Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENGARUH ALKOHOL TERHADAP SISTEM IMUN

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7

1. CHRISTY A.W KAIWAY


2. ELISABETH UMMI KORWA
3. HERAL RICHARD PUGU
4. NEHEMIA RUMAYOMI JR
5. MIRIAM NATHANIA SITUJU
6. RANI PUTRI REUMI
7. RISANTIH A HELUKA
DOSEN PENGAMPU :
Dr.dr. Hendrikus MB Bolly, M.Si, SpBS, FICS, AIFO-K, CP.NLP

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERISTASI CENDERAWASIH
JAYAPURA
2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat-Nya dan Karunia-Nya, maka makalah yang berjudul “Pengaruh Alkohol pada
Sistem Imun” dapat diselesaikan. Secara garis besar makalah menggambarkan pengaruh
konsumsi alcohol yang berlebihan terhadap komponen-komponen yang berpengaruh
pada sistem imun.

Kami menyadari penuh bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami tetap berharap bahwa makalah ini dapat memberikan
manfaat.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I .............................................................................................................................. 1

A. ALKOHOL ............................................................................................................. 1
B. SISTEM IMUN ....................................................................................................... 2

BAB II .............................................................................................................................. 6

A. EFEK ALKOHOL PADA SISTEM IMUN BAWAAN .......................................... 6


B. EFEK ALKOHOL PADA SISTEM IMUN ADAPTIVE ..................................... 15

BAB III .......................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. ALKOHOL
Alkohol umumnya dalam bentuk ethyl alcohol atau etanol yang mengganggu
pengaturan eksitasi atau inhibisi di otak. Efek farmakologis etanol meliputi
pengaruhnya pada proses timbulnya penyakit, perkembangan prenatal, sistem
gastrointestinal, kardiovaskular dan sistem saraf pusat. Toleransi terhadap
etanol mulai timbul setelah penggunaan kronis yang ditunjukkan antara lain
dengan gangguan psikis dan aktivitas bila konsumsi alkohol dihentikan secara
tiba-tiba. 0,8% dan prevalensi ketergantungan alkohol adalah 0,7% pada pria
maupun wanita. Alkohol umumnya dalam bentuk ethyl alcohol atau etanol
yang mengganggu pengaturan eksitasi atau inhibisi di otak. Efek farmakologis
etanol meliputi pengaruhnya pada proses timbulnya penyakit, perkembangan
prenatal, sistem gastrointestinal, kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
Toleransi terhadap etanol mulai timbul setelah penggunaan kronis yang
ditunjukkan antara lain dengan gangguan psikis dan aktivitas bila konsumsi
alkohol dihentikan secara tiba-tiba.
Puncak konsentrasi etanol dalam darah dapat dicapai dalam waktu 30 menit
setelah ingesti etanol dalam keadaan lambung kosong. Volume distribusi
untuk etanol mendekati total air dalam tubuh (0,5-0,7 l/kg). Karena absorpsi
dari usus halus lebih cepat dibandingkan dari lambung seperti penundaan
pengosongan lambung, misalnya, karena adanya makanan dalam lambung,
dapat memperlambat absorpsi etanol. Dengan dosis alkohol secara oral yang
setara, wanita memiliki konsentrasi puncak yang lebih tinggi daripada pria.
Hal ini disebabkan karena wanita memiliki total kadar air tubuh yang lebih
rendah dari pria dan karena perbedaan dalam first-pass metabolism rendah
dari pria dan karena perbedaan dalam first-pass metabolism.
Jalur utama untuk metabolisme alkohol melibatkan alkohol dehidrogenase
(ADH), golongan cytosolic enzyme yang mengkatalisis konversi alkohol
menjadi acetaldehyde. Enzim ini terletak terutama di hepar, namun sejumlah
kecil ditemukan di organ lain seperti otak dan lambung. Selama konversi

1
etanol oleh ADH menjadi acetaldehyde, ion hidrogen ditransfer dari etanol ke
kofaktor nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+ ) untuk membentuk
NADH. Oksidasi alkohol yang dihasilkan melebihi reducing equivalents di
hepar. Kelebihan produksi NADH berkontribusi pada gangguan metabolisme
pada alkoholisme kronis, dan merupakan penyebab dari asidosis laktat
maupun hipoglikemia pada keracunan alkohol akut.
B. SISTEM IMUN
Jutaan bakteri, virus, pathogen dan berbagai mikroogranisme yang lainnya
berupaya memasuki tubuh kita dengan berbagai cara melalui sistem
pernapasan, sistem pencernaan dan melalui permukaan kulit. Sistem ini
mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme
akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai parasit, serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel
organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa.
Ada dua jenis imunitas, imunitas bawaan dan adaptif. Imunitas bawaan (non
spesifik) merupakan pertahanan yang telah ada semenjak lahir. Imunitas ini
berfungsi sebagai respon cepat dalam mencegah penyakit. Imunitas bawaan
tidak mengenali mikroba secara spesifik dan melawan semua mikroba dengan
cara yang identik. Selain itu, imunitas bawaan tidak memiliki komponen
memori sehingga tidak dapat mengenali kontak yang dulu pernah terjadi.
Imunitas bawaan terdiri dari komponen lini pertama, yaitu kulit dan membran
mukus dan lini kedua yaitu substansi antimikroba, sel natural killer, dan
fagosit.
Imunitas adaptif (spesifik) merupakan imunitas yang melibatkan mekanisme
pengenalan spesifik dari patogen atau antigen ketika berkontak dengan sistem
imun. Tidak seperti imuitas bawaan, imunitas adaptif memiliki respon yang
lambat, tetapi memiliki komponen memori, sehingga dapat langsung
mengenali kontak selanjutnya. Limfosit merupakan komponen dari imunnitas
adaptif.
1. Pertahanan Tubuh Non Spesifik
Respon imun nonspesifik pada umumnya merupakan imunitas bawaan
(innate immunity), artinya bahwa respon terhadap zat asing yang masuk

