Anda di halaman 1dari 28

BAB I PENDAHULUAN

Lupus adalah sebutan dari suatu kelainan yang disebut sebagai Lupus Erythematosus. Dalam istilah sederhana, seseorang dapat dikatakan menderita penyakit Lupus Erythematosus saat tubuhnya menjadi alergi pada dirinya sendiri. Lupus adalah istilah dari bahasa Latin yang berarti Serigala. Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia. Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh, penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri. Dengan demikian, Lupus disebut sebagai autoimmune disease (penyakit dengan kekebalan tubuh berlebihan). Jenis penyakit Lupus ini memiliki beberapa bentuk, diantaranya yaitu Cutaneus Lupus, seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit, Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh seperti kulit, persendian, paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak, dan saraf, dan Drug Induced Lupus (DIL), timbul karena menggunakan obatobatan tertentu. Setelah pemakaian dihentikan, umumnya gejala akan hilang dan biasanya odipus (orang hidup dengan lupus) akan menghindari hal-hal yang dapat membuat membuat penyakitnya kambuh seperti stress, terpapar sinar matahari langsung, terlalu letih dan pemakaian obat tertentu. Odipus dapat memeriksakan diri pada dokter pemerhati penyakit ini, dokter spesialis penyakit dalam hal konsultasi hematologi, rheumatologi,

ginjal, hipertensi, alergi imunologi. SLE dapat ditanggulangi dengan berobat dan minum obat secara teratur (yang biasanya diminum seumur hidup) sehingga odipus akan dapat hidup selayaknya orang normal.

BAB II PEMBAHASAN II.1. DEFINISI


Lupus Eritematosus Sistemik (Lupus Eritematosus Diseminata, Lupus) adalah suatu penyakit autoimun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian, dan organ dalam. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibody yang muncul dan organ yang terkena.1

II.2 EPIDEMIOLOGI
Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.2

II.3. ETIOLOGI
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi
3

yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti. Penyebab dari lupus tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan factor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus antara lain : infeksi, antibiotik, (terutama golongan sulfa dan penisilin), sinar ultraviolet, stres yang berlebihan, obat-obatan tertentu, hormon. Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini. Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.

Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini. Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.

Kadang-kadang obat jantung tertentu (hidralazin, prokainamid dan betabloker) dapat menyebabkan sindroma mirip lupus, yang akan menghilang bila pemakaian obat dihentikan.1

II.4. PATOGENESIS

Kelainan sistem imun pada LES ditandai dengan berbagai faktor dan lingkungan yang mampu mengubah sistem imun tersebut yang mungkin sudah didasari kelainan genetik. Antigen dari luar yang akan diproses oleh makrofag (APC) akan menyebabkan berbagai keadaan seperti: apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen di tubuh tidak dikenal (selanjutnya disebut Self Antigen) contoh nucleosomes, U1RP, dan Ro/SS-A. Antigen tersebut akan diproses seperti umumnya antigen lain oleh APC dan sel B. Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat oleh sel B pada reseptornya untuk selanjutnya menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk peptida ini dan antibodi yang dibentuk oleh antigen eksternal akan merusak organ target (glomerolus, sel endotel, dan trombosit).

Gambar 1. Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik

Di sisi lain antibody juga dapat berikatan dengan antigennya untuk membentuk komplek imun (IC) yang dapat merusak berbagai organ tubuh bila terjadi endapan. Aktifasi sel T dan sel B tersebut sebetulnya akan dikontrol oleh gen-gen yang berbeda, yang mungkin dapat direspon tubuh dengan cara pembersihan antigen atau komplek imun dalam sirkulasi. Perubahan abnormal di dalam sistem imun tersebut dapat

mempresentasikan protein RNA, DNA, dan fosfolipid ke dalam sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibody tersebut dapat berikatan dengan glikoprotein II dan III di dinding
6

trombosit dan eritrosit. Di sisi lain, antibody juga dapat bereaksi dengan antigen sitoplasmik trombosit dan eritrosit yang akhirnya akan menyebabkan proses apoptosis. Peningkatan komplek imun di sirkulasi sering ditemukan pada penderita LES dan keadaan ini sering menimbulkan kerusakan jaringan bila terjadi pengendapan. Komplek imun tersebut dapat juga berkaitan dengan komplemen yang akhirnya berikatan dengan reseptor C3b di sel darah merah yang akan menimbulkan hemolisis. Bila komplek imun melalui hepar maka akan dieliminasi dengan cara mengikat C3bR dan bila melalui limpa akan diikat oleh FcR IgG. Ketidakmampuan kedua organ tersebut akan menimbulkan menifestasi klinik berupa hemolisis. Deposit komplek imun sirkulasi (CIC) tidak sederhana karena melibatkan aktifasi berbagai komplemen, PMN, dan berbagai mediator inflamasi lainnya yang timbul karena kerusakan/disfungsi sel endotel pembuluh darah. Berbagai keadaan sitokin yang terjadi pada LES ialah : penurunan jumlah IL-1 dan peningkatan IL-6, dan IL-4.3

II.5. GEJALA KLINIS


Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta

ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya. Otot dan kerangka tubuh Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut.

