Anda di halaman 1dari 25

ANATOMI FISIOLOGI

Systemic Lupus Erythematosus

A. Anatomi SLE

Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem pertahanan


manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau
serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit.

Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme dan proses yang berbeda yang
semuanya siap bertindak begitu tubuh kita diserang oleh berbagai bibit penyakit
seperti virus, bakteri, mikroba, parasit dan polutan. Sebagai contoh adalah
cytokines yang mengarahkan sel-sel imun ke tempat infeksi, untuk melakukan
proses penyembuhan.

Organ –Organ dalam Sistem Imun (Organ Limfoid) :

Berdasarkan fungsinya :

a) Organ Limfoid Primer : organ yang terlibat dalam sintesis/ produksi sel imun,
yaitu kelenjar timus dan susmsum tulang.
b) Organ Limfoid Sekunder : organ yang berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya proses-proses reaksi imun. Misalnya : nodus limfe, limpa,
the loose clusters of follicles, peyer patches, MALT (Mucosa Assosiated
Lymphoid Tissue), tonsil.
1. Komposisi sistem kekebalan tubuh

Sel-sel sistem kekebalan tubuh adalah sel darah putih atau leukosit. Tugasnya
adalah untuk membunuh organisme yang menyebabkan infeksi dan penyakit
dalam tubuh. Leukosit dibentuk di berbagai bagian tubuh seperti timus , limpa
(limpa), dan sumsum tulang .

Ada dua jenis leukosit:

a) Fagosit - Sel-sel ini tampaknya menyerang organisme. Neutrofil adalah


bentuk paling umum dari fagosit. Fungsi utama mereka adalah untuk
melawan bakteri.
b) Limfosit - Sel-sel ini yang pertama dn bertugas mencari organisme dan
membantu untuk memerangi mereka. Limfosit dimulai di sumsum tulang
secara aktif mencari organisme penyebab penyakit dalam tubuh,
2. Cara kerja sistem imun tubuh

Sistem kekebalan melindungi tubuh dalam tiga cara:

a) Membentuk penghalang yang mencegah bakteri dan virus memasuki


tubuh.
b) Ketika bakteri atau virus masuk ke dalam tubuh, sistem kekebalan
tubuhmengenali nya dan membunuh sebelum organisme berbahaya
berusaha memperbanyak diri / berkembang biak
c) Ketika bakteri atau virus berkembang biak dan menyebabkan masalah
dalam tubuh, sistem kekebalan tubuh bertanggung jawab untuk memerangi
dan membunuh organisme berbahaya.
3. Jenis-jenis sistem kekebalan tubuh
a) Imunitas bawaan atau kekebalan alami
Sistem kekebalan tubuh bawaan merupakan Imunitas yang di memiliki
seseorang dari saat kelahiran. Termasuk hambatan anatomis seperti kulit
dan selaput lendir seperti ditemukan dalam hidung dan tenggorokan .
b) Kekebalan aktif atau kekebalan adaptif
Merupakan kekebalan yang terbentuk seiring berjalannya waktu. sistem
kekebalan tubuh adaptif terhadap organisme berbahaya yang menyerang
tubuh ( antigen ). Sistem kekebalan adaptif mengetahui dan dapat
mengidentifikasi suatu jenis organisme. Jika antigen tersebut kembali
menyerang ke tubuh dimasa yang akan datang, sistem kekebalan adaptif
lebih mudah mempertahankan tubuh.
c) Imunitas pasif
Imunitas pasif merupakan kekebalan yang "meminjam" hanya efek
sementara. Sebagai contoh, ASI memiliki antibodi yang membantu
memberikan perlindungan pada bayi terhadap penyakit yang dialami ibu.
4. Macam-macam Penyakit sistem kekebalan tubuh