2
ke dalam tubuh dapat terjadi walaupun tubuh belum pernah terpapar pada
zat tersebut. Respon imun nonspesifik dapat mendeteksi adanya zat asing
dan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya, tetapi tidak
mampu mengenali dan mengingat zat asing tersebut. Komponen-
komponen utama respon imun nonspesifik adalah pertahanan fisik,
kimiawi, humoral dan selular. Pertahanan ini meliputi epitel dan zat-zat
antimikroba yang dihasilkan dipermukaannya, berbagai jenis protein
dalam darah termasuk komplemen-komplemen sistem komplemen,
mediator inflamasi lainnya dan berbagai sitokin, sel-sel fagosit yaitu sel-
sel polimorfonuklear, makrofag dan sel natural killer (NK). Pertahanan
tubuh non-spesifik dibagi menjadi dua yaitu secara internal dan eksternal
a. Sel Natural Killer (NK)
Sel NK atau sel pembunuh alami tidak menyerang
mikroorganisme secara langsung; alih-alih mereka merusak sel
tubuh yang diserang oleh virus dan sel-sel abnormal yang dapat
membentuk tumor. Sel NK tidak bersifat fagositik; melainkan
menyerang membrane sel sehingga sel tersebut lisis (pecah).
b. Respon Peradangan
Inflamasi merupakan respon tubuh terhadap kerusakan jaringan,
misal akibat tergores atau benturan keras. Pada proses ini
dipengaruhi oleh histamin dan prostalgidin. Histamin yang
dihasilkan oleh sel tubuh berperan untuk meningkatkan
konsentrasi otot dan permeabilitas dinding pembuluh darah kapiler
di sekitar area yang terinfeksi. Peningkatan aliran darah akan
memudahkan perpindahan sel – sel fagosit dari darah ke dalam
jaringan yang terluka. Netrofil merupakan fagosit pertama yang
menyelubungi luka selanjutnya monosit berperan dengan
berkembang menjadi makrofag yang akan membersihkan sel – sel
jaringan yang rusak.
c. Protein Antimikroba
Protein yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh nonspesifik
disebut sistem komplemen. Protein tersebut dapat secara langsung

3
membunuh mikroorganisme ataupun mencegah reproduksinya.
Protein komplemen bersirkulasi dalam darah dalam bentuk tidak
aktif. Jika beberapa molekul dari satu jenis protein komplemen
aktif, mereka mengaktifkan banyak molekul komplemen lain.
Setiap molekul yang teraktifkan, akan mengaktifkan jenis protein
komplemen lain dan begitu seterusnya. Aktivasi protein
komplemen terjadi jika protein komplemen tersebut berikatan
dengan protein yang disebut antigen. Antigen telah dimiliki oleh
patogen. Aktivasi dapat terjadi ketika protein komplemen
berikatan langsung dengan permukaan bakteri. Beberapa protein
komplemen dapat bersatu membentuk pori kompleks yang
menginduksi lisis (kematian sel) pada patogen. Beberapa protein
komplemen yang teraktifkan juga menyebabkan respons
pertahanan tubuh nonspesifik yang disebut peradangan
(inflamasi). Selain itu, “menarik” sel-sel fagosit menuju sel atau
jaringan yang rusak.
2. Pertahanan Tubuh Spesifik
Sistem pertahanan tubuh spesifik merupakan pertahanan tubuh terhadap
patogen tertentu yang masuk ke tubuh. Sistem ini bekerja apabila patogen
telah berhasil melewati sistem pertahanan tubuh nonspesifik. Sistem
pertahanan tubuh spesifik disebut juga dengan sistem kekebalan tubuh
atau sistem imun. Sistem kekebalan tubuh terbentuk karena adanya peran
antigen dan antibodi. Pertahanan tubuh secara spesifik dilakukan oleh
antibodi yang dibentuk oleh limfosit karena adanya antigen yang masuk
ke tubuh. Limfosit terdiri atas dua tipe, yaitu limfosit B (sel B) dan limfosit
T (sel T).
a. Sel B
Sel B berperan dalam pembentukan kekebalan humoral dengan
membentuk antibodi. Sel B dapat dibedakan menjadi 3 jenis
berikut.
1) Sel B pembelah, berfungsi membentuk sel B plasma dan
sel B pengingat (memori).

4
2) Sel B plasma, berfungsi membentuk antibodi.
3) Sel B pengingat (memori), berfungsi mengingat antigen
yang pernah masuk ke tubuh serta menstimulasi
pembentukan sel B plasma jika terjadi infeksi kedua.
b. Sel T
"T" berasal dari kata timus, yaitu suatu kelenjar dalam rongga dada
di atas jantung yang berperan dalam pematangan limfosit T setelah
diproduksi di sumsum tulang. Sel T berperan dalam pembentukan
kekebalan seluler yaitu dengan cara menyerang sel penghasil
antigen secara langsung. Sel T juga ikut membantu produksi
antibodi oleh sel B plasma. Sel T dapat dibedakan menjadi tiga
jenis berikut :
Sel T sitotoksik, berfungsi menyerang patogen yang masuk ke
tubuh, sel tubuh yang terinfeksi, serta sel kanker secara langsung.
1) Sel T helper, berfungsi menstimulasi pembentukan jenis
sel T lainnya dan sel B plasma serta mengaktivasi
makrofag untuk melakukan fagositosis.
2) Sel T supresor, berfungsi menurunkan dan menghentikan
respon imun dengan cara menurunkan produksi antibodi
dan mengurangi aktivitas sel T sitotoksik. Sel T supresor
akan bekerja setelah infeksi berhasil ditangani.
3. Antibodi
Antibodi merupakan biomolekul yang tersusun atas protein dan dibentuk
sebagai respons terhadap keberadaan benda-benda asing yang tidak
dikehendaki di dalam tubuh kita. Benda-benda asing itu disebut antigen.
Tiap kali ada benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh diperlukan
10-14 hari untuk membentuk antibodi. Antibodi dihasilkan oleh limfosit
B atau sel-sel B. Antibodi digunakan untuk menetralkan atau
menghancurkan antigen yang masuk ke dalam tubuh. Setiap detik sekitar
2.000 molekul antibodi diproduksi oleh sel-sel B. Terdapat 5 jenis
antibody yaitu IgA, IgD, IgE, IgG, IgM.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dampak Alkohol terhadap Sistem Imun Bawaan