Kulit Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari. Ginjal Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap).

Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal. Sistem saraf Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem saraf.
8

Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi. Darah Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus.

Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru.

Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun. Jantung Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. berarti.

Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut. Paru-paru Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.

Gejala dari penyakit lupus: demam, lelah, merasa tidak enak badan, penurunan berat badan, ruam kulit, ruam kupu-kupu, ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari, sensitif terhadap sinar matahari, pembengkakan dan nyeri persendian, pembengkakan kelenjar, nyeri otot, mual, muntah, nyeri dada pleuritik, kejang, psikosa. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: hematuria (air kemih mengandung darah), batuk darah, mimisan, gangguan menelan, bercak kulit,
9

bintik merah di kulit, perubahan warna jari tangan bila ditekan, mati rasa dan kesemutan, luka di mulut, kerontokan rambut, nyeri perut, gangguan penglihatan.1,6

II.6. KLASIFIKASI DIAGNOSIS2,7


Kriteria klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada tahun 1997. Kriteria diagnosis pada anak berdasarkan kriteria tersebut mempunyai sensitivitas 96% dan spesifisitas 100%.
Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology)* No Kriteria 1 Bercak malar (butterfly rash) 2 Bercak diskoid Definisi Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi 3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik 4 5 Ulkus mulut Artritis Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi 6 Serositif a. Pleuritis Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub

10

atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik atau b. Perikarditis Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik 7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan atau b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran 8 Gangguan saraf Kejang Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) atau Psikosis Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) 9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah Anemia hemolitik dengan retikulositosis Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan

11

Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat 10 Gangguan imunologi Anti ds-DNA diatas titer normal Anti-Sm(Smith) (+) Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema 11 Antibodi antinuklear *Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100% spesifisitas (Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005) Tes ANA (+) Terdapat salah satu kelainan

II.7. PEMERIKSAAN LABORATORIUM1,5


Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya: 1. Pemeriksaan darah

12

Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit. 2. Ruam kulit atau lesi yang khas 3. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis 4. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung 5. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein 6. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah 7. Biopsi ginjal 8. Pemeriksaan saraf.

II.8. PENATALAKSANAAN3
Salah satu aspek penting pada penatalaksanaan LES ialah adanya beberapa perbedaan pendapat. Hal ini muncul karena laporan beberapa sentra yang mengemukakan keberhasilan pengobatan dan sampai sekarang belum ada

13

satu panduan umum penatalaksanaan/pengobatan LES yang dapat diterima semua pihak. Keadaan ini sebetulnya dapat diatasi dengan menentukan jenis LES dan derajat penyakitnya. Dengan makin berkembangnya beberapa pemeriksaan penunjang maka deteksi dini LES dapat dengan mudah dilakukan. Beberapa pertanyaan sebelum melakukan penatalaksanaan LES yaitu : 1. Apakah pasien masuk kriteria ARA atau tidak. 2. Bila tidak, apakah pasien memenuhi kriteria biopsi. Dengan panduan biopsi apakah pasien termasuk LES atau diskoid lupus. 3. Apakah keluhan yang muncul merupakan bagian dari penyakit konektif lainnya. 4. Setelah mengetahui LES, pastikan organ sasaran yang terkena dan derajat sakitnya. 5. Adakah penyakit lain yang dapat terjadi bersamaan dengan LES. Bila ada tentukan apakah primer atau sekunder. 6. Upaya pengobatan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan mempertimbangkan untung-rugi dari suatu regimen pengobatan. Dari hal-hal tersebut di atas kita dapat mulai penatalaksanaan LES dengan baik; beberapa keberhasilan pengobatan dapat dijadikan panduan penatalaksanaan sesuai dengan derajat dan target organ sasaran yang terkena. Mengingat pengobatan akan berlangsung lama bahkan dapat seumur hidup maka pemberian obat harus rasional, efek samping se-minimal mungkin, mempunyai efektifitas tinggi, obat mudah didapat, dan murah
14

Penatalaksanaan Lupus eritematosus sistemik dibagi dua kelompok yaitu : 1. Penatalaksanaan umum. 2. Pengobatan farmakologis.

PENATALAKSANAAN UMUM 1. Kelelahan Hampir setengah penderita LES mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi pengobatan dan emotional stress. Gejala ini merupakan manifestasi yang berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam proses inflamasi sehingga peningkatan keluhan dapat sebagai parameter aktivitas inflamasi. Upaya mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah : cukup istirahat, batasi aktivi-tas dan mampu mengubah gaya hidup.

2. Merokok Walaupun prevalensi LES lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada sigaret/rokok.

3. Cuaca Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada dua musim akan tetapi pada sebagian penderita LES khususnya dengan

15

keluhan artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi . 4. Stres dan trauma fisik Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik dapat mempengaruhi sistem imun melalui : penurunan respon mitogen limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural Killer). Keadan stres tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi LESnya. Umumnya beberapa peneliti sependapat bahwa stres dan trauma fisik sebaiknya dikurangi atau dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya. . 5. Diet Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES, makanan yang berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan (fish oil) yang mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal.

