Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

IMUNOLOGI
tentang
Mekanisme Respon Imun Pada Infeksi:
Bakteri, Virus, Jamur, Parasit, Cacing dan Protozoa

Di Susun Oleh Kelompok 8 :


1. Alung Suci Utami 4820121039
2. Ayu Sri Ningsih 4820121038
3. Siska Okta Rohana 4820121037

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS QAMARUL HUDA BADARUDDIN BAGU
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Mekanisme Respon Imun Pada Infeksi ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada Mata Kuliah Imunologi.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah


Imunologi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Bagu, 09 Maret 2023

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATAR PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 2
C. Tujuan ..................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Imunitas Terhadap Bakteri................................................................... 3


B. Imunitas Terhadap Virus...................................................................... 8
C. Imunitas Terhadap Jamur..................................................................... 12
D. Imunitas Terhadap Parasit.................................................................... 13
E. Imunitas Terhadap Infeksi Cacing........................................................ 17
F. Respon Imun Terhadap Infeksi Protozoa............................................. 23

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 27
B. Saran .................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit
infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi
terhadap infeksi disebut dengan sistem imun dan reaksi yang dikoordinasi sel-
sel dan molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon
imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya
terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan
hidup.
Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan menggunakan
makanan yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain
menginfeksi sel inang dan berkembang biak intraseluler dengan
menggunakan sumber energi sel inangnya. Baik mikroba ekstraseluler
maupun intraseluler dapat menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit
dan kematian, tetapi banyak pula yang tidak berbahaya bahkan berguna untuk
sel inang.
Pertahanan imun terdiri dari sistem imun alamiah atau nonspesifik
(native/innate) dan didapat atau spesifik (acquired/adaptive). Mekanisme
fisiologik imunitas nonspesifik berupa komponen normal tubuh yang selalu
ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk ke tubuh
dan dengan cepat menyingkirkan mikroba tersebut. Jumlahnya dapat
ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama
fase akut pada banyak macam penyakit. Disebut nonspesifik karena tidak
ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir.
Sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan
berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung.
Sistem imun nonspesifik terdiri atas pertahan fisik / mekanik yaitu
kulit, selaput lendir, silia saluran nafas, batuk dan bersin. Selain pertahanan
fisik juga terdapat pertahanan biokimia termasuk lisozim, sekresi sebaseus,
asam lambung, laktoferin, asam neuraminik. Kemudian pertahanan humoral

1
(komplemen,interferon dan CRP) serta pertahan seluler (fagositosis, sel NK,
sel mast dan basofil).
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda
yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul
dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi
sensitisasi sel-sel imun tersebut. Benda asing yang sama bila terpajan ulang
akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Oleh karena itu
sistem ini hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal
sebelumnya, maka sistem itu disebut spesifik. Sistem imun spesifik dibagi
dua kelompok yaitu sistem imun humoral, sel B melepas antibodi untuk
menyingkirkan mikroba ekstraseluler dan sistem imun seluler dimana sel T
akan mengaktifkan mikroba atau mengaktifkan sel Tc (Tcytotoxic) untuk
membunuh sel yang terinfeksi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana imunitas terhadap bakteri ?
2. Bagaimana imunitas terhadap virus ?
3. Bagaimana imunitas terhadap jamur ?
4. Bagaimana imunitas terhadap parasite ?
5. Bagaimana imunitas terhadap infeksi cacing ?
6. Bagaimana respon imun terhadap infeksi protozoa ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui imunitas terhadap bakteri
2. Untuk mengetahui imunitas terhadap virus
3. Untuk mengetahui imunitas terhadap jamur
4. Untuk mengetahui imunitas terhadap parasite
5. Untuk mengetahui imunitas terhadap infeksi cacing
6. Untuk mengetahui respon imun terhadap infeksi protozoa

2
3
BAB II
PEMBAHASAN

A. IMUNITAS TERHADAP BAKTERI


Bakteri dari luar yang masuk ke dalam tubuh (ekstraseluler) akan
diserang sistem imun nonspesifik berupa fagosit, komplemen (aktivasi jalur
alternatif), protein fase akut (APP) atau antibodi spesifik yang sudah ada
dalam darah akibat pajanan terdahulu dengan bakteri yang sama akan
menetralisasi bakteri. Beberapa bakteri intraseluler (dalam monosit,
makrofag) seperti mikobakteria, L.monositogenes, Salmonella tifi dan
brusella dapat menghindari pengawasan sistem imun antibodi. Dalam hal ini
tubuh akan mengaktifkan sistem imun seluler (CD4+, CD8+ dan sel NK).
Menurut sifat patologik dinding sel, mikroorganisme dapat dibagi
menjadi gram -negatif, gram-positif, mikobakterium dan spirochaeta.
Permukaan bakeri yang dilapisi kapsul yang mengandung protein dan
polisakarida, dapat merangsang sistem imun humoral tubuh untuk
membentuk antibodi. Di luar membran plasma, bakteri memiliki dinding sel
yang terdiri dari peptidoglikan. Bagian ini merupakan sasaran lisozim. Pada
bakteri gram-negatif dimana dinding selnya mengandung lapisan
lipopolisakarida (LPS atau endotoksin), lapsan ini menjadi aktivator poten
makrofag.
Antibodi yang dibentuk terhadap toksin dapat menetralisasi efek
toksin tetanus dan difteri, sehingga dapat mencegah kerusakan jaringan.
Mikroorganisme yang mengandung lipid pada membran permukaan seperti
N.meningitidis gram-negatif, dapat dihancurkan immunoglobulin dengan
aktivasi komplemen melalui jalur lisis. Pada akhir respon imun, semua
bakteri dihancurkan fagosit.

4
Imunitas Terhadap Bakteri Ekstraseluler
Bakteri ekstraseluler dapat hidup diluar sel pejamu, misalnya dalam
sirkulasi, jaringan ikat dan rongga-rongga jaringan seperti lumen saluran
nafas dan saluran cerna. Bakteri ekstraseluler ini kebanyakan bersifat
patogen. Penyakit yang ditimbulkan bakteri ini berupa inflamasi yag
menimbulkan destruksi jaringan tempat infeksi dengan membentuk nanah /
infeksi supuratif, seperti yang terjadi pada infeksi streptokokus.

Tabel 1. Contoh mikroba pathogen


Mikroba Penyakit Mekanisme patogenesis
S.aureus Infeksi kulit dan Infeksi kulit, inflamasi akut
jaringan lunak, abses yang diinduksi toksin; kematian
paru sel ditimbulkan oleh toksin.
Sistemik : sindrom Sistemik : enterotoksin
syok toksik, keracunan (superantigen) -diinduksi
makanan produksi sitokin oleh sel T yang
menimbulkan nekrosis kulit,
syok, diare
Strep. Pneumonia, meningitis Inflamasi akut yang diinduksi
pyogenes oleh bahan dinding sel;
pneumolisin seperti streptolisin
O.
E.coli ISK, gastroenteritis, Toksin menunjukkan efek
syok septik terhadap epitel saluran cerna
dan menimbulkan peningkatan
sekresi klorid dan air;
endotoksin (LPS) merangsang
sekresi sitokin oleh makrofag.
V.cholerae Diare Toksin kolera merangsang sel
epitel mensekresi klorida dan
air
C.tetani Tetanus Toksin tetanus diikat diujung
saraf motorik pada pertemuan
saraf-otot dan menimbulkan
kontraksi otot irreversibel
N.meningitidi Meningitis Inflamasi akut akibat
s endotoksin poten
C.difteri Difteri Toksin difteri

5
1. Imunitas nonspesifik
Komponen utama imunitas nonspesifik terhadap bakteri
ekstraseluler adalah komplemen, fagositosis dan respon inflamasi. Bakteri
yang mengekspresikan manosa pada permukaannya, dapat mengikat
lektin yang homolog dengan C1q, sehingga mengaktifkan komplemen
jalur lektin, meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Disamping itu
membran attack complex dapat menghancurkan membran bakteri. Produk
sampingan aktivasi komplemen berperan dalam mengerahkan dan
mengaktifkan leukosit dalam inflamasi.

Gambar 1. Respon imun spesifik terhadap mikroba ekstraseluler dan toksinnya

Fagosit juga mengikat bakteri melalui berbagai reseptor


permukaan lain seperti reseptor bangkai (scavenger), Toll-like receptor
yang semuanya meningkatkan aktivasi leukosit dan fagositosis. Fagosit
yang diaktifkan juga melepas sitokin yang menginduksi infiltrasi leukosit
ke tempat infeksi (inflamasi). Sitokin juga menginduksi panas dan sintesis
protein fase akut.

6
2. Imunitas spesifik
Antibodi merupakan komponen imun protektif utama terhadap
bakteri ekstraseluler yang berfungsi untuk menyingkirkan mikroba dan
menetralisasi toksinnya.
Komplikasi lambat respon imun humoral ini menimbulkan
penyakit yang berkaitan dengan antibodi. Misalnya infeksi streptokokus
di tenggorokan atau di kulit yang menimbulkan manifestasi klinis.
Demam reuma merupakan sekuela infeksi faring oleh beberapa
streptokokus hemolitik-β. Antibodi yang diproduksi terhadap protein
dinding bakteri (M-protein) dapat bereaksi silang dengan protein
sarkolema dan miosin miokard yang dapat diendapkan di jantung dan
akhirnya menimbulkan inflamasi (karditis). Glomerulonefritis pasca
infeksi streptokokus merupakan sekuela infeksi streptokokus dikulit atau
tenggorok oleh streptokokus-β tipe lain. Antibodi terhadap bakteri
tersebut membentuk kompleks dengan antigen bakteri dan diendapkan di
glomerulus ginjal menimbulkan nefritis.
Respon utama pejamu terhadap bakteri ekstraseluler adalah
produksi sitokin oleh makrofag yang diaktifkan menimbulkan inflamasi
dan syok septik. Toksin berupa superantigen mampu mengaktifkan
banyak sel T sehingga menimbulkan produksi sitokin dalam jumlah besar.

Imunitas terhadap Bakteri Intraseluler


Ciri utama bakteri intraseluler adalah kemampuannya untuk hidup dan
berkembang biak dalam fagosit. Mikroba tersebut mendapat tempat
tersembunyi yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi dalam sirkulasi,
sehingga untuk eliminasinya memerlukan mekanisme imun seluler.
1. Imunitas nonspesifik
Efektor imunitas nonspesifik utama terhadap bakteri intraseluler
adalah fagosit dan sel NK. Fagosit (mulanya monosit, kemudian
makrofag) menelan dan mencoba menghancurkan mikroba tersebut,

7
namun mikroba resisten terhadap efek degradasi fagosit. Bakteri
intraseluler dapat mengaktifkan sel NK secara langsung atau melalui
aktivasi makrofag yang memproduksi IL-12, sitokin poten yang
mengaktifkan sel NK. Sel NK memproduksi IFN-γ yang kembali
mengaktifkan makrofag dan meningkatkan daya membunuh bakteri yang
dimakan. Jadi sel NK memberikan respon dini, dan terjadi interaksi antara
sel NK dan makrofag.
2. Imunitas spesifik
Proteksi utama respon imun spesifik terhadap bakteri intraseluler
berupa imunitas selular. Seperti telah diketahui sebelumnya, imunitas
seluler terdiri dari dua tipe reaksi yaitu aktivasi makrofag oleh CD4 +Th1
yang memproduksi IFN-γ (DTH) yang memacu pembunuhan mikroba
dan lisis sel terinfeksi oleh CD8+ / CTL.
Makrofag yang diaktifkan sebagai respon terhadap mikroba
intraseluler dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan berupa
granuloma yang terjadi pada DTH terhadap protein mikroba. CD4 + dan
CD8+ bekerjasama dalam pertahanan terhadap mikroba. Bakteri
intraseluler seperti Listeria monocytogenes dimakan makrofag dan dapat
hidup dalam fagosom dan masuk dalam sitoplasma. CD4 + memberikan
respon terhadap peptida antigen MHC kelas II asal bakteri intravesikular,
memproduksi IFN-γ yang mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan
mikroba dalam fagosom. CD8+ memberikan respon terhadap peptida
MHC kelas I yang berasal dari antigen sitosol dan membunuh sel yang
terinfeksi.
Berbagai mikroba intraseluler seperti M.tuberkulosis
mengembangkan berbagai strategi untuk menghindari eliminasi oleh
fagosit. Mikroorganisme yang resisten terhadap fagosit seperti
M.tuberkulosis atau parasit obligat intraseluler seperti M.lepra dikucilkan
makrofag dengan dibentuknya granuloma melalui bantuan sel Th1.
Tuberkulosis masih merupakan ancaman di banyak negara karena
timbulnya resistensi terhadap obat-obatan. Makrofag yang mengenal
M.tuberkulosis melalui reseptor Toll-like mengikat lipoprotein