I. Dampak Alkoholisme pada Sistem Imun Innate Seluler
Imunitas bawaan (juga disebut imunitas alami atau dasar) diperantarai
oleh sel dan protein yang selalu berada dan terangsang untuk menyerang
mikroba, siap untuk bereaksi segera terhadap infeksi. Unsur utama
imunitas bawaan adalah penyangga epitel dari kulit, saluran gastro
intestinal, dan saluran respiratorik, yang mencegah masuknya mikroba,
leukosit yang bersifat fagosit (neutrofil dan makrofag), suatu jenis sel yang
disebut natural killer (NK) dan beberapa protein plasma yang beredar,
terutama protein-protein dari sistem komplemen. Reaksi imun bawaan
dapat mencegah dan mengelola berbagai infeksi.
Ada enam macam sel darah putih yang biasa ditemukan dalam darah.
Keenam sel tersebut adalah neutrofil polimorfonuklear, eosinofil
polimorfonuklear, basofil polimorfornuklear, monosit, limfosit, dan
kadang sel plasma.
Granulosit adalah salah satu jenis sel darah putih yang penting untuk
sistem kekebalan tubuh. Granulosit memiliki sel yang bersegmen dan dan
lobus pada inti sel dan granul pada sitoplasmanya, yang terdiri dari
neutrofil, basofil, dan eosinofil. Granulosit dan monosit melindungi tubuh
terhadap organisme penyerang terutama dengan cara memakannya
(misalnya, melalui fagositosis). Granulosit ini memiliki banyak lobus
maka disebut juga sebagai leukosit polimorfonuklear (PMN). PMN
bertindak sebagai fagosit dengan menelan pathogen (proses fagositosis).
Kemudian, PMN juga dapat mengeluarkan zat beracun dari butirannya
yang dapat membunuh pathogen. PMN juga bekerja dalam regulasi respon
pertahanan local dengan melepaskan molekul sinyal yang disebut sitokin
dan kemokin.
Makrofag adalah jaringan yang mempunyai kemampuan untuk
memfagositosis sejumlah besar bakteri, virus, jaringan nekrotik, atau

6
partikel asing lainnya dalam jaringan. Dan bila dirangsang dengan tepat,
makrofag jaringan dapat melepaskan diri dari tempat pelekatannya dan
akan bereaksi terhadap kemotaksis dan semua rangsangan yang
berhubungan dengan proses peradangan. Jadi, tubuh memiliki "sistem
monosit-makrofag" yang tersebar luas hampir di seluruh area jaringan.
Monosit dan makrofag adalah leukosit dengan nukleus lobus tunggal yang
juga bertindak sebagai fagosit dan oleh karena itu disebut juga sebagai
fagosit mononuklear. Monosit adalah sel yang beredar dalam darah
sampai mereka diperingatkan akan adanya patogen di jaringan tertentu.
Ketika mereka berada di tempat infeksi, mereka akan berkembang
menjadi sel-sel pertahanan yang memasuki jaringan. Setelah
menghilangkan patogen dengan fagositosis, monosit menunjukkan protein
yang diturunkan dari patogen dan molekul lain yaitu antigen pada
permukaannya. Monosit dan makrofag juga menghasilkan sitokin tertentu
yang membantu mengatur aktivitas sistem kekebalan.
Sel dengan morfologi menyerupai dendrit (contoh dengan penjuluran
sitoplasma berbentuk dendritik yang halus) terdapat dalam dua jenis yang
fungsinya berbeda. Sel dendritik (dentritic cells/DC), kadang disebut sel
dendrit yang interdigitatif, memaparkan antigen MHC kelas 11, dan
molekul kostimulator sel T dengan intensitas kuat sekali, dan berfungsi
menangkap dan menyajikan antigen kepada sel T. Sel dendrit berada di
dalam dan di bawah epitel, yang merupakan lokasinya yang strategis
untuk menangkap mikroba yang masuk: contohnya adalah sel Langerhans
di epidermis. Sel dendrit juga menempati zona sel T dari jaringan kelenjar
getah bening, sehingga dapat memaparkan antigen kepada limfosit yang
beredar ke dalam jaringan tersebut, dan di dalam interstisium dari banyak
organ non limfoid, seperti jantung dan paru, sehingga mereka siap untuk
menangkap antigen mikroba yang menyerang. Satu subset sel dendrit
disebut DC plasmasitoid karena menyerupai sel plasma. Sel jenis ini
berada di dalam darah dan organ limfoid, merupakan sumber utama
sitokin antivirus, interferon tipe 1, yang diproduksi pada berbagai infeksi
virus. Sel jenis kedua dengan morfologi dendritik adalah sel dendrit folikel

7
(follicular dendritic cells/ FDC). Sel ini terletak di dalam pusat benih
(gerrninal center) dari folikel limfoid di dalam limpa dan kelenjar getah
bening. FDC mempunyai reseptor untuk Fc, ekor dari molekul IgG dan
untuk protein komplemen, sehingga dapat memperangkap antigen yang
terikat pada antibodi dan komplemen secara efisien. Sel ini menyajikan
antigen kepada Limfosit B yang teraktifkan di dalam folikel limfoid dan
mendukung reaksi pembentukan antibodi, tetapi tidak terlibat dalam
penangkapan antigen untuk disajikan kepada sel T. Sel dendritic
merupakan fagosit mononuclear yang berasal dari monosit, peran utama
sel dendritic adalah untuk menangkap, menelan dan memproses antigen di
permukaan ke sel-sel respon imun adapatif yaitu ke sel T-Limfosit.
Dengan demikian, sel dendritik berperan penting dalam menghubungkan
respon imun bawaan dan adaptif.
Sel pembunuh alami (Natural Killer/NK) adalah limfosit yang timbul dari
sel asal (progenitor) limfoid biasa yang berkembang menjadi limfosit T
dan B. Walaupun demikian, sel NK adalah sel yang berperan dalam
imunitas bawaan dan tidak memaparkan reseptor antigen yang sangat
variabel serta terdistribusi klonal. Oleh karena itu, mereka tidak
mempunyai spesifisitas yang beraneka seperti yang dimiliki sel T atau sel
B. Sel NK mempunyai dua jenis reseptor yang menghambat dan yang
mengaktifkan. Reseptor yang bersifat inhibisi mengenal molekul diri
(self) dari MHC kelas I, yang terpapar pada semua sel yang normal/sehat,
sedangkan reseptor yang bersifat aktivasi mengenal molekul yang
terpapar atau meningkat pada sel yang mengalami stres, sel yang
terinfeksi atau sel yang mengalami kerusakan DNA. Pada keadaan
normal, reseptor inhibisi mendominasi reseptor aktivasi, sehingga dapat
mencegah aktivasi sel NK. Infeksi (terutama infeksi virus) dan stres
menyebabkan menurunnya pemaparan MHC kelas 1, sehingga
menghalangi inhibisi sel NK. Pada saat yang sama, peranan reseptor
aktivasi meningkat. Hasil akhir adalah aktivasi sel NK, sehingga sel yang
terinfeksi dan sel yang mengalami stres dibunuh dan disingkirkan.
1. Efek Alkohol pada PMN

