Anda di halaman 1dari 37

KASUS 1

1. SISTEMIC LUPUS ERYTHEMESIS (SLE)


a. Pengertian SLE
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik
Penyakit Systemic Lupus Erythethematosus adalah suatu penyakit yang menyerang
seluruh organ tubuh mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut, yang disebabkan oleh
penurunan kekebalan tubuh manusia, dan lebih dikenal penyakit sebagai autoimun.
Penyakit ini sebenarnya telah dikenal sejak jaman Yunani kuno oleh Hipokrates, namun
pengobatan yang tepat belum diketahui

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat.
Autoimun berarti bahwa sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Pada SLE ini,
sistem imun terutama menyerang inti sel (Matt, 2003). Menurut dokter umum Rumah
Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Fajar Rudy Qimindra (2008) , Lupus atau SLE
berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan. Istilah ini mulai dikenal sejak abad ke-
10. Sedang eritematosus berarti merah. Ini untuk menggambarkan ruam merah pada kulit
yang menyerupai gigitan anjing hutan di sekitar hidung dan pipi. Sehingga dari sinilah
istilah lupus tetap digunakan untuk penyakit Systemic Lupus Erythematosus.

b. Jenis-jenis
Jenis-jenis lupus
 Sistemic lupus Erythematosus (SLE)
 Cutaneous Lupus
Dapat dikenali dari ruam yang muncul di kulit dengan berbagai tampilan klinis
 Drug-induced lupus
suatu subset lupus yang timbul setelah paparan obat dan menghilang setelah obat
dihentikan. Pada lupus jenis ini baru muncul setelah pasien lupus menggunakan
jenis obat tertentu dalam jangka waktu tertentu (lebih dari 1 bulan). Ada lebih dari
80 jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus imbas obat. Salah satu contoh obat
yang paling dikenal menimbulkan Lupus imbas obat antara lain hydralazine
(untuk mengobati darah tinggi) metildopa, procainamide (untuk mengobati
aritmia), D-penicillamine (obat untuk mengatasi keracunan logam berat), serta
minocycline (obat jerawat).
 Neonatal lupus
Neonatal lupus erythematosus (NLE) mengacu pada spektrum klinis kelainan
kulit, jantung, dan sistemik yang diamati pada bayi baru lahir yang ibunya
memiliki autoantibodi terhadap Ro/SSA, La/SSB, dan, lebih jarang, U1-
ribonucleoprotein (U1-RNP).
Sejumlah penelitian telah menyarankan bahwa NLE disebabkan oleh
transplasental autoantibodi ibu [ 5 , 7 ]. Autoantibodi ini dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan yang sedang berkembang dan meningkatkan risiko
melahirkan bayi dengan NLE. Sekitar 98% bayi yang terkena memiliki transfer
autoantibodi ibu terhadap Ro/SSA, La/SSB, dan, lebih jarang, U1-RNP. Namun,
hanya 1-2% dari ibu dengan autoantibodi ini memiliki neonatus dengan NLE,
terlepas dari apakah ibu tersebut bergejala atau tidak.
c. GEJALA
Pada awal perjalanannya, penyakit ini ditandai dengan gejala klinis yang tak spesifik,
antara lain lemah, kelelahan yang sangat, lesu berkepanjangan, panas, demam, mual,
nafsu makan menurun, dan berat badan turun. Gejala awal yang tidak khas ini mirip
dengan beberapa penyakit yang lain. Oleh karena gejala penyakit ini sangat luas dan tidak
khas pada awalnya, maka tidak sembarangan untuk mengatakan.

Menurut American College Of Rheumatology 1997, yang dikutip Qiminta, diagnosis


SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan singkat dari
11 gejala tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada bentukan kupu-
kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya jaringan
parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.
3. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar matahari
4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
Gejala awalnya sering memberikan keluhan rasa nyeri di persendian. Tak hanya itu,
seluruh organ pun tubuh terasa sakit bahkan terjadi kelainan pada kulit, serta tak jarang
tubuh menjadi lelah berkepanjangan dan sensitif terhadap sinar matahari.

Dikatakan Qimindra, batasan penyakit ini adalah penyakit autoimun, sistemik, kronik,
yang ditandai dengan berbagai macam antibodi tubuh yang membentuk komplek imun,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan di seluruh tubuh. Autoimun maksudnya, tubuh
penderita lupus membentuk daya tahan tubuh (antibodi) tetapi salah arah, dengan
merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah dan lain-lain. Padahal
antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri atau virus yang masuk tubuh.
Sedangkan sistemik memiliki arti bahwa penyakit ini menyerang hampir seluruh organ
tubuh. Sementara kronis, maksudnya adalah sakit lupus ini bisa berkepanjangan, kadang
ada periode tenang lalu tiba-tiba kambuh lagi.

2. Penyakit Autoimun
A. Pengertian
Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan
kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self tolerance
sel B, sel T atau keduanya.
Potensi untuk autoimunitas ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit
dapat mengekspresikan reseptor spesifik untuk banyak self antigen. Autoimunitas
terjadi karena self antigen yang dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta
diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan
jaringan dari berbagai organ, baik antibodi maupun sel T atau keduanya dapat
berperan dalam patogenesis penyakit autoimun. Antigen disebut autoantigen, sedang
antibodi yang dibentuk disebut autoantibodi.
Penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang
menyerang tubuhnya sendiri. Normalnya, sistem kekebalan tubuh berfungsi untuk
menjaga tubuh dari serangan organisme asing, seperti bakteri atau virus. Ketika
terserang organisme asing, sistem kekebalan tubuh akan melepas protein yang disebut
antibodi untuk melawan dan mencegah terjadinya penyakit.  tetapi, pada penderita
penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh melihat sel tubuh yang sehat sebagai
organisme asing, sehingga antibodi yang dilepaskan sistem kekebalan tubuh
menyerang sel-sel tubuh yang sehat tersebut.

b. gejala autoimun

Meskipun berbagai jenis penyakit autoimun, banyak dari mereka memiliki gejala yang
sama. Gejala umum penyakit autoimun meliputi:

Kelelahan

Nyeri sendi dan bengkak

Masalah kulit

Sakit perut atau masalah pencernaan

Demam berulang

Kelenjar bengkak

B. Jenis-jenis autoimun
1) Autoimun spesifik
sistem imunitas alami atau innate immunity. Sistem ini terdiri dari perlindungan
baik dalam maupun di luar tubuh. Komponen yang masuk dalam sistem imun
alami diantaranya:
 Kulit
 Enzim pada air mata dan
 minyak kulit Dahak dan
 refleks batuk
Cairan asam lambung Sel darah putih
Imun akan bekerja saat patogen, bisa berupa bakteri atau virus, masuk ke dalam
tubuh. Antigen pada virus atau bakteri merangsang sistem imunitas untuk
memproduksi antibodi guna menyerang infeksi tersebut

2) Autoimun non spesifik


Saat imunitas alami tidak mampu menghalau serangan virus atau bakteri, tubuh
memerlukan pertahanan tambahan dari imunitas buatan atau adaptive
immunity. imunitas buatan didapat saat tubuh mulai mengenali beberapa jenis
infeksi patogen.  imunitas ini muncul setelah terserang penyakit tertentu. 
Proses dari pembentukan imunitas buatan ini terjadi saat tubuh terserang patogen.
Patogen tersebut kemudian di proses dan diidentifikasi oleh tubuh. Kemudian
sistem imun akan membuat antibodi yang didesain untuk mengatasi serangan
patogen tersebut.
Setelah sembuh, sistem imun kita akan mengingat penyakit yang menyerang
tubuh. Jika kelak terinfeksi dengan gangguan yang sama, tubuh sudah lebih siap
melawan gangguan tersebut.

3) imunitas pasif
Imunits pasif merupakan imunitas yang berasal dari luar tubut atau bisa dikatakan
imunitas ini "dipinjam" dari sumber lain kemudian diberikan pada
tubuh. Contohnya adalah ASI yang diberikan pada bayi. ASI mengandung
antibodi yang kemudian ditransfer kepada bayi saat ia menyusu. 
sistem imunitas pasif juga didapat melalui imunisasi.  Imunisasi merupakan
kegiatan pemberian vaksin kepada seseorang. Vaksin sendiri dibuat dari patogen
(virus atau bakteri) yang sudah dilemahkan.  Vaksin yang sudah diberikan, akan
membantu tubuh untuk memproduksi antibodi yang sesuai dengan virus tertentu.

C. factor risiko
Para ahli masih belum menemukan penyebab pasti dari autoimun sampai saat ini. Namun,
terdapat beragam faktor yang menyebabkan seseorang berisiko untuk mengidap penyakit
autoimun, seperti:

 Genetik atau keturunan. Faktor genetik merupakan faktor risiko utama yang bisa
menimbulkan penyakit autoimun. Meski demikian, faktor ini bukan satu-satunya yang
bisa memicu reaksi kekebalan tubuh.

 Lingkungan. Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor penting yang memicu


timbulnya penyakit autoimun. Faktor lingkungan mencakup paparan zat tertentu, seperti
asbes, merkuri, perak, dan emas, pola hidup yang berantakan serta pola makan yang
kurang sehat.

 Perubahan hormon. Faktor perubahan hormon menjadi salah satu penyebab penyakit
autoimun. Seperti contohnya, penyakit autoimun sering menyerang ibu setelah
melahirkan. Hal tersebut menimbulkan asumsi bahwa perubahan hormon memiliki
korelasi dengan penyakit autoimun. Misalkan ketika seorang wanita hamil, melahirkan
anak, atau ketika mengalami menopause.

 Infeksi. Umumnya, penyakit autoimun sering dikaitkan dengan terjadinya gejala infeksi.


Hal tersebut dianggap wajar karena gejala penyakit autoimun sebagian besar, diperburuk
oleh infeksi tertentu.

 Jenis kelamin. Sekitar tiga perempat orang dengan gangguan autoimun adalah wanita.

D. Penyakit yang terlibat

Diabetes tipe 1: Mempengaruhi pankreas. 

Penyakit graves: Mempengaruhi kelenjar tiroid.

Penyakit radang usus: Termasuk kolitis ulserativa dan penyakit Crohn.

Multiple Sclerosis: Mempengaruhi sistem saraf.


Psoriasis: Mempengaruhi kulit.

Rheumatoid arthritis: Mempengaruhi persendian.

Scleroderma: Mempengaruhi kulit dan struktur lainnya serta menyebabkan


pembentukan jaringan parut.

Lupus: Mempengaruhi jaringan ikat dan dapat menyerang semua sistem organ tubuh.

E. Patofisiologis Autoimun berhubungan dengan SLE


Penyakit SLE bersifat multifaktorial karena faktor risikonya beragam meliputi
faktor genetik, hormonal serta lingkungan, terutama sinar UV.
Tahap awal penyakit (fase preklinik) SLE sering kali menyerupai penyakit lain.
Pembentukan dan deposisi kompleks imun yang kian berkembang menyebabkan
perjalanan penyakit SLE memasuki tahap yang lebih lanjut dengan manifestasi klinis
yang makin beragam dan bersifat multiorgan. Tahap akhir perjalanan penyakit SLE
umumnya diakibatkan komplikasi jangka panjang SLE yang menyebabkan kerusakan
organ tubuh.
Karakteristik utama SLE ditandai dengan munculnya respons imun terhadap
antigen endogen nuklear. Kerusakan berbagai organ tubuh pada penyakit SLE terjadi
akibat pembentukan dan deposisi autoantibodi dan kompleks imun. Sel B yang
hiperaktif berasal dari stimulasi sel T dan antigen yang akan meningkatkan produksi
antibodi terhadap antigen yang terpapar pada permukaan sel apoptotic sel T dan sel B
yang berkontribusi terhadap clearance sel apoptotik yang tidak sempurna.
Selama proses apoptosis, ada potongan-potongan bahan seluler yang terbentuk
pada permukaan sel yang mati. Normalnya, antigen tidak ada pada permukaan sel
akan tetapi pada SLE didapatkan antigen pada permukaan sel. Nukleosom dan
fosfolipid anionik adalah contoh antigen yang ditemukan pada pasien SLE, antigen
tersebut berpotensi memicu respons imun. Clearance sel apoptotik yang tidak optimal
pada pasien SLE disebabkan ketidakseimbangan fungsi sel fagositik (Gambar 2).
Semua jalur pada SLE menyebabkan produksi interferon α (IFN-α) yang
diperantarai oleh asam nukleat endogen. Peningkatan produksi autoantigen selama
apoptosis (secara spontan maupun dipicu oleh sinar UV), penurunan clearance dan
deregulasi berperan penting dalam inisiasi respons autoimun. Nukleosom
mengandung ligan endogen berbahaya yang dapat terikat pada reseptor
pathogenassociated moleculer pattern, bergabung dengan apoptotic blebs yang
kemudian akan mengaktivasi sel dendritik dan sel B serta produksi IFN dan
autoantibodi.
Reseptor permukaan sel seperti BCR dan FcRIIa memfasilitasi endositosis
kompleks imun atau material yang mengandung asam nukleat dan terikat pada
reseptor endosomal dari sistem imun innate seperti TLRs. Penyakit SLE pada tahap
awal, autoantibodi dan kompleks imun belum terbentuk, terdapat proses pelepasan
peptida antimikroba oleh jaringan yang rusak seperti LL37 dan neutrophil
extracellular traps. Kedua produk yang dilepas tersebut mungkin akan terikat dengan
asam nukleat sehingga mampu menghambat degradasi dan memfasilitasi
endositosisnya serta stimulasi TLR-7/9 di plasmasitoid sel dendritic.
Peningkatan jumlah asam nukleat endogen yang berkaitan dengan apoptosis
menstimulasi produksi IFN dan autoimun dengan pemecahan selftolerance melalui
aktivasi dan maturasi sel dendritik konvensional (mieloid). Sel dendritik imatur
menyebabkan toleransi sedangkan sel dendritik matur yang teraktivasi menyebabkan
otoreaktif. Produksi autoantibodi oleh sel B pada SLE dikendalikan oleh availabilitas
antigen endogen dan sangat bergantung terhadap bantuan sel T yang diperantai oleh
interaksi permukaan sel (CD40L/CD40) dan sitokin (IL21).
Komples imun yang mengandung kromatin menstimulasi sel B melalui ikatan
silang BCR/TLR. Penyakit SLE berkembang ketika limfosit T teraktivasi oleh
antigen yang dipresentasikan oleh Antigen Presenting Cells (APC) melalui Major
Histocompatibility Complex (MHC), kemudian limfosit T yang teraktivasi tersebut
akan melepaskan sitokin, inflamasi dan menstimulasi sel B. Stimulasi sel B dan
produksi autoantibodi imunoglobulin G (IgG) dapat menyebabkan kerusakan
jaringan. Sel T dan sel B yang spesifik terhadap autoantigen akan berinteraksi dan
memproduksi autoantibodi.

F. Jenis-jenis immunoglobulin
1) Immunoglobulin A (IgA)
Antibodi IgA merupakan jenis antibodi yang paling umum ditemukan di
dalam tubuh dan terlibat dalam proses terjadinya reaksi alergi.
Di dalam tubuh, antibodi IgA banyak ditemukan di lapisan mukosa
(selaput lendir) tubuh, terutama yang melapisi saluran pernapasan dan saluran
pencernaan. IgA juga banyak ditemukan pada cairan tubuh, seperti air liur, dahak,
air mata, cairan vagina, dan ASI.

2) Immunoglobulin E (IgE)
Antibodi IgE umumnya ditemukan di darah dalam jumlah yang sedikit.
Namun, jumlah antibodi IgE akan meningkat ketika tubuh mengalami reaksi
peradangan akibat alergi. Secara medis, tes antibodi IgE dilakukan untuk
mendeteksi penyakit alergi dan infeksi parasit.
3) Immunoglobulin G (IgG)
Antibodi IgG adalah jenis antibodi yang paling banyak ditemukan di
dalam darah dan cairan tubuh lainnya. Ketika antigen masuk ke dalam tubuh, sel-
sel darah putih akan "mengingat" antigen tersebut dan membentuk antibodi IgE
untuk melawannya.
Dengan demikian, jika antigen tersebut kembali masuk ke dalam tubuh
atau menyerang tubuh Anda, sistem kekebalan tubuh akan mudah mengenalinya
dan melakukan perlawanan karena antibodi sudah terbentuk lebih dulu.
4) Immunoglobulin M (IgM)
Tubuh akan membuat antibodi IgM saat Anda pertama kali terinfeksi
bakteri atau virus sebagai bentuk pertahanan pertama tubuh untuk melawan
infeksi. Kadar IgM akan meningkat dalam waktu singkat saat terjadi infeksi,
kemudian perlahan menurun dan digantikan oleh antibodi IgG.
Oleh sebab itu, hasil pemeriksaan IgM dengan nilai yang tinggi, sering
kali dianggap sebagai tanda adanya infeksi yang masih aktif.

5) Immunoglobulin D
Antibodi yang ditemukan dalam jumlah kecil di jaringan yang melapisi perut atau
dada.
 Marker diferensiasi sel B yg sudah matang
 Kadar meningkat pada infeksi dini (akut)
 Fungsi utama belum jelas
 Ditemukan pada banyak permukaan sel B

G. Pembentukan sel-sel limfosit beserta organ yang berperan


1) Sel B
Proses maturasi dari sel limfosit B terletak di sumsum tulang, yaitu suatu struktur
berpori yang terdapat pada tulang-tulang besar. Pada sumsum tulang, sel-sel
punca akan banyak diproduksi, kemudian akan berdiferensiasi menjadi sel
limfosit B yang matang (matur).
Pada tahap sel Pro-B terjadi diferensiasi sel punca menjadi sel limfosit B. Tahap
ini adalah terdapat pembentukan penanda permukaan sel berupa CD19 dan CD10.
Pada tahap ini sel limfosit B belum menghasilkan imunoglobulin. Karena akan
dibutuhkan dalam jumlah besar, maka pada tahap ini terjadi banyak sekali
pembelahan sel. Maturasi kemudian berlanjut pada tahap sel Pre-B. Pada tahap ini
mulai terdapat ekspresi immunoglobulin yang sederhana. Penanda permukaan sel
berubah menjadi CD4. Di tahap ini pula mulai terjadi proses rekombinasi gen-gen
immunoglobulin. Proses rekombinasi ini penting untuk membentuk variasi daerah
Fab pada antibodi yang diperlukan dalam pengenalan terhadap antigen yang juga
bervariasi.
Setelah itu, sel Pre-B kemudian mengalami maturasi lebih lanjut menjadi sel B
imatur. Pada tahapan ini, akan banyak sekali perbanyakan sel dan juga ketiadaan
penanda permukaan CD43 dari permukaan sel. Penanda ini menghilang pada sel
B imatur. Selain itu, molekul imunoglobulin yang terbentuk tidak lagi sederhana
tetapi sudah berdiferensiasi menjadi IgM dengan tetap berlangsungnya proses
rekombinasi gen-gen imunoglobulin. Hal yang terpenting pada tahapan ini adalah
terjadinya proses seleksi negatif. Seleksi negatif pada proses maturasi sel limfosit
B adalah suatu proses seleksi sel limfosit B sebelum siap melawan patogen.
Seleksi dilakukan dengan cara jika sel-sel limfosit B imatur ini dapat mengenali
protein tubuh (self-antigen) sebagai molekul asing, maka sel-sel ini akan
mengalami apoptosis atau tidak mengalami maturasi lebih lanjut.
Proses seleksi negatif dalam proses maturasi sel limfosit B, dimana jika sel B
imatur mengenali protein tubuh (sel-antigen) sebagai protein asing, maka sel B
imatur akan mengalami apoptosis atau tidak mengalami proses maturasi lebih
lanjut. Terdapat beberapa kemungkinan jika sel limfosit B imatur gagal dalam
proses seleksi negatif. Jika sel-sel ini melakukan proses editing reseptor, maka sel
ini akan melakukan maturasi lebih lanjut. Jika sel-sel limfosit B imatur dapat
mengenali sel-antigen tetapi dengan afinitas rendah, maka sel-sel ini akan menjadi
sel anergi. Sel-sel anergi ini tidak akan dapat diaktifkan oleh antigen, sehingga
berbeda dengan sel-sel limfosit B yang normal.
Setelah lolos dari seleksi negatif, maka sel-sel limfosit B imatur akan keluar dari
sumsum tulang menuju ke organ limfatik sekunder. Di organ-organ ini sel limfosit
B imatur akan berhadapan dengan antigen sehingga akan mengalami aktivasi
menjadi sel plasma yang mensekresikan antibodi. Dapat disimpulkan bahwa sel-
sel limfosit B mengalami maturasi di sumsum tulang, dimana proses maturasi
pada daerah ini terdiri dari beberapa tahapan sehingga membentuk sel-sel limfosit
B imatur. Setelah itu, sel-sel ini akan berpindah ke organ-organ limfatik sekunder
dan bertemu dengan antigen. Sel-sel limfosit ini akan mengenal antigen tersebut
dan teraktivasi sehingga membentuk sel-sel plasma yang dapat mensekresikan
antibodi.

2) Sel T (Dibentuk di Timus)


dalam sumsum tulang, sel-sel prekursor (permulaan) limfosit T akan terbentuk.
Setelah itu, barulah sel-sel ini berpindah ke organ timus untuk mengalami
maturasi lebih lanjut.
Pada tahap pertama dari maturasi sel limfosit adalah proses berpindahnya sel
punca ke jaringan limfoid primer menghasilkan sel yang dinamakan sel pro T.
Sel-sel Pro T banyak terdapat di bagian cortex serta belum memiliki penanda sel
limfosit, sehingga disebut sel negatif ganda (double negative). Masih di bagian
cortex, sel-sel Pro T akan berubah menjadi sel-sel pre T dan mulai terdapat
penanda awal dari sel timosit (sel limfosit awal). Maturasi kemudian berlanjut
dengan berubahnya sel-sel pre-T menjadi sel positif ganda. Sel ini disebut positif
ganda karena pada permukaan selnya terdapat penanda sel T dan juga CD4 dan
CD8, jadi belum terjadi diferensiasi apakah berupa sel T limfosit CD4+ atau
CD8+ . Pada tahapan ini banyak sekali terjadi pembelahan sel positif ganda yang
terjadi pada bagian cortex. Hal yang terpenting dari sel positif ganda ini adalah
terjadinya proses seleksi positif sel-sel ini di bagian cortex timus.
Seleksi positif pada limfosit T positif ganda (timosit ganda) terjadi ketika sel-sel
ini berhadapan dengan sel epitel cortex timus yang mengekspresikan MHC
(Major Histocompatibility Complex) kelas I dan II. Molekul MHC merupakan
molekul penting yang akan berikatan dengan sel limfosit T melalui CD4 dan
CD8. Molekul ini penting dalam pengenalan antigen oleh sel limfosit T. Jika sel-
sel timosit ganda ini dapat berikatan dengan molekul MHC, maka sel timosit
ganda akan mengalami maturasi lebih lanjut. Jika tidak, maka sel timosit akan
mengalami kematian. Ini adalah seleksi positif. Sel-sel timosit ganda yang lolos
seleksi positif akan masuk ke medula timus dan akan menjalani seleksi negatif.
Seleksi negatif terjadi di medula timus. Seleksi ini terjadi ketika sel timosit
berhadapan dengan sel epitel medul timus yang mengekspresikan molekul MHC.
Jika sel timosit memiliki ikatan atau “avinitas” yang terlalu kuat dengan molekul
MHC, maka sel timosit ini akan mengalami apoptosis. Sel-sel timosit yang
bertahan hidup kemudian masuk ke tahapan maturasi berikutnya. Sel-sel timosit
ganda yang bertahan hidup kemudian akan berubah menjadi sel positif tunggal.
Pada kondisi ini, sel limfosit hanya akan mengekspresikan CD4 atau CD8 saja.
Jadi siap menjadi sel T helper atau sitotoksik. Sel-sel siap dikeluarkan dari timus
menuju jaringan limfoid sekunder untuk berhadapan dengan antigen. Sebelum
berikatan dengan antigen, maka sel limfosit ini belum teraktivasi dan dinamakan
dengan sel T naïve. Barulah setelah berikatan dengan antigen di jaringan limfoid
sekunder, sel-sel limfosit ini teraktivasi dan siap menghadapi patogen. Dapat
disimpulkan bahwa maturasi sel limfosit T merupakan suatu mekanisme yang
berjenjang di sumsum tulang dan timus. Terdapat beberapa tahapan dalam
maturasi dimana di dalamnya terjadi seleksi positif dan negatif. Proses seleksi
positif dan negatif ini penting untuk menghasilkan sel limfosit yang siap
menyerang patogen.

H. Pembentukan cel CD4 dan CD 8


Sel CD4 adalah jenis sel darah putih atau limfosit yang merupakan bagian penting
dari sistem kekebalan tubuh disebut sebagai sel-T. Sel T-8 (CD8) adalah sel
‘penekan’, yang mengakhiri tanggapan kekebalan. Sel CD8 juga disebut sebagai sel
‘pembunuh’, karena sel tersebut membunuh sel kanker atau sel yang terinfeksi virus

3. Penyakit pansitopenia
a. Pengertian
Pansitopenia adalah kondisi hematologi dimana terjadi penurunan dari 3 sel darah
yaitu eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pansitopenia ditandai dengan kadar
hemoglobin kurang dari 11,5g/dL pada wanita dan 13,5g/dL pada pria, trombosit
kurang dari 150.000/mcL, dan leukosit kurang dari 4000/ml (atau hitung neutrofil
absolut kurang dari 1500-1800/ml (Chiravuri & Jesus, 2021). Pansitopenia ini bukan
merupakan penyakit tetapi merupakan manifestasi dari penyebab lain. Pansitopenia
bisa merupakan hasil dari berkurangnya produksi dari sel-sel darah atau peningkatan
dari penghancuran sel-sel tersebut.

b. Penyebab
Secara garis besar penyebab dari pansitopenia dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu
tipe sentral yang menyebabkan kelainan produksi dan tipe perifer yang menyebabkan
peningkatan destruksi.
Penurunan produksi (tipe sentral) :
 Pansitopenia yang terjadi oleh sebab sekunder dari defisiensi nutrisi,
 Pansitopenia akibat kegagalan sumsum tulang yang dikenal sebagai anemia
aplastik. Anemia aplastik dapat terjadi karena idiopatik/autoimun atau
sekunder karena infeksi (parvovirus B19, hepatitis, HIV, cytomegalovirus,
atau epstein-barr virus), setelah keracunan obat, atau pengobatan kemoterapi
(methotrexate, dapson, carbimazole, carbamazepin, kloramfenikol),
 Pansitopenia dapat dihubungkan dengan kurang konsumsi (eating disorders
dan alkoholik) atau malabsorbsi,
 Pansitopenia akibat keganasan sumsum tulang (lymphoma, leukemia, multiple
myeloma) atau karena metastasis ke sumsum tulang.
Peningkatan destruksi (tipe perifer) :
 Kondisi autoimun (SLE, rheumatoid arthritis),
 Splenic sequestration (darah terjebak di dalam limpa) dapat disebabkan oleh
sirosis hepar, HIV, tuberkulosis, malaria),
 Hipersplenism yang sering berpengaruh pada tombosit dan eritrosit daripada
leukosit.
c. Gejala
Gejala dapat bervariasi, pansitopenia ringan dapat asimptomatik hingga dapat
mengancam nyawa pada pansitopenia berat. Pasien dapat datang dengan manifestasi
dari penurunan sel-sel darah. Pada anemia pasien dapat mengalami sesak , fatigue,
nyeri dada. Pasien dengan leukopenia dapat terjadi infeksi berupa ulserasi mulut,
febris, dan sepsis atau syok septik.
d. Patofisiologi
Patofisiologi dari anemia aplastik adalah autoimun yang diperantarai oleh aktivasi sel
T yang akan menyebabkan destruksi dari sel punca hematopoiesis. Supresi sumsum
tulang dapat juga disebabkan langsung oleh efek sitotoksik dari pengobatan seperti
methotrexate, antikonvulsi, dan agen kemoterapi. Gangguan hematopoiesis dapat
terlihat di sumsum tulang pengidap myelodysplastic syndrome. Sepsis dapat
menyebabkan pansitopenia dalam beberapa mekanisme (supresi sumsum tulang,
hipersplenism, dan disseminated intravascular coagulation) yang biasanya muncul
secara bersamaan. Virus dapat menyebabkan pansitopenia dengan beberapa
mekanisme yang mempengaruhi hematopoiesis.
4. Hematemesis melena
a. Pengertian
Hematemesis atau muntah darah. Muntah darah adalah kondisi ketika terdapat darah di
dalam muntah. Muntah itu sendiri adalah keluarnya isi perut.
melena atau berak darah merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan
saluran cerna bagian atas (SCBA). Melena adalah buang air besar berwarna hitam
seperti ter yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
b. Gejala
1) Melena
Tinja Melena, darah di tinja berwarna hitam. Hal ini karena darah telah bercampur
dengan enzim dan asam lambung di saluran pencernaan.
Gejala utama melena adalah darah pada tinja yang menyebabkan tinja berwarna
seperti aspal dan berbau busuk. 
Nyeri perut, Pusing, Mual, Kulit pucat, Muntah darah (hematemesis)

2) Hematemesis
Biasanya, darah yang dimuntahkan berasal dari saluran pencernaan bagian atas.
Sementara, warna darah yang dimuntahkan tergantung pada sumber perdarahan dan
tingkat keparahannya.
Darah yang berwarna kehitaman atau seperti bubuk kopi biasanya sudah lama
bercampur dengan asam lambung sebelum dimuntahkan. Sementara itu, darah yang
berwarna merah terang biasanya akibat perdarahan yang baru saja terjadi dan bisa
berasal dari esofagus atau lambung.
Jika darah yang dimuntahkan lebih dari 500 cc (± 2 gelas minum), muntah darah
dapat menyebabkan anemia atau bahkan syok. 

5. PH darah
a. Ph normal
Rentang Ph Normal 7,35 -7,45
b. Kriteria PH Asidosis
Ph jadi asidosis apabila PH turun dari rentang normal dan PCO2 naik
c. Kriteria PH Alkalosis
Apabila HCO3 naik
6. Kenapa lupus lebih banyak terjadi pada wanita
Lupus terjadi pada wanita karena wanita memiliki hormone estrogen lebih tinggi
daripada laki-laki
7. Pasien sensitive pada sinar ultraviolet
 lupus merupakan penyakit yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh mengalami
gangguan, sehingga menyerang bagian tubuh sendiri dan menyebabkan kerusakan pada
sel-sel tubuh. Pengidap lupus tidak boleh kena sinar matahari karena kulitnya sensitif
terhadap paparan sinar UV, terutama pada jenis subacute cutaneous lupus erythematosus.
Salah satu jenis penyakit lupus itu membuat jaringan kulit pengidapnya luka dan terbakar
ketika terpapar sinar matahari. Itulah sebabnya pengidap subacute cutaneous lupus
erythematosus tidak boleh terpapar sinar matahari sama sekali.

8. Obat-obata
a. Obat lanzoprazole
LANSOPRAZOLE merupakan obat golongan proton pump inhibitor yang
digunakan untuk tukak duodenum dan tukak lambung ringan, tukak peptik, refluks
esofagitis, sindrom zollinger-ellison dan eradikasi H.pylori.

Lansoprazole mampu menurunkan produksi asam lambung dan meredakan gejala


akibat peningkatan asam lambung, seperti sensasi terbakar di dada, mulut terasa
asam, serta mual dan muntah. Dengan begitu, kerusakan atau komplikasi yang dapat
disebabkan oleh asam lambung yang tinggi bisa dicegah.

b. Obat Sucralfat
Golongan obat antisida atau anti ulkus

Sukralfat bekerja dengan cara menempel di bagian lambung atau usus yang terluka.
Obat ini melindungi lukadari asam lambung, enzim pencernaan, dan garam empedu.
Dengan begitu, sukralfat mencegah luka menjadi semakin parah dan membantu
penyembuhan luka lebih cepat

Sukralfat merupakan terapi lini utama untuk profilaksis gastritis karena stress (stress-
induced gastritis). Obat yang termasuk ke dalam golongan obat resep ini
merupakan obat antiulkus, 

c. Obat methylprednisolone
Golongan obat kortikosteroid

Metilprednisolon atau methylprednisolone bekerja dengan cara mencegah tubuh


melepaskan senyawa kimia yang memicu peradangan. Dengan begitu, gejala
peradangan, seperti nyeri dan pembengkakan, akan berangsur mereda.

Obat ini memiliki efek imunosupresif yang bekerja dengan cara menekan respons


sistem kekebalan tubuh. Dengan begitu, reaksi penolakan tubuh terhadap organ yang
baru saja di transplantasikan bisa dicegah.

d. Obat antacid

Antasida (antacid) adalah obat untuk meredakan gejala akibat sakit maag atau
penyakit asam lambung Antasida bekerja dengan cara menetralisir asam lambung.
Obat ini hanya bekerja saat kadar asam lambung meningkat. Dengan begitu, keluhan
akibat naiknya asam lambung, seperti nyeri ulu hati, rasa panas di dada, mual,
muntah, atau perut kembung akan mereda.

9. Pada pasien Hubungan SLE dengan Pansitopenia


Penyakit autoimun seperti lupus sistemik eritematosus merupakan salah satu penyebab
masalah dikarenakan terlalu sedikitnya produksi sel darah dalam tubuh

Anemia merupakan salah satu manifestasi hematologi dari SLE, dan biasanya
normokromik normositer. Patogenesisnya meliputi anemia on chronic disease (ACD),
hemolisis (autoimun atau mikroangiopatik) yang merusak eritrosit, kehilangan darah (blood
loss) karena penggunaan kortikosteroid atau menoragia, insufisiensi ginjal, medikasi,
infeksi, splenomegali, myelodisplasia, myelofibrosis, dan anemia aplastik. Penyebab yang
sering adalah supresi eritropoiesis oleh adanya inflamasi kronis.

10. Pada pasien Hubungan SLE, pansitopenia dengan Hematemesis melena


Pada pasien ini pansitopenia yang dialami berhubungan dengan kondisi autoimun yang di
idapnya karena autoimun ini membuat produksi sel darah merah, trombosit dan
plateletnya menurun. Sedangkan hematemesis dan melena yang dialami pasien
disebabkan oleh salah satu efeksamping penggunaan obat kortikosteroid yang berasal dari
obat lambung (Methylpredisolon)
11. Diagnose keperawatan
a. Penurunan curah jantung
Do
Ds
12. Intervensi keperawatan

KASUS 2 KILOTHORAX

1. Kilothorax
a. Pengertian Kilothorax
Kilotoraks adalah akumulasi abnormal kilus (sejenis getah bening yang
kaya lipid) di ruang sekitar paru-paru. Getah bening dari sistem
pencernaan biasanya mengembalikan lipid yang diserap dari usus halus melalui
saluran toraks, yang naik di belakang kerongkongan untuk mengalir ke vena
brakiosefalika kiri.

Jika drainase saluran toraks terganggu, baik karena obstruksi atau ruptur, kilus
dapat bocor dan menumpuk di dalam ruang pleura yang bertekanan negatif.
kumpulan cairan ini kadang-kadang dapat dikenali dari penampakannya yang
keruh dan putih seperti susu, karena kilus mengandung trigliserida yang teremulsi.

b. Gejala kilothorax
Gejala kilotoraks bergantung pada ukuran dan penyebab yang mendasarinya.
Kilotoraks kecil mungkin tidak menimbulkan gejala apa pun dan hanya terdeteksi
pada rontgen dada yang secara tidak sengaja ditemukan saat dilakukan
pemeriksaan penyakit lain.

Kilotoraks besar dapat menyebabkan sesak napas atau perasaan tertekan di dada,
disebabkan oleh cairan yang membatasi ekspansi paru-paru. Kilotoraks besar
dapat tanpa gejala jika kilotoraks terakumulasi secara perlahan, yang mana
keadaan tersebut, paru-paru telah terbiasa terhadap tekanan seiring waktu.
Demam atau nyeri dada biasanya tidak berhubungan dengan kilotoraks, karena
kilus tidak menimbulkan peradangan dengan sendirinya.

Pada pemeriksaan, kilotoraks dapat menyebabkan penurunan suara napas pada


sisi yang terkena, berkaitan dengan suara tumpul saat dada diketuk atau ditabuh.
Pada kasus kilotoraks pascaoperasi, tanda pertama yaitu drainase terus-menerus
dari saluran interkostal.
Kilotoraks besar dapat menyebabkan tanda-tanda yang berhubungan dengan
hilangnya nutrisi (memiliki ciri-ciri malnutrisi) atau lebih mudah terkena infeksi.
Kilotoraks yang terakumulasi dengan cepat dapat menyebabkan penurunan
volume darah secara tiba-tiba, yang menyebabkan tekanan darah rendah

c. Patofisiologi
Mekanisme utama kilotoraks adalah bocornya kilus dari saluran toraks, biasanya
disebabkan oleh gangguan yang mempengaruhi integritas struktural saluran
toraks. Misalnya, penempatan kateter (alat akses) vena sentral dapat berpotensi
mengganggu drainase getah bening (limfe) ke vena subklavia, diikuti oleh saluran
toraks, mengakibatkan kilotoraks. Gangguan tersebut menyebabkan peningkatan
tekanan pada saluran toraks. Segera setelah itu, akan terbentuk saluran kolateral,
yang akhirnya mengalir ke dada.[4] Trauma yang mempengaruhi saluran toraks
merupakan mekanisme gangguan yang paling umum.

Kejadian kilotoraks di ruang pleura kiri atau kanan merupakan konsekuensi dari
lokasi anatomi saluran toraks dalam tubuh dan tergantung pada tingkat tempat
saluran itu terluka. Jika saluran toraks terluka di atas vertebra torakalis kelima,
maka dihasilkan kilotoraks sisi kiri. Sebaliknya, luka atau cedera saluran toraks di
bawahnya akan menyebabkan pembentukan kilotoraks sisi kanan. Kilotoraks
paling sering terjadi di rongga pleura kanan (50% kasus). Kejadian kilotoraks sisi
kiri dan bilateral bersifat lebih jarang, terjadi pada masing-masing 33% dan 17%
kasus.[4]
Pada kasus kanker, invasi ke saluran toraks atau saluran getah bening kolateral
dapat menyumbat getah bening. Pada kasus limfadenopati mediastinum, kelenjar
getah bening yang membesar menyebabkan kompresi saluran getah bening dan
saluran toraks. Hal ini menghambat drainase sentripetal aliran getah bening dari
tepi parenkim paru dan permukaan pleura. Hal ini menyebabkan kilus merembes
ke dalam rongga pleura secara luas, menyebabkan kilotoraks. Pada kasus sindrom
kuku kuning (atau limfedema), kilotoraks disebabkan oleh hipoplasia atau
pelebaran pembuluh getah bening. Pada kasus yang jarang terjadi, seperti pada
kilotoraks hati, asites kilus dapat melintasi diafragma ke rongga pleura. Pada
kasus idiopatik seperti kelainan genetik, mekanisme dari kilotoraks jenis ini tidak
diketahui. Jumlah kilus yang dapat dengan mudah mengalir ke rongga pleura bisa
mencapai tiga liter per hari.

d. Etiologi kilothorax
Terdapat tiga jenis utama kilotoraks: non-traumatik, traumatik, dan idiopatik.
Secara historis, bentuk kilotoraks yang paling umum yaitu non-traumatik, tetapi
kilotoraks traumatis saat ini mewakili sebagian besar kasus, dengan sebagian
besar timbul sebagai komplikasi pascaoperasi.[3][5] Penyebab paling umum dari
kilotoraks non-traumatik yaitu kanker.[1] Kilotoraks juga dapat digolongkan
sebagai keluaran rendah atau keluaran tinggi berdasarkan laju akumulasi kilus:
kilotoraks keluaran rendah mengakumulasi <500 mL kilus per 24 jam, sedangkan
kilotoraks keluaran tinggi mengakumulasi >1000 mL per 24 jam

Non-traumatik
Keganasan merupakan penyebab paling sering dari kilotoraks non-traumatik.
Jenis kanker seperti leukemia limfositik kronis, kanker paru-
paru, limfoma, sarkoma Kaposi, karsinoma metastatik, atau kanker
esofagus merupakan penyebab potensial kilotoraks. Infeksi juga dapat
menyebabkan kilotoraks, paling sering ditemukan di negara berkembang.
Kilotoraks karena infeksi paling umum disebabkan oleh komplikasi limfadenitis
tuberkulosis. Infeksi lainnya termasuk aortitis, histoplasmosis, dan filariasis.
Kilotoraks juga bisa karena bawaan dari lahir, dan dapat terjadi bersamaan dengan
malformasi limfatik lain seperti limfangiektasis dan limfangiomatosis. Penyakit
lain seperti tuberous sklerosis, penyakit jantung bawaan, trisomi 21 (sindrom
Down), sindrom Noonan, atau sindrom Turner (kehilangan kromosom X) juga
bisa menjadi penyebab kilotoraks bawaan. Penyebab lain yang lebih jarang dari
kilotoraks bawaan termasuk penyakit Castleman, sindrom kuku kuning,
makroglobulinemia Waldenström, sarkoidosis, trombosis vena, radiasi toraks,
makroglobulinemia, amiloidosis, dan gondok. Penyakit-penyakit ini
menyebabkan kilotoraks dengan menghalangi atau menghancurkan saluran toraks.
Selain itu, nutrisi parenteral dapat menjadi penyebab karena pemberian dosis
cepat dapat membanjiri saluran toraks, menyebabkan kilus bocor ke ruang pleura
sekitarnya.
Traumatik
e. Kilotoraks iatrogenik pascaoperasi merupakan jenis kilotoraks yang paling umum.
[1] Kilotoraks jenis ini merupakan komplikasi umum dan serius dari
pneumonektomi.[7] Kondisi ini sering terjadi pada operasi yang membutuhkan
pemotongan mediastinum.[4] Probabilitas kilotoraks bergantung pada jenis
operasi. Operasi dengan risiko kilotoraks tertinggi yaitu esofagostomi, dengan
risiko 5-10% kilotoraks. Reseksi paru dan bedah nodus mediastinum memiliki
risiko tertinggi kedua dengan risiko 3-7%. Operasi lain seperti reseksi tumor
mediastinum, perbaikan aneurisma toraks, simpatektomi, dan operasi lain yang
dilakukan di leher bagian bawah atau mediastinum dapat menyebabkan
kilotoraks. kilotoraks setelah trauma dan bukan setelah operasi juga telah
ditemukan setelah penempatan jalur sentral, implantasi alat pacu jantung, dan
embolisasi malformasi arteriovenosa paru. Trauma tumpul pada daerah dada
merupakan penyebab lain kilotoraks, yang terjadi setelah luka ledakan dan bahkan
cedera sederhana akibat batuk atau bersin.

2. Efusi pleura
a. Pengertian efusi pleura
Efusi pleura adalah penumpukan cairan di rongga pleura. Rongga ini
terletak di antara lapisan pleura yang membungkus paru-paru dengan
lapisan pleura yang menempel di dinding dalam rongga dada.
Pada kondisi normal, ada sekitar 10 ml cairan di rongga pleura. Cairan ini
berfungsi sebagai pelumas, agar paru-paru bergerak dengan lancar ketika
bernapas. Namun, pada efusi pleura, jumlah cairan tersebut bisa menumpuk
karena terlalu banyak atau malah hanya sedikit cairan yang keluar dari rongga
pleura

b. Gejala efusi pleura


Efusi Pleura Transudatif
Efusi pleura transudatif merupakan efusi pleura yang berjenis efusi transudate.
Efusi pleura transudatif dapat dibebakan berbagai faktor antara lain disebabkan
oleh gagal jantung kongestif, emboli pada paru, sirosis hati atau yang merupakan
penyakit pada intraabdominal, dialisis peritoneal, hipoalbuminemia, sindrom
nefrotik, glomerulonefritis akut, retensi garam maupun setelah pembedahan
jantung.
Efusi Pleura Eksudatif
Efusi pleura eksudatif merupakan jenis cairan eksudat yang terjadi akibat adanya
peradangan atau proses infiltrasi pada pleura maupun jaringan yang berdekatan
dengan pleura. Selain itu adanya kerusakan pada dinding kapiler juga dapat
mengakibatkan terbentuknya cairan yang mengandung banyak protein keluar dari
pembuluh darah dan berkumpul pada rongga pleura. Penyebab efusi pleura
eksudatif juga bisa di sebabkan oleh adanya bendungan pada pembuluh
limfe.Penyebab lainnya dari efusi pleura eksudatif yaitu adanya neoplasma,
infeksi, penyakit jaringan ikat, penyakit intraabdominal dan imunologik.
Efusi pleura hemoragis
Efusi pleura hemoragis merupakan efusi pleura yang di sebakan oleh trauma,
tumor, infark paru maupun tuberkolosis
Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk
Penyebab efusi pleura dari lokasi terbentuknya dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu unilateral dan bilateral. Jenis efusi pleura unilateral tidak ada kaitannya
dengan penyebab penyakit tetapi efusi pleura bilateral dapat ditemukan pada
penyakit-penyakit berikut seperti gagal jantung kongestif, sindroma nefrotik,
asites, infark paru, tumer dan tuberkolosis.

c. Patofisiologi efusi pleura


Letak dari pleura viseralis dan pleura perietalis saling berhadapan dan hanya
dipisahkan oleh selaput tipis cairan serosa, lapisan cairan ini memperlihatkan
adanya keseimbangan antara transudasi dan kapiler-kapiler pleura dan rearbsorbsi
oleh vena viscelar dan parietal dan juga saluran getah bening.
Karena efusi pleura merupakan pengumpulan cairan yang berada pada rongga
pleura dalam jumlah yang berlebih di dalam rongga pleura viseralis dan parietalis,
sehingga masalah tersebut dapat menyebabkan ekspansi dari paru dan
menyebabkan pasien bernapas dengan cepat (takipnea) agar oksigen dapat
diperoleh secara maksimal. Dari masalah tersebut maka klien mengalami
gangguan dalam keefektifan pola pernapasannya. Ketidakefektifan pola napas
merupakan suatu kondisi dimana pasien mengalami penurunan dalam ventilasi
yang actual atau potensial yang disebabkan oleh perubahan pola napas. Umumnya
kasus ini di tegakkan pada diagnosa hiperventilasi.

3. TB Paru
a. Pengertian Tb Paru
Tuberkulosis atau TB adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut dapat masuk ke dalam paru-
paru dan mengakibatkan pengidapnya mengalami sesak napas disertai batuk
kronis

4. WSD
a. Pengertian WSD
WSD (water seal drainage) adalah tindakan invasif yang dilakukan untuk
mengeluarkan udara, cairan (darah,pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan
mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.

b. Indikasi pemasangan WSD

 Pneumothoraks :

 Spontan > 20% oleh karena rupture bleb


 Luka tusuk tembus
 Klem dada yang terlalu lama
 Kerusakan selang dada pada sistem drainase

b. Hemothoraks :

 Robekan pleura
 Kelebihan antikoagulan
 Pasca bedah thoraks

c. Thoracotomy :

 Lobectomy
 Pneumectomy

d. Efusi pleura : Post operasi jantung


e. Empiema :

 Penyakit paru serius


 Kondisi inflamasi

c. Kontra indikasi pemasangan WSD


d. Infeksi pada tempat pemasangan
e. b. Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol
1) infeksi pada tempat pemasangan
2) gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol
f. Tujuan pemasangan WSD

Mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan rongga thorak

Mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura

Mengembangkan kembali paru yang kolaps

Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada

5. ETT
a. Pengertian ETT
Pemasangan Endotracheal Tube (ETT) atau intubasi adalah memasukkan pipa
jalan nafas buatan ke dalam trachea melalui mulut. Tindakan intubasi baru dapat
dilakukan bila : cara lain untuk membebaskan jalan nafas (airway) gagal, perlu
memberikan nafas buatan dalam jangka panjang, ada resiko besar terjadi aspirasi
baru.

b. Indikasi pemasangan ETT


Untuk mencegah terjadinya aspirasi. Perburukan dengan ancaman gagal
napas: perdarahan intrakranial, syok sepsis, trauma kepala, cedera
servikal. Gangguan ventilasi.

c. Kontra indikasi pemasangan ETT

Obstruksi jalan napas total, Kelainan pada supraglotis atau glottis, Trauma laring,
Transeksi jalan napas, Deformitas wajah atau orofaring.

6. Warna Cairan
Cairan pleura secara maksroskopik diperiksa warna, turbiditas, dan bau dari
cairannya.
Efusi pleura transudate cairannya biasanya jernih, transparan, berawarna kuning
jerami dan tidak memiliki bau. Sedangakan cairan dari pleura yang menyerupai susu
bisanya mengandung kilus (kilotoraks).
Cairan pleura yang berbau busuk dan mengandung nanah biasanya disebabkan oleh
bakteri anaerob.
Cairan yang berwarna kemerahan biasanya mengandung darah, sedangkan jika
berwarna coklat biasanya di sebabkan oleh amebiasis. Sel darah putih dalam jumlah
banyak dan adanya peningkatan dari kolesterol atau trigliserida akan menyebabkan
cairan pleura berubah menjadi keruh (turbid). Setelah dilakukan proses sentrifugasi,
supernatant empiema menjadi jernih dan berubah menjadi warna kuning,
sedangkan jika efusi disebabkan oleh kilotoraks warnanya tidak akan berubah tetap
seperti berawan.
Sedangkan jika dilakukan sentripugasi. Penambahan 1 mL darah pada sejumlah
volume cairan pleura sudah cukup untuk menyababkan perubahan pada warna cairan
menjadi kemerahan yang di sebabkan darah tersebut mengandung 5000-10.000 sel
eritrosit.

7. Hubungan Kilothorax dengan Efusi Pleura


Kilothorax merupakan efusi pleura yang disebabkan oleh ekstravasasi cairan limfe
kedalam rongga pleura dengan penyumbatan/injuri pada saluran getah bening utama
di dada (Duktus Thoraksikus).
Sekitar 2-3% dari semua kumpulan cairan di sekitar paru-paru (efusi pleura) adalah
kilotoraks

8. Hubungan efusi pleura dengan TB Paru


Penyakit tuberculosis atau TBC merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
bakteri mycobacterium tuberculosis yang seringnya menyerang bagian tubuh paru-
paru. Pada beberapa kondisi, TBC di paru dapat mengalami komplikasi yang
menyebabkan terjadinya penumpukan cairan di selaput paru yang disebut dengan
efusi pleura. 

9. Askep Kasus 2
a. Keluhan utama
Klien mengatakan Sesak
b. Riwayat kesehatan
Tgl 20 Juni 2019 pkl 10.00 pasien datang ke IGD dengan kondisi dispneu, gelisah,
sianosis, PCH (+), upaya napas kuat, batuk berdahak dan tampak cape apabila
batuk, bernapas menggunakan otot2 pernapasan tambahan. Pasien lebih banyak
posisi duduk tegak tetapi kemudian mencari posisi lain sehingga tampak tidak
nyaman.

PQRST saat dilakukan pengkajian


Pada saat pasien baru masuk dengan kesadaran delirium kemudian dipasang ETT dan
ventilator mode CMV, 12 x/menit, TV 500, PEEP, TTV TD 90/70 mmHg, HR 105
x/mnt, EKG sinus rithm,

c. Pemfis
pengembangan dada tidak penuh pada kedua sisi, terdengar dulness saat perkusi
kiri dan kanan, tidak terdengar suara aliran napas pada kedua sisi lapang paru.
TD: mmHg, 100/80 N: 110x/menit, R:38 x/menit. Dipasang O2 NRM 12
liter/menit saturasi O2 90%
Hasil ronsen menunjukkan effusi pleura bilateral dan terlihat masa pada
mediastinum kiri.

pemeriksaan lab liat di kasus

Diagnosa keperawatan
a. Pertukaran gas b.d Tb Paru d.d dipsnea. PCO2 meningkat, PO2 Menurun, PH
menurun, ada pernapasan cuping hidung, Kesadaran menurun, gelisah
b. Pola napas tidak efektif b/d hambatan upaya nafas ditandai dengan tampak pasien
menggunakan otot otot pernafasan tambahan

Ds :
- pasien mengeluh sesak
- pasien tidak bisa tidur karena sesak
-pasien mengeluh nyeri saat inspirasi
Do :
- pasien tampak menggunakan otot bantu pernafasan
- dipsneu
- gelisah
- tampak cape
- respirasi 38x permenit
10. Intervensi
Manajemen Respirasi

KASUS 3 (Cushing Sindrom)

1. Sindrom cushing
a. Pengertian sindrom cushing
Cushing Syndrome merupakan suatu kumpulan tanda dan gejala klinis yang
disebabkan oleh meningkatnya kadar hormon glukokortikoid darah
(hiperkortisolisme) dalam waktu yang lama.
Sindrom cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolic
gabungan dari peningkatan kadar glukokortikoid dalam darah yang tinggi ini dapat
terjadi secara spontan atau karna pemberian dosis farmakologi senyawa-senyawa
glukokortikoid.
b. Gejala
Kelebihan glukokortikoid dapat menyebabkan keadaan seperti dibawah ini :
Mempunyai efek katabolic pada protein, menyebabkan menurunnya kemampuan sel-
sel pembentuk protein untuk mensintesis protein, sebagai akibatnya terjadi kehilangan
protein pada jaringan seperti kulit, otot, pembuluh darah dan tulang.
- Sel kulit  kulit menjadi rapuh
- Di pembuluh darah  pembuluh darah menjadi rapuh, gampang memar
- Tulang  osteoporosis
- Sel lemak  peningkatan enzim limpofisis ( fungsinya untuk meningkatkan
kolesterol dan lipid)
- Sel hepar  meningkatkan enzim klugoneogenesis (fungsinya untuk pembentukan
gukosa) akan menyebabkan dm
c. Etiologi
Disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik
(lastrogen) atau oleh sekresi kortisol yang berlebihan pada gangguan pada gangguan
aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (spontan) pada sindrom cushing spontan,
hiperfungsi korteks adrenal terjadi akibat rangsangan berlebih oleh ACTH atau sebab
patologi adrenal yang mengakibatkan produksi kortisol abnormal.
d. Patofisiologi
Keadaan hiperglukokortikoid pada sindrom Cushing menyebabkan katabolisme
protein yang berlebihan sehingga tubuh kekurangan protein. Kulit dan jaringan
subkutan menjadi tipis, pembuluh-pembuluh darah menjadi rapuh sehingga tampak
sebagai stria berwarna ungu di daerah abdomen, paha, bokong, dan lengan atas. Otot-
otot menjadi lemah dan sukar berkembang, mudah memar, luka sukar sembuh, serta
rambut tipis dan kering. Keadaan hiperglukokortikoid di dalam hati akan
meningkatkan enzim glukoneogenesis dan aminotransferase. Asam-asam amino yang
dihasilkan dari katabolisme protein diubah menjadi glukosa dan menyebabkan
hiperglikemia serta penurunan pemakaian glukosa perifer, sehingga bisa
menyebabkan diabetes yang resisten terhadap insulin. Pengaruh hiperglukokortikoid
terhadap sel-sel lemak adalah meningkatkan enzim lipolisis sehingga terjadi
hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia. Pada sindrom Cushing ini terjadi redistribusi
lemak yang khas. Gejala yang bisa dijumpai adalah obesitas dengan redistribusi
lemak sentripetal. Lemak terkumpul di dalam dinding abdomen, punggung bagian
atas yang membentuk buffalo hump, dan wajah sehingga tampak bulat seperti bulan
dengan dagu ganda. Pengaruh hiperglukokortikoid terhadap tulang menyebabkan
peningkatan resorpsi matriks protein, penurunan absorbsi kalsium dari usus, dan
peningkatan ekskresi kalsium dari ginjal. Akibat hal tersebut terjadi hipokalsemia,
osteomalasia, dan retardasi pertumbuhan. Peningkatan ekskresi kalsium dari ginjal
bisa menyebabkan urolitiasis. Pada keadaan hiperglukokortikoid bisa timbul
hipertensi, namun penyebabnya belum diketahui dengan jelas. Hipertensi dapat
disebabkan oleh peningkatan sekresi angiotensinogen akibat kerja langsung
glukokortikoid pada arteriol atau akibat kerja glukokortikoid yang mirip
mineralokortikoid sehingga menyebabkan peningkatan retensi air dan natrium, serta
ekskresi kalium. Retensi air ini juga akan menyebabkan wajah yang bulat menjadi
tampak pletorik. Keadaan hiperglukokortikoid juga dapat menimbulkan gangguan
emosi, insomnia, dan euforia. Pada sindrom Cushing, hipersekresi glukokortikoid
sering disertai oleh peningkatan sekresi androgen adrenal sehingga bisa ditemukan
gejala dan tanda klinis hipersekresi androgen seperti hirsutisme, pubertas prekoks,
dan timbulnya jerawat.
2. Psoriasis vulgaris
a. Pengertian
 Psoriasis vulgaris adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang ditandai dengan plak
merah berbatas tegas tertutup skuama tebal sebagai akibat dari gangguan proliferasi
dan diferensiasi epidermis. 
b. Gejala
Psoriasis menimbulkan dampak psikososial yang besar dan mengurangi kualitas hidup
penderitanya. Kulit dengan lesi psoriasis akan tampak kering dan mengelupas akibat
percepatan proliferasi keratinosit, serta dapat meluas ke seluruh tubuh hingga membentuk
eritroderma psoriatika. Psoriasis saat ini diketahui memiliki kaitan erat dengan komorbiditas
seperti psoriasis artritis, obesitas, penyakit kardiovaskular, non-alcoholic liver disease,
sindrom metabolik, dan inflammatory bowel disease yang dapat memperburuk kualitas
hidup dan menurunkan angka harapan hidup pasien.
c. Etiologi
Penyebab psoriasis hingga saat ini belum diketahui dengan pasti, namun pemeriksaan
genom manusia menunjukkan sembilan lokus berbeda dengan kerentanan terhadap
psoriasis (PSORS 1-9), yang merupakan bagian major histocompatibility complex (MHC) di
kromosom 6p2. Genom ini merupakan penentu utama pada 50% psoriasis dengan
kerentanan genetik.4 Mekanisme peradangan kulit pada psoriasis cukup kompleks dan
melibatkan berbagai sitokin, kemokin, dan faktor pertumbuhan yang mengakibatkan
gangguan regulasi keratinosit, sel radang, dan pembuluh darah sehingga lesi tampak
menebal dengan skuama tebal berlapis.1,2 Sel T diketahui berperan penting dalam
patogenesis lesi kulit psoriasis. Aktivasi sel T dalam pembuluh limfe terjadi setelah antigen
presenting cell (APC) mempresentasikan antigen tersangka melalui major histocompatibility
complex (MHC) dan diikat oleh sel T naif.1,2 Pengikatan sel T terhadap antigen selain
melalui reseptor sel T, dilakukan pula oleh ligan dan reseptor tambahan yang dikenal
sebagai kostimulasi. Setelah teraktivasi, sel T berproliferasi menjadi sel T efektor dan sel T
memori yang kemudian masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan bermigrasi ke kulit.1,2 Sel
CD4+ merupakan subset sel T di dermis yang terpolarisasi oleh T helper 1 (Th1), sementara
CD8+ di epidermis terpolarisasi oleh T sitotoksik (Tc1) sehingga pada lesi psoriasis
ditemukan banyak sitokin. Subset lain dari CD4+ adalah IL-17 (Th17) dan IL-22 (Th22) yang
berperan mempertahankan inflamasi kronik pada psoriasis.1,2 Memahami jalur
imunopatogenik psoriasis pada tahap selular dan molekular penting untuk menentukan
pemilihan terapi psoriasis, khususnya penggunaan bahan biologik yang bekerja secara
spesifik pada limfosit T dan sitokin TNFa, IL-12, IL-23, dan IL-17A.
3. Terapi glukokortiroid
a. Pengertian terapi
b. Indikasi pemberian terapi
c. Kontrindikasi
4. Loading cairan
a. Pengertian
Loading cairan atau pengisian kembali cairan tubuh biasa dilakukan pada pasien dengan
kekurangan cairan maupun pasien dengan gangguan hemodinamik tubuh.
Pemilihan cairan resusitasi yang ideal adalah cairan yang dapat membawa atau
mentransport oksigen ke jaringan,bertahan di ruangan intravaskular beberapa jam,
memiliki komposisi yang serupa dengan cairan ekstraseluler, isi dari cairan mudah di
metabolisme dan diekskresikan, steril, tidak toksik, dan biaya yang terjangkau. Namun,
cairan resusitasi yang ideal tersebut tidak ada. Sehingga pemilihan cairan resusitasi
tergantung dari  keadaan dan kondisi pasien
5. Moon face
a. Pengertian Moon face
Moon Face adalah istilah untuk pembengkakan di wajah yang membuatnya menjadi lebih
bulat. Seseorang yang alami moon face memiliki gejala berupa wajah yang secara
bertahap membulat, membesar, atau membengkak. Sisi wajah menjadi sangat bulat
seperti adanya penumpukan lemak, sehingga telinga tidak dapat dilihat dari bagian depan
wajah. Akhirnya, wajah terlihat layaknya bulan.
b. Penyebab Moon face disebabkan oleh
 Sindrom cushing

tubuh memproduksi terlalu banyak kortisol yang merupakan hormon terkait stres. Kortisol
mampu memengaruhi tekanan darah dan glukosa di dalam darah, sehingga menimbulkan
peradangan.

 Pengobatan Steroid

Seseorang yang mengonsumsi obat steroid dapat menyebabkan penambahan berat badan,
termasuk di wajah. Hal ini dapat membuat wajah seseorang terlihat bengkak dan membulat, atau
alami moon face.

 Penambahan berat badan

6. Obesitas sentral
a. Pengertian Obesitas sentral
Obesitas sentral atau abdominal obesity adalah penumpukan lemak yang berpusat di
bagian perut. Pemilik abdominal obesity memiliki dua jenis lemak yang mengumpul
di perut, yaitu lemak subkutan dan lemak viseral.

Lemak subkutan adalah lemak yang terletak tepat di bawah kulit. Ciri-ciri lemak ini sama
dengan lemak yang ditemukan pada bagian tubuh lainnya.
Penumpukan lemak di perut umumnya terjadi akibat asupan kalori yang lebih besar
daripada kalori yang digunakan untuk beraktivitas.

Sementara itu, lemak viseral adalah lemak yang terletak di bagian organ dalam. Lemak
inilah yang berbeda dengan jenis lemak lainnya. Lemak viseral ini lebih berbahaya
daripada lemak subkutan. Pasalnya, sel-sel lemak viseral ini nantinya melepaskan asam
lemak bebas ke daerah vena portal, yaitu pembuluh darah dari usus ke liver.

Akibatnya, sel-sel lemak viseral membesar, kadar lemak di dalam darah atau trigliserida
naik, serta asam lemak masuk ke liver.Tidak hanya itu, asam lemak pun ikut masuk ke
pankreas, jantung, dan organ-organ lainnya.Akibatnya, berbagai organ mengalami
disfungsi yang berdampak pada kenaikan gula darah, resistensi insulin, kadar kolesterol
naik, dan masalah jantung.

7. Kuku psoriatik
a. Pengertian Penyakit psoriasis merupakan gangguan autoimun yang menyebabkan
sistem kekebalan menjadi terlalu aktif. Perubahan sistem kekebalan ini memicu sel-
sel kulit untuk tumbuh lebih cepat dari biasanya.
Psoriasis sebenarnya penyakit kulit yang bisa menyerang bagian tubuh mana pun, tapi
setengah dari pengidapnya mengalami gejala di kuku.

b. Gejala psoriasis kuku :


 Terjadi pada daerah kuku yang cedera
 Kuku berlekuk
Psoriasis menunjukkan pola kuku yang menguning yang membuat lubang yang semakin
dalam. Kuku mungkin mulai terlihat agak kering, kemudian muncul tonjolan yang
akhirnya membentuk celah yang dalam atau bahkan lubang

 Kuku terlepas
Psoriasis kuku cenderung menyebabkan kuku terlepas dari dasar kuku. Kuku mungkin
jatuh sepenuhnya atau hanya putus sebagian. Sebelum kuku jatuh, celah biasanya
terbentuk di antara kuku dan ujung jari

 Perubahan warna dan struktur


Keratin merupakan protein yang membantu membentuk kulit dan kuku. Psoriasis kuku
terkadang menyebabkan terlalu banyak keratin tumbuh di bawah kuku. Ini disebut
hiperkeratosis subungual.

8. tapering down
a. pengertian
Tapering off atau lebih sering disebut dose tapering off merupakan penurunan
dosis obat tertentu ketika obat hendak dihentikan penggunaannya. Tujuan
dilakukannya tapering off adalah agar tubuh kita tidak mengalami gangguan
akibat penghentian obat yang bersifat tiba-tiba. 
9. Hubungan Cushing Sindrom dengan pengobatan kortikosteroid
a. Kenapa pasien dengan kelebihan steroid harus diberikan terapi kortikosteroid lagi
10. Kesadaran pasien
11. Obat-obatan
a. Suplementasi glukokortikoid
Glukokortikoid (bahasa Inggris: Glucocorticoids, GC) adalah golongan hormon steroid yang

memberikan pengaruh terhadap metabolisme nutrisi.

b. Hidrokortison
Hydrocortisone adalah obat yang digunakan untuk meredakan peradangan,
mengurangi reaksi sistem kekebalan tubuh yang berlebihan, dan mengatasi
kekurangan hormon kortisol.
Hydrocortisone merupakan obat golongan kortikosteroid. Obat ini bekerja dengan
menurunkan respons sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan peradangan
berlebih. Dengan begitu, gejala dan keluhan yang terjadi, termasuk nyeri dan
pembengkakan, bisa berkurang.

c. Metilpredisolon
Methylpredisolon adalah golongan obat glukokortikoid yang mempunyai efek kerja
dengan cara mengikat dan mengaktifkan reseptor glukokortikoid intraseluller,
reseptopr glukokortikoid yang diaktifkan berikatan dengan daerah Promotor DNA
(yang dapat mengaktifkan atau menekan transkripsi) dan mengaktifkan factor
transkripsi yang mengakibatkan inaktivasi gen melalui deasitelasi histon.
Obat digunakan pada pasien yang mengalami peradangan atau inflamasi
Rangkuman pertanyan dari ibu dibawah ini :
1. Penghasil hormone kortisol
Kelenjar adrenal
2. Hormon/ kelenjar lain yang menghasilkan kortisol
Kelenjar hipofisis anterior, akan mengeluarkan hormon ACTH, hormone ACTH akan
mempengaruhi korteks adrenal dengan mempegaruhi kortisol.
3. Fungsi utama kortisol
Sebagai katabolisme dari karbohidrat atau protein, memecah karbohidrat atau protein.
Bekerjanya hormon bekerjanya di semua sel
Jika kelebihan hormone kortisol akan menyebabkan :
- Sel kulit  kulit menjadi rapuh
- Di pembuluh darah  pembuluh darah menjadi rapuh, gampang memar
- Tulang  osteoporosis
- Sel lemak  peningkatan enzim limpofisis ( fungsinya untuk meningkatkan
kolesterol dan lipid)
- Sel hepar  meningkatkan enzim klugoneogenesis (fungsinya untuk pembentukan
gukosa) akan menyebabkan dm
4. Apa indikasi pasien ini dirawat di ICU
- Hemodinak tidak stabil
Tekanan Darahnya turun  80/60 mmHg
Nadinya cepat  120 x /menit
Respirasi cepat  26 x / menit
- Penurunan kesadaran  pasien gelisah
- Pneumonie yang menyebabkan hemodinamik tidak stabil/ sepsis ( infeksi sistemik)
5. Pasien juga diberikan suplementasi glukokortikoid dengan hidrokortison dengan dosis
harian 400 mg dibagi dalam 4 dosis selama 2 hari sebelum kemudian dilakukan tapering
down.  Kenapa pasien di kasih terapi glikokortikoid sedangkan jumah kortisol
pasien sudah berlebih ?
Karena pasien sudah lama mengkonsumsi glikokortikoid dari 2014 – sekarang, lalu
pengobatannya dihentikan sejak 3 minggu yang lalu secara langsung berhenti, maka
dilihat di hasil lab hasil kortisolnya rendah (0,3), bisajadi pasien mengalami insusiasi
adrenal, adrenalnya mengalami kerusakan karena mengkonsumsi kortisol secara terus-
terusan.
6. Apa yang menyebabkan pasien tekanan darahnya menjadi drop, yang tadinya
darahnya tinggi menjadi rendah ?
Pemberhentian obat secara tiba-tiba
7. Apakah jamu jamuan ada pengaruhnya terhadap pasien cushing sindrom ?
Karena produsen jamu itu suka menambahkan steroid di dlm kandungan jamunya, jika
dikonsumsi terus-menerus, kadar kortisol akan menumpuk, bisajadi cushing sindrom
muncul setelah mengkonsumsi jamu secara terus-menerus.
8. Kenapa pasien mengalami gelisah/penurunan kesadaran ?
Karena TD rendah  80/60 mmHg (Oksigen ke otak berkurang maka kesadaran pun
akan menurun )
9. Diagnosa
- Intoleransi aktivitas  Penurunan kesadaran, TD rendah 80/60 mmHg
- Gangguan integritas kulit  pasien kekurangan cairan, kulitnya mengelupas/kulit
kemerahan
- Gangguan pertukaran gas (dx utama)  PCO3 meningkat, PH menurun (7,2) asidosis
repiratorik, HCO2 menurun, dipsnea (sesak)
Ventilasi (proses masuknya udara)
Difusi (pertukaran gas) yang terganggu difusinya karena mengalami pneumonia
- Ketidakstabilan kadar gula darah  hasil GDS tinggi, hasil lab glukosanya naik
- Gangguan citra tubuh  ada moonface, psoriasis vulgaris, obesitas sentral, kulit
merah merah
10. Intervensi
- Gangguan citra tubuh  menjelaskan kpd pasien agar lebih mencintai diri sendiri
- Gangguan integritas kulit  observasi dan inspeksi kulit yang mengalami gangguan

Anda mungkin juga menyukai