8
mikobakteri melepas mediator inflamasi seperti IL-12 dan nitrat oksida.
Peptida mikobakteri yang dipresentasikan makrofag memacu respon kuat
Th1 yang melepas IFN-γ yang selanjutnya merangsang makrofag
membentuk granuloma selama infeksi primer. Olehkarena mikobakteri
sulit dihancurkan, makrofag mengucilkannya di dalam fagosom.
Pajanan awal dengan M.tuberkulosis menimbulkan infeksi primer.
Kebanyakan M.tuberkulosis ditemukan dalam granuloma. Makrofag
matang membentuk sel raksasa dan sel epiteloid atas pengaruh IFN-γ.
Granulomata mengucilkan mikroba dengan baik sehingga pusatnya
menjadi hipoksik dan sel menjadi nekrotik yang menyerupai keju.
Nekrosis dengan perkejuan ini merupakan ciri khas tuberkulosis.

Tabel 2. Mekanisme bakteri menghindari dari efektor imun


Mekanisme menghindari Contoh
efektor imun
Bakeri ekstraseluler
- Variasi antigenik N.gonore, E.coli, S.typhii
- Pencegahan aktivasi komplemen Banyak bakteri
- Resistensi terhadap fagosit Pneumokokus
- Reactive Oxygen Intermediate Stafilokokus katalase positif
Bakteri intraseluler
-Mencegah pembentukan fagosom M.tuberculosis, L.pneumofilia
- Reactive Oxygen Intermediate M.lepra
- Membran fagosom rusak, masuk L.monositogenes (hemolisin)
ke dalam sitoplasma

B. IMUNITAS TERHADAP VIRUS


Virus merupakan obligat intraseluler yang berkembang biak di dalam
sel, sering menggunakan mesin sintesis asam nukleat dan protein pejamu.
Dengan reseptor permukaan sel. Dengan reseptor permukaan sel, virus masuk
ke dalam sel dan dapat menimbulkan kerusakan sel dan berbagai macam
penyakit. Hal ini disebabkan karena replikasi virus yang mengganggu sintesis
protein dan fungsi sel normal, efek sitopatik virus akibat sel terinfeksi
dihancurkan dan mati.

9
Virus nonsitopatik dapat menimbulkan infeksi laten dan DNA virus
menetap dalam sel pejamu dan memproduksi protein yang dapat atau tidak
mengganggu fungsi sel. Sistem imun nonspesifik dan spesifik berperan
sebagai efektor dalam usaha mencegah infeksi dan mengeliminasi sel yang
terinfeksi.
1. Imunitas nonspesifik
Prinsipnya adalah mencegah infeksi. Efektor yang berperan adalah
IFN tipe I dan sel NK yang membunuh sel terinfeksi. Infeksi banyak virus
disertai produksi RNA yang merangsang sekresi IFN tipe I oleh sel yang
terinfeksi, melalui ikatan dengan reseptor Toll-like. IFN tipe I mencegah
replikasi virus dalam sel terinfeksi dan sel sekitarnya yang tidak terinfeksi
dengan menginduksi milieu anti-viral.
Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh berbagai jenis virus
dan merupakan efektor imunitas penting terhadap infeksi dini virus,
sebelum respon imun spesifik berkembang. Sel NK juga dapat mengenal
sel terinfeksi yang tidak mengekspresikan MHC-I.

Gambar 2. Efektor nonspesifik terhadap virus

2. Imunitas spesifik
a. Imunitas humoral
Antibodi merupakan efektor dalam imunitas spesifik humoral
terhadap infeksi virus. Antibodi diproduksi dan hanya efektif terhadap
virus pada awal infeksi dimana virus masih terdapat di ekstraseluler

10
sebelum masuk ke sel atau khusus untuk virus sitopatik, bila virus
dilepas oleh sel terinfeksi yang dihancurkan. Antibodi dapat
menetralisasi virus, mencegah virus menempel pada sel dan masuk ke
dalam sel pejamu. Antibodi berikatan dengan envelope virus atau
antigen kapsid.
Untuk virus yang masuk ke tubuh melalui mukosa saluran
nafas dan saluran cerna, IgA disekresi untuk melawan virus tersebut.
Imunisasi oral terhadap virus polio bekerja untuk menginduksi
imunitas mukosa tersebut. Antibodi juga dapat berperan sebagai
opsonin yang meningkatkan eliminasi partikel virus oleh fagosit.
Aktivasi komplemen juga ikut berperan dalam meningkatkan
fagositosis dan mungkin juga menghancurkan virus dengan envelop
lipid langsung.
b. Imunitas seluler
Eliminasi virus yang menetap di sel dilakukan oleh sel
CD8+/CTL. Fungsi fisiologik utama CTL adalah memantau infeksi
virus. CD8+ mengenal antigen virus yang sudah dicerna di sitosol,
biasanya disintesis endogen yang berhubungan dengan MHC-I dalam
setiap sel yang bernukleus.
Untuk diferensiasi penuh, CD8+ memerlukan sitokin yang
diproduksi sel helper CD4+ atau kostimulator yang diekspresikan pada
sel terinfeksi. Bila sel terinfeksi adalah sel jaringan dan bukan APC,
sel terinfeksi dapat dimakan oleh APC profesional seperi sel dendritik
yang selanjutnya memproses antigen virus dan mempresentasikannya
ke sel CD8+. Selanjutnya sel CD8+ berproliferasi secara masif selama
infeksi virus dan kebanyakan sel yang berproliferasi adalah spesifik
untuk beberapa peptida virus. Sel T yang diaktifkan berdiferensiasi
menjadi CTL yang membunuh setiap sel bernukleus yang terinfeksi.
Efek antivirus utama CTL adalah membunuh sel terinfeksi,
mekanisme lain melalui aktivasi nuklease dalam sel terinfeksi yang
menghancurkan genom virus dan sekresi IFN-γ yang memiliki
aktivitas antivirus.