8
Penyalahgunaan alkohol mengakibatkan cacat yang mendalam pada
fungsi PMN. Misalnya, alkohol menekan perekrutan jaringan PMN
selama infeksi dan peradangan, yang dapat menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap infeksi bakteri (terutama pneumonia), penurunan
pembuangan bakteri yang menyerang (yaitu pembersihan bakteri), dan
peningkatan kematian akibat pneumonia. Dengan demikian, alkohol
mengganggu berbagai proses yang diperlukan untuk mengantarkan
neutrofil ke tempat infeksi, seperti ekspresi molekul yang disebut
CD18 pada PMN sebagai respons terhadap rangsangan peradangan
dan "hiperadherensi" PMN ke sel endotel setelah stimulasi yang tepat.
Selain itu, alkohol secara signifikan menghambat aktivitas fagositik
PMN serta produksi atau aktivitas beberapa molekul (misalnya,
superoksida atau elastase) yang terlibat dalam aktivitas bakterisidal
PMN, sehingga aktivitas bakterisidal keseluruhan pada akhirnya
adalah berkurang.
Penyalahgunaan alkohol juga sangat mempengaruhi produksi
granulosit baru (yaitu, granulopoiesis), khususnya sebagai respons
terhadap infeksi. Bahkan, penyalahguna alkohol dengan infeksi
bakteri yang parah sering hadir dengan tingkat granulosit abnormal
rendah (yaitu, granulocytopenia), yang dalam studi praklinis dan klinis
dikaitkan dengan peningkatan kematian. Selain itu, keracunan alkohol
dapat menghambat pembelahan sel dan diferensiasi sel prekursor
(yaitu, sel induk hematopoietik) menjadi granulosit, yang merupakan
langkah penting dalam granulopoiesis yang dipicu oleh infeksi.
Pengamatan ini menunjukkan bahwa efek yang dimediasi alkohol
pada PMN berkisar dari tahap awal komitmen prekursor topoietik
hema primitif hingga gangguan perekrutan dan fungsi dalam jaringan
yang terinfeksi.
2. Efek Alkohol pada Fagosit Mononuklear
Fagosit mononuklear termasuk monosit dalam darah, makrofag yang
berada di jaringan, dan sel dendritik. Studi menemukan bahwa
penyalahgunaan alkohol merusak fungsi fagositik sel-sel ini. Efek ini

9
sangat penting dalam pengaturan tuberkulosis, karena pada orang
sehat lebih dari 90 persen patogen tuberkulosis yang dihirup (yaitu,
mikobakteri) dicerna dan dihancurkan oleh makrofag alveolar.
Pertahanan awal ini sangat penting untuk membersihkan infeksi dan
mencegah mikobakteri berkembang biak lebih lanjut. Penyalahgunaan
alkohol kronis juga memengaruhi monosit dalam darah: Meskipun
jumlah sel ini meningkat, fungsinya terganggu pada berbagai
tingkatan. Dengan demikian, ada penurunan yang signifikan dalam
fagositosis monosit, kepatuhan terhadap sel lain (yang penting untuk
perekrutan mereka ke jaringan), produksi spesies oksigen reaktif, dan
pembunuhan mikroba intraseluler , serta perubahan dalam ekspresi
berbagai protein (yaitu, reseptor) pada permukaan monosit.
Alkohol juga menginduksi peningkatan ekspresi molekul yang disebut
CCR5 pada permukaan makrofag, yang sangat penting pada pasien
dengan infeksi HIV bersamaan. Molekul ini biasanya berfungsi
sebagai reseptor kemokin. Namun, pada pasien yang terinfeksi HIV,
itu juga bekerja sebagai koreseptor (bersama dengan CD4) untuk HIV,
memungkinkan strain HIV atau SIV tertentu untuk menginfeksi
makrofag. Oleh karena itu, peningkatan ekspresi CCR5 yang diinduksi
alkohol mengarah pada peningkatan infektivitas galur HIV ini di
makrofag. Efek serupa telah diamati pada kera rhesus pemakan
alkohol kronis yang menunjukkan peningkatan persentase monosit
pengekspres CCR5. Peningkatan ini berkorelasi dengan peningkatan
“titik setel” virus SIV3 dalam sirkulasi, yang pada gilirannya dikaitkan
dengan perkembangan penyakit SIV yang lebih cepat. Konsumsi
alkohol kronis juga menurunkan jumlah sel dendritik, mengganggu
diferensiasinya, dan merusak fungsinya, seperti kemampuannya untuk
merangsang sel lain,menyerap dan menelan partikel dari luar sel, dan
mengekspresikan reseptor kostimulatori. Disfungsi sel dendritik yang
dimediasi alkohol ini mencegah organisme menghasilkan respons
imun adaptif spesifik virus yang melibatkan limfosit CD4+ dan CD8+,

10
yang dapat berkontribusi pada akuisisi dan persistensi infeksi hepatitis
C.
3. Efek Alkohol pada NK Sel
Sel NK berfungsi dalam respon imun bawaan terhadap tumor dan
pathogen mikroba termasuk virus dan juga bakteri. Sel NK membunuh
sel yang terinfeksi virus dan sel tumor melalui pelepasan butiran yang
menggandung granzim, perforin dan ligan. Konsumsi alcohol
menghambat sel NK dan penghambatan tersebut berkontribusi pada
pathogenesis ALD (alcohol liver disease).
Efek penghambatan ini terjadi dimediasi oleh:
a. Konsumsi alkohol kronis secara langsung melemahkan sitotoksitas sel
NK terhadap sel stellate hati teraktivasi melalui penurunan regulasi
molekul terkait sel NK seperti trail natural killer group 2 dan interferon
y
b. Konsumsi alkohol kronis secara tidak langsung melemahkan aktivitas
pembunuhan sel NK dengan merangsang HSC (hepatic stellate cells)
untuk menghasilkan factor tranformasi-B (TGF-B), penghambat sel
NK dg peningkatan kadar serum kortikosteron yang menghambat
fungsi sel NK dan dengan mengurangi tingkat pusat dan perifer opioid
peptide B-endorphin yang dapat menginduksi aktivitas sel NK
c. Paparan alkohol kronis membuat HSC teraktivasi resisten terhadap
pembunuhan sel NK, karena menginduksi ekspersi penekan sitokin 1
(SOCS 1) dan ROSyang lebih tinggi, yag ,enghambat aktivitas IFN-y
dari transduser sinyal dan activator transkripsi-1. Konsumsi alkohol
menghambat pelepasan sel-NK dari sumsum tulang dan kenaikan
apoptosis sel NK limpa

Sel NK secara kuantitatif dan kualitatif diubah oleh penyalahgunaan


alkohol, terutama pada pasien dengan sirosis hati lanjut. Misalnya, alkohol
mengganggu ekspresi beberapa protein sel NK (misalnya, protein yang
disebut perforin dan granzim A dan B), dan penghambatan ini
menyebabkan penurunan kemampuan sel NK untuk menghancurkan sel
targetnya. Penurunan aktivitas sel NK ini mungkin berperan dalam

11
perkembangan tumor terkait alkohol dan infeksi virus. Selain itu,
pemberian alkohol kronis meningkatkan fibrosis hati sebagai respons
terhadap pengobatan dengan bahan kimia yang disebut karbon tetraklorida
(CCl4). Peningkatan respons fibrotik ini dikaitkan dengan penurunan
sitotoksisitas sel NK dan penurunan ekspresi IFNγ, suatu sitokin yang
diketahui dapat menghambat fibrosis hati. Akhirnya, alkohol
mengaktifkan subgrup sel NK yang disebut sel NKT yang juga
mengekspresikan CD3, dan aktivasi sel ini telah dikaitkan dengan
peningkatan kerusakan hati dan apoptosis hepatosit.

II. Dampak alkoholisme pada Sistem Imun Innate Humoral


Respon Humoral Bawaan imunitas ini meliputi beberapa komponen yang
penting dalam mengeleminasi, membersihkan dan menggangu aktivitas
mikroorganisme pathogen dengan mengkontaminasi mikroorganisme
pathogen yang akan memicu aktivitas imunologi. Innate Humoral
Immunity ini terdiri dari sitokin dan kemokin, IFNs, dan system
komplemen yang nantinya berperan pula dalam kontak kaskade dan
respon imunologik lainnya yang terkait.
Alkohol dalam hal ini diyakini menurut studi baik konsumsi alcohol
secara akut atau kronik dapat mengganggu kerja system pertahanan tubuh.
Gangguan kerja imunitas di dalam tubuh oleh karena penekanan lengan
kekebalan untuk merespon pathogen nyatanya mengarah pada
peningkatan infeksi bagi orang yang aktif mengonsumsi alcohol. Banyak
mekanisme kompleks yang diyakini memengaruhi kerja system
pertahanan tubuh oleh alcohol. Analisis efek beragam alkohol pada
berbagai komponen sistem kekebalan memberikan wawasan ke dalam
faktor-faktor yang menyebabkan risiko infeksi yang lebih besar di
populasi penyalahgunaan alkohol. Beberapa mekanisme tersebut
berhubungan langsung dengan patologi yang ditemukan pada orang
dengan infeksi seperti HIV/AIDS, TBC, hepatitis, dan lain-lain
pneumonia yang terus menggunakan dan menyalah gunakan alcohol.
Berikut beberapa efek alcohol terhadap komponen Innate Humoral
Immunity yang justru dapat menaikan risiko infeksi maupun memperparah

12
keadaan suatu organ yang telah rusak dengan kerusakan jaringan lebih
lanjut :
1. Efek alkohol terhadap sitokin dan kemokin
Paparan alkohol memicu konstelasi respon imun. Ciri khas respon
imun bawaan terhadap alkohol adalah pelepasan sitokin. Pelepasan
sitokin merekrut sel kekebalan untuk membersihkan atau mengandung
rangsangan kekebalan, membantu memulihkan homeostatis.
Persignalan pelepasan sitokin yang tidak teratur dapat menyebabkan
keadaan patologis. Efek alcohol pada produksi sitokin dan kemokin
berbeda menurut durasi pemaparan atau pemberian alcohol. Pada
orang sehat, kadar alcohol 120-130 mg/dl menurunkan IL-1𝛽
proinflamasi 2-5 jam setelah minum alcohol, sementara meningkatkan
IL-1RA antiinflamasi 20 menit-2 jam setelah terpapar alcohol. Sebuah
studi menyajikan bahwa bukti awal penggunaan alkhol secara akut
(120mg/dl) menimbulkan peningkatan kadar IL-8 6 jam setelah
alcohol, sementara TNF-𝛼 menurun saat itu. Kemudian kemokin pro-
inflamasi IL-8 dan TNF-𝛼 akan meningkat signifikans setelah 6 jam
konsumsi alcohol. Ekspresi sitokin yang ditingkatkan karena adanya
paparan alcohol kronis dapat menyebabkan cedera jaringan yang
dimediasi peradangan. Sebaliknya, penekanan sitokin pro-inflamasi
dan peningkatan ekspresi sitokin anti-inflamasi akibat paparan alcohol
akut telah dikaitkan dengan gangguan pertahanan host terhadap infeksi
dan juga peningkatan kemokin seperti IL-8 juga dihubungkan dengan
kecenderungan untuk menjadi pecandu alcohol jika dilihat dari studi
komunikasi imun perifer-otak di masa mendatang. Disatu sisi
keracunan alcohol dapat menekan produksi kemokin dan merusak
ekspresi protein yang memungkinkan neutrophil menempel pada sel
lain di tempat infeksi, yang juga berkontribusi terhadap peningkatan
kerentanan infeksi dan peningkatan TNF-𝛼 pada makrofag liver biasa
mempromosikan inflamasi pada Alcoholic Liver Disease (ALD).

13
2. Efek pada IFNs
Pada percobaan pada tikus pemakan alcohol & manusia non-alkohol
telah menunjukkan bahwa paparan alcohol akut dapat menekan sekresi
IFN, yang berkontribusi terhadap risiko dan tingkat keparahan infeksi.
Namun, pada beberapa studi menunjukkan penggunaan alcohol pada
tikus justru meningkatkan ekspresi IFN, baik pada IFN𝛾 maupun
IFN𝛼 yang justru bersifat patogenitas pada infeksi MTB paru karena
meningkatkan ekspresi gen RIP-1 dan RIP-3. Hubungan IFN dan
pemaparan alcohol masih belum didapatkan kepastian yang jelas dan
banyak penelitian dengan hasil meningkat maupun menurun pada uji
coba pemaparan alcohol.
3. Efek pada protein fase akut
APR ditandai, antara lain, oleh demam dan peningkatan jumlah
leukosit perifer, khususnya, peningkatan jumlah neutrofil yang
bersirkulasi dan prekursornya. APR dirangsang oleh pelepasan sitokin
seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α dari makrofag dan monosit di lokasi lesi
inflamasi atau infeksi. Fungsi APP positif dianggap penting dalam
optimalisasi dan penjebakan mikroorganisme dan produknya, dalam
mengaktifkan sistem komplemen, dalam mengikat sisa-sisa seluler
seperti fraksi nuklir, dalam menetralkan enzim, mengais hemoglobin
bebas dan radikal, dan dalam memodulasi respons imun inang.
Penggunaan alcohol dapat menekan sekresi protein fase akut (yaitu
contoh, surfaktan sel tipe II), efek ini dapat menyebabkan cedera paru
sebagai respons terhadap peradangan. Namun, studi terbaru justru
membuktikan bahwa penggunaan alcohol pada pesta minuman keras
justru menginduksi Acute Phase Protein dalam hal ini Lipoprotein
Binding Protein (LBP) yang sama dengan dan CRP dan SAA yang
disekresi di liver.
4. Efek pada system komplemen
Aktivasi komplemen adalah bagian penting dari sistem imun bawaan,
yang memainkan peran penting dalam pertahanan terhadap infeksi
mikroba, penyembuhan inang, dan pembuangan produk cedera

14
inflamasi. Sistem komplemen terdiri dari komponen komplemen,
reseptor, dan faktor pengatur. Sebagian besar komponen komplemen
serum diproduksi di hati, dan banyak reseptor komplemen (CRs)
diekspresikan dalam sel Kupffer hati dan sel stellate hati. Menurut
pengakuan molekul yang berbeda, aktivasi komplemen dapat dibagi
menjadi tiga jalur utama: jalur klasik (CP), jalur alternatif (AP), dan
jalur lektin (LP). Jalur ketiga di atas menghasilkan C3 convertase dan
C5 convertase, yang masing-masing dapat membelah komponen
komplemen sentral C3 dan C5, dan menghasilkan molekul efektor.
Anaphylatoxins, termasuk C3a dan C5a, adalah molekul pro-inflamasi
penting yang menarik dan mengaktifkan sel-sel kekebalan. Studi telah
melaporkan bahwa sistem komplemen diaktifkan di ALD dan
berpartisipasi dalam berbagai tahap patogenesisnya, termasuk
penyakit hati berlemak alkoholik (AFLD), hepatitis alkoholik (AH),
fibrosis hati alkoholik, dan sirosis. Konsumsi etanol meningkatkan
pembentukan ROS dan menurunkan aktivitas antioksidan, yang
menyebabkan peningkatan stres oksidatif, yang dimana peningkatan
stres oksidatif dari paparan etanol merupakan unsur penting untuk
patogenesis ALD. System komplemen banyak berperan dalam kasus
Alcoholic Liver Disease. Di sisi lain, dalam penelitian lain, pasien
dengan ALD mengalami penurunan aktivitas CH50 dan konsentrasi
serum C3, C4, FB, C5, FI, dan FH yang rendah jika dibandingkan
dengan individu normal. Namun, tidak dapat dihindari bahwa aktivasi
sistem komplemen memainkan peran penting dalam patogenesis ALD,
berkontribusi terutama pada peradangan hati dan steatosis. Hati pada
saat yang sama adalah organ utama yang dipengaruhi oleh konsumsi
alkohol dan tempat utama sintesis protein Pelengkap.
B. Efek Alkohol terhadap Sistem Imun Adaptive
I. Efek Alkohol terhadap Sistem Imun Adaptive Seluler
Bawaan terhadap patogen diikuti oleh respon imun adaptif yang diaktifkan
hanya setelah tubuh terpapar patogen untuk pertama kalinya dan spesifik
untuk satu patogen tersebut. Aktivasi respon imun adaptif ini bergantung

15
pada tampilan antigen dari patogen penyerang (atau molekul asing
lainnya) pada permukaan sel penyaji antigen (misalnya, monosit atau sel
dendritik) dengan cara yang dapat dikenali oleh sel yang memperantarai.
respon imun adaptif yaitu, limfosit T (atau sel T) dan limfosit B (atau sel
B).
Sel T bertanggung jawab atas lengan yang diperantarai sel dari respons
imun adaptif. Setelah pembentukannya di sumsum tulang dan pematangan
di timus, mereka tetap dalam keadaan tidak aktif (naif) sampai bertemu
dengan antigen spesifik. Pertemuan ini mengaktifkan T-cells, yang
selanjutnya berdiferensiasi menjadi subtipe yang berbeda.
Dua subtipe penting dari T-cells adalah sebagai berikut:
a. Sel T pembantu menghasilkan sitokin untuk merangsang aktivitas
sel kekebalan lainnya. Menurut sitokin yang mereka hasilkan,
mereka dikategorikan menjadi tiga himpunan bagian:
(1) sel pembantu Th1 yang menghasilkan IFN-ÿ dan memediasi
kekebalan terhadap patogen intraseluler;
(2) Sel pembantu Th2 yang menghasilkan IL4, IL5, dan IL13 dan
meningkatkan kekebalan humoral dan respons alergi; dan
(3) sel pembantu Th17 yang menghasilkan IL17, IL21, dan IL22
dan berimplikasi pada pertahanan inang dan autoimunitas. Sel T
pembantu (serta beberapa sel kekebalan lainnya, seperti makrofag)
ditandai dengan adanya molekul yang disebut CD4 di
permukaannya; molekul ini berfungsi sebagai reseptor yang dapat
diikat oleh HIV ketika menginfeksi
b. Sel T sitotoksik mengenali antigen pada permukaan sel yang
terinfeksi virus atau ditransplantasikan dan menghancurkan sel-sel
ini; setiap sel T sitotoksik hanya mengenali satu antigen spesifik.
Sel T sitotoksik ditandai dengan adanya molekul yang disebut CD8
di permukaannya.
Alkohol dan Adaptif Respon Imun
Paparan alkohol akut dan kronis dapat mengganggu berbagai aspek
respon imun adaptif, termasuk presentasi antigen yang diperlukan

16
untuk mengaktifkan sel T dan B, aktivitas sel T CD4+ dan CD8+, dan
aktivitas sel B.
Efek pada Presentasi Antigen Untuk mendapatkan respons dari lengan
imunitas adaptif yang diperantarai sel, antigen perlu dipresentasikan
ke sel T CD4+ dan CD8+. Studi pada hewan pengerat menemukan
bahwa konsumsi alkohol kronis dapat mengganggu presentasi antigen
protein di limpa. Sel dendritik adalah salah satu sel penyaji antigen
yang paling kuat. Keracunan alkohol akut merusak kemampuan
antigen presenting sel-sel ini. Selain itu, alkohol secara nyata
mempengaruhi perbedaan sel dendritik dalam darah dan jaringan.
Defek yang diinduksi alkohol pada fungsi sel dendritik meliputi
penurunan kadar CD80 dan CD86 pada permukaan sel (yang
diperlukan untuk menginduksi aktivasi sel T) serta penurunan
produksi IL12, yang sangat penting untuk merangsang sel T CD4+ naif
untuk menjadi IFNÿ– memproduksi sel Th1.
Efek pada TCell CD4+ (Pembantu).
Sejumlah penelitian telah menunjukkan penurunan respons Tcell
terkait alkohol terhadap berbagai tantangan. Misalnya, pada tikus yang
diberi bakteri Klebsiella pneumoniae langsung ke paru-paru, alkohol
menekan respons IFNÿ sel Th1; ketika hewan dimodifikasi secara
genetik untuk mengekspresikan IFNÿ tambahan, bagaimanapun,
respon imun mereka dipulihkan dan mereka mampu membersihkan
patogen. Dalam penelitian lain, pemberian alkohol kronis
mengganggu respons Th1 terhadap protein virus hepatitis C, suatu
defek yang dihipotesiskan sebagai hasil dari gangguan sekresi IL2 dan
GM-CSF oleh dendritik dan sel T. Defek yang diinduksi alkohol pada
imunitas Th1 berkorelasi dengan supresi sekresi IL12 oleh makrofag
dan sel dendritik. Dengan demikian, tampaknya alkohol menghambat
respons imun Th1 dan dapat mempengaruhi organisme terhadap
respons Th2 dan bahwa pergeseran ini setidaknya sebagian dimediasi
oleh supresi IL12. Selain respon Th1, alkohol tampaknya
mengganggu respon Th17. Misalnya, mengikuti tantangan menular,

17
alkohol akut dapat menekan ekspresi makrofag alveolar IL23, yang
membantu mengaktifkan sel T naif untuk berdiferensiasi menjadi sel
Th17. Demikian pula, seperti respon Th1, alkohol menghambat
kemampuan sel dendritik untuk mempromosikan respon Th17,
sehingga mendukung respon Th2.
Efek pada TCell CD8+ (Sitotoksik).
Alkohol kronis menurunkan jumlah sel T CD4+ dan CD8+ di timus
dan limpa. Selain itu, pecandu alkohol kronis dengan sirosis memiliki
kadar protein CD8 tak terikat (larut) yang lebih tinggi dalam darah,
yang dapat menghambat aktivasi sel T CD8+. Didokumentasikan
dengan baik bahwa pecandu alkohol kronis memiliki infeksi hepatitis
C yang lebih progresif serta respons yang berkurang terhadap
pengobatan, dan ini mungkin terkait dengan penekanan yang diinduksi
alkohol terhadap Fungsi CD8+ Tcell, yang dapat mempersulit
pembersihan virus (Jerrells 2002). Efek yang dimediasi alkohol pada
fungsi CD8+ Tcell juga telah dikaitkan dengan gangguan kekebalan di
paru-paru sebagai respons terhadap infeksi influenza.
II. Efek Alkohol terhadapat Sistem Imun Adaptive Humoral
Selain pada system immune bawaan ,efek alcohol juga mempengaruhi
system immune adaptive humoral dan seluler . System immune adaptive
terdiri dari limfosit T (atau sel T) dan limfosit B (atau sel B). Studi kasus
menentukan bahwa penyalahgunaan alkohol berdampak mengurangi
jumlah sel T perifer, mengganggu keseimbangan antara berbagai jenis sel
T, memengaruhi aktivasi sel T, merusak fungsi sel T, dan mendorong
apoptosis sel T. Paparan alkohol kronis juga tampaknya menyebabkan
hilangnya sel B perifer, sekaligus mendorong peningkatan produksi
imunoglobulin. Dampak alkohol pada sel T dan sel B meningkatkan risiko
infeksi (misalnya pneumonia, infeksi HIV, infeksi virus hepatitis C, dan
tuberkulosis), merusak respons terhadap vaksinasi terhadap infeksi
tersebut, memperburuk risiko kanker, dan mengganggu hipersensitivitas
tipe lambat.
Dampak alcohol pada sel B

18
Sel B adalah limfosit yang berasal dari sumsum tulang dan menjadi
matang di limpa. Mereka menghasilkan protein yang disebut
imunoglobulin (Igs) yang terletak di permukaan sel (di mana mereka
disebut sebagai reseptor sel-B [BCR]) atau disekresikan dalam bentuk
antibodi. Seperti sel T, setiap sel B mengekspresikan BCR unik yang
hanya berikatan dengan antigen tertentu. Mirip dengan apa yang telah
diamati untuk sel T, pecandu alkohol (90 hingga 249 minuman/bulan)
menunjukkan angka Bcell yang lebih rendah daripada peminum sedang
(30 hingga 89 minuman/bulan) atau peminum ringan (<9 minuman/bulan)
(Mili dkk. 1992;Sacanella et al. 1998). Hilangnya sel B yang bersirkulasi
sangat parah pada pasien dengan penyakit hati alkoholik (ALD) yang
mengonsumsi rata-rata 164,9 hingga 400 gram alkohol/hari ( Masak et al.
1996;Matos dkk. 2013).
Hilangnya sel B perifer tampaknya terutama mempengaruhi subpopulasi
sel tertentu. Sel B dapat dibagi menjadi dua utama subtipe yang
menghasilkan berbagai jenis Ig dan protein lain dan merespons jenis
antigen tertentu. Penurunan terkait alkohol pada sel B perifer tampaknya
terutama dimediasi oleh penurunan frekuensi sel B-2 B. Jumlah sel B-1a
juga tampak menurun, namun penurunan ini disertai dengan peningkatan
relatif persentase sel B-1b (cook et al. 1996). Hilangnya sel B-2 dapat
menjelaskan mengapa pecandu alkohol seringkali tidak dapat merespon
antigen baru secara memadai. Peningkatan relatif sel B-1b juga dapat
menyebabkan produksi autoantibodi, terutama kelas IgM dan IgA .
Meskipun konsumsi alkohol menyebabkan penurunan fungsi sel B, hal
itu juga menghasilkan peningkatan produksi Igs. Pasien alkoholik dengan
ALD (yaitu, fibrosis hati atau sirosis) yang telah mengkonsumsi setara
dengan 10 oz. etanol 100-bukti/hari selama 10 tahun menunjukkan
peningkatan kadar IgA dan IgG dibandingkan dengan kontrol atau
pecandu alkohol tanpa ALD (Smith dkk. 1980). Demikian pula, kadar IgA
dan IgM meningkat pada peminum berat (90 hingga 249 minuman/bulan)
dibandingkan dengan peminum ringan (<9 minuman/bulan) atau
peminum sedang (30 hingga 89 minuman/bulan) (Mili dkk. 1992).

19
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Alkohol sangat berdampak bagi kinerja sistem dengan mengganggu fungsi kerja
sistem imun itu sendiri. Perubahan oleh karena pemaparan alcohol dalam tubuh
yang berlebihan berupa perubahan jumlah, penurunan fungsi, perubahan
komponen yang berperan dan menghambat kerja komponen-komponen sistem
imun. Penyakit paru, peradangan hati dan infeksi virus maupun bakteri diperparah
dengan penurunan imunitas oleh karena konsumsi alcohol.
Banyak studi yang membuktikan bahwa alcohol dapat menyebabkan peningkatan
anti-inflamasi, maupun penurunan pro-inflamasi yang secara abnormal dan
berpengaruh pada kerja sistem imun baik innate maupun adaptive.
B. Saran
Alkohol secara universal sangat merugikan dan merusak seluruh sistem dan organ
manusia terutama apabila telah terjadi detoksifikasi. Alkohol juga pada
kenyatannya mempengaruhi sistem imun yang merupakan sistem pertahanan
tubuh manusia. Oleh karena itu, hindari minuman alcohol dengan berbagai upaya
yang dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas diri seperti olahraga,
melakukan hal-hal yang dapat menunjukkan bakat diri dan juga hindari
lingkungan yang banyak berhubungan dengan para pecandu alcohol dan meminta
pertolongan professional untuk bantuan psikologis dalam upaya membantu
menghentikan kebiasaan mengonsumsi alcohol.

20
DAFTAR PUSTAKA
1. Kresno, B.S. (2010). Imunologi: Diagnosis dan Proses Laboratorium. Edisi
Kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Frank K, Abeynaike S, Nikzad R, Patel RR, Roberts AJ, Roberto M, et al. (2020)
Alcohol dependence promotes systemic IFN-γ and IL-17 responses in mice. PLoS
ONE 15(12): e0239246. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0239246
3. Hillmer AT, Nadim H, Devine L, Jatlow P, O'Malley SS. Acute alcohol
consumption alters the peripheral cytokines IL-8 and TNF-α. Alcohol. 2020
Jun;85:95-99. doi: 10.1016/j.alcohol.2019.11.005. Epub 2019 Nov 20. PMID:
31759072; PMCID: PMC7739954.
4. Jain S, Gautam V, Naseem S. Acute-phase proteins: As diagnostic tool. J Pharm
Bioallied Sci. 2011 Jan;3(1):118-27. doi: 10.4103/0975-7406.76489. PMID:
21430962; PMCID: PMC3053509.
5. Lazara Elena Santiesteban-Lores, Milena Carvalho Carneiro, Lourdes Isaac,
Lorena Bavia, Complement System in Alcohol-Associated Liver Disease,
Immunology Letters, Volume 236, 2021, Pages 37-50, ISSN 0165-2478,
https://doi.org/10.1016/j.imlet.2021.05.007.(https://www.sciencedirect.com/scie
nce/article/pii/S0165247821000869)
6. Pasala S, Barr T, Messaoudi I. Impact of Alcohol Abuse on the Adaptive Immune
System. Alcohol Res. 2015;37(2):185-97. PMID: 26695744; PMCID:
PMC4590616.
7. Sarkar D, Jung MK, Wang HJ. Alcohol and the Immune System. Alcohol Res.
2015;37(2):153–5. PMCID: PMC4590612.
8. Shishido SN, Varahan S, Yuan K, Li X, Fleming SD. Humoral innate immune
response and disease. Clin Immunol. 2012 Aug;144(2):142-58. doi:
10.1016/j.clim.2012.06.002. Epub 2012 Jun 18. PMID: 22771788; PMCID:
PMC3576926.
9. Tripathi D, Welch E, Cheekatla SS, Radhakrishnan RK, Venkatasubramanian S,
Paidipally P, Van A, Samten B, Devalraju KP, Neela VSK, Valluri VL, Mason C,
Nelson S, Vankayalapati R. Alcohol enhances type 1 interferon-α production and
mortality in young mice infected with Mycobacterium tuberculosis. PLoS Pathog.
2018 Aug 2;14(8):e1007174. doi: 10.1371/journal.ppat.1007174. PMID:
30071107; PMCID: PMC6072099.

21
10. Wiria MSS. Hipnotik – Sedatif dan Alkohol. Dalam: Gunawan, S.G. Farmakologi
dan terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
11. World Health Organization. Global status report on alkohol and health 2014.
Luxembourg: World Health Organization Press; 2014
12. Zhou Y, Yuan G, Zhong F, He S. Roles of the complement system in alcohol-
induced liver disease. Clin Mol Hepatol. 2020 Oct;26(4):677-685. doi:
10.3350/cmh.2020.0094. Epub 2020 Oct 1. PMID: 33053939; PMCID:
PMC7641541.

22

Anda mungkin juga menyukai