Anda di halaman 1dari 12

PROSES IMUNITAS

MATA KULIAH: PATOFISIOLOGI

DOSEN PEMBIMBING: NS. NORA HAYANI, M.Kep

DI SUSUN:

Muhammad Syahrul (P00320221048)

POLTEKKES KEMENKES ACEH PRODI KEPERAWATAN LANGSA


TAHUN 2022
PROSES IMUNITAS
 APA ITU IMUNITAS?
imunitas merupakan sistem pertahanan atau kekebalan tubuh yang memiliki peran dalam
mengenali dan menghancurkan benda-benda asing atau sel abnormal yang merugikan tubuh
kita.

 MACAM-MACAM IMUNITAS
Sistem imunitas kita terbagi menjadi tiga jenis: Imunitas alami (innate), buatan (adaptive),
dan imunitas pasif

Sistem Imunitas Nonspesifik

Sistem imunitas nonspesifik seringkali disebut juga sebagai pertahanan tubuh bawaan.
Disebut pertahanan tubuh bawaan karena sistem imunitas nonspesifik ini merupakan garis
utama tubuh yang pertama dalam melawan semua patogen yang masuk ke tubuh kita. Sistem
pertahanan tubuh bawaan ini berfungsi untuk mencegah terjadinya peradangan setelah adanya
luka atau infeksi pada tubuh kita.

Terus kenapa disebut sebagai sistem imunitas nonspesifik? Itu karena sistem
pertahanan pertama tubuh kita ini tidak bisa membedakan patogen yang masuk ke tubuh kita.
Semua patogen yang terdeteksi oleh sistem imunitas lapis pertama ini akan dianggap sebagai
benda asing yang berpotensi mengganggu tubuh kita. Anggota sistem imunitas nonspesifik
tubuh kita ini ada kulit, membran mukosa, sel-sel fagosit, protein antimikroba, dan inflamasi.

Kulit merupakan garis pertahanan pertama tubuh kita karena susunan sel
epidermisnya yang sangat rapat, sehingga menyulitkan patogen masuk ke tubuh kita. Kalau
patogen berhasil menembus kulit, kita memiliki membran mukosa, sel-sel fagosit, protein
antimikroba, dan inflamasi sebagai garis pertahanan kedua tubuh kita. Mereka berperan
sebagai pertahanan kimiawi dan mekanis. Mereka akan mengeluarkan bahan kimia dan, kalau
diperlukan, mereka juga bisa memakan patogen yang masuk ke tubuh kita. Kalau kulit kita
gatal, bentol-bentol, bengkak, memerah, dan demam, itu merupakan tanda bahwa sedang
terjadi perang antara patogen dengan sistem imunitas nonspesifik dalam tubuh kita, temen-
temen. Sistem imunitas kita sedang berperang melawan patogen yang berhasil masuk ke
tubuh kita.

Sistem Imunitas Spesifik

Kalau patogennya ternyata kuat banget dan berhasil menembus pertahanan kedua
tubuh kita, patogen ini harus melewati garis pertahanan ketiga tubuh kita, yaitu sistem
imunitas spesifik. Anggota sistem imunitas spesifik ini terdiri dari sel limfosit B, limfosit T,
makrofag, dan juga antibodi. Mereka ini akan beredar di seluruh tubuh kita untuk mengatasi
patogen-patogen yang berhasil masuk ke tubuh kita, temen-temen. Mereka udah kayak
tentara yang patroli dan siap berperang di dalam tubuh kita.