11
Mekanisme virus mengindari respon imun :
1. Virus mengubah antigen (mutasi)
Antigen merupakan sasaran antibodi atau sel T yang memiliki
jumlah yang sangat besar terdiri dari strain yang berbeda genetiknya. Hal
ini menyebabkan virus dapat menjadi resisten terhadap respon imun yang
ditimbulkan oleh infeksi terdahulu, misalnya pandemi influenza. HIV-1
yang menjadi penyebab AIDS juga menunjukkan sejumlah variasi
antigen.
2. Virus menghambat presentasi antigen protein sitosolik yang
berhubungan dengan molekul MHC-I
Akibatnya sel yang terinfeksi tidak dapat dikenali oleh sel
CD8+/CTL. Untuk keadaan seperti ini, sel NK dapat membunuh sel
terinfeksi dengan virus teradaptasi tersebut, karena sel NK dapat
diaktifkan tanpa bantuan molekul MHC-I.
3. Virus memproduksi yang mencegah imunitas nonspesifik dan
spesifik
Virus pox menyandi molekul yang dapat mengikat beberapa
sitokin seperti IFN-γ, TNF, IL-1, IL-18 dan kemokin dan molekul-
molekul tersebut dapat dilepas oleh sel terinfeksi dan dapat berfungsi
sebagai antagonis sitokin. Virus sitomegalo memproduksi molekul yang
homolog dengan protein MHC-I dan dapat berfungsi kompetitif untuk
mengikat dan mempresentasikan antigen peptida. Virus Epstein-Barr
memproduksi protein homolog dengan sitokin IL-10 (supresif untuk
makrofag) sehingga virus dapat mencegah fungsi makrofag.

12
4. Virus dapat menginfeksi, membunuh atau mengaktifkan sel
imunokompeten
5. HIV dapat tetap hidup dengan menginfeksi dan mengeliminasi sel T
CD4+
yang merupakan kunci regulator respon imun terhadap antigen protein.

C. IMUNITAS TERHADAP JAMUR


Respon imun terhadap jamur belum banyak diketahui, namun diduga
melibatkan sel T dan makrofag. Infeksi jamur biasanya hanya mengenai
bagian luar tubuh saja. Tetapi beberapa jamur dapat menimbulkan penyakit
sistemik yang berbahaya, biasanya memasuki paru dalam bentuk spora.
Kelainan yang terjadi sangat bergantung dari derajat dan jenis respon imun
pejamu. Gangguan dapat berupa manifestasi di saluran nafas, reaksi
hipersensitivitas berat sampai kematian. Penyakit jamur (mikosis) sering
terjadi namun kebanyakan hanya menimbulkan kesulitan pada pejamu yang
immunokompromais. Neutrofil dan fagosit berperan dalam menyingkirkan
infeksi jamur. Diduga mekanisme proteksi melalui mekanisme selluler, hal ini
ditunjang dengan seringnya penderita HIV menderita infeksi jamur.
Infeksi jamur sering disebut opportunistik, dimana dapat
menimbulkan penyakit berat pada orang-orang yang immunokompromais
seperti penderita AIDS, orang yang mendapat terapi kanker dan penolakan
transplantasi yang menekan sumsum tulang dan respon imun.
1. Imunitas nonspesifik
Efektor utamanya adalah makrofag dan neutrofil. Pasien dengan
neutropenia sangat rentan terhadap infeksi jamur opprtunis. Neutrofil
diduga melepas bahan fingisidal seperti Reactive Oxygen Intermediate
dan enzim lisosom serta memakan jamur untuk dibunuh intraseluler.
Kriptokokus neoformans dapat menghambat produksi sitokin TNF dan

13
IL-12 oleh makrofag dan merangsang produksi IL-10 yang menghambat
aktivitas makrofag.
2. Imunitas spesifik
Cellular Mediated Immunity (CMI) merupakan efektor imunitas
spesifik utama pada infeksi jamur. CD4+ dan CD8+ bekerjasama untuk
menyingkirkan Kriptokokus neoformans yang cenderung mengkolonisasi
paru dan otak pada pejamu immunokompromais. Infeksi Kandida sering
mulai pada permukaan mukosa dan CMI diduga dapat mencegah
penyebarannya ke jaringan. Pada semua keadaan tersebut, respon Th1
adalah protektif sedangkan respon Th2 dapat merusak pejamu.

D. IMUNITAS TERHADAP PARASIT


Golongan parasit berupa protozoa (malaria, tripanosoma,
toksoplasma, leishmania dan amuba), cacing, ektoparasit (kutu, tungau)
menunjukkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas yang bermakna
terutama di negara-negara sedang berkembang. Kebanyakan infeksi parasit
bersifat kronis yang disebabkan oleh imunitas nonspesifik yang lemah dan
kemampuan parasit untuk bertahan hidup terhadap imunitas spesifik. Saat ini
banyak antibiotik dan antiparasit yang tidak efektif lagi untuk membunuh
parasit, terutama untuk masyarakat di daerah endemis yang berulangkali
terpajan.
Vaksin terhadap parasit juga belum berkembang, hal ini disebabkan
vaksinasi sulit memberi proteksi terhadap protozoa karena memerlukan faktor
humoral (IgG diduga berperan penting ) dan seluler. Pada malaria, antibodi
diduga protektif mencegah merozoit memasuki sel darah merah. Imunitas
terhadap jenis spesies yang satu tidak protektif terhadap spesies yang lain.
Tripanosoma terus menerus menguji sistem imun dengan
memproduksi pirogen dan mantel antigen yang berubah-rubah / mutasi
sehingga sulit dikenali dan dieliminasi sistem imun. Toksoplasma melepaskan
diri dari efek sistem imun, dapat menutupi diri dengan laminin dan matriks
protein ekstraseluler yang mencegah fagositosis dan kerusakan oksidatif.
Respon seluler terhadap toksoplasma sangat efektif.

14
Leishmania mempunyai kemampuan menginfeksi makrofag dan
memerlukan respon seluler untuk eradikasinya. IFN-γ yang diperoduksi sel
Th1 diduga merupakan sitokin terpenting untuk membunuh parasit. Sel T,
terutama Tc, dapat menghancurkan parasit intraseluler, misalnya
Tripanosoma cruzi. Limfokin yang dilepas oleh sel T yang disensitisasi dapat
mengaktifkan makrofag untuk lebih banyak mengekspresikan resseptor untuk
Fc dan C3, berbagai enzim dan faktor lain yang dapat meningkatkan
sitotoksisitas.

Tabel 3. Respon imun terhadap parasit yang menimbulkan penyakit


Parasit Penyakit Mekanisme imunitas
protektif utama
Plasmodium Malaria Antibodi dan CD8+/CTL
Leishmania Leishmaniasis Th1 CD4+ mengaktifkan
(mukokutan, makrofag unuk membunuh
diseminata) parasit yang dimakan
Tripanosoma Tripanosomiasis Antibodi
afrika
Entamoeba Amebiasis Antibodi, fagositosis
histolitika
Skistosoma Skistosomiasis ADCC atas peran eosinofil,
makrofag
Filaria Filariasis CMI; peran antibodi?

1. Imunitas nonspesifik
Protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas nonspesifik melalui
mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut dapat tetap hidup dan
berkembang biak dalam sel pejamu karena mereka dapat beradaptasi dan
menjadi resisten terhadap sistem imun pejamu.
Respon imun nonspesifik terhadap protozoa adalah fagositosis,
tetapi banyak parasit tersebut yang resisten terhadap efek bakterisidal
makrofag, bahkan diantaranya dapat hidup dalam makrofag. Banyak
cacing memiliki lapisan permukaan yang tebal sehingga resisten terhadap

15
mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag. Beberapa cacing juga
mengaktifkan komplemen jalur alternatif. Banyak parasit ternyata
mengembangkan resistensi terhadap efek lisis komplemen.
2. Imunitas spesifik
Berbagai protozoa dan cacing berbeda dalam hal besar, struktur,
sifat biokimiawi, siklus hidup dan patogenitasnya. Hal ini menimbulkan
respon imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya terjadi
kronik dan kematian pejamu akan merugikan parasit sendiri. Infeksi
kronik menimbulkan rangsangan antigen yang persisten yang
meningkatkan kadar immunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan
kompleks imun.

Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh


aktivasi sel Th2 yang menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil. IgE yang
berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil
diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit.
Produksi IgE dan eosinofilia sering ditemukan pada infeksi cacing.
Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2
sel CD4+, yang melepas IL-4 dan Il-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan
IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil lebih
efektif dibanding leukosit lain olehkarena eosinofil mengandung granul
yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan Reactive Oxygen
Intermediate yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak
cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi
inflamasi yang ditimbulkan diduga dapat mencegah menempelnya cacing
pada mukosa saluran cerna.
Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel
mast/ basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang
menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel
pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik, MBP dan
neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas
superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing.

16
Pada filariasis limfatik, sumbatan oleh parasit di saluran limfe
menimbulkan CMI kronis, fibrosis dan akhirnya limfedema berat.
Investasi persisten parasit kronis sering disertai pembentukan kompleks
antigen parasit dan antibodi spesifik yang dapat diendapkan di dinding
pembuluh darah dan glomerulus ginjal sehingga menimbulkan vaskulitis
dan nefritis. Penyakit kompleks imun dapat terjadi pada skistosoma dan
malaria.
Pada beberapa kasus, infeksi cacing tidak dapat dihancurkan
dengan sistem imun yang telah disebut diatas. Dalam hal ini badan
berusaha mengucilkan parasit dengan membentuk kapsul yang terdiri atas
sel-sel inflamasi. Reaksi tersebut merupakan respon seluler terhadap
pelepasan antigen kronik setempat. Makrofag yang dikerahkan, melepas
faktor fibrogenik dan merangsang pembentukan granuloma dan fibrotik.
Semua ini akibat pengaruh sel Th1 dan defisiensi sel T akan mengganggu
kemampuan tubuh untuk membentuk granuloma dan kapsul.
Pembentukan granuloma terlihat jelas di sekitar telur cacing skistosoma di
hati.

Mekanisme parasit menghindari sistem imun :


1. Pengaruh lokasi
Banyak parasit terlindung dari sistem imun oleh karena letaknya
yang secara anatomis tidak terpajan dengan sistem imun, misalnya parasit
intraseluler seperti T.cruzi, leishmania, plasmodium, T.spiralis,
E.histolitika atau cacing yang hdup dalam lumen saluran cerna.
2. Parasit mengubah antigen
Tripanosoma afrika dapat mengubah antigen mantel
permukaannya melalui proses variasi antigenik. Beberapa jenis malaria
juga dapat melakukan hal ini. Ada dua bentuk variasi antigenik. Pertama
adalah perubahan yang stage spesific dalam ekspresi antigen. Daam fase
pematangan parasit memproduksi antigen yang berbeda dari fase infektif,
misalnya fase sporozoit parasit malaria antigeik berbeda dari merozoit
yang berperan pada infeksi kronis. Pada waktu respon imun berkembang

17
terhadap infeksi sporozoit, parasit berdiferensiasi, mengekspresikan
antigen baru sehingga antigen lama bukan lagi merupakan sasaran untuk
eliminasi imun. Variasi antigenik yang terus menerus diduga ditimbulkan
oleh adanya variasi terprogram dalam ekspresi gen yang menyandi
antigen permukaan utama. Parasit lain menutupi dirinya dengan antibodi
sehingga sistem imun pejamu tidak megenalnya.
3. Supresi sistem imun pejamu
Parasit seperti larva T.spiralis, skistosoma dapat merusak sel
limfoid atau jaringan secara langsung. Antigen yang dilepas parasit dalam
jumlah besar mengurangi reflek respon imun pejamu. Anergi sel T
ditemukan pada skistosomiasis berat yang mengenai hati dan limpa dan
pada infestasi filaria. Mekanismenya belum jelas. Pada filariasis limfatik,
infeksi kelenjar getah bening merusak arsitektur kelenjar dan
mengakibatkan defisiensi imun. Defisiensi imun juga terjadi pada malaria
dan tripanosomiasis afrika yang disebabkan karena produksi sitokin
immunosupresif oleh makrofag dan sel T yang diaktifkan dan defek
dalam aktivasi sel T.
4. Resistensi
Parasit menjadi resisten terhadap respon imun selama menginvasi
pejamu. Larva skistosoma bergerak dari paru dan selama migrasi tersebut
mengembangkan tegumen yang resisten terhadap kerusakan oleh
komplemen dan CTL.
5. Hidup dalam sel pejamu
Protozoa menghindari respon imun dengan memilih hidup dalam
sel pejamu atau dengan mengembangkan kista yang resisten terhadap
efektor imun. Beberapa cacing hidup di lumen saluran cerna dan
terlindung dari efektor CMI.

E. IMUNITAS TERHADAP INFEKSI CACING


1. Imunitas non spesifik
Pada sistem ini yang bekerja adalah sel fagosit. Sel-sel agosit
serang cacing dengan mengeluarkan sekresi yang bersifat mikrobasidal.

18
Namun karena kulit yang tebal dan sifatnya yang multisellule cacing
resisten terhadap efek litik dan sitosidal.
Respon imun terhadap cacing pada manusia yang belum pernah
terinfeksi menunjukkan bahwa usaha eliminasi cacing sudah terjadi
meskipun adaptive immunity belum terbentuk. Hal ini menunjukkan
bahwa innate immunity merupakan garda terdepan dalam imunitas
terhadap cacing. Basofil sebagai bagian dari innate imunity yang mampu
mengenali cacing, kemampuannya untuk bermigrasi ke tempat yang
terinfeksi cacing, teraktifkannya sel ini oleh produk cacing serta
kemampuannya mengaktifkan sel-sel yang lain baik sel imun maupun non
imun (lihat keterangan pada sub bab selanjutnya), menjadikannya
kandidat kuat untuk menjadi pemain penting dalam imunitas terhadap
cacing.

a. Peran Basofil dalam Terjadinya Eosinofilia dan Migrasi Eosinofil ke


dalam Jaringan
Eosinofil mempunyai peran penting dalam pertahanan
terhadap cacing, karena ia mampu mengeluarkan zat-zat toksik
terhadap cacing. Eosinofil diproduksi di dalam sumsum tulang dan
dilepaskan ke sirkulasi dan akan memasuki jaringan yang diinvasi
oleh cacing. Berbagai kemokin golongan C-C Chemokine telah
diketahui bekerja untuk menarik eosinofil ke jaringan, diantaranya
adalah Monocyte Chemotactic Protein-1 (MCP- 1), MCP-3, MCP-5
dan eotaxin.
Basofil mempunyai peran dalam terjadinya eosinofilia dan
migrasi eosinofil ke dalam jaringan dengan cara memproduksi IL-4,
IL-5 dan IL-13. IL-5 dikenal sebagai sitokin yang mampu
meningkatkan produksi eosinofil di dalam sumsum tulang dan
pelepasan eosinofil ke dalam sirkulasi serta memperpanjang masa
hidup eosinofil. IL-4 dan IL-13 merangsang endotel untuk
mengekspresikan adhesion molecule yang memudahkan proses
masuknya eosinofil ke dalam jaringan serta merangsang endotel untuk

19
memproduksi dan mengekspresikan eotaxin-3 yang merupakan
kemotaktik untuk eosinofil. IL-4 dan IL-13 juga merangsang sel epitel
usus untuk memproduksi eotaxin yang merupakan faktor kemotaktik
kuat untuk eosinofil.
Interleukin 4, IL-13 dan TSLP yang dihasilkan basofil mampu
mengaktifkan makrofag kearah Alternative activated Macrophage
(AAM). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa AAM memproduksi
Ym1 dan Leukotrien yang bersifat kemotaktik terhadap eosinofil.
b. Peran Basofil dalam Aktifasi Sel Mast
Sel mast telah diketahui mempunyai peranan dalam imunitas
terhadap cacing. Akan tetapi untuk mengaktifkan sel mast diperlukan
berbagai rangsang, baik yang berasal dari patogen ataupun dari
berbagai mediator dari dalam tubuh inang. Pada pasien kecacingan,
Interleukin 4 yang diproduksi oleh basofil akan berikatan dengan
IL4R pada membran sel mast yang membuat sel mast lebih mudah
untuk teraktifkan. Selain itu, IL-4 juga diperlukan untuk pembentukan
sel mast.
c. Peran Basofil dalam Terbentuknya Alternative Activated Macrophage
Pada dasarnya makrofag dapat digolongkan menjadi dua
golongan bila ditinjau dari sisi cara pengaktifannya. Golongan
pertama adalah classic activated Macrophage yang diaktifkan oleh
IFN dan alternative activated Macrophage (AAM) yang terutama
diaktifkan oleh IL-4 dan IL-13. Pada infeksi cacing, makrofag akan
terpolarisasi kearah AAM. Polarisasiini terjadi karena berbagai hal,
diantaranya produk cacing yang disekresikan (peroxiredoxin), IL-4,
IL-13 , IL-21, IL-25, IL-33 dan TSLP.
Basofil yang diketahui merupakan penghasil IL-4, IL-13 dan
TSLP berperan penting dalam munculnya AAM. Setelah terbentuk,
AAM akan memproduksi berbagai zat yang berguna untuk pertahanan
diri terhadap cacing seperti Ym1, RELM, AMCase dan Intelectin.
Terbentuknya AAM mengakibatkan direkrutnya eosinoil,
menghambat polarisasi sel Th kearah Th1, membantu polarisasi Th

20
kearah Th2, memicu terbentuknya granuloma. Meskipun diketahui
bahwa AAM mampu berfusi membentuk Multinucleated Giant Cell
(MNG), namun belum ada bukti bahwa terbentuk MNG pada infeksi
cacing. Peran Basofil dalam Terbentuknya Sel TH2 Infeksi cacing
memicu terpolarisasinya sel Th0 ke arah sel Th2 dengan menekan
terbentuknya sel Th1. Konsekuensi dari polarisasi ini adalah
terbentuknya IL-4, IL- 5, IL-9, IL-10, IL-13, diikuti dengan
terbetuknya immunoglobulin E (IgE), yang akan menempel pada
membran sel eosinofil dan sel mast .
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terbentuknya sel Th2
pada pasien kecacingan ditentukan oleh pengenalan antigen cacing
yang dilakukan sel dendritik 2 (DC2). Proses pengenalan ini akan
mengaktifkan DC2 yang pada gilirannya mengaktifkan sel Th2. Akan
tetapi polarisasi ini tidak terjadi dengan baik bila tidak ada sel basofil.
Penelitian menunjukkan bahwa pada binatang yang dibuat sedemikian
rupa sehingga mengalami deplesi sel basofil, polarisasi ke arah sel
Th2 tidak terjadi meskipun kemampuan presentasi antigen oleh DC
tidak hilang. Hal ini menunjukkan bahwa basofil mempunyai peran
penting dalam terbentuknya sel Th2. Apabila jaringan terinfeksi oleh
cacing, maka sel basofil akan bermigrasi ke arah jaringan tersebut.
Basofil yang direkrut akan teraktifkan oleh beberapa sitokin dan
antigen cacing. Setelah teraktifkan, basofil melakukan endositosis
antigen cacing dan memprosesnya untuk dipresentasikan ke
permukaan membran sel melalui MHC II (Major Histocompatibility
Comnplex Class II), dalam hal ini baso􀀁 l berperan sebagai APC
(antigen Presenting Cell). Selanjutnya basofil bermigrasi ke draining
lymphonodi (dLN) untuk mengadakan kontak sel dengan sel Th0.
Kontak antara sel Th0 dengan basofil terjadi melalui ikatan antara
TCR (T Cell Receptor) dengan antigen yang dipresentasikan oleh
basofil. Setelah berikatan maka sel Th0 akan terpolarisasi ke arah sel
Th2 dengan bantuan IL-4 dan TSLP (Thymic Stromal
Lymphopoietin) yang dihasilkan oleh basofil. Selain mempunyai

21
kemampuan sebagai APC, dimungkinkan sel basofil juga mampu
merangsang DC untuk mengekspresikan OX40L. Kemampuan ini di
dapatkan karena basofil yang teraktifasi akan mensekresikan TSLP
dan telah diketahui bahwa TSLP mampu merangsang DC untuk
mengekspresikan OX40L dan menghambat terbentuknya IL-12.
OX40L akan berikatan dengan OX40 pada membran sel Th0 sehingga
memicu polarisasi ke arah sel Th2. Polarisasi sel Th0 ke arah Th2
pada pasien kecacingan terjadi dengan adanya kontak antara DC2 dan
basofil dengan Th0. Hipotesis yang diajukan adalah banyaknya sel
yang terlibat dalam terbentuknya sel Th2 memastikan munculnya
respon Th2.

2. Imunitas Spesifik
Respon imun pada cacing umumnya lebih kompleks karena
pathogen lebih besar dan tidak bisa ditelan fagosit. Pertahanan terhadap
infeksi cacing diperankan oleh sel Th2. Cacing yang masuk merangsang
sel Th2 untuk mengeluarkan IL-4 dan IL-5. Dimana IL-4 berfungsi untuk
rangsang produksi IgE dan IL-5 untuk rangsang perkembangan dan
aktivasi eosinofil. Kemudian IgE akan menempel pada permukaan cacing
dan diikat oleh eosinofil. Kemudian eosinofil aktifkan dan sekresikan
granul enzim yang hancurkan parasit. Eosinofil lebih eektif dari PMN
lainnya karena granulnya lebih toksik disbanding enzim proteolitik dan
ROI yang dihasilkan oleh makrofag dan netrofil.
Respon imun humoral biasa diakhiri dengan adanya
Immunoglobulin Class Swithcing untuk menghasilkan respon imun yang
lebih baik, karena mempertahankan spesifisitas terhadap antigen namun
memberikan respon imun yang berbeda. Pada awalnya sel B hanya

22
membentuk IgM dan IgD namun setelah terjadi respon imun adaptif maka
sel B akan mensekresikan antibodi yang disesuaikan dengan jenis antigen
yang masuk, sehingga sel B mungkin akan menghasilkan IgG, IgA
ataupun IgE. Pada kasus kecacingan, Immunoglobulin Class Swithcing
terjadi dengan terbentuknya IgE. Immunoglobulin Class Swithcing terjadi
karena adanya dua rangsangan penting. Rangsangan pertama oleh sitokin
IL-4 dan atau IL-13, sedangkan rangsangan kedua adalah ikatan antara
CD40 pada sel B dengan CD40L. Pada dasarnya Immunoglobulin Class
Swithcing dapat digolongkan menjadi dua, yakni Immunoglobulin Class
Swithcing T cell Dependent dan T cell Independent. Kedua cara ini
nampaknya terjadi pada respon imun terhadap cacing.
Immunoglobulin Class Swithcing T cell Dependent
dipicuolehsitokinIL-4 yang dikeluarkan oleh sel Th2 dan ikatan antara
CD40L dari sel Th2 dengan CD40 pada sel B. Pada proses ini, basofil
berperan meningkatkan terjadinya Immunoglobulin Class Swithcing
dengan memproduksi dan mensekresikan IL-4.

Immunoglobulin Class Swithcing T cell


Independent pada pasien kecacingan terjadi karena basofil
mengeluarkan IL-4 yang merangsang terbentuknya Iε Germ Line
Transcription pada sel B, sedangkan ikatan antara CD40 pada sel B
dengan CD40L pada basofil memicu switch recombination karena ikatan
antara CD40-CD40L mengaktifkan AID (Activation-induced cytidine
deaminase) pada sel B. Hasil akhirnya adalah kemampuan sel B untuk
membentuk IgE tanpa bantuan sel T.
3. Respon imun terhadap cacing
a. Helminth merupakan parasit ekstraseluler, berukuran besar tidak sama
dengan fagositosis
b. Nematoda intestinal mengakibatkan reaksi inflamasi dan
hipersensitifitas
c. Respon pd fase akut – Aktifitas IgE & eosinophil → inflamasi =
worm expulsion.

23
d. Respon pada fase kronik = inflamasi kronik:
1) DTH, Th1 / activated macrophages – granuloma
2) Th2 / B cell responses ↑ IgE, sel mast & eosinophil = inflamasi
4. Mekanisme cacing menghindar dari sistem imun hospes
a. Pengaruh ukuran
Ukuran cacing yang besar menyebabkan sukar untuk dieliminasi
Contoh : A.lumbricoides
b. Parasit meliputi dirinya dengan protein host (antibodi dari host)
sehingga tidak dianggap sebagai benda asing.
Contoh : Schistosomes - host blood proteins
c. Molecular mimicry.
Parasit mempunyai kemampuan meniru struktur dan fungsi
molekul hospes. Contoh : schistosome mempunyai E-selectin -
adhesion / invasion.
d. Anatomical seclusion
Parasit dapat mengasingkan diri (bersembunyi) dalam organ
tubuh hospes. Contoh : larva Trichinella spiralis di dalam jaringan
otot
e. Shedding / replacement surface
Parasit mengganti permukaannya atau melepaskan dindingnya.
contoh : trematoda, cacing tambang
f. Immunosupression – manipulation of the immune response.
1) Infeksi berat nematoda sering terjadi tanpa gejala
2) Parasit mensekresikan bahan yang bersifat anti inflamasi →
menghambat rekrutmen (penarikan) dan aktivasi lekosit
menghambat interaksi chemokine-receptor
Contoh: Protein yang dimiliki cacing tambang mengikat ß
integrin CR3 dan menghambat ekstravasasi netrofil
g. Anti-immune mechanisms
Menghambat proses pengenalan antigen – menghambat
presentasi antigen oleh APC. Contoh : larva trematoda hati
mensekresikan enzim yang dapat merusak ab.

24
h. Migration
Sebagai contoh Cacing tambang dapat bermigrasi dari usus
untuk menghindari reaksi radang lokal pd usus.
i. Production of parasite enzymes
Parasit mensekresikan enzim tertentu
Contoh : Cacing filaria mensekresikan enzim yang bersifat anti
oksidan seperti glutathione peroxidase & superoxide dismutase –
tahan thd mekanisme ADCC & oxidative stress.

F. RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI PROTOZOA


1. Secara khas infeksi parasit merangsang lebih dari satu mekanisme
pertahanan imunologik, yaitu respons imun humoral dan seluler.
2. Infeksi parasit pada umunya bersifat khronis maka dalam tubuh selalu
terdapat antigen parasit yang beredar sehingga terjadi perangsangan terus
menerus maka terbentuklah kompleks imun.
3. Kemudian terjadinya adaptasi yang sangat erat antara parasit dan inang,
maka terciptalah suatu keseimbangan hubungan antara keduannya.
4. Dalam inang yang alami tidak ada mekanisme efektor yang bekerja
sendiri, maka untuk menghadapi ini, parasit dalam perkembangannya
selalu berusaha untuk menghindarkan diri.
5. Tetapi pada umumnya respons imun seluler lebih efektif untuk
menghadapi protozoa yang hidup intraseluler,

25
6. Sebaliknya antibody lebih efektif untuk parasit ekstraseluler baik dalam
darah maupun dalam cairan jaringan

Mekanisme efektor

1. Humoral
Antibodi dengan spesifisitas yang cocok dalam kadar cukup dan
afinitas yang efektif akan melindungi terhadap serangan parasit dalam
darah seperti trypanosoma brucci dan tahap sporozoit dan merozoit dari
plasmodium. Mekanisme efektornya dapat berbentuk opsonisasi,
fagositosis dan lisis oleh komplemen.
Infeksi parasit → respon humoral meningkat, tetapi kebanyakan
antibodi yang terbentuk tidak bersifat protektif. Mekanisme kerja
antibodi dalam melawan parasite dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
a. Antibodi bekerja sendiri
Parasit intraseluler memerlukan reseptor pada permukaan sel
hospes → untuk bisa masuk ke dalam sel. Antibodi → menghambat
terjadinya ikatan antara molekul parasit dengan reseptor.

26
Contoh :
1) Antibody terhadap Ag permukaan merozoit plasmodium →
menghambat terjadinya interaksi merozoit dengan eritrosit.
2) Ab thd Ag permukaan sporozit menghambat ikatan sporozoit
dengan hepatosit.
Ab thd komponen glikolipid Leishmania → menghambat parasit
masuk makrofag.
b. Antibodi bekerja sama dengan sel
Dikenal sebagai ADCC. Sel yang terlibat yaitu eosinofil,
makrofag, neutrofil, trombosit. Sel tersebut berikatan dengan bagian
Fc dari Ig. Bagian Fab berikatan dengan parasit (sel yg terinfeksi)
Contoh :
1) Eosinofil berikatan dgn IgE → menghancurkan cacing
2) Makrofag berikatan dgn Ig memfagositosis Plasmodium std
eritrositik
c. Antibodi bekerja sama dengan komplemen
Efektivitas komplemen alam mengeliminasi parasit secara in
vitro telah terbukti tetapi secara in vivo belum.

2. Seluler
Sampai saat ini belum diketemukan peran limfosit T sitotoksik
dalam fungsi pertahanannya terhadap parasit yang kita kenal. Di pihak
lain limfosit T yang menghasilkan limfokin, sangat penting untuk
mengaktifkan sel makrofag agar dapat membunuh parasit secara
intraseluler, seperti terjadi pada Toxoplasma gondii, Trypanosoma cruzi
dan Leishmania spp. Biasanya sel-sel penghasil limfokin sangat berperan
dalam mekanisme pertahanan,.Dilakukan oleh sel limfosit dengan cara :
a. CTL (T CD8+)
Cytotoxic T Lymphocyte (T CD8+) Molekul antigen
diperkenalkan kepada sel T CD8+ oleh MHC kelas I → lisis sel
target. Contoh penghancuran/ lisis hepatosit yang terinfeksi
Plasmodium.

27
b. Limfokin
Limfokin merupakan suatu mediator soluble (protein) yang
dihasilkan oleh limfosit. Bekerja meningkatkan aktifitas sel efektor
untuk mengeliminasi parasit (dgn atau tanpa bantuan Ab).
Contoh IFN-γ pada infeksi Plasmodium dan Penghancuran T.gondii.
c. Sel NK
Natural Killer Cell (Sel NK) Menghasilkan IFN-γ → aktivitas
sitotoksik.

28
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit
infeksi. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya
terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan
hidup.
Bakteri dari luar yang masuk ke dalam tubuh (ekstraseluler) akan
diserang sistem imun nonspesifik berupa fagosit, komplemen (aktivasi jalur
alternatif), protein fase akut (APP) atau antibodi spesifik yang sudah ada
dalam darah akibat pajanan terdahulu dengan bakteri yang sama akan
menetralisasi bakteri.
Virus merupakan obligat intraseluler yang berkembang biak di dalam
sel, sering menggunakan mesin sintesis asam nukleat dan protein pejamu.
Respon imun terhadap jamur belum banyak diketahui, namun diduga
melibatkan sel T dan makrofag.

B. SARAN
Kami tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat
banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Kami akan memperbaiki
makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang
membangun dari para pembaca.

29
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja. Imunologi Dasar. Edisi 6. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta. 2004.
Brooks, Butel, Ornston. Medical Microbiology. Appleton & lange.
Parslow, Stites, Terr, Imboden. Medical Immunology. 10th edition. Mc-Graw Hill
Companies. 2001.
https://www.academia.edu/32585526/
IMUNITAS_TERHADAP_INFEKSI_PROTOZOA

30

Anda mungkin juga menyukai