Jenis-jenis penyakit yang menyerang sistem imunitas tubuh antara lain :

a) Gangguan Immunodeficienc
Ketika bagian dari sistem kekebalan tubuh tidak bekerja dengan baik, Anda
mungkin memiliki gangguan immunodeficiency. Immunodeficiency yang
akan berhubungan dengan genetikdan hormonal disebut immunodeficiency
primer dan selain itu immunodeficiency sekunder sering dijumpai pada
beberapa kondisi medis seperti HIV.Beberapa penyakit yang disebabkan
oleh immunodeficiency primer adalah sebagai berikut:
1) SCID atau Bubble Boy Disease - Penyakit kronis ini karena sistem
kekebalan tubuh atas kurangnya Sel B dan sel T dalam tubuh.
2) Sindrom DiGeorge (displasia thymus) - Ini adalah cacat di mana
orang dilahirkan tanpa kelenjar timus.
3) Sindrom Chediak-Higashi dan Penyakit Kronis Granulomatous - Ini
adalah penyakit yang disebabkan oleh kelemahan dan kurangnya
tindakan neutrofil.
Sementara penyakit yang disebabkan oleh immunodeficiency sekunder
sebagai berikut :
1) HIV (Human Immunodeficiency Virus) / AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) . Ini adalah penyakit yang perlahan-lahan dan
memerangi sistem imun. HIV adalah virus yang membunuh sel-sel T.
Ketika kekebalan tubuh menurun maka tubuh tidak mampu melawan
berbagai macam infeksi terinfeksi.
2) Immunodeficiency ini disebabkan oleh obat-obatan, seperti yang
digunakan dalam kemoterapi pengobatan kanker . Sementara
kemoterapi membunuh sel-sel yang menyebabkan kanker, tetapi sel-
sel sehat juga ikut terpengaruh
b) Gangguan autoimun

Ini adalah penyakit di mana sistem kekebalan tubuh mengalami kesalahan


mengidentifikasi terhadap penyakit dan Mengira bagian tubuh yang sehat
sebagai organisme yang buruk penyebab penyakit. yang disebabkan oleh:

1) Lupus
2) Juvenile rheumatoid arthritis
3) Juvenile on-set diabetes
4) Scleroderma
5) Ankylosing spondylitis
6) Dermatomiositis Juvenile
c) Gangguan Alergi
1) Ketika reaksi terlalu kuat dari sistem kekebalan tubuh untuk alergen,
tubuh menderita alergi. Sistem kekebalan tubuh menunjukkan gejala
seperti bersin, konjungtivitis, radang bagian-bagian tertentu dari tubuh
dan, dalam beberapa kasus, anafilaksis .
2) Obat antihistamin untuk alergi sering menyebabkan alergi. Beberapa
contoh dari alergi asma , eksim, reaksi alergi terhadap makanan, obat-
obatan, pada saat itu, dan lingkungan (misalnya debu).
d) Kanker pada sistem kekebalan tubuh

Infeksi pada sel-sel tulang, dapat menyebabkan kanker. Limfoma adalah


salah satu jenis kanker yang umum dalam sistem kekebalan tubuh, selain
itu leukemia (kanker darah) juga untuk orang-orang muda.
LAPORAN PENDAHULUAN
Systemic Lupus Erythematosus

A. Definisi

SLE Merupakan penyakit autoimun dimana sistem imun pasien menyerang


selnya sendiri dan menyerang seluruh organ tubuh, banyak dijumpai pada wanita
khususnya usia produktif (usia subur), karena penyakit ini diduga berkaitan
dengan faktor hormonal yaitu estrogen. Angka kejadian SLE di dunia berkisar
2/2000 penduduk atau 1/1000 penduduk (Yuiliasih,2013)

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) adalahpenyakit


autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel tubuh sendiri,
mengakibatkan peradangan dan kerusakan jaringan. Lupus dapat mempengaruhi
setiap bagian tubuh, tetapi paling umum mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, jantung
dan pembuluh darah. Lupus dapat terjadi pada semua usia dan lebih umum pada
perempuan. Manifestasi kulit cukup bervariasi dan dapat hadir dengan lesi
terlokalisasi, rambut rontok menyebar dan kepekaan terhadap matahari. Nama
kondisi ini berasal dari fakta bahwa ruam yang terjadi pada wajah menyerupai
serigala.

B. Etiologi
Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun diperkirakan
berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun, kelainan genetik,
faktor lingkungan, obat-obatan.
a. Autoimun :
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks
dimana sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T
menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha
mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi
limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk
menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya
sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin
tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan
penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh sel B
(Simon H, 2000).
Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah
antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat
dua tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang
peranan penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya
spesifik untuk pasien SLE (Simon H, 2000). Dengan antigen yang spesifik,
ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga
pengaturan sistem imun pada SLE terganggu yaitu berupa gangguan klirens
kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun
dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal. Sehingga
menyebabkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dan menyebabkan terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan
aktivasinya menghasilkan substansi yang menyebabkan radang. Reaksi
radang inilah yang menyebabkan keluhan pada organ yang bersangkutan
(Albar Z, 1996).
Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid. Antibodi
ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel.
Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan mungkin
berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah hitung
darah (Simon H, 2000).
Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi
antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri
sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang
normal, namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi
antifosfolipid, dengan gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena
berulang, trombositopenia, kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada
pertengahan kedua kehamilan. Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau
bersamaan dengan SLE atau gangguan autoimun lainnya (Lehman TJA,
2004).
b. Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang
juga menderita SLE (Albar Z, 1996). Saudara kembar identik sekitar 25-70%
(setiap pasien memiliki manifestasi klinik yang berbeda)sedangkan non-identik
2-9% (Albar Z, 1996). Jika seorang ibu menderita SLE maka kemungkinan
anak perempuannya untuk menderita penyakit yang sama adalah 1:40
sedangkan anak laki-laki 1:25 (Lamont DW, 2001). Penelitian terakhir
menunjukkan adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur sistem
imun. Kaitan dengan haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3
serta komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah terbukti (Albar Z, 1996).
Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur
apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan
bahwa terdapat beberapa kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong
dibentuknya kompleks imun dan menyebabkan kerusakan ginjal (Simon H,
2000).
c. Faktor lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun
pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu,
kelelahan, stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa
obat-obatan (Simon H, 2000).
Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T
adalah virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara
virus Epstein-Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE.
Penelitian lain menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-
tiap virus, misalnya cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah
dan menyebabkan fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak
mempengaruhi ginjal (Simon H, 2000)..
Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu
tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari
sel di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai
antigen asing dan memberikan respon autoimun (Simon H, 2000).
Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan
tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom
ini adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi
nefritis dan gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat
terjadi perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil laboratoium (Lamont DW,
2001)
Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan
menimbulkan flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi.
Sitokin berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE
biasanya memiliki hormon androgen yang rendah, dan beberapa pria yang
menderita SLE memiliki level androgen yang abnormal (Simon H, 2000)
Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang
respon imun (Albar Z, 2000).

C. Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang


menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).
Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa
turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada
SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T
supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi
serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusaan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini
menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu :
1. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun
sitokin dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
karena adanya mimikri molekuler.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam
tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang
tersebut membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada
jaringan/organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan
jaringan.

Pathway

Genetik kuman, virus, lingkungan, obat-obatan tertentu

Peningkatan antibodi yang berlebihan

Antibodi menyerang organ-organ tubuh (sel jaringan)

Penyakit SLE

Mencetus penyakit inflamasi pada organ

Kulit Sendi Darah Paru-Paru Otak

Adanya lesi pembengkakan produksi sel penumpukan suplai O2


Pada kulit sendi sel darah cairan pada keotak
merah pleura
Nekrosis Hipoksia
Nyeri tekan dan Anemia kebutuhan O2
Kerusakan nyeri ketika dalam paru Gangguan Perfusi
integritas bergerak Keletihan jaringan otak
kulit sesak
Nyeri akut Gangguan
perfusi jaringan Pola nafas
Pasien Merasa perifertidak efektif
malu dengan
kondisinya

Gangguan citra Kelemahan Keasaman


tubuh

ADL Dibantu HCL lambung

Intoleransi aktivitas Nausea

Gangguan pemenuhan
Nutrisi
D. Klasifikasi

Penyakit Lupus yang diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu :

a. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit
Lupus yang menyerang kulit.
b. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di
dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan
sistem saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus
Erythematosus).
c. Drug-Induced (Lupus obat) , penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan
obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat
dihentikan.

E. Manifestasi Klinis

Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari
akan melibatkan organ lainnya.

1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri
ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem Integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum
durum.
3. Sistem Kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem Pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem Vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous
dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem Perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem Saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh
bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
Tapi secara umum,tanda gejala lupus antara lain :

a. Lelah
b. Demam
c. Hilang bb atau meningkat bb
d. Ruam yang berbentuk seperti kupu-kupu yang menutupi wajah dan hidung
e. Radang pada mulut
f. Rambut rontok

F. Penatalaksanaan SLE

1. Penatalaksanaan keperawatan

a) Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument


yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson &
Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal
ini member indikasi yang berguna mengenai pemburukan atau
kekambuhan gejala.
b) Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien yang
menyadari hubungan antara stres dan serangan aktivitas penyakit akan
mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advice tentang
keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan,
dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan,
nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam membantu
pasien mengembangkan strategi koping dan menjamin masalah
diperhatikan dengan baik.
c) Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE.
Perawat dapat memberi dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan,
dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien,
keluarga, dan pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali
personal yang lebih baik terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan
regimen bagi mereka (Anisa Tri U., 2012).
2. Penatalaksanaan medis

Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat:

1) Antiradang nonstreroid (AINS)

AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat ini lebih
jarang dipakai karena memiliki insiden hepatotoksik tertinggi, dan
sebagian penderita SLE juga mengalami gangguan pada hati. Penderita
LES juga memiliki risiko tinggi terhadap efek samping obat-obatan AINS
pada kulit, hati, dan ginjal sehingga pemberian harus dipantau secara
seksama.

2) Kortikosteroid

3) Antimalaria

Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS tidak


dapat mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria mula-mula
diberikan dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi.
Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau pemakaian
dosis.

4) Imunosupresif

Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan


untuk menekan aktivitas autoimun LES. Obat-obatan ini biasanya dipakai
ketika:

a) Diagnosis pasti sudah ditegakkan


b) Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa
c) Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya, misalnya bila
pemberian steroid tidak memberikan respon atau bila dosis steroid
harus diturunkan karena adanya efek samping
d) Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia dan Lorraine,
1995).
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan
1. Penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis;
2. Untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai
terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ;
3. Untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.

a. Pemeriksaan Autoantibodi

Antibody Prevalensi, Antigen yang Dikenali Clinical Utility


%
Antinuclear 98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining terbaik;
antibodies (ANA) hasil negative berulang
menyingkirkan SLE
Anti-dsDNA 70 DNA (double-stranded) Jumlah yang tinggi spesifik
untuk SLE dan pada beberapa
pasien berhubungan dengan
aktivitas penyakit, nephritis,
dan vasculitis.
Anti-Sm 25 Kompleks protein pada Spesifik untuk SLE; tidak ada
6 jenis U1 RNA korelasi klinis; kebanyakan
pasien juga memiliki RNP;
umum pada African American
dan Asia dibanding Kaukasia.
Anti-RNP 40 Kompleks protein pada Tidak spesifik untuk SLE;
U1 RNAγ jumlah besar berkaitan dengan
gejala yang overlap dengan
gejala rematik termasuk SLE.
Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein pada Tidak spesifik SLE; berkaitan
hY RNA, terutama 60 dengan sindrom Sicca,
kDa dan 52 kDa subcutaneous lupus subakut,
dan lupus neonatus disertai
blok jantung congenital;
berkaitan dengan penurunan
resiko nephritis.
Anti-La (SS-B) 10 47-kDa protein pada hY Biasanya terkait dengan anti-
RNA Ro; berkaitan dengan
menurunnya resiko nephritis
Antihistone 70 Histones terkait dengan Lebih sering pada lupus akibat
DNA (pada nucleosome, obat daripada SLE.
chromatin)
Antiphospholipid 50 Phospholipids,β2 Tiga tes tersedia –ELISA
glycoprotein 1 cofactor, untuk cardiolipin dan β2G1,
prothrombin sensitive prothrombin time
(DRVVT); merupakan
predisposisi pembekuan,
kematian janin, dan
trombositopenia.
Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes Coombs’
langsung; terbentuk pada
hemolysis.
Antiplatelet 30 Permukaan dan Terkait dengan
perubahan antigen trombositopenia namun
sitoplasmik pada sensitivitas dan spesifitas
platelet. kurang baik; secara klinis tidak
terlalu berarti untuk SLE
Antineuronal 60 Neuronal dan Pada beberapa hasil positif
(termasuk anti- permukaan antigen terkait dengan lupus CNS
glutamate receptor) limfosit aktif.
Antiribosomal P 20 Protein pada ribosome Pada beberapa hasil positif
terkait dengan depresi atau
psikosis akibat lupus CNS
Tabel 3 Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)

Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid, DRVVT =


dilute Russell viper venom time, ELISA= enzyme-linked immunosorbent assay.

Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA
karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala.
Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala;
sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative
dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya
terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA).
Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara
pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi.
Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk
SLE. ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel dengan dsDNA pada flagel
Crithidia luciliae memiliki sekitar 60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari
aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun
terhubung lebih baik dengan nephritis
Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE
b. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang
terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga
bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi
antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA
rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk
lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini.
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang
berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya,
mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya
penyakit.
c. Ruam kulit atau lesi yang khas
d. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
e. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya
gesekan pleura atau jantung
f. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
g. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah
h. Biopsi ginjal
i. Pemeriksaan saraf.

H. Komplikasi

Lupus mungkin terlihat sebagai penyakit yang biasa terjadi pada kulit. Namun
jika tidak segera ditangani, lupus bisa menjadi momok bagi kehidupan Anda.
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang bisa terjadi jika penyakit lupus tidak
ditangani dengan cepat dan tepat:

1. Penyakit ginjal
Jika terjadi pembengkakan pada kaki atau pergelangan kaki setelah Anda
divonis mengidap lupus, maka itu adalah tanda bahwa eksresi cairan pada
tubuh Anda sudah tidak normal. Ada yang salah pada ginjal Anda. Pada kasus
yang lebih parah, gejalanya sampai urin bercampur darah hingga pasien
mengalami gagal ginjal.
2. Penyakit jantung
Komplikasi jantung yang paling umum terjadi pada penderita lupus adalah
terjadinya infeksi pada selaput pembungkus jantung, penebalan pembuluh
darah, dan melemahnya otot-otot jantung.
3. Penyakit paru-paru
1 dari 3 orang penderita lupus akan mengalami infeksi pada selaput
pembungkus paru-paru. Jika ini terjadi maka pasien akan merasakan sakit saat
bernapas hingga batuk berdarah.
4. Gangguan peredaran darah darah
Untuk penyakit yang satu ini pada penderita lupus, biasanya tidak ditemukan
gejala yang dapat dideteksi secara langsung. Gangguannya antara lain seperti
terganggunya distribusi oksigen dalam darah atau berkurangnya produksi sel
darah putih, dan anemia.
5. Gangguan saraf dan menta
Banyak dari penderita lupus yang mengalami susah konsentrasi, cepat lupa,
sakit kepala yang sangat parah, khawatir berlebihan, dan selalu gelisah. Hal ini
dikarenakan penyakit lupus lama-kelamaan akan melemahkan kerja saraf dan
menyebabkan stres pada pasien.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

Systemic Lupus Erythematosus

1. Pengkajian

a. Identitas

Penyakit SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kebanyakan menyerang wanita,


bila dibandingkan dengan pria perbandingannya adalah 8 : 1. Penyakit ini lebih
sering dijumpai pada orang berkulit hitam dari pada orang yang berkulit putih.

b. Keluhan utama

Pada SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kelainan kulit meliputi eritema malar (
pipi ) ras seperti kupu-kupu, yang dapat mengenai seluruh tubuh, sebelumnya
pasien mengeluh demam dan kelelahan.

c. Riwayat penyakit sekarang

Pada penderita SLE, di duga adanya riwayat penyakit anemia hemolitik,


trombositopeni, abortus spontan yang unik. Kelainan pada proses pembekuan
darah ( kemungkinan sindroma, antibody, antikardiolipin ).

d. Riwayat penyakit keluarga

Faktor genetik keluarga yang mempunyai kepekaan genetik sehingga


cenderung memproduksi auto antibody tertentu sehingga keluarga mempunyai
resiko tinggi terjadinya lupus eritematosus.

e. Pola – pola fungsi kesehatan

 Pola nutrisi
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya sampai beberapa
kg, penyakit ini disertai adanya rasa mual dan muntah sehingga
mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.
 Pola aktivitas
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
 Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial,
namun, secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
 Pola sensori dan kognitif
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada
jari – jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik.
 Pola persepsi dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang
menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang buruk pada
kulit penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan adanya
lesi kulit yang ada.

f. Pemeriksaan fisik

 Sistem integument
Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema molar
yang bersifat irreversibel.
 Kepala
Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan yang
sifatnya reversibel dan rambut yang hilang akan tumbuh kembali.
 Muka
Pada penderita SLE lesi tidak selalu terdapat pada muka/wajah
 Telinga
Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
 Mulut
Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.
 Ekstremitas
Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan dan
jari jari-jari kaki, juga sering merasakan nyeri sendi.
 Paru – paru
Penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion, pneumonitis,
interstilsiel fibrosis.
 Leher
Penderita SLE tiroidnya mengalami abnormal, hyperparathyroidisme,
intolerance glukosa.
Jantung
Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, myokarditis, endokarditis,
vaskulitis.
 Gastro intestinal
Penderita SLE mengalami hepatomegaly / pembesaran hepar, nyeri pada
perut.
 Muskuluskletal
Penderita mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan joint
swelling.
 Sensori
Penderita mengalami konjungtivitis, photophobia.
 Neurologis
Penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.

2. Diagnosa Keperawatan
a) Pola nafas tidak efektif
b) Gangguan perfusi jaringan perifer
c) Kerusakan integritas kulit
d) Nyeri akut
e) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

3. Intervensi keperawatan
a) Pola nafas tidak efektif

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Pola nafas tidak NOC : NIC : Pressure Management


efektifberhubungan dengan : Respiratory status:  Posisikan pasien untuk
- Penurunan ventilation memaksimalkan ventilasi
energi/Kelelahan Respiratory status: airway  Lakukan fisioterpi dada jika perlu
patency  Auskultasi suara nafas, catat adanya
DO: Vital sign status suara nafas tambahan
- Penurunan tekanan Setelah dilakukan tindakan  Berikan bronkodilator:....
inspirasi/ekspirasi keperawatan selama…..  Atur intake untuk cairan
- Penurunan pertukaran menunjukkan keefektifan mengoptimalkan keseimbangan
udara permenit pola nafas pasien teratasi  Monitor respirasi dan status O2
- Penggunaan otot bantu dengan kriteria hasil:  Bersihkan mulut, hidung dan sekret
pernafasan  Mendemostrasikan trakea
- Tahap ekspirasi batuk efektif dan tidak  Pertahankan jalan nafas yang paten
berlangsung cepat ada pursed lips  Observasi adanya tanda hipoventilasi
- Penurunan kapasitas vital  Menunjukkan jalan  Monitor TTV
- Respirasi < 11-24x/mnt nafas yang paten tidak  Informasikan pada pasien dan keluarga
tercekik dan RR normal tentang tehnik relaksasi untuk
 TTV dalam rentang memperbaiki pola nafas
normal  Monitor pola nafas
 Ajarkan bagaimana batuk efektif

b) Gangguan perfusi jaringan perifer

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Gangguan perfusi jaringan NOC : NIC : Pressure Management


Periferberhubungan dengan : CRT normal  Kaji perubahan yang tiba-tiba
- penurunan komponen Nadi kuat  Kaji adanya pucat (akral dingin)
seluler yang penting untuk Vital sign status  Observasi tanda-tanda vital
pengangkutan oksigen dan Setelah dilakukan tindakan  Kaji kekuatan nadi perifer
nutrisi ke sel keperawatan selama…..  Kaji tanda-tanda dehidrasi
DO: gangguan jaringan perifer  Observasi intake dan output cairan
- warna kulit pucat saat teratasi dengan kriteria  Observasi tanda-tanda iskemik
elevasi hasil: ekstremitas tiba-tiba misalnya
- penurunan nadi o penurunan suhu, peningkatan nyeri.
- CRT >2dtk  Akral hangat
- Perubahan karakteristik  Anemia –
kulit (warna, elastisitas,  CRT < 2dtk
rambut, kelembapan, kuku,  BGA normal
sensasi suhu)
c) Kerusakan integritas kulit

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Kerusakan integritas NOC : NIC : Pressure Management


kulitberhubungan dengan : Tissue Integrity : Skin and  Anjurkan pasien untuk menggunakan
Internal : Mucous Membranes pakaian yang longgar
- Defisit imunologi Wound Healing : primer dan  Hindari kerutan pada tempat tidur
sekunder  Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
DO: Setelah dilakukan tindakan dan kering
- Gangguan pada bagian keperawatan selama…..  Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
tubuh kerusakan integritas kulit setiap dua jam sekali
- Kerusakan lapisa kulit pasien teratasi dengan  Monitor kulit akan adanya kemerahan
(dermis) kriteria hasil:  Oleskan lotion atau minyak/baby oil
- Gangguan permukaan kulit  Integritas kulit yang pada derah yang tertekan
(epidermis) baik bisa  Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
dipertahankan  Monitor status nutrisi pasien
(sensasi, elastisitas,  Memandikan pasien dengan sabun dan
temperatur, hidrasi, air hangat
pigmentasi)  Kaji lingkungan dan peralatan yang
 Tidak ada luka/lesi menyebabkan tekanan
pada kulit  Observasi luka : lokasi, dimensi,
 Perfusi jaringan baik kedalaman luka, karakteristik,warna
 Menunjukkan cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
pemahaman dalam tanda-tanda infeksi lokal, formasi
proses perbaikan kulit traktus
dan mencegah  Ajarkan pada keluarga tentang luka
terjadinya sedera dan perawatan luka
berulang  Kolaburasi ahli gizi pemberian diae
 Mampu melindungi kulit TKTP, vitamin
dan mempertahankan  Cegah kontaminasi feses dan urin
kelembaban kulit dan  Lakukan tehnik perawatan luka dengan
perawatan alami steril
 Menunjukkan  Berikan posisi yang mengurangi
terjadinya proses tekanan pada luka
penyembuhan luka
d) Nyeri akut

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan NOC : NIC :
dengan:  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara
Kerusakan jaringan  pain control, komprehensif termasuk lokasi,
 comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
DS: Setelah dilakukan tinfakan dan faktor presipitasi
- Laporan secara verbal keperawatan selama ….  Observasi reaksi nonverbal dari
DO: Pasien tidak mengalami ketidaknyamanan
- Posisi untuk menahan nyeri nyeri, dengan kriteria hasil:  Bantu pasien dan keluarga untuk
- Tingkah laku berhati-hati  Mampu mengontrol nyeri mencari dan menemukan dukungan
- Gangguan tidur (mata sayu, (tahu penyebab nyeri,  Kontrol lingkungan yang dapat
tampak capek, sulit atau mampu menggunakan mempengaruhi nyeri seperti suhu
gerakan kacau, tehnik nonfarmakologi ruangan, pencahayaan dan kebisingan
menyeringai) untuk mengurangi nyeri,  Kurangi faktor presipitasi nyeri
- Terfokus pada diri sendiri mencari bantuan)  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
- Fokus menyempit  Melaporkan bahwa nyeri menentukan intervensi
(penurunan persepsi waktu, berkurang dengan  Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
kerusakan proses berpikir, menggunakan manajemen napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
penurunan interaksi dengan nyeri hangat/ dingin
orang dan lingkungan)  Mampu mengenali nyeri  Berikan analgetik untuk mengurangi
- Tingkah laku distraksi, (skala, intensitas, nyeri: ……...
contoh : jalan-jalan, frekuensi dan tanda nyeri)  Tingkatkan istirahat
menemui orang lain  Menyatakan rasa nyaman  Berikan informasi tentang nyeri seperti
dan/atau aktivitas, aktivitas setelah nyeri berkurang penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
berulang-ulang)  Tanda vital dalam rentang berkurang dan antisipasi
- Respon autonom (seperti normal ketidaknyamanan dari prosedur
diaphoresis, perubahan  Tidak mengalami  Monitor vital sign sebelum dan sesudah
tekanan darah, perubahan gangguan tidur pemberian analgesik pertama kali
nafas, nadi dan dilatasi
pupil)
- Perubahan autonomic dalam
tonus otot (mungkin dalam
rentang dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah, merintih,
menangis, waspada, iritabel,
nafas panjang/berkeluh
kesah)

e) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Ketidakseimbangan nutrisi NOC:  Kaji adanya alergi makanan


kurang dari kebutuhan tubuh a. Nutritional status:  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
Berhubungan dengan : Adequacy of nutrient menentukan jumlah kalori dan nutrisi
Ketidakmampuan untuk b. Nutritional Status : food yang dibutuhkan pasien
memasukkan atau mencerna and Fluid Intake  Yakinkan diet yang dimakan
nutrisi oleh karena faktor c. Weight Control mengandung tinggi serat untuk
biologis. Setelah dilakukan tindakan mencegah konstipasi
DS: keperawatan  Ajarkan pasien bagaimana membuat
- Mual selama….nutrisi kurang catatan makanan harian.
- Muntah teratasi dengan indikator:  Monitor adanya penurunan BB dan gula
- Rasa penuh tiba-tiba  Albumin serum darah
setelah makan  Pre albumin serum  Monitor lingkungan selama makan
DO:  Hematokrit  Jadwalkan pengobatan dan tindakan
- Diare  Hemoglobin tidak selama jam makan
- Rontok rambut yang  Total iron binding  Monitor turgor kulit
berlebih capacity  Monitor kekeringan, rambut kusam, total
- Kurang nafsu makan  Jumlah limfosit protein, Hb dan kadar Ht
- Bising usus berlebih  Monitor mual dan muntah
- Konjungtiva pucat  Monitor pucat, kemerahan, dan
- Denyut nadi lemah kekeringan jaringan konjungtiva
 Monitor intake nuntrisi
 Informasikan pada klien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi
 Kolaborasi dengan dokter tentang
kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT/ TPN sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
 Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi
selama makan
 Kelola pemberan anti emetik:.....
 Anjurkan banyak minum
 Pertahankan terapi IV line
 Catat adanya edema, hiperemik,
hipertonik papila lidah dan cavitas oval
DAFTAR PUSTAKA

Reeves, Charlere J. 2001.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:Salemba Medika

Nursing Interventions Classification (NIC) : Fifth Edition. Missouri : Mosby Elsevier.

Nursing Outcomes Classification (NOC) : Fourth Edition.Missouri : Mosby Elsevier.

Wiley, John dan Sons Ltd. 2009. NANDA International : 2009-2011. United Kingdom :
Markono Print Media.

Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.

Juall,Lynda,Carpenito Moyet. (2003).Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi


10.Jakarta:EGC

Wiley dan Blacwell. (2009). Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2009-2011,
NANDA.Singapura:Markono print Media Pte Ltd

Anda mungkin juga menyukai