Masing-masing sel yang disebutkan tadi itu punya lawannya sendiri, sesuai dengan
jenis patogen yang masuk ke tubuh kita. Meskipun patogen dan antigen yang masuk ke tubuh
kita beragam bentuknya, sistem imunitas spesifik dalam tubuh kita bisa langsung mengenali
dan menghancurkan patogen dan antigen tersebut sampai habis tak bersisa. Uniknya lagi,
sistem imunitas spesifik ini punya ingatan yang tajam, temen-temen.
Sistem imunitas spesifik bisa mengingat patogen dan antigen yang pernah masuk ke
tubuh kita dan mereka ingat bagaimana cara mengalahkan patogen dan antigen ini sepanjang
hidup kita. Jadi, saat patogen dan antigen kalah di serangan pertama dan melakukan serangan
kedua, maka respon dari sistem pertahanan imunitas spesifik ini akan menjadi lebih cepat. Ini
terjadi karena sel-sel dalam tubuh kita sudah tahu bagaimana taktik membunuh patogen dan
antigen tadi.
Misalnya, kalau kita pernah terserang cacar air dan sembuh, terus virus cacar mau menyerang
tubuh kita lagi untuk yang kedua kalinya, sistem imunitas spesifik dalam tubuh kita udah tau
gimana caranya ngalahin si virus cacar air tadi. Jadi kita gak bakalan, tuh, kena cacar air lagi
karena virusnya udah dibunuh duluan sebelum gejala cacarnya muncul. Ingatan yang kuat ini
kemudian dimanfaatin sama ilmuan buat bikin imunisasi yang berguna untuk meningkatkan
kekebalan tubuh kita. Imunisasi ini juga sering disebut sebagai peningkatan kekebalan tubuh
buatan.

Antibiotik
Namun, kita mesti inget juga, temen-temen, sekuat apapun imunitas kita, tidak semua
patogen dan antigen dapat ditaklukkan oleh sistem imunitas tubuh kita. Inilah yang membuat
kita bisa sakit berkepanjangan atau bahkan meninggal. Oleh karena itu, terkadang sistem
imunitas tubuh kita membutuhkan bantuan untuk melawan patogen dan antigen yang kuat
tersebut.

Salah satu bentuk bantuan tersebut bernama antibiotik. Antibiotik ini digunakan oleh
tubuh kita sebagai bala tentara bantuan untuk melawan patogen dan antigen, khususnya yang
berjenis bakteri. Saat kita sakit dan Dokter ngasih kita antibiotik, kita mesti menghabiskan
antibiotik tersebut, ya, temen-temen. Ini penting supaya bakteri yang masuk ke tubuh kita
pada mati. Kalau tidak dihabiskan, bakteri bisa bermutasi, yang membuat dia menjadi
semakin kuat. Jadi bukan cuma sistem imunitas kita aja yang punya strategi perang, tapi
patogen juga punya strategi perang dengan memutasikan diri. Nah, kalau patogennya udah
bermutasi, dia akan jadi lebih kuat dan sistem imunitas tubuh kita bakalan kalah. 

Kalau patogen sudah bermutasi, patogen bisa menyerang berbagai spesies makhluk
hidup, temen-temen. Dia bisa berpindah-pindah dari manusia ke hewan atau sebaliknya.
Contohnya kayak virus flu burung. Patogen yang tadinya cuma menyerang unggas, tapi
karena udah bermutasi, jadi bisa menyerang manusia juga.

 IDP (IMONODEFISIENSI)
Umumnya IDP dicurigai pertama kali oleh karena adanya infeksi. Adanya IDP dapat
dipikirkan pada anak-anak ataupun orang dewasa yang mengalami infeksi yang tidak lazim,
berat atau persisten atau oleh kuman yang tidak biasa. Tipe infeksi yang timbul dapat menjadi
petunjuk tipe IDP yang mana yang diderita.
IDP juga dapat mengakibatkan tubuh menyerang dirinya sendiri- hal ini disebut autoimun.
Hal ini mengakibatkan berbagai gejala seperti nyeri atau pembengkakaan pada sendi (artritis),
ruam kulit dan kurangnya sel darah merah (anemia). Beberapa penyakit IDP berat
mengakibatkan timbulnya gejala yang berat yang segera terlaihat setelah lahir. Misalnya
sindrom DiGeorge komplit dapat mengakibatkan malformasi muka, penyakit jantung dan
masalah dengan sistem saraf yang timbul setelah
lahir. Riwayat keluarga dengan penyakit IDP atau gejala seperti penyakit IDP dan
pemeriksaan darah rutin dapat memberikan informasi yang berguna.
Berdasarkan temuan ini, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap sistem imun (lihat
gambar). Pemeriksaan ini dilakukan secara bertahap, pertama untuk menyingkirkan adanya
penyakit IDP yang paling berbahaya misalnya severe combined immunodeficiency (SCID).
Pemeriksaan yang paling penting adalah:
• Pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL) dengan hitung jenis leukosit
• Pemeriksaan kadar imunoglobulin

