PADA PASIEN
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB II PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. DEFENISI
B. ANATOMI FISIOLOGI
C. ETIOLOGI
D. PATOFISIOLOGI
E. PATWAY
F. MANIFESTASI KLIKIK
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
H. PENATALAKSANAAN
I. KOMPLIKASI
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
B. DIAGNOSIS
C. INTERVENSI
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DEFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
penyakit autoimun multi sistem dengan manifestasi khas dan perilaku klinis
bervariasi. SLE adalah penyakit autoimun yang disebabkan oleh autoantibodi yang
diproduksi terhadap banyak antigen diri dan pembentukan kompleks imun (Vinay
Kumardkk, 2015). Lupus merupakan hasil dari regulasi sistem imun yang terganggu
penyakit yang terjadi karena adanya penurunan sistem kekebalan tubuh dan
menyerang seluruh organ tubuh manusia mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien dapat berupa kelelahan, penurunan berat
merujuk adanya infeksi pada tubuh, suhu tubuh dapat lebih dari 40°C (Alamanda, T.P
dkk, 2018).
organisme patogenik (Tim Pokja SDKI DPP PPNI 2016). Data Klinik Penyakit
Dalam dan Rematik Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito Yogyakarta menunjukkan
saat ini jumlah penderita penyakit lupus yang terdeteksi di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta mencapai 2.000 orang. Dalam tiga bulan terakhir, rumah sakit tersebut
merawat sekitar 15-20 penderita rawat inap dan mayoritas lainnya rawat jalan.
Sebanyak 85% menyerang perempuan usia 10-18 tahun (Wardhana Seto, 2015).
februari 2020 diperoleh data sebagai berikut : Jumlah keseluruhan ada 26 anak yang
menderita SLE.
Berbagai efek dapat timbul pada pasien SLE. Efek tersebut dapat datang dari
efek secara fisik maupun efek secara psikologis. Pada penderita lupus jaringan di
dalam tubuh dianggap benda asing. Rangsangan dari jaringan tersebut akan bereaksi
dengan sistem imunitas dan akan membentuk antibodi yang berlebihan, dimana
antibodi yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap penyakit, masuk kedalam
tubuh justru akan menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat dan berbagai
jaringan organ tubuh seperti jaringan kulit, otot, tulang, ginjal, sistem saraf,
pasien SLE dengan upaya promotif, yaitu meliputi pemberian pendidikan kesehatan
tentang risiko infeksi yang terjadi pada anak dengan penyakit SLE, upaya preventif
yaitu memberi informasi mengenai pencegahan risiko infeksi dengan salah satu
caranya rajin mencuci tangan, menjaga kebersihan lingkungan pasien, istirahat yang
cukup, upaya kuratif yaitu sebagai pemberi asuhan keperawatan resiko infeksi pada
pasien anak dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) sehingga pasien mampu
mencapai derajat kesehatan yang optimal dan upaya rehabilif yaitu menganjurkan
sebagai orang terdekat dengan Odapus (Orang dengan Lupus) mempunyai peran yang
agar pasien tetap kontrol rutin dan meminum obat secara teratur, pemahaman
keluarga atas kondisi odapus, serta dukungan semangat dalam menghadapi lupus
B. Rumusan Masalah
masalah bagaimana studi dokumentasi risiko infeksi pada pasien anak dengan
C. Tujuan
A. Teori Dasar
a. Definisi
dimana terjadi kerusakan organ dan sel-sel akibat dari adanya autoantibodi
atau kompleks imun yang terikat pada jaringan (Paramaiswari Ayu, 2012).
wanita muda, dan mempunyai faktor genetik kuat (Digivlio dkk, 2014).
SLE terutama terjadi pada wanita. Gangguan ini dapat akut atau kronik, yang
ditandai oleh remisi dan eksaserbasi. Kondisi ini menyebabkan kerusakan luas
B. ANATOMI SLE
Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem pertahanan
manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau
serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit.
Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme dan proses yang berbeda yang
semuanya siap bertindak begitu tubuh kita diserang oleh berbagai bibit penyakit
seperti virus, bakteri, mikroba, parasit dan polutan. Sebagai contoh adalah
cytokines yang mengarahkan sel-sel imun ke tempat infeksi, untuk melakukan
proses penyembuhan.
Berdasarkan fungsinya :
a) Organ Limfoid Primer : organ yang terlibat dalam sintesis/ produksi sel
imun, yaitu kelenjar timus dan susmsum tulang.
b) Organ Limfoid Sekunder : organ yang berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya proses-proses reaksi imun. Misalnya : nodus limfe, limpa,
the loose clusters of follicles, peyer patches, MALT (Mucosa Assosiated
Lymphoid Tissue), tonsil.
1. Komposisi sistem kekebalan tubuh
Sel-sel sistem kekebalan tubuh adalah sel darah putih atau leukosit. Tugasnya
adalah untuk membunuh organisme yang menyebabkan infeksi dan penyakit
dalam tubuh. Leukosit dibentuk di berbagai bagian tubuh seperti timus ,
limpa (limpa), dan sumsum tulang .
a) Gangguan Immunodeficienc
Ketika bagian dari sistem kekebalan tubuh tidak bekerja dengan baik,
Anda mungkin memiliki gangguan immunodeficiency.
Immunodeficiency yang akan berhubungan dengan genetikdan hormonal
disebut immunodeficiency primer dan selain itu immunodeficiency
sekunder sering dijumpai pada beberapa kondisi medis seperti
HIV.Beberapa penyakit yang disebabkan oleh immunodeficiency primer
adalah sebagai berikut:
1) SCID atau Bubble Boy Disease - Penyakit kronis ini karena sistem
kekebalan tubuh atas kurangnya Sel B dan sel T dalam tubuh.
2) Sindrom DiGeorge (displasia thymus) - Ini adalah cacat di mana
orang dilahirkan tanpa kelenjar timus.
3) Sindrom Chediak-Higashi dan Penyakit Kronis Granulomatous -
Ini adalah penyakit yang disebabkan oleh kelemahan dan
kurangnya tindakan neutrofil.
Sementara penyakit yang disebabkan oleh immunodeficiency sekunder
sebagai berikut :
1) HIV (Human Immunodeficiency Virus) / AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) . Ini adalah penyakit yang perlahan-lahan
dan memerangi sistem imun. HIV adalah virus yang membunuh
sel-sel T. Ketika kekebalan tubuh menurun maka tubuh tidak
mampu melawan berbagai macam infeksi terinfeksi.
2) Immunodeficiency ini disebabkan oleh obat-obatan, seperti yang
digunakan dalam kemoterapi pengobatan kanker . Sementara
kemoterapi membunuh sel-sel yang menyebabkan kanker, tetapi
selsel sehat juga ikut terpengaruh
b) Gangguan autoimun
1) Lupus
2) Juvenile rheumatoid arthritis
3) Juvenile on-set diabetes
4) Scleroderma
5) Ankylosing spondylitis
6) Dermatomiositis Juvenile
c) Gangguan Alergi
1) Ketika reaksi terlalu kuat dari sistem kekebalan tubuh untuk alergen,
tubuh menderita alergi. Sistem kekebalan tubuh menunjukkan gejala
seperti bersin, konjungtivitis, radang bagian-bagian tertentu dari
tubuh dan, dalam beberapa kasus, anafilaksis .
2) Obat antihistamin untuk alergi sering menyebabkan alergi. Beberapa
contoh dari alergi asma , eksim, reaksi alergi terhadap makanan,
obatobatan, pada saat itu, dan lingkungan (misalnya debu).
d) Kanker pada sistem kekebalan tubuh
C. ETIOLOGI
autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan baik secara
1) Faktor-faktor genetik
a) Hubungan kekeluargaan
Anggota keluarga mempunyai resiko lebih tinggi untuk
b) Gen-gen lain
apoptosis.
2) Faktor-faktor lingkungan
patogenesis SLE.
SLE.
b) Menghisap sigaret
autoantibodi.
c) Hormon seks
wanita selama masa reproduksi daripada pria pada usia yang sama,
tetapi hanya 2 sampai 3 kali lebih sering pada wanita selama masa
D. Patofisiologi
pada jaringan dimana pun dalam tubuh dapat terjadi. Pada beberapa kasus,
respon autoimun dapat didahului oleh reaksi obar, infeksi, atau pajanan
sinar matahari berlebihan. Pada anak gejala awal umumnya terkait dengan
dkk,
2014).
E. PATWAY
F. Tanda dan Gejala (Manifestasi Klinis)
satu atau lebih sendi perifer (tangan dan pergelangan tangan, lutut, kaki,
klinis SLE tidak jelas dan meragukan, dalam bentuk seperti penyakit
K. dkk, 2015).
Tanda penyakit merupakan manifestasi klinis atau data objektif
yang bias dilihat langsung tanpa ada pemeriksaan diagnostik. Pada empat
adanya juga bengkak pada seluruh tubuh. Gejala ialah tanda awal yang
paru-paru, adanya kelemahan dan rasa cepat lelah (Vinay K. dkk, 2015).
G. PEMERIKSAAN TUNJANGAN
1) Pemeriksaan darah
yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga
bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi
DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir
spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi
4) Tes Imunologik
diagnose SLE adalah tes ANA. Tes ANA diperiksa hanya pada pasien
dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada pasien SLE
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil
tes ana dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai
H. Penatalaksanaan
intervensi dini sering kali dapat mencegah kerusakan sendi yang serius.
SLE serupa dengan terapi untuk artritis jenis lain: obat, olahraga dan
85% penderita lupus. Bisa berbentuk bekuan darah di dalam vena maupun
arteri, yang menyebabkan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh
penyakit menahun.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Identitas
sering dijumpai pada orang berkulit hitam dari pada orang yang berkulit putih.
b. Keluhan utama
Pada SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kelainan kulit meliputi eritema
malar ( pipi ) ras seperti kupu-kupu, yang dapat mengenai seluruh tubuh,
sebelumnya pasien mengeluh demam dan kelelahan.
a. Pola nutrisi
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya sampai beberapa
kg, penyakit ini disertai adanya rasa mual dan muntah sehingga
mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.
b. Pola aktivitas
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
c. Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif
mesangial, namun, secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
d. Pola sensori dan kognitif
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada
jari – jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik.
e. Pola persepsi dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel
yang menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang
buruk pada kulit penderita SLE akan membuat penderita merasa malu
dengan adanya lesi kulit yang ada.
C. Pemeriksaan fisik
• Sistem integument
Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema molar
yang bersifat irreversibel.
• Kepala
Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan
yang sifatnya reversibel dan rambut yang hilang akan tumbuh kembali.
• Muka
Pada penderita SLE lesi tidak selalu terdapat pada muka/wajah
• Telinga
Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
• Mulut
Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.
• Ekstremitas
Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan
dan jari jari-jari kaki, juga sering merasakan nyeri sendi.
• Paru – paru
Penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion,
pneumonitis, interstilsiel fibrosis.
• Leher
Penderita SLE tiroidnya mengalami abnormal, hyperparathyroidisme,
intolerance glukosa.
Jantung
Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, myokarditis, endokarditis,
vaskulitis.
• Gastro intestinal
Penderita SLE mengalami hepatomegaly / pembesaran hepar, nyeri pada
perut.
• Muskuluskletal
Penderita mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan joint
swelling.
• Sensori
Penderita mengalami konjungtivitis, photophobia.
• Neurologis
Penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.
(SLE)
3. nyeri akut
C. Intervensi
E. Evaluasi
Tinjauan manajemen asuhan keperawatan evaluasi merupakan langkah
akhir dari proses manajemen asuhan keperawatan. Mengevaluasi pencapaian
dengan kriteria yang diidentifikasikan, memutuskan apakah tujuan telah tercapai
atau belum tercapai. Tinjauan pustaka evaluasi yang telah ditunjukan adalah
observasi mual dan muntah, refleks mengisap dan refleks menelan,
suhu,frekuensi denyut jantung warna kulit. Berdasarkan studi kasus bayi dengan
asfiksia sedang, telah dilakukan asuhan yang tepat maka tidak ditemukan hal-hal
yang menyimpang. Hasil evaluasi pada bayi sudah sesuai dengan tujuan yang
diharapkan yaitu SLE sedang teratasi.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Alamanda, T.P, dkk. (2018) Anak Perempuan Berusia 14 Tahun dengan Lupus
Erythematosus Sistemik dengan Nefritis dan Hipertensi Grade 1. Lampung : Bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUP Abdoel Muluk
Asih R.A.F & Sukendra D.M. (2016). Hubungan Keparahan Penyakit, Aktivitas, pada
pasien Systemic Lupus Erythematosus. Unnes Journal of Public Health Vol.5 No.3
Cleanthous, S. Tyagi, M. Isenberg & Newman. (2012). What do we know about selft-
reported fatigue in systemic lupus erythematosus? Lupus, 21 (5), 465-
476. https://doi.org/10.1177/0961203312436863
Diglivo, Mary, Jakson, Donnaa. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. (P.Dwi,
Penerjemah). Jakarta : EGC
Dorland, T.P, dkk. (2011). Kamus Saku Kedokteran. Dorland Ahli Bahasa, Mathoae, A.A,
Rachman, dkk. Edisi 28. Jakarta : EGC
Evalina, R. (2012). Gambaran Klinis dan Kelainan Imunologi Pada Anak dengan Lupus
Erythematosus Sistemik di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik Medan Sari
Pediatri Vol. 13 No. 6
Fatmawati, Atikah. (2018). Regulasi Diri pada Penyakit Kronis. Systemic Lupus
Erythematosus: Kajian Literatur. Jurnal Keperawatan Indonesia Vol.21 No.1
Hasdianah, Dewi, Prima, & sentot. (2014). Imunologi Patogenesis dan Tehnik Biologi
Molekuler. Yogyakarta : Nuha Medika
Hidayat, Abdul Azizi Atimul. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Salemba
Medika
Sudewi, Ni Putu, dkk. (2009). Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak
Sari Pediatri Vo/ 11 No. 2
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI).
Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI).
Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia.