Anda di halaman 1dari 32

TUGAS

MAKALAH SISTEM IMUNOLOGI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN


SISTEM IMUNOLOGI : SISTEMIK LUPUS ERYTHEMATOSUS

OLEH:
KELOMPOK 6

YULIANI (C12116708)
ARMIATY HASYYATI S (C12116716)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


JALUR KERJASAMA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
20116/2017

`1
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sistemik Lupus Erithematosus (SLE) merupakan suatu penyakit


kronik atau menahun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu
suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit,
dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga
diperlukan pengobatan yang kompleks.
Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit yang timbul
disebabkan terganggunya regulasi kekebalan sehingga terjadi peningkatan
auto antibodi yang berlebihan. Penyakit ini ditandai adanya inflamasi
tersebar luas yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit SLE merupakan salah satu penyakit yang masih awam
ditelinga masyarakat Indonesia. Namun, bukan berarti tidak banyak orang
yang terkena penyakit ini. Kementerian Kesehatan menyatakan lebih dari
5 juta orang di seluruh dunia terdiagnosis penyakit Lupus. Sebagian besar
penderitanya ialah perempuan di usia produktif yang ditemukan lebih dari
100.000 setiap tahun. Di Indonesia jumlah penderita penyakit Lupus
secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan mencapai jumlah 1,5 juta
orang (Kementerian Kesehatan, 2012).
SLE dapat menyerang semua usia, namun sebagian besar pasien
ditemukan pada perempuan usia produktif.  Sembilan dari sepuluh orang
penderita lupus (odapus) adalah  wanita dan sebagian besar wanita yang
mengidap SLE ini berusia 15-40 tahun. Namun, masih belum diketahui
secara pasti penyebab lebih banyaknya penyakit SLE yang menyerang
wanita.
SLE dikenal juga dengan penyakit 1000 wajah karena gejala awal
penyakit ini tidak spesifik, sehingga pada awalnya penyakit ini sangat sulit
didiagnosa. Hal tersebut menyebabkan penanganan terhadap penyakit

`2
lupus terlambat sehingga penyakit tersebut banyak menelan korban.
Penyakit ini dibagi menjadi tiga kategori yakni discoid lupus, systemic
lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. Masing-masing
kategori tersebut memiliki gejala, tingkat keparahan serta pengobatan yang
berbeda-beda.
Penderita SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang
tepat dan benar, pengobatan yang diberikan haruslah rasional. Perawatan
pada pasien SLE juga harus diperhatikan, seperti mengurangi paparan
sinar UV terhadap tubuh pasien. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman
mengenai penyakit systemik  eritematosus lupus, pengertian tentang
systemic lupus eritematosus, etiologi dan faktor risiko, manifestasi klinis,
patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan
penatalaksanaan (medis, keperawatan, diet) serta Asuhan Keperawatan
bagi penderita Sistemik Lupus Erytematosus

1.1. Tujuan
Adapun tujuan mahasiswa penulisa Makalah ini yaitu
a. Agar Mahasiswa mampu memahami SLE baik konsep medik maupun
konsep Asuhan keperawatan.
b. Agar Mahasiswa mampu mengaplikasikan Asuhan Keperawatan pada
pasien dengan SLE .

`3
BAB II
KONSEP DASAR

2. KONSEP DASAR

a. PENGERTIAN
Sistemik Lupus Erytematosus adalah suatu penyakit autoimun
yang kronik yang menyerang berbagai sustem dalam tubuh (Price, 2015).
Sistemik Lupus Erytematosus adalah suatu penyakit autoimun
yang ditandai oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa
antigen diri yang berlainan. Antibodi- antibodi tersebut biasanya adalah
IgG atau IgM dan dapat bekerja terhadap asam nukleat pada DNA atau
RNA, protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah, sel darah putih
dan trombosit. Kompleks antigen antibodi dapat mengendap di jaringan
kapiler sehingga terjadi reaksi hipersensitifitas tipe III kemudian terjadi
peradangan kronik. (Corwin, 2009)
SLE merupakan satu dari sekelompok gangguan jaringan ikat
difus dengan penyebab yang tidak diketahui. SLE dapat bervariasi dari
gangguan ringan sampai gangguan yang sangat cepat menjadi fulminan
dan fatal. Situasi yang paling sering adalah salah satu eksaserbasi dan
hampir remisi yang dapat berlangsung untuk jangka waktu yang lama.

`4
b. ANATOMI FISIOLOGI

Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh


untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan
terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan sebagai bahan di
lingkungan.
1. Fungsi sistem imun
a. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit
;menghancurkan dan menghilangkan mikroorganisme atau
substansi asing ( bakteri, parasit, jamur dan virus serta tumor)
yang masuk ke dalam tubuh.
b. Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak (debris
sel) untuk perbaikan jaringan.
c. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal
2. Sasaran utama sistem imun : bakteri, virus, jamur, protozoa
ber sel satu, parasit.
a. Sel imun utama : leukosit (wbc), plasma sel (make and secrete
antibodi), makrofag (engulf invading particles), sel mast ( triger
inflamatori response)
b. Leukosit:
1) Netrofil ( engulfing and inflamation) iNflamasi
2) Basofil ( inflamation) alergi

`5
3) Eosinofol (destroy worms hypersensitivity reactions)
parasit
4) Monosit ( engulfing) makrofag
5) Limfosit ( specific immuno respones)
c. Limfosit
1) B cell (recognize foreign antigens; secrete antibodies to
guide attack)
2) Cytotoxic T cell ( recognice and attack cancerous and
infected cells)
3) Helper T cell ( help activate B cell and citotoxic T cell)
4) NK cell ( kill cell with guidance from antibodies)
3. Struktur sistem imun
a. Organ sistem imun berada di seluruh bagian tubuh yaitu organ
limfoid tempat limfosit.
b. Jaringan limfoid merupakan jaringan yang memproduksi,
menyimpan dan memproses limfosit. Mencakup sumsum
tulang, kelenjar limfe, thymus, tonsil, adenoid, apendiks, dan
agregat jaringan limfe di saluran cerna.
Jaringan limfoid terdiri dari dua yaitu
1) primer ( kelenjar thymus dan sumsung tulang)
2) Jaringan limfoid sekunder
a) Berkapsul: limpa dan kelenjar limfe
b) Tidak berkapsul: tonsil, GALT (gut-associated
lymphoid tissue), jaringan limfoid di kulit,
saluran napas, kemih, dan reproduksi
4. Pertahanan sistem imun
a. Pertahana lapisan pertama: pertahanan fisik (physical barier
1) Kulit dan membran mukosa yang utuh
2) Kelenjar keringat, sebum dan air mata ( mensekresi zat
kimia da bersifat bakterisid)

`6
3) Mucus silis tight jungtion, desmosom, sel keratin dan
lysozim di lapisan epitel.
4) Rambut pada lubang hidung
5) Flora normal.
b. Sistem kekebalan non spesifik
Dapat mendeteksi adanya benda asing dan melindungi tubuh
dari kerusakan yang diakibatkannya, namun tidak dapat
mengenali benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Yang termasuk dalam sistem ini adalah:
1) Reaksi inflamasi
2) Protein antivirus (interferon)
3) Sel Natural Killer (NK)
4) Sistem komplemen
c. Sistem kekebalan spesifik merupakan sistem kekebalan adaptif
dapat menghancurkan patogen yang lolos dari sistem kekebalan
non spesifik
1) Mencakup kekebalan humoral (antigen merangsang seL
B berubah menjadi sel plasma yang memproduksi
antibodi. Antibodi disekresi ke darah atau limfa – lokasi
sel plasma yang teraktivasi , semua antibodi akan
mencapai darah.
Imunoglobulin (Ig M, IgG,IgE, IgA,IgD)
2) Kekebalan seluler
a) Limfosit T spesifik untuk kekebalan terhadap
infeksi virus dan pengaturan pada mekanisme
kekebalan
b) Sel-sel T harus kontak langsung dengan sasaran
c) Ada tiga sub populasi sel T :sel T sitotoksit, sel
T penolong dan sel T penekan.
d) Mayor hystocompabilitiy complex(MHC): kode
human leucocyte-associated antigen (HLA)

`7
yang terikat pada permukaan membran sel ; kas
pada setiap individu
e) Surveilens imun : kerjasama sel t sitotoksit, sel
Nk, makrofag dan interferon.
5. Tahapan respon imun
a. Deteksi dan mengenali benda asing
b. Komunikasi dengan sel lain untuk berespon
c. Rekruitmen bantuan dan koordinasi respon
d. Destruksi atau supresi penginvasi ( antibodi dan sitokin)
C. ETIOLOGI
Etiologi SLE sampai saat ini belum diketahui, walaupun penyakit
ini sering pada orang-orang dengan kecenderungan mengidap penyakit
autoimun. Namun beberapa factor predisposisi dapat berperan dalam
pathogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa factor tersebut,
sampai saat ini belum diketahui factor yang paling dominan berperan
dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Riwayat keturunan /Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal
sehingga timbul produk autoantibody yang berlebihan.
Kecenderungan untuk menderita SLE, telah ditunjukan oleh
studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot beresiko menderita SLE, sementara pada
kembar monozigot, risiko terjadi SLE 58%. Risiko terjadi SLE
pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini
adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
2. Jenis kelamin
Sekitar 90% dari pasien SLE adalah perempuan, yang
didiagnosis ketika berada pada usia subur. Peningkatan hormon
dalam tubuh dapat memicu terjadinya Lupus Erythematosus.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan resiko
lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga

`8
menunjukan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat
dipertimbangkan sebagai factor resiko terjadinya SLE. Setelah
menopause wanita 2,5 kali lebih sering dari pria.
3. Usia
SLE antara usia 15-44 tahun, sekitar 15% pasien mengalami
timbulnya gejala sebelum usia 18 tahun.
4. Ras dan etnis
Orang Afrika –Amerika tiga sampai empat kali lebih mungkin
terkena SLE dan memiliki komplikasi berat daripada kaukasia.
Hispanik dan Asia juga lebih rentan terhadap penyakit.
5. Pemicu lingkungan
Pada orang yang rentan secara genetik, ada beberapa faktor
eksternal yang dapat memicu gejala (flare). Kemungkinan
pemicu SLE termasuk pilek, kelelahan, stres, bahan kimia,
sinar matahari dan obat-obatan tertentu.
6. Virus
Beberapa penelitian menunjukan hubungan antara virus
Epstein-Barr (EBV), penyebab mononucleosis, dan
peningkatan risiko lupus terutama untuk Afrika - Amerika.
7. Sinar matahari
dikategorikan sebagai sinar UVB dan UVA tergantung panjang
gelombang. UVB dengan panjang gelombang pendek yang
lebih berbahaya. Sinar UV dapat mengurangi penekanan sistem
imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE
dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel
pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga
terjadi inflamasi si tempat tersebut secara sistemik melaui
peredaran pembuluh darah..

`9
8. Merokok
Dapat menjadi faktor resiko untuk memicu SLE dan dapat
meningkatkan risiko untuk masalah kulit dan ginjal pada
wanita yang memiliki penyakit.
9. Bahan kimia
Pajanan silika kristal telah dipelajari mungkin sebagai pemicu.
Silicone payudara implan telah diteliti kemungkinan sebagai
pemicu penyakit autoimun, termasuk SLE. Beberapa resep obat
pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus
(DILE). Diantaranya : Clorpromazine, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan izoniazid.
10. Hormon replacement therapy
Menopause dini dan gejala yang menyertainya (seperti hot
flashes), adalah umum pada wanita dengan SLE. Terapi
penggantian hormon (TPH) yang digunakan untuk meredakan
gejala-gejala ini, meningkatkan risiko pembekuan darah dan
dan masalah jantung serta kanker payudara. Hal ini tidak jelas
apakah HRT memicu SLE flare, wanita dengan SLE yang
memiliki penyakit aktif, antibodi anti fosfolipid, atau riwayat
penggumpalan darah atau penyakit jantung sebaiknya tidak
menggunakan HRT.
11. Kontrasepsi oral
Pasien wanita dengan SLE diperingati untuk tidak
menggunakan kontrasepsi oral (OC). Karena kemungkinan
estrogen dapat memicu lupus flare-up.namun bukti terbaru
menunjukan kontrasepsi oral aman untuk wanita yang tidak
terkena SLE. Wanita yang baru didiagnosis lupus harus
menghindari penggunaan OC. Wanita yang memiliki riwayat
atau berisiko tinggi untuk pembekuan darah (sindrom
antifosfolipid) sebaiknya tidak menggunakan kontrasepsi oral

`10
karena estrogen dalam OC meningkatkan resiko pembekuan
darah.
12. Faktor imunologi
Pada Lupus Erythematosus terdapat beberapa kelaianan pada
unsur- unsur system imun yaitu:
a. Antigen
Dalam keadaan normal makrofag yang berupa APC
( Antigen Presenting Cell akan memperkenalkan antigen
pada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada
struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi
normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor
yang telah berubah di permukaan sel T akan salah.
b. Kelainan Intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang terjadi pada sel T dan sel B akan teraktifasi
menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki
reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon
autoimun. Sel T dan Sel B juga akan sulit mengalami
apoptosis sehingga menyebabkan produksi immunoglobulin
dan autoantibodi menjadi tidak normal.

D. PATOFISIOLOGI

Sistemik lupus erythematosus terjadi akibat terganggunya


regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody
yang berlebihan. Gangguan immunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara factor genetik, hormonal dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar thermal), menyebabkan fungsi sel T supresor
yang abnormal, hilangnya toleransi sel T terhadap sel antigen, sel T
menjadi autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi

`11
sel B baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa
sel memori.
Autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen
yang terutama terletak pada nukleoplasma. Penanganan kompleks
imun terganggu, berupa gangguan klirens kompleks imun besar
yang larut, gangguan penprosesan kompleks imun dalam hati dan
penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Kompleks imun ini
akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi radang, yang menyebabkan timbulnya
keluhan atau gejala.
SLE Merupakan reaksi hipersensitifitas tipe III, kompleks
imun terbentuk ketika antigen terikat dengan antibodi dan
dibersikan dari dalam sirkulasi darah lewat kerja fagositik. Kalau
kompleks ini bertumpuk dalam jaringan atau endotelium vaskuler,
terdapat dua buah faktor yang turut menimbulkan cedera yaitu
peningkatan jumlah kompleks imun yang beredar dan adanya
amina vasoaktif. Sebagai akibat terjadi peningkatan permeabilitas
vaskuler dan cedera jaringan. Persendian dan ginjal merupakan
organ yang terutama rentan terhadap cidera tipe ini.
dimana terjadi reaksi kompleks imun (kompleks solubel,
kompleks toksit). Dimana kompleks antigen- antibodi, IgG atau
IgM bertumpuk dalam jaringan tempat kompleks tersebut
mengaktifkan komplemen. Reaksi ini ditandai oleh infiltrasi
leukosit polimorfonuklear dan pelepasan enzim-enzim proteolitik
lisosom serta faktor permeabilitas dalam jaringan yang
menimbulkan reaksi inflamasi. Inflamasi akan menstimulasi
antigen yang selanjutnya merangsang antibodi tambahan, dan
siklus tersebut berulang kembali.
Ada beberapa bentuk yang berbeda dari lupus yakni:

`12
1. Cutaneous Lupus Erytematosus, mengacu lupus yang terbatas
pada kulit yang tidak mempengaruhi bagian lain dari tubuh.
2. Lupus Eryttematosus Diskoid, adalah jenis lupus kulit yang
menghasilkan. Berpotensi jaringan parut berbentuk cakram
ruam pada wajah, kulit kepala atau telinga.
3. Obat- induced lupus adalah bentuk sementara dan ringan lupus
yang disebabkan oleh resep obat tertentu. Termasuk beberapa
jenis obat tekanan darah tinggi( seperti Hydralazine, ACE
inhibitor, dan calcium channel blockers), dan Diuretik
(Hidroclorotiazid). Gejala menyelesaikan setelah obat
dihentikan.
4. Neonatal lupus adalah kondisi langka yang kadang- kadang
mempengaruhi bayi yang lahir dari ibu yang memiliki SLE.
Bayi dengan lupus neonatal dilahirkan dengan ruam kulit,
masalah hati, dan jumlah darah rendahdan dapat
mengembangkan masalah jantung.

Pathway

Factor genetik Factor imunologi Factor hormonal Factor lingkungan

Antigen terikat dengan antibodi dan terbentuk kompleks imun IgM


atau IgG berkumpul dalam jaringan.(reaksi hipersensitifitas tipe III)

Infiltrasi leukosit polimorfonuklear dan pelepasan enzim – enzim


proteolitik, dan lisosom,serta faktor permeabilitas.

Dibersihkan dari sirkulasi darah oleh kerja fagosit.

Bila kompleks berkumpul dalam jaringan , endothelium vaskuler


akan menyebabkan terjadinya cedera.

Peningkatan permiebilitas vaskuler Cedera jaringan


`13
SLE

Gejala dan dambaran menurut ACR


(American Collage Of Rheumatologi , 1997)

Sistemik Kulit oral Ana test positif

 Arthritis  Butterfly
 Serisitis rash  Lesi ulserasi
 Gangguan  Discoid  Lesi discoid
ginjal rash  Lesi mirip (lichen
 Gangguan  fotosensiti planus)
saraf vitas  kandidiasis

E. MANIFESTASI KLINIS

a. Maifestasi klinis bervariasi dari ringan sampai berat.(Wiliams LS:


2007)
1. Discoid Lupus Erythematosus : Patchy (tambal sulam), crusty
(berkerak),digambarkan seperti plak mencolok yg menempel dikulit.
2. Pengaruh obat-obatan : inflamasi pleurapericardial,demam,
kemerahan,arthritis.
3. Sistemik : Gejala awalnya tidak jelas, kelelahan dan demam.
4. Dermatologi: kemerahan seperti kupu-kupu diwajah, fotosensitivity,
ulserasi mukosa, alopesia, nyeri, pruritus, memar.
5. Muskuloskeletal : atralgia dan arthritis.
6. Hematologi : anemia, Leukositopenia, Elevasi ESR ( Estimated
Sedimentation Rate ), trombositopenia, fase positif VDRL

`14
7. Cardiopulmonary : Perikarditis, Miokarditis, Infark miokard,
Vaskulitis, Pleurisy, Kelainan katup jantung.
8. Renal : Gagal ginjal, infeksi traktus urinary, ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit.
9. Sistem saraf pusat : Neuropaty cranial, penurunan daya ingat,
perubahan mental, seizures (kejang).
10. Gastrointestinal : Anoreksia, asites, pancreatitis, Vaskulitis intestinal.
11. Optalmologi : konjungtivitis, mata kering, glaucoma, katarak,
pigmentasi retina.
b. Kriteria untuk diagnosis SLE menurut American College of
Rheumatology (ACR) :memiliki sistem klasifikasi untuk membantu
dokter mendiagnosa atau mengecualikan , SLE.
1. Butterfly Rash (malar) ruam di pipi dan hidung
2. Discoid Rash (kulit) ruam ynag muncul sebagai bersisik mengangkat
bercak merah.
3. Fotosensitivitas
4. Ulser mulut
5. Arthritis dalam dua atau lebih sendi, sendi akan memiliki kelembutan
dan bengkak tetapi tidak akan menjadi cacat.
6. Serositis. Peradangan dari lapisan sekitar paru-paru (pleuritis) atau
jantung (endocarditis).
7. Kelainan Ginjal. Proteinuria > 0,5 gr/dL atau 3+ endapan tidak normal
dalam urin terlihat dengan bantuan mikroskop.
8. Kelainan saraf. Kejang tanpa adanya gangguan akibat obat atau
gangguan metabolik yang diketahui.
9. Kelainan darah. Anemia hemolitik disertai retikulosis, leukopenia –
4,0x 109 /L (4000/mm3)total pada dua atau lebih pemeriksaan.
10. Kelainan imunitas antibodi, anti- DNA terhadap DNA asal dalam titer
abnormal; atau antibody anti fosfolipid positif berdasarkan pada kadar
antibodi antikardiolipin IgG atu IgM serum yang abnormal dan uji
positif antikoagulan lupus menggunakan uji standar.

`15
11. Tes ANA Positif. Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak
adanya obat yang diketahui berkaitan dengan SLE yang diinduksi obat

Jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis SLE mempunyai


spesifisitas 95% dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE ditegakkan
dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Pada hasil tes ANA,
jika hasil tes negatif , maka kemungkinan bukan SLE, namun jika hanya tes
ANA positif dan tidak terlihat manifestasi klinis , maka belum tentu juga
SLE, sehingga hal ini memerlukan observasi jangka panjang.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a. Pemeriksaan darah lengkap


b. Antinuclear antibody (ANA) : untuk mengetahui adanya
antibody untuk menghancurkan sel itu sendiri.
c. Anti-Sm ( Pemeriksaan Immunoglobulin spesifik tertinggi
untuk SLE).
d. Anti-nDNA + pada 60% - 80% penderita SLE.
e. Anti R0 ( SSA) Imunoglobulin + 30% penderita SLE
f. Anti-La (SSB) Immunoglobulin + 15% penderita SLE
g. Complement
Menunjukan rendahnya tingkat complement serum.
Sekelompok protein dalam darah yang membantu pejuang
infeksi tubuh.protein individu disebut dengan huruf “C” diikuti

`16
dengan nomor . umum mengukur tes pelengkap C3,C4,C1q,
dan CH50. Kadar komplemen terutama rendah jika ada
keterlibatan ginjal atau aktifitas penyakit lainnya.
h. Peningkatan Laju Endap Darah/ ESR tingkat sedimen Eritrosit
mengukur seberapa sel darah merah cepat (eritrosit) jatuh ke
bagian bawah tabung kaca halus yang diisi dg darah pasien.
Tingkad sed tinggi menunjukan peradangan. Tidak specific
untuk penderita SLE.
i. C-Reaktif protein /CRP. Tingginya kadar protein dalam darah
menunjukan peradangan. Seperti ESR, tes CRP tidak bisa
mengatakan dimana peradangan berada atau penyebabnya.
j. Pemeriksaan urine kreatinin 24 jam.
k. Tes kulit
Jika ruam kulit hadir, dokter mungkin mengambil biopsi dari
margin, dari lesi kulit. Sebuah tes yang dikenal sebagi band
lupus mendeteksi immunoglobulin G, antibodi yang terletak
tepat di bawah lapisan luar dari sampel jaringan. Deteksi SLE
aktif.
l. Urinalisis, Serum Kreatinin, protein dimetabolisme dan
diekskresikan dalam urin .tingkat tinggi menunjukan kerusakan
ginjal meskipun masalah gimjal dapat hadir dengan kadar
kreatinin normal.
m. X-ray dada dilakukan untuk memeriksa paru- paru dan fungsi
jantung.
n. Elektrokardiogram dan Ekokardiogram diberikan jika diduga
penyakit jantung.

`17
G. PENATALAKSANAAN

a. Medis
Tidak ada pengobatan yang menyembuhkan SLE, tetapi banyak
terapi dapat menekan gejala dan meringankan
ketidaknyamanan. Ada juga perawatan yang berbeda untuk
komplikasi yang terkait dengan lupus. Pengobatan SLE
bervariasi tergantung pada tingkat keparahannya.
Ada empat obat yang secara khusus disetujui FDA untuk
pengobatan Lupus :
1) Prednisone
2) Aspirin
3) Hydroxychloroquine(plaquenil, generik)
4) Belimumab( Benlysta)
b. Keperawatan
1) Kelelahan selama aktifitas sehari-hari diminimalkan,
minimal tidur malam 8 jam.
2) Karena sebagian besar pasien dengan SLE menunjukan
arthralgia sementara Menjaga kebugaran dan berbagai
gerak sendi melalui program kebugaran rutin sekaligus
mengurangi aktifitas selam flares sangat penting.

`18
3) Mandi air hangat membantu mengatasi kekakuan sendi.
4) Aplikasi kompres panas dan dingin , splints alat bantu
dan terapi fisik dapat membantu nyeri
5) Mengkonsumsi diet seimbang akan mempengaruhi
tingkat kelelahan dan berat badan dari kortikosteroid
yang pada gilirannya dapat mempengaruhi nyeri sendi.

H. KOMPLIKASI

a. Osteonekrosis
b. Gagal ginjal
c. Trombositopenia
d. Emboli
e. Miokarditis
f. Vasculitis
g. Mesentrika atau vaskulitis intestinal yang menyebabkan
obstruksi perforasi atau infark.
h. Sepsis

`19
2. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Identitas pasien :jenis kelamin (perempuan lebih dominan)


usia 15-44 tahun, sekitar 15% pasien mengalami timbulnya
gejala sebelum usia 18 tahun lebih sering pada perempuan, usia
produktif, ras (Afrika – amerika tiga kali lebih sering)
2. Riwayat penggunaan
a. obat-obatan seperti: Chlorpromazine, Hydralazine,
isoniazid, Methyldopa, Procainamide, Procaine.
b. pengobatan lain : barbiturates, phenytoin( Dilantin),
protamine, salicy lates, diazepam(Valium)
c. aditif makanan : bisulfites, monosodium glutamate(MSG)
3. Riwayat pemicu:
a. Cahaya matahari (dapat terpantul dari air dan salju, yang
dipancarkan dari lampu neon dan halogen: kaca tidak
sepenuhnya melindungi),
b. stres, krisis emosional, kerja berlebihan, kurang istirahat
c. infeksi, cedera operasi,
d. hormon, penggunaan kontrasepsi oral? Terapi pengganti
hormon?
e. kehamilan dan persalinan,
f. pemberhentian obat secara dadakan,
g. alergi, sensitifitas terhadap lingkungan,
h. imunisasi
4. Pemeriksaan fisik:
a. Kulit dan rambut: kulit pucat dengan ruam merah “kupu-
kupu” di daerah hidung dan pipi. Rambut rontok
b. Mulut dan hidung: sariawan, tak nyeri dalam mulut dan
kadang di hidung

`20
c. Pembuluh darah: radang pembuluh darah, menghambat
peredaran darah
d. Paru-paru: radang di membran sekitar paru (pleura)
menimbulkan nyeri dada dan sesak napas.
e. Jantung : radang membran sekitar jantung ( perikardium)
menimbulkan nyeri dada.
f. Sistem saraf: sakit kepala, pandangan kabur, kejang, stroke
g. Sendi : Nyeri, bengkak dan kaku, sering kali pada tangan,
pergelangan dan lutut.
h. Uju ng jari: pembuluh darah kecil berkonstriksi ( fenomena
Raynaud) sehingga jari terasa nyeridan baal saat terpapar
suhu dingin
i. Otot : kelelahan dan nyeri otot.

B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan sendi pada


musculoskeletal, neuropaty perfer,
2. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan penyakit SLE
3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Discoid SLE
5. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan immunitas
6. Ketakutan b/d prognosis dan pengobatan penyakit.

`21
C. PERENCANAAN DAN INTERVENSI

N
DIAGNOSA Tujuan / kriteria hasil NOC INTERVENSI NIC
O
1 Nyeri berhubungan dengan 1. Memperlihatkan pengendalian nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri yang
pembengkakan sendi pada yang dibuktikan dengan indikator komprehensif (lokasi, karakteristik,
musculoskeletal, neuropaty sebagai berikut: (sebutkan 1- 5: tidak durasi, frekwensi, kualitas, dan
perfer, pernah, jarang, kadang-kadang, sering, factor presipitasi.
Batasan karakteristik atau selalu) 2. Observasi isyarat non verbal
Subyektif : Mengenali awitan nyeri, menggunakan ketidaknyamanan, khususnya pada
 Mengungkapkan tindakan pencehahan, melaporkan mereka yang tidak mampu
secara verbal atau nyeri dapat dikendalikan berkomunikasi secra efektif.
melaporkan (nyeri) 2. Menunjukan tingkat nyeri yang 3. Evaluasi pengalaman nyeri masa
dengan isyarat dibuktikan oleh indikator sebagai lampau
 bengkak dan kaku berikut (sebutkan 1-5 :berat, sedang, 4. Pilih dan lakukan penanganan
pada pergelangan ringan, atau tidak ada): nyeri (farmakologi, non
tangan dan lutut. Ekspresi nyeri pada wajah, gelidah farmakologis dan interpersonal
 Fenomena Raynaud atau ketegangan otot, durasi episode 5. Berikan analgetik untuk

`22
jari terasa nyeri dan nyeri, merintih dan menangis, gelisah. mengurangi nyeri
baal pada saat 6. Ajarkan tehnik mengurangi nyeri
terpapar suhu (tehnik non farmakologis)
dingin. 7. Evaluasi keefektifan control nyeri
Objektif 8. Kolaborasi dengan dokter jika ada
 Posisis untuk keluhan dan tindakan nyeri tidak
menghindari nyeri, berhasil
 Perilaku ekspresif 9. Monitor penerimaan pasien tentang
(misalnya gelisah, manajemen nyeri.
merintih, menangis,
kewaspadaan
berlebihan, peka
terhadap rangsang.
2 Gangguan Citra tubuh 1. Gangguan citra tubuh berkurang yang 1. Kaji dan dokumentasikan respon
berhubungan dengan dibuktikan oleh selalu menunjukkan verval, dan non verbal, pasien
penyakit SLE adaptasi dengan ketunadayaan fisik, terhadap tubuh pasien
Batasan karakteristik : penyesuaian psikososial, perubahan 2. Identifikasi mekanisme koping yang
Subjektif: hidup, citra tubuh positif, dan harga diri biasa digunakan pasien,
 Perasaan negatif positip 3. Peningkatan citra tubuh NIC:

`23
tentang tubuh, 2. Menunjukan citra tubuh yang dibuktikan a. Tentukan harapan pasien pada
(misalnya perasaan oleh indictor sebagai berikut( sebutkan citra tubuh berdasarkan tahap
putus asa, tidak 1-5 : tidak pernah, jarang kadang- perkembangan
mampu atau tidak kadang, sering, atau selalu ditampilkan ) b. Tentukan apakah persepsi
berdaya) 3. Kesesuaian antara realitas tubuh, ideal ketidaksukaan terhadap
 Fokus pada tubuh, dan perwujudan tubuh karakteristik fisik tertentu
perubahan. 4. Kepuasan terhadap penampilan dan membuat disfungsi paralisis
 Mengungkapkan fungsi tubuh sosial bagi remaja dan pada
secara verbal 5. Keinginan untuk menyentuh bagian kelompok resiko tinggi lainnya.
perubahan gaya tubuh yang mengalami gangguan. c. Identifikasi pengaruh budaya,
hidup agama, ras, jenis kelamin dan
Objektif : usia pasien menyangkut citra
 Perubahan aktual tubuh.
pada struktur tubuh, d. Pantau frekuensi pernyataan

 Butterfly rush, kritik diri

 Ulcus pada mulut 4. Bantu pasien dan keluarga untuk


secara bertahap menjadi terbiasa
dengan perubahan pada tubuhnya,
mungkin menyentuh area yang

`24
terganggu sebelum melihatnya.
5. Beri dorongan kepada pasien untuk:
a. mempertahankan kebiasaan
berhias sehari- hari yang rutin
dilakukan,
b. berpartisipasi dalam mengambil
keputusan,
c. mengungkapkan secara verbal
kekhawatiran tentang hubungan
personal yang dekat dan respon
orang lain terhadap perubahan
tubuhnya.
d. Mengungkapkan secara verbal
konsekuensi perubahan fisik dan
emosi yang mempengaruhi
konsep diri.

3 Intoleransi aktivitas b/d Kriteria Hasil NOC: 1. Bantu klien untuk mengidentifikasi
kelemahan umum 1. Mampu melakukan aktivitas sehari aktivitas yang dapat dilakukan

`25
Batasan karakteristik – hari secara mandiri 2. Bantu untuk memilih aktivitas
Subjektif: 2. Tanda – tanda vital normal konsisten yang sesuai dengan
 Melaporkan TD : 120/80 mmHg-140/ 90 mmHg kemampuan fisik,psikologis dan
kelemahan secara nadi 60-100x/menit, pernapasan: social
verbal 16-20x/menit. Suhu: 36,5-37,40C, 3. Bantu pasien dan keluarga untuk
Objektif: spo2: 96-100% mengidentifikasi kekurangan dalam
 Frekuensi jantung 3. Mampu berpindah beraktivitas
atau tekanan darah 4. dengan / tanpa bantuan alat 4. Sediakan penguatan positif bagi
tidak normal yang aktif beraktifitas
sebagai respon 5. Bantu pasien untuk mengembangkan
terhadap aktifitas. motivasi diri dan penguatan
 Perubahan EKG 6. Monitor respon fisik, emosi, social
yang menunjukan dan spiritual
aritmia atau iskemia
5 Kerusakan integritas kulit Kriteria Hasil NOC: Intervensi NIC:
b/d manifestasi SLE pada 1. Integritas kulit yang bias di 1. Hindari kerutan pada tempat tidur
kulit pertahankan (sensasi, elastisitas, 2. Jaga kebersihan kulit agar tetap
temperature, hidrasi dan pigmentasi)\ bersih dan kering
2. Tidak ada luka atau lesi pada kulit 3. Monitor kulit akan adanya

`26
3. Perfusi jaringan baik kemerahan
4. Mampu melindungi kulit dan 4. Mobilisasi pasien tiap 2 jam
mempertahankan kelembaban kulit 5. Oleskan lotion atau baby oil pada
dan perawatan alami. daerah yang tertekan
6. Monitor aktivitas dan mobilisasi
pasien
7. Monitor status nutrisi pasien
8. Memandikan pasien dengan sabun
dan air hangat

6 Resiko infeksi b/d Kriteria Hasil NOC: 1. Berikan terapi antibiotic bila perlu
penurunan kompleks imun 1. Pasien bebas dari tanda dan gejal 2. Monitor tanda dan gejala infeksi
Batasan karakteristik infeksi 3. Pertahankan tehnik aseptic pada
Subjektif:  Menunjukan perilaku hidup pasien yang beresiko
Objektif: sehat 4. Monitor kerentanan terhadap infeksi
 Menunjukan kemampuan
untuk mencegah timbulnya 5. Pertahankan tehnik isolasi kalau
infeksi perlu
 Jumlah leukosit dalam batas 6. Berikan perawatan kulit pada area

`27
normal epidemia
7. Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase
8. Dorong masukan cairan dan nutrisi
yang cukup
9. Instruksikan pasien untuk minum
antibiotic sesuai resep
10. Ajarkan pasien dan keluarga tanda
dan gejalaa infeksi

7 Ketakutan berhubungan Kriteria Hasil NOC: a. Gunakan pendekatan yang tenang


dengan prognosis dan 1. Tingkat ketakutan : keparahan, dan meyakinkan
pengobatan penyakit manifestasi rasa takut, ketegangan b. Berusaha untuk memahami
Batasan karakteristik atau kegelisahan, yang berasal dari perspektif pasien dari situasi stress
Subjektif: sumber yang dapat dikenali c. Memberikan informasi faktual
Objektif: 2. Pengendalian diri terhadap ketakutan tentang diagnosis, pengobatan dan
; tindakan ndividu untuk mengurangi prognosa
atau menurunkan perasaan tidak d. Mendukung pasien untuk
mampu akibat rasa takut meningkatkan keselamatan dan

`28
3. Mencari informasi untuk mengurangi rasa takut
menurunkan ketakutan e. Mendorong kegiatan yang kompetitif
4. Menggunakan tehnik relaksasi untuk f. Mendorong verbalisasi perasaan ,
menurunkan ketakutan persepsi dan ketakutan
5. Menghindari sumber ketakutan bila g. Mengidentifikasi ketika tingkat
mungkin perubahan kecemasan
6. Mempertahankan performa peran h. Menyediakan aktifitas pengalihan
dan hubungan sosial diarahkan untuk membantu
7. Mengendalikan respon ketakutan mengurangi kecemasan
i. Anjurkan pasien tentang tehnik
relaksasi
j. Memberikan obat untuk mengurangi
kecemasan
k. Menilai tanda – tanda verbal dan
kecemasan non verbal

`29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sistemik Lupus Erytematosus adalah suatu penyakit autoimun


yang ditandai oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa
antigen diri yang berlainan. Antibodi- antibodi tersebut biasanya adalah
IgG atau IgM dan dapat bekerja terhadap asam nukleat pada DNA atau
RNA, protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah, sel darah putih dan
trombosit. Kompleks antigen antibodi dapat mengendap di jaringan kapiler
sehingga terjadi reaksi hipersensitifitas tipe III kemudian terjadi
peradangan kronik. (Elizabeth J. Corwin, 2009)
Manifestasi klinisnya yaitu Butterfly Rash (malar) ruam di pipi dan
hidung; Discoid Rash (kulit) ruam ynag muncul sebagai bersisik
mengangkat bercak merah ;Fotosensitivitas ;Ulser mulut; Arthritis dalam
dua atau lebih sendi; Serositis. Pleuritis atau Endocarditis; Kelainan
Ginjal. Proteinuria > 0,5 gr/dL atau 3+ endapan tidak normal dalam urin
terlihat dengan bantuan mikroskop;Kelainan saraf. Kejang tanpa adanya
gangguan akibat obat atau gangguan metabolik yang diketahui;Kelainan
darah. Anemia hemolitik disertai retikulosis, leukopenia – 4,0x 109 /L
(4000/mm3)total pada dua atau lebih pemeriksaan; Kelainan imunitas
antibodi, anti- DNA terhadap DNA asal dalam titer abnormal; atau
antibody anti fosfolipid positif berdasarkan pada kadar antibodi
antikardiolipin IgG atu IgM serum yang abnormal dan uji positif
antikoagulan lupus menggunakan uji standar;Tes ANA Positif.
Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak adanya obat yang
diketahui berkaitan dengan SLE yang diinduksi obat.
Diagnosis keperawatan pada SLE yaitu: Nyeri berhubungan
dengan pembengkakan sendi pada musculoskeletal, neuropaty perfer,;
Gangguan gambaran diri berhubungan dengan penyakit SLE; Intoleransi

`30
aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik; Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan Discoid LE; Resiko infeksi berhubungan dengan
penurunan imunitas; Ketakutan b/d prognosis dan pengobatan penyakit.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan yaitu Kelelahan
selama aktifitas sehari-hari diminimalkan,minimal tidur malam 8 jam.
Karena sebagian besar pasien dengan SLE menunjukan arthralgia
sementara Menjaga kebugaran dan berbagai gerak sendi melalui program
kebugaran rutin sekaligus mengurangi aktifitas selam flares sangat
penting. Mandi air hangat membantu mengatasi kekakuan sendi. Aplikasi
kompres panas dan dingin , splints alat bantu dan terapi fisik dapat
membantu nyeri. Mengkonsumsi diet seimbang akan mempengaruhi
tingkat kelelahan dan berat badan dari kortikosteroid yang pada gilirannya
dapat mempengaruhi nyeri sendi.

`31
DAFTAR PUSTAKA

Corwin Elizabeth J, 2009, Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3, Jakarta: EGC

Price Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson,2015, Patofisiologi konsep klinis proses-


proses penyakit Edisi 6 volume 2,Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare, 2013,Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Edisi 8 Volume 3, Jakarta : EGC

Wilkinson Judith M. dan Nancy R. Aheren, 2015,Buku Saku Diagnosa


Keperawatan Edisi 9,Jakarta : EGC

Williams, Linsa S. dan Paula D. Hopper, 2007. Textbook Undersatnding Medical


Surgical Nursing third Edision. E-book

`32

Anda mungkin juga menyukai