PEMERIKSAAN SEL DARAH


PEMERIKSAAN SEL DARAH PERIFER LENGKAP (DPL)
Darah normal mengandung berbagai macam sel, sebagian besar berperan dalam sistem imun.
Pemeriksaan DPL menunjukkan seberapa banyak setiap jenis
sel pada sampel darah pasien. Terutama untuk diagnosis IDP, perlu dilakukan pemeriksaan
hitung jenis dari berbagai macam tipe sel darah putih (leukosit) yang ada pada darah. Hasil
DPL dibandingkan dengan nilai rujukan yang ditemukan pada orang sehat.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh semua dokter dan merupakan pemeriksaan yang krusial
karena dapat menunjukkan defek berat yang bisa ditimbulkan oleh penyakit IDP. Sebagai
contoh, pasien dengan SCID, yang merupakan IDP yang paling berat, biasanya memiliki
kadar sel T yang rendah. SCID merupakan kegawatan medis karena bayi dengan penyakit ini
berisiko tinggi untuk mengalami infeksi yang mengancam jiwa. Diagnosis dan tatalaksana
dini penting untuk meningkatkan kemungkinan pasien untuk bertahan hidup. The
International
Patient Organisation for Primary Immunodeficiencies (IPOPI) mempelopori adanya
pemeriksaan skrining rutin untuk SCID pada bayi baru lahir di Eropa. Ataxia telangiectasia
merupakan IDP yang berhubungan dengan adanya penurunan kadar sel T, walaupun pada
kelainan ini terdapat penurunan progresif pada sel T sejalan dengan waktu.

PEMERIKSAAN SEL DARAH LAINNYA


Pemeriksaan subpopulasi dan proliferasi limfosit: Limfosit (sel T dan sel B) terbagi
menjadi berbagai subpopulasi; seperti sel T helper (dikenal sebagai sel CD4) dan sel T
sitotoksik (CD8). Pemeriksaan jumlah berbagai sel limfosit dalam
darah dapat membantu mengidentifikasi penyakit IDP yang ada. Selain menghitung jumlah
sel limfosit, sangat penting untuk dilakukan pemeriksaan seberapa baik
sel-sel ini bekerja. Sebagai contoh, pemeriksaan tertentu dapat mengidentifikasi bagaimana
sel-sel ini memperbanyak diri (atau proliferasi) bila mereka dirangsang oleh zat kimia atau
antigen yang secara normal dapat menimbulkan respons imun.
Pemeriksaan fungsi granulosit: Neutrofil, eosinofil, basophil dan sel mast secara bersama
dikenal sebagai granulosit. Pada kondisi normal sel ini (terutama neutrofil) menghasilkan
hidrogen peroksida (terkadang disebut sebagai reactive oxygen) untuk membunuh bakteri dan
jamur. Jumlah hidrogen peroksida yang dihasilkan diukur dengan menggunakan pemeriksaan
laboratorium yang dikenal dengan
nama dihydrorhodamine (DHR) oxidative burst test. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
diagnostik penting untuk penyakit IDP seperti X-linked chronic granulomatous disease
(CGD). Pada penyakit ini jumlah neutrofil normal (atau meningkat) namun sel ini tidak
bekerja sebagaimana mestinya. Pemeriksaan yang lain yang digunakan untuk menilai
seberapa baik sel-sel ini berpindah ke agen yang menariknya (hal ini disebut kemotaksis) dan
seberapa efektif sel ini membunuh dan menelan bakteri.
Pemeriksaan maturasi sel B di sumsum tulang: Pemeriksaan ini digunakan untuk
mendiagnosis penyakit IDP yang dikenal dengan nama agammaglobulinemia seperti X-linked
agammaglobulinemia (XLA, yang juga dikenal sebagai penyakit Bruton). Kondisi ini
disebabkan oleh defek genetik yang menghambat sel limfosit
B untuk berkembang dengan baik. Pada kondisi normal, sel limfosit B yang matur
menghasilkan imunoglobulin. Pasien dengan penyakit ini memiliki kadar imunoglobulin
(lihat pemeriksaan imunoglobulin) serta sel B yang rendah.
Ekspresi protein sel: Pemeriksaan dapat mengenali defisiensi protein tertentu yang secara
normal ditemukan pada permukaan sel darah putih. Sebagai contoh, defisiensi CD40 dan
CD40L merupakan dua protein yang bersamaan membuat sel T merangsang respons imun
oleh sel B. Defisiensi CD40 dan CD40L merupakan penyakit IDP yang berat yang dikenal
dengan penyakit hiper-imunoglobulin M. Defek pada protein CD11 dan CD18 menyebabkan
adanya leukocyte adhesion deficiency (LAD).
Perubahan sel B memori: Sel B memori adalah kelompok sel B yang dapat
‘mengingat’ antigen yang sudah pernah dilawan sebelumnya. Jika dirangsang
oleh antigen tersebut lagi, sel limfosit B memori akan berubah untuk memproduksi antibodi
terhadap antigen tersebut. Pengukuran sel B tersebut dapat berguna untuk mengidentifikasi
penyakit common variable immunodeficiency disorders (CVID), sindrom hiperIgE dan
defisiensi CD40/CD40L.

PEMERIKSAAN IMUNOGLOBULIN
KADAR IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin (atau antibodi) merupakan protein yang membantu mengenali mikro-
organisme yang menginfeksi tubuh dan membantu sel imun untuk menghancurkan mikro-
organisme tersebut. Kebanyakan penyakit IDP menyebabkan tubuh menghasilkan
imunoglobulin yang sangat sedikit atau tidak sama sekali. Oleh karena itu pemeriksaan kadar
immunoglobulin G (IgG), A (IgA), E (IgE) dan M (IgM) merupakan pemeriksaan yang
penting dalam penegakkan diagnosis IDP.
Penyakit–penyakit IDP memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada imunoglobulin (lihat
tabel). Sebagai contoh, pasien XLA (penyakit Bruton) memiliki kadar yang rendah pada
semua kelas imunoglobulin. Pada penyakit defisiensi IgA selektif, sesuai dengan namanya,
hanya memiliki kadar IgA yang rendah. Pasien dengan defisiensi subklas IgG saja memiliki
kadar IgG yang normal namun terdapat penurunan kadar IgG pada salah satu atau lebih
subklas. – pemeriksaan subklas ini membantu dalam mendiagnosis kondisi ini.

RESPONS ANTIBODI TERHADAP VAKSIN


Vaksin diproduksi dengan menggunakan mikro-organisme yang dimatikan atau diinaktivasi
dengan menggunakan metode tertentu. Pada keadaan normal, vaksin dapat memicu produksi
antibodi terhadap mikro-organisme ini dan menyiapkan tubuh agar dapat melawan infeksi di
masa yang akan datang.

PROTEIN KOMPLEMEN

Komplemen merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan sekelompok protein


serum yang membunuh mikro-organisme dan membantu sel imun yang
lain. Suatu kelompok IDP yang disebut defisiensi komplemen terjadi karena adanya defek
pada sistem ini. Pemeriksaan khusus digunakan untuk mendeteksi defisiensi komplemen.
Pemeriksaan komplemen utama adalah pemeriksaan CH50. Pemeriksaan lain yang dikenal
dengan pemeriksaan AH50 mengukur tipe komplemen tertentu.

PEMERIKSAAN PENYAKIT LAIN


Penyakit lainnya dan obat-obatan dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan gejala
penyakit IDP. Pemeriksaan berikut dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyakit-penyakit
lainnya sebelum ditegakkan diagnosis penyakit IDP.
• Human immunodeficiency virus (HIV): virus HIV menyerang sistem imun dan hal ini dapat
mengakibatkan kondisi yang dikenal sebagai acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).
Pemeriksaan HIV merupakan pemeriksaan sederhana dan tersedia luas.
IDP merupakan kondisi genetik yang umumnya timbul saat lahir. Penyakit ini tidak ada
hubungannya dengan HIV/AIDS, yang diakibatkan oleh virus HIV, dan tidak dapat
ditularkan.

• Penyakit autoimun: gejala autoimun dapat disebabkan oleh berbagai kondisi dan oleh
karenanya pemeriksaan darah untuk menyingkirkan kondisi ni dapat dilakukan. Sebagai
contoh adanya rheumatoid factor pada pemeriksaan darah dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit rematoid.
• Skrining kanker: pemeriksaan dilakukan juga untuk melihat adanya kanker pada pasien
yang menunjukkan gejala IDP. Pemeriksan pencitraan dapat digunakan, misalnya magnetic
resonance imaging (MRI), atau positron emission tomography (PET) scan dari kelenjar
limfe.

PEMERIKSAAN GENETIK
Penyakit IDP diakibatkan adanya defek pada gen (bagian dari DNA) yang terlibat dalam
perkembangan dan bekerjanya sistem imun. Beberapa defek genetik
tertentu yang mengakibatkan penyakit IDP sudah diketahui. Hal ini termasuk SCID, CGD,
sindrom hiperIgE, WAS, XLA dan defek komplemen. Defek ini kebanyakan diwariskan dari
orang tua namun penyakit lain dapat timbul melalui defek mutasi genetik yang terjadi pada
saat kehamilan. Anamnesis terhadap riwayat keluarga yang baik dapat memberikan informasi
dalam penegakan diagnosis IDP.

 HIV/AIDS
a. Pengertian HIV/AIDS
HIV adalah sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.11 AIDS
adalah kependekan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired berarti didapat,
bukan keturunan. Immuno terkait dengan sistem kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti
kekurangan. Syndrome atau sindrom berarti penyakit dengan kumpulan gejala, bukan gejala
tertentu. Jadi AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem
kekebalan tubuh yang dibentuk setelah kita lahir.12
AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan

tubuh kita selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. 11 HIV (Human Immunodeficiency
Virus) merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah
putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS
(Acquired Immuno Deficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit akibat
turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIV. Ketika individu sudah tidak lagi
memiliki sistem kekebalan tubuh maka semua penyakit dapat dengan mudah masuk ke dalam
tubuh. Karena sistem kekebalan tubuhnya menjadi

sangat lemah, penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi sangat berbahaya.
Orang yang baru terpapar HIV belum tentu menderita AIDS. Hanya saja lama kelamaan
sistem kekebalan tubuhnya makin lama semakin lemah, sehingga semua penyakit dapat
masuk ke dalam tubuh. Pada tahapan itulah penderita disebut sudah terkena AIDS.
b. Penyebab HIV/AIDS

Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen,
dan sekret vagina. Setelah memasuki tubuh manusia, maka target utama HIV adalah limfosit
CD 4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini akan
mengubah informasi genetiknya ke dalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi
genetik dari sel yang diserangnya, yaitu merubah bentuk RNA (ribonucleic acid) menjadi
DNA (deoxyribonucleic acid) menggunakan enzim reverse transcriptase. DNA pro-virus
tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan
untuk membentuk gen virus. Setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri,
informasi genetik virus juga ikut diturunkan.
Cepat lamanya waktu seseorang yang terinfeksi HIV mengembangkan AIDS dapat
bervariasi antar individu. Dibiarkan tanpa pengobatan, mayoritas orang yang terinfeksi HIV
akan mengembangkan tanda-tanda penyakit terkait HIV dalam 5-10

tahun, meskipun ini bisa lebih pendek. Waktu antara mendapatkan HIV dan diagnosis AIDS
biasanya antara 10–15 tahun, tetapi terkadang lebih lama. Terapi antiretroviral (ART) dapat
memperlambat perkembangan penyakit dengan mencegah virus bereplikasi dan oleh karena
itu mengurangi jumlah virus dalam darah orang yang terinfeksi (dikenal sebagai 'viral load').

c. Tahapan perubahan HIV/AIDS

1) Fase 1

Umur infeksi 1-6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah t erpapar dan terinfeksi.
Tetapi ciri-ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah. Pada fase ini
antibodi terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan,
seperti flu (biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri).
2) Fase 2

Umur infeksi : 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini individu
sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada
orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu (biasanya 2-3 hari
dan sembuh sendiri).
3) Fase 3

Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit. Belum disebut sebagai gejala AIDS.
Gejala-gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu malam,
diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh-sembuh,
nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada
fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.
4) Fase 4

Sudah masuk pada fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan tubuh
sangat berkurang dilihat dari jumlah sel-T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut
dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru-paru yang menyebabkan radang paru-
paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi,
infeksi usus yang menyebabkan diare parah berminggu-minggu, dan infeksi otak yang
menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala.14

WHO menetapkan empat stadium klinis HIV, sebagaimana berikut:


a) Stadium 1 : tanpa gejala.

b) Stadium 2 : penyakit ringan. c) Stadium 3 : penyakit lanjut. d) Stadium 4 : penyakit


berat.12

d. Penularan HIV/AIDS

1) Media penularan HIV/AIDS

HIV dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan tubuh dari individu yang terinfeksi,
seperti darah, air susu ibu, air mani dan cairan vagina. Individu tidak dapat terinfeksi melalui
kontak sehari-hari biasa seperti berciuman, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda
pribadi, makanan atau air.15
2) Cara penularan HIV/AIDS

a) Hubungan seksual : hubungan seksual yang tidak aman dengan orang yang telah terpapar
HIV.
b) Transfusi darah : melalui transfusi darah yang tercemar

HIV.

c) Penggunaan jarum suntik : penggunaan jarum suntik, tindik, tato, dan pisau cukur yang dapat
menimbulkan luka yang tidak disterilkan secara bersama-sama dipergunakan dan sebelumnya
telah dipakai orang yang terinfeksi HIV. Cara- cara ini dapat menularkan HIV karena terjadi
kontak darah.
d) Ibu hamil kepada anak yang dikandungnya

( 1 ) Antenatal : saat bayi masih berada di dalam rahim, melalui plasenta.


( 2 ) Intranatal : saat proses persalinan, bayi terpapar darah ibu atau cairan vagina.
( 3 ) Postnatal : setelah proses persalinan, melalui air susu ibu. Kenyataannya 25-35% dari
semua bayi yang dilahirkan oleh ibu yang sudah terinfeksi di negara berkembang tertular
HIV, dan 90% bayi dan anak yang tertular HIV tertular dari ibun

 HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas (Reaksi Alergi) adalah reaksi dari sistem kekebalan yang terjadi
saat jaringan tubuh sehat mengalami cidera atau luka. Reaksi alergi melibatkan antibodi,
limfosit, dan sel lainnya yang termasuk dalam komponen sistem imun sebagai pelindung
fisiologis tubuh. Reaksi alergi terbagi menjadi 4
macam menurut Gell dan Coombs yaitu tipe I – IV

Reaksi alergi timbul segera sesudah tubuh terpajan oleh alergen. Reaksi ini terjadi
akibat IgE yang diproduksi sel plasma karena terjadi respon terhadap Th2 oleh antigen
(alergen seperti debu, kosmetik, obat, dll) yang melalui saluran cerna, inhalasi, suntikan, atau
sekedar kontak.

Reaksi alergi tipe I memiliki 3 fase kejadian ketika alergen tersebut masuk
dalam tubuh. Fase-fase tersebut yaitu :

1. Fase Sensitasi

Fase sensitasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya


pembentukan IgE hingga diikat oleh Fcȝ-RI pada permukaan sel mast

atau basofil.

2. Fase Aktifasi

Fase Aktifasi yaitu waktu yang dibutuhkan antara pajanan ulang dengan antigen
spesifik dan sel mast atau basofil yang melepas granul.

Hal ini mampu menimbulkan reaksi yang terjadi akibat ikatan silang antigen serta IgE.

3. Fase Efektor

Fase efektor yaitu yaitu waktu terjadinya respon kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas oleh sel mast atau basofil dengan aktivitas farmakologik
(Bratawidjaja & Rengganis,
2018)
 AUTOIMUNITAS

Autoimunitas adalah kegagalan suatu organisme untuk mengenali bagian dari dirinya
sendiri sebagai bagian dari dirinya, yang membuat sistem imun melawan sel dan jaringan
miliknya sendiri. Beberapa penyakit yang dihasilkan dari kelainan respons imun ini
dinamakan penyakit autoimun
penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang
dirinya sendiri. Padahal, seharusnya sistem kekebalan tubuh berfungsi untuk melindungi
tubuh dari sumber penyakit yang mencoba masuk dan merusak

 Penyebab Penyakit Autoimun
Penyebab penyakit autoimun belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa faktor di bawah
ini diketahui dapat meningkatkan risiko seseorang untuk menderita penyakit autoimun:

 Berjenis kelamin perempuan


 Memiliki riwayat penyakit autoimun dalam keluarga
 Memiliki berat badan berlebih atau obesitas
 Merokok
 Menggunakan obat-obatan yang memengaruhi sistem kekebalan tubuh, seperti obat
simvastatin atau antibiotik
 Terkena paparan bahan kimia atau cahaya matahari
 Menderita infeksi bakteri atau virus, misalnya infeksi virus Epstein Barr

 Gejala Penyakit Autoimun


Ada lebih dari 80 penyakit yang digolongkan penyakit autoimun dan beberapa di antaranya
memiliki gejala awal yang sama, seperti:

 Kelelahan
 Pegal otot
 Ruam kulit
 Demam ringan
 Rambut rontok
 Sulit konsentrasi
 Kesemutan di tangan dan kaki

Berikut ini adalah beberapa contoh penyakit autoimun dan gejalanya:

 Lupus
Lupus dapat memengaruhi hampir semua organ tubuh dan menimbulkan beragam
gejala, seperti demam, nyeri sendi dan otot, ruam kulit, kulit menjadi sensitif,
sariawan, bengkak pada tungkai, sakit kepala, kejang, nyeri dada, sesak napas, pucat,
dan perdarahan.
 Penyakit Graves
Penyakit Graves dapat menimbulkan gejala berupa kehilangan berat badan tanpa
alasan yang jelas, mata menonjol, rambut rontok, jantung berdebar, insomnia, dan
gelisah.
 Psoriasis
Penyakit ini dapat dikenali dengan kulit yang bersisik dan munculnya bercak merah
pada kulit.
 Multiple sclerosis
Gejala yang dapat ditimbulkan oleh multiple sclerosis meliputi nyeri, mati rasa pada
salah satu bagian tubuh, gangguan penglihatan, otot kaku dan lemas, koordinasi tubuh
berkurang, dan kelelahan.
 Myasthenia gravis
Gejala yang dapat dialami akibat menderita myasthenia gravis adalah kelopak mata
terkulai, pandangan kabur, lemah otot, kesulitas bernapas, dan kesulitan menelan.
 Tiroiditis Hashimoto
Penyakit ini dapat menimbulkan gejala berupa berat badan naik tanpa sebab yang
jelas, sensitif terhadap udara dingin, mati rasa di tangan dan kaki, kelelahan, rambut
rontok, dan kesulitan berkonsentrasi.
 Kolitis ulseratif dan Crohn’s disease
Gejala yang dapat dialami jika menderita kedua penyakit ini adalah nyeri perut, diare,
buang air besar berdarah, demam, dan berat badan turun tanpa sebab.
 Rheumatoid arthritis
Rheumatoid arthritis dapat membuat penderitanya mengalami gejala berupa nyeri
sendi, radang sendi, pembengkakan sendi, dan kesulitan bergerak.
 Sindrom Guillain Barre
Penyakit ini menimbulkan gejala berupa lemas yang jika kondisinya semakin parah
dapat berkembang menjadi kelumpuhan.
 Sindrom Sjögren
Gejala utama sindrom Sjögren adalah mata kering (xerophtalmia) dan mulut kering
(xerostomia) sehingga dapat menimbulkan gangguan penglihatan dan kerusakan gigi.
 Vaskulitis
Vaskulitis dapat dikenali dengan gejala demam, penurunan berat badan tanpa alasan
yang jelas, kelelahan, tidak nafsu makan, dan ruam kulit.