6. Sinar matahari (sinar ultra violet) Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga
16

semua pasien LES dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu tersebut.

7. Kontrasepsi oral Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat LES, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada penderita LES yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.

PENGOBATAN FARMAKOLOGIS
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien. NSAID Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan
17

hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50%. Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria manifestasi yang muncul. Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (6080 mg sehari selama kehamilan minggu ke-1326) yang dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE yang mengalami kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian aspirin dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau susu untuk mengurangi efek samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar 80-100% dari dosis oral. Di dalam
18

tergantung dari

tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang lemah dengan protein plasma. t 1/2 aspirin 15 20 menit. Apirin diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin. NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia (Neal, 2002). Oleh karena itu penggunaan NSAID sebaiknya dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat merusak mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung. Dengan menghambat prostaglandin,

NSAID merusak barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh asam lambung dan menyebabkan ulserasi. (Neal, 2002). Karena efek samping tersebut di atas maka pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat gastroprotektif. Antimalaria Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan

19

kerusakan organ-organ

penting.

Beberapa

mekanisme

aksi

dari

obat

antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor (TNF- ). Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat. Obat malaria yang sering digunakan adalah : Klorokuin Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga tidak dianjurkan pemberian secara parenteral untuk anak-anak. Dosis yang digunakan 150 mg (250 mg klorokuin fosfat) per hari. Efek samping yang terjadi meliputi ocular toksisitas (keratopati dan retinopati), saluran cerna, SSP, kardiovaskular, dll. Sebaiknya diberikan bersama dengan makanan karena bioavailabilitasnya bagus (absorpsi meningkat). Secara luas didistribusikan di seluruh tubuh, mengikat sel-sel yang mengandung melanin yang terdapat dalam kulit dan

20

mata, 50% 65% terikat dengan protein plasma. Diekskresi secara lambat di ginjal dan yang tidak terabsorpsi diekskresi dalam feses. Hidroksiklorokuin Dosis yang digunakan 155 310 mg (200 400 mg hidroksiklorokuin sulfat). Efek samping yang terjadi sama dengan klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi. Didistribusikan ke dalam air susu ibu (ASI). Kortikosteroid Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen. Tujuan pemberian kortikosteroid

21

pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (10 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu. Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien

menunjukkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid. Kadar dalam serum menurun komplemen dan antibodi DNA

dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi

seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari. Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang
22

perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA). Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan

peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D. Siklofosfamid Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi

23

sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit. Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid. Obat ini mengalami absorpsi sebesar 74 22% dari dosis oral. Siklofosfamid dimetabolisme oleh hepatic microsomal mixed-function oxidase menjadi bahan yang aktif. Obat ini mempunyai ikatan dengan protein

plasma sebesar 13%, sedangkan metabolitnya 50%. Eliminasi melalui ginjal untuk obat dalam bentuk utuh sebesar 6,5 4,3% dan 60% dalam bentuk metabolit. t1/2 7,4 4 jam. Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara

24

pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma.

II.9. PROGNOSIS1,2 Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.

25

BAB III KESIMPULAN Lupus Eritematosus Sistemik (Lupus Eritematosus Diseminata, Lupus) adalah suatu penyakit autoimun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian, dan organ dalam. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih. Penyebab dari lupus tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan factor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus antara lain : infeksi, antibiotik, (terutama golongan sulfa dan penisilin), sinar ultraviolet, stres yang berlebihan, obat-obatan tertentu, hormon. Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak diketahui. Kelainan sistem imun pada LES ditandai dengan berbagai faktor dan lingkungan yang mampu mengubah sistem imun tersebut yang mungkin sudah didasari kelainan genetik.
26

Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya. Kriteria klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi pada tahun 1997. Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya: pemeriksaan darah, ruam kulit atau lesi yang khas, rontgen dada, pemeriksaan dada dengan stetoskop, analisa air kemih, hitung jenis darah, Biopsi ginjal, dan pemeriksaan saraf. Penatalaksanaan Lupus eritematosus sistemik dibagi dua kelompok yaitu : penatalaksanaan umum dan farmakologis. Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan.

27

Daftar Pustaka

1. http://medicastore.com/penyakit/538/Lupus_Eritematosus_Si stemik.html 2. http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/lupus -eritematosus-sistemik-pada-anak/ 3. Sukmana, Nanang., Penatalaksanaan LES pada Berbagai Target Organ; Cermin Dunia Kedokteran no. 142,

2004;pp.27-30. 4. http://www.tanyadokter.com/disease.asp?id=1001480 5. http://en.wikipedia.org/wiki/Systemic_lupus_erythematosus 6. Nelson LJ, Schneider E, Wells CD, and Moore M.Nelson Textbook of Pediatrics. Chapter 148 Systemic Lupus Erythematosus. 17th edition. Philadelphia: W.B.Saunders Company. 7. http://www.reumatologiindonesia.org/downloads_03/downlo ad_15.pdf

28

Anda mungkin juga menyukai