rasa
gatal pada hidung. Keterlibatan saluran napas bagian bawah umumnya berupa
bronkospasm, dan edema saluran napas yang menimbulkan sesak napas, mengi, dan
perasaan dada terhimpit.
3. Kardiovaskular: aritmia berupa gangguan irama atrium maupun ventrikel. Dapat dijumpai
iskemia miokard, palpitasi, dizziness, atau nyeri dada. Hipotensi merupakan gejala yang
paling mengkhawatirkan
4. Gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasm otot polos,
berupa nyeri perut, mual muntah atau diare.
5. Susunan saraf pusat: disorientasi, pingsan, kejang, dan penurunan kesadaran.
Beberapa gejala yang sering timbul pada masing – masing tipe hipersensitivitas menurut Gell
dan Coombs adalah:
1. Hipersensitivitas tipe I: anafilaksis, urtikaria, angioedem, mengi, hipotensim nausea,
muntah, sakit abdomen dan diare.
2. Hipersensitivitas tipe II: agranulositosis, anemia hemolitik dan trombositopenia.
3. Hipersensitivitas tipe III: panas, urtikaria, atralgia, limfadenopato dan serum sickness.
4. Hipersensitivitas tipe IV: eksema, eritema, lepuh, pruritus, fotoalergi, fixed drug eruption,
lesi makulopapular.
2. Jenis jenis hipersensitivitas
Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan respon jaringan yang terjadi karena adanya ikatan
silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi cepat, reaksi alergi,
atau reaksi anafilaksis. Mekanisme umum dari reaksi ini sebagai berikut : Alergen berikatan
silang dengan IgE. Sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan mediator kimiawi
lainnya. Timbul manifestasi berupa anafilaksis, urtikaria, asma bronkial atau dermatitis atopi.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang
berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan
reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II terjadi karena dibentuknya IgG dan IgM terhadap antigen
yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi sitotoksik
atau reaksi sitolitik. Reaksi ini terdiri dari 3 jenis mekanisme, yaitu reaksi yang bergantung pada
komplemen, reaksi yang bergantung pada ADCC dan disfungsi sel yang diperantarai oleh
antibodi. Mekanisme singkat dari reaksi tipe II ini sebagai berikut : IgG dan IgM berikatan
dengan antigen di permukaan sel. Fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen,
ADCC dan atau antibody. Pengeluaran mediator kimiawi. Timbul manifestasi berupa anemia
hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis, sindrom Good Pasture, atau pemvigus vulgaris.
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan
imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang secara langsung berhubungan
dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen
permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan
dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II menurut Tan., dkk. (2008) adalah:
1. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
2. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel
pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi
kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah
merah),
3. Sindrom Goodpasture. IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal (David., dkk. 2006).
2). Kompleks imun mengendap di jaringan. Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan
kompleks imun di jaringan ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular
yang meningkat, antara lain arena histamine yang dilepas sel mast.
Bentuk reaksi dari Hipersensitivitas tipe III terdiri dari 2 bentuk, yaitu :
1). Reaksi lokal atau fenomen arthus. Arthus yang menyuntikkan serum kuda ke dalam kelinci
intradermal berulangkali di tempat yang sama menemukan reaksi yang makin menghebat di
tempat suntikan. Reaksi Tipe Arthus dapat terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman, spora
jamur atau protein fekal kering yang dapat menimbulkan pneumonitis atau alveolitis atau
Farmer’s lung. C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen,
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edem. C3a dan C5a
berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik,. Neutrofil dan trombosit mulai dikerahkan di tempat
reaksi dan menimbullkan statis dan obstruksi total aliran darah. Sasaran anafilatoksin adalah
pembuluh darah kecil, sel mast, otot polos, dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi otot
polos, degranulasi sel mast, peningkatan permeabilitas vaskular dan respons tripel terhadap kulit.
Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang
digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, olagenase dan bahan vasoaktif. Akhirnya
terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.
2). Reaksi Tipe III sistemik – serum sickness. Reaksi tipe III sistemik demikian sering terlihat
pada pemberian antitoksin yang mengandung serum asing seperti antitetanus atau antidifteri asal
kuda. Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifan melepas
anafiltoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin. Mediator lainnya
dan MCF (C3a, C5a, C5, C6, C7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan
protein polikationik. Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat dengan
tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya dalam kapiler glomerulus,
bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan korpus silier mata. Komplemen juga menimbulkan
agregasi trombosit yang membentuk mikrotrombi dan melepas amin vasoaktif (Baratawidjaja.,
dkk, 2012).
Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi ini dapat disebut juga reaksi imun seluler lambat karena diperantarai oleh sel T CD4+
dan CD8+. Reaksi ini dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti reaksi Tuberkulin, reaksi
Inflamasi Granulosa, dan reaksi penolakan transplant. Mekanisme reaksi ini secara umum
sebagai berikut : Limfosit T tersensitasi. Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik
yang diperantarai oleh sel T langsung. Timbul manifestasi berupa tuberkulosis, dermatitis kontak
dan reaksi penolakan transplant.
Hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat) atau yang dipengaruhi oleh sel merupakan salah satu
aspek imunitas yang dipengaruhi oleh sel. Antigen akan mengaktifkan makrofag yang khas dan
membuat limfosit T menjadi peka sehingga mengakibatkan terjadinya pengeluaran limfokin.
Reaksi lokal ditandai dengan infiltrasi sel-sel berinti
tunggal. Ciri-ciri reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Gupte (1990) adalah :
1. Perlu rangsangan antigen.
2. Pada penderita yang peka reaksi terjadi pada pemaparan terhadap antigen yang khas
misalnya reaksi tuberculin.
3. Masa inkubaasi berlangsung selama 7 sampai 10 hari.
4. Hipersensitivitas tipe lambat dapat dipindahkan melalui sel-sel jaringan limfoid, eksudat
peritoneum dan limfosit darah.
Diagnosis alergi tergantung terutama pada riwayat klinis. Anamnesis, diperjelas oleh
pemeriksaan fisik, tes sensitivitas IgE, tes kulit atau alergen spesifik serum. Skin-prick testing
(SPT) diujikan pada kulit, dilakukan dengan ekstrak alergen. Pemeriksaan darah dilakukan
dengan memeriksa IgE total dan IgE spesifik Radio Allergosorbent test (RAST). Pemeriksaan
IgE total digunakan sebagai marker diagnosis alergi, tetapi memiliki kelemahan karena kurang
spesifik. Hal tersebut disebabkan IgE meningkat pada penyakit alergi dan juga non alergi seperti
infestasi parasit. Pemeriksaan IgE spesifik dilakukan dengan mengukur IgE spesifik alergen
dalam serum pasien. Selain itu, pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis penyakit
alergi adalah skrining antibodi IgE multi-alergen, triptase sel mast, dan Cellular antigen
stimulation test (CAST).
Penatalaksanaan/penegakan
Penatalaksanaan yang dilakukan bertujuan untuk mengendalikan gejala alergi, meringankan
intensitas serangan, mengurangi frekuensi serangan, dan membatasi penggunaan obat karena
pada prinsipnya alergi tidak dapat disembuhkan.
Asma dibagi dalam tiga derajat, yaitu asma episodik jarang, sering dan persisten. Untuk “asma
episodik jarang” tidak perlu menggunakan anti inflamasi. Terapi “asma episodik sering” pada
anak menggunakan anti inflamasi dan obat non steroid. Terapi “asma persisten” menggunakan
anti inflamasi dan obat steroid.
Urtikaria akut pada umumnya lebih mudah diatasi dan kadang sembuh dengan sendirinya.
Sedangkan pada urtikaria kronik lebih sukar diatasi. Idealnya tetap identifikasi dan
menghilangkan faktor penyebab. Selain itu, penggunaan antihistamin penghambat reseptor
histamin H1 dan H2 dan dapat dikombinasikan. Pada kasus berat dapat ditambah dengan
kortikosteroid jangka pendek.
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.undip.ac.id/46310/3/Julita_Ashrifah_R_22010111130077_Lap.KTI_Bab2.pdf
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/33428/1/8b68fd4111e6cde8c454b5c400c02ddd.pdf
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/jkss/article/download/3593/3205
http://scholar.unand.ac.id/31793/13/BAB I.pdf
https://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/AI03_Alergi-Obat.pdf
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/14766/1/4b5af7f9d2503f55a347e689e5d7f2ab.pdf