 Diagnosis Penyakit Autoimun


Untuk mendiagnosis penyakit autoimun, dokter akan melakukan tanya jawab seputar gejala
dan keluhan yang dialami pasien, riwayat kesehatan pasien, serta riwayat penyakit di dalam
keluarga pasien. Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh.
Tidak mudah bagi dokter untuk mendiagnosis penyakit autoimun. Meski setiap penyakit
autoimun memiliki ciri khas, tetapi gejala yang muncul bisa sama. Oleh karena itu, dokter
biasanya akan melakukan pemeriksaan penunjang berikut ini untuk memastikan diagnosis:

 Tes ANA (antinuclear antibody), untuk mengetahui aktivitas antibodi yang


menyerang tubuh
 Tes autoantibodi, untuk mendeteksi karakteristik antibodi dalam tubuh
 Tes darah lengkap, untuk menghitung jumlah sel darah merah dan sel darah putih
 Tes C-Reactive protein, untuk mendeteksi peradangan dalam tubuh
 Tes sedimentasi eritrosit, untuk mengetahui tingkat keparahan peradangan yang
terjadi di dalam tubuh

Pengobatan Penyakit Autoimun


Sebagian besar penyakit yang tergolong penyakit autoimun belum dapat disembuhkan, tetapi
gejala yang timbul dapat diringankan dan dicegah agar tidak terjadi flare.
Pengobatan untuk menangani penyakit autoimun tergantung pada jenis penyakit yang
diderita, gejala yang dirasakan, dan tingkat keparahannya. Beberapa metode penanganan
yang dapat dilakukan adalah:

Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat diberikan untuk menangani penyakit autoimun meliputi:

 Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti ibuprofen atau aspirin, untuk


mengatasi nyeri
 Obat penekan sistem kekebalan tubuh, seperti kortikosteroid, untuk menghambat
perkembangan penyakit dan memelihara fungsi organ tubuh
 Obat anti-TNF, seperti infliximab, untuk mencegah peradangan akibat penyakit
autoimun rheumatoid arthritis dan psoriasis

 Pencegahan Penyakit Autoimun


Belum diketahui cara mencegah penyakit autoimun sepenuhnya. Namun, beberapa upaya di
bawah ini bisa mengurangi risiko terjadinya penyakit autoimun:

 Berolahraga secara rutin


 Tidak merokok
 Menjaga berat badan tetap ideal
 Menggunakan alat pelindung ketika bekerja, agar terhindar dari paparan bahan kimia
 Menjaga kebersihan tubuh agar terhindar infeksi virus dan bakteri

 Penyakit Autoimun dan COVID-19


Penderita penyakit autoimun umumnya akan mengonsumsi obat yang memiliki efek untuk
menekan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya, penderita penyakit autoimun lebih rentan
terkena infeksi, termasuk COVID-19.
Oleh karena itu, penderita penyakit autoimun wajib menjaga kesehatan dan kontrol secara
rutin ke dokter.
Jangan lupa untuk rutin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, mengonsumsi
makanan bergizi seimbang, beristirahat yang cukup, serta mengelola stres dengan cara yang
positif, sehingga sistem kekebalan tubuh bisa terjaga dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai