Anda di halaman 1dari 20

HALAMAN JUDUL

REFERAT
SKROFULODERMA

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Pendidikan Profesi Dokter


Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Eko Rini Puji Rahayu, Sp. KK

Diajukan Oleh :

Rizal Arkan P, S.Ked J510185069


Intan Kusuma Dewi, S.Ked J510185036
Nurfarida Riza Umami, S.Ked J510185009

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD Ir. SOEKARNO SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
SKROFULODERMA

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Pendidikan Program Profesi


Dokter Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Disusun Oleh:
Nurfarida Riza Umami (J 510185009)
Intan Kusuma Dewi (J 510185036)
Rizal Arkan Putranto (J 510185069)

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Pembimbing
dr. Eko Rini Puji Rahayu, Sp.KK (.................................)

Dipresentasikan di hadapan
dr. Eko Rini Puji Rahayu, Sp.KK (.................................)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 2
A. Definisi ...........................................................................................................2

B. Epidemiologi ..................................................................................................2

C. Etiologi ...........................................................................................................2

D. Faktor Risiko ..................................................................................................3

E. Patofisiologi ....................................................................................................4

F. Manifestasi Klinis ...........................................................................................5

G. Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................6

H. Diagnosis Banding ..........................................................................................8

I. Tatalaksana .....................................................................................................9

J. Prognosis ......................................................................................................11

K. Edukasi .........................................................................................................11

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 13


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skrofuloderma pada berbagai regio....................................................6

Gambar 2. UKK pada skrofuloderma...................................................................6

Gambar 3. Pewarnaan Ziehl Neelsen pada kasus skrofuloderma ........................7

Gambar 4. Histopatologi skrofuloderma tampak gambaran granuloma


tuberkuloid........................................................................................................... 8

Gambar 5. Diagnosis Banding Scrofuloderma .....................................................9

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Pemberian OAT pada Scrofuloderma .................................. 10

Tabel 2. Panduan OAT KDT ............................................................................ 11

Tabel 3. Panduan OAT Kombipak ................................................................... 11

v
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis telah dan masih menjadi masalah kesehatan di dunia hingga


saat ini.Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang berefek pada paru-
paru, kelenjar getah bening, tulang dan persendian, kulit, ususdan organ lainnya.
Salah satu dari jenis tuberkulosis ini adalah tuberkulosis kutis. Tuberkulosis kutis
adalah tuberkulosis pada kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
dan mikobakteria atipikal. Kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh vaksin
Bacillus Calmette-Guerin (BCG). 1,2
Skrofuloderma merupakan bentuk Tuberkulosis kutis yang tersering di
indonesia. Sekitar 84% menurut data dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM), disusul Tuberkulosis kutis verukosa yaitu 13%, sedangkan bentuk
tuberkulosis kutis lainnya jarang ditemukan. Lupus Vulgaris merupakan bentuk
yang paling jarang ditemukan. 1,2,3
Meskipun tuberkulosis kutis merupakan bagian kecil dari tuberkulosis
ekstrapulmoner, namun di negara berkembang termasuk Indonesia masih sering
dijumpai, seperti halnya tuberkulosis paru. Manifestasi klinisnya beragam,
bergantung pada cara inokulasinya di kulit yang dapat bersifat internal maupun
eksternal.2
Selanjutnya dalam refaerat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai
skrofuloderma. Skrofuloderma yang juga dikenal dengan istilah tuberculosis
colliquativa cutis merupakan tuberkulosis reaktif, berasal dari proses tuberculous
pada jaringan subkutan yang membentuk suatu abses dingin (cold abscess) dan
kemudian pecah sehingga mengakibatkan kerusakan struktur kulit di atasnya.
Selain manifestasi klinis, pemeriksaan histopatologi yaitu FNAB dan biopsi
eksisional pada limfadenitis TB memegang peranan penting dalam menegakkan
diagnosis penyakit ini. 2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Skrofuloderma merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang mengenai subkutan dan merupakan
perluasan langsung dari tuberkulosis pada jaringan dibawah kulit yang
kemudian membentuk abses dingin yang makin lama makin membesar dan
pecah pada kulit diatasnya.4

B. Epidemiologi
Insidens tuberkulosis kutis yang tercatat masih rendah. Di negara seperti
Cina atau India di mana prevalen tuberkulosis tercatat masih tinggi, manifestasi
tuberkulosis pada kulit kurang dari 0,1% individu yang berkunjung ke klinik-
klinik dermatologi. Skrofuloderma biasanya mengenai anak-anak dan dewasa
muda terutama pada pria. Sumber lain menyebutkan bahwa dapat terjadi pada
semua umur dan perbedaan banyaknya insidens pada pria dan wanita tidak
bermakna.5
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini sering terkait
dengan faktor lingkungannya ataupun pekerjaannya. Biasanya penyakit ini
sering ditemukan pada pekerjaan seperti ahli patologi, ahli bedah, orang-orang
yang melakukan autopsi, peternak, juru masak, anatomis, dan pekerja lain yang
mungkin berkontak langsung dengan M. tuberculosis ini, seperti contohnya
pekerja laboraturium. Pada negara-negara yang belum berkembang, daerah
dengan sanitasi yang kurang baik dan gizi kurang, penyakit lebih mudah
meluas dan lebih berat. Penyebaran lebih mudah terjadi pada musim
penghujan.6

C. Etiologi
Penyebab utama TBC kutis adalah Mycobacterium tuberculosis yaitu
91,5% menurut data dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Sisanya (8,5%) disebabkan oleh mikobakteria atipikal. M.Bovis dan M. Avium
belum pernah ditemukan, demikian pula mikobakteria golongan lain.

2
M. Tuberculosis merupakan kuman aerob yang patogen pada manusia.
Mempunyai sifat sebagai berikut : berbentuk batang, panjang 2-4/μ dan lebar
0,3-1,5/m , tahan asam dan hidupnya intraseluler fakultatif, tidak bergerak,
tidak membentuk spora dan suhu optimal pertumbuhan pada 37 0C.1,3
Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5 (lima) macam, yaitu :1
1. Sediaan Mikroskopik
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah bening.
Pada pewarnaan dengan Ziehl-Neelsen atau modifikasinya, jika positif
kuman akan tampak berwarna merah pada dasar yang biru.
2. Kultur
Kultur dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada
suhu 37°C. Jika positifkoloni akan tumbuh dalam waktu 8 minggu.
3. Binatang Percobaan
Memakai binatang marmot. Percobaan ini membutuhkan waktu 8
minggu.
4. Tes biokimia
Ada beberapa macam, contohnya tes niasin yang dipakai untuk
membedakan jenis human dengan yang lain.
5. Percobaan Resistensi

D. Faktor Risiko
1. Resiko Infeksi TB
Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang
terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah
endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi
yang tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara,
atau pantiperawatan lain), yang banyak pasien TB dewasa aktif.1
2. Resiko Sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB.
Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya
infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor resiko yang pertama adalah usia.
Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami progresi

3
infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya belum berkembang
sempurna (imatur). Akan tetapi, resiko sakit TB ini akan berkurang secara
bertahap seiring dengan pertambahan usia. Resiko tertinggi terjadinya
progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun pertama
setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu
antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1
tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut. Faktor resiko yang lain
adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin
(dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan
imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan, transplantasi
organ, dan pengobatan imunosupresi), diabetes melitus, dan gagal ginjal
kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah
status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan
hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnyadana untuk
pelayanan masyarakat. Faktor lain yang mempunyai resiko terjadinya
penyakit TB adalah virulensi dari M.tuberculosis.1

E. Patofisiologi
Mycobacterium tuberkulosis adalah penyebab terbanyak TB kutis.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri aerob, tidak berspora, tidak
bergerak, tahan terhadap asam dan alkohol, dilapisi lemak kompleks yang
membuat resisten terhadap fagositosis makrofag. Tuberkulosis kutis ditularkan
melalui saluran pernafasan, pencernaan dan kontak langsung melalui membran
mukosa kulit yang tidak intak. Kulit intak melindungi tubuh agar tidak di
invasi oleh mikroorganisme, akan tetapi jika terdapat kerusakan sawar
mukokutan maka dapat memfasilitasi invasi mikroorganisme.7
Setelah bakteri menginvasi tubuh, antigen Mycobacterium dipresentasikan
pada permukaan antigen presenting cells (APC) host ke limfosit T dan
menginduksi pelepasan limfokin, interleukin dan interferon. Limfokin,
interleukin dan interferon mengekspresi antigen MHC kelas II serta IL-2R pada
limfosit T. Makrofag terakumulasi dan membentuk granuloma. Selama

4
sensitisasi awal, sel T yang dihasilkan akan tetap berada selama puluhan tahun
di organ limfoid dan sirkulasi.7
Proses terjadinya penyakit TB tergantung status sensitisasi host terhadap
antigen Mycobacterium (pernah terinfeksi dibandingkan tidak pernah
terinfeksi), tingkat imunitas host, rute infeksi, dan patogenisitas strain
mikobakterium.7
Timbulnya skrofuloderma akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ
dibawah kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal
dari KGB dan juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat
predileksinya pada tempat-tempat yang banyak didapati KGB Superfisialis,
yang tersering ialah pada leher, kemudian disusul ketiak dan yang terjarang
pada lipat paha.4
Porte d’entree skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru.
Jika di ketiak maka kemungkinan porte d’entree pada apeks pleura, jika dilipat
paha pada ekstremitas bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut
diserang sekaligus, yakni pada leher, ketiak dan lipat paha. Pada kejadian
tersebut kemungkinan besar terjadi penyebaran secara hematogen. 8

F. Manifestasi Klinis
Skrofuloderma sering terjadi pada regio parotis (Gambar 1a),
submandibula, aksila (Gambar 1b) dan subklavikula (Gambar 1c) atau
keduanya. Pada tahap awal dijumpai nodul subkutan, batas tegas, mudah
digerakkan dan asimtomatik (Gambar 2a). Setelah beberapa bulan nodul
subkutan semakin besar dan konsistensi semakin lunak yang disebut sebagai
abses dingin lalu terjadi liquifaksi dengan perforasi abses menyebabkan
pembentukkan ulkus dan sinus (Gambar 2b). Bentuk ulkus adalah linear atau
serpiginosa, tidak teratur, dasar cekung, kulit daerah sekitar bewarna merah
kebiruan (livide), menggaung, lunak, dan dasar jaringan granulasi. Pada proses
penyembuhan terbentuk sikatrik yang menghubungkan area ulkus. Jembatan
kulit (skin bridge) kadang-kadang terdapat di atas sikatriks, biasanya berbentuk
seperti tali yang kedua ujungnya melekat pada sikatriks tersebut. 7,9,10

5
a b c
Gambar 1. Skrofuloderma pada berbagai regio
(a) Skrofuloderma pada regio parotis. (b) Skrofuloderma pada regio aksila. (c) Skrofuloderma
pada regio klavikula. Bentuk abses, ulkus dan ekstrusi purulen dan material caseous. 7,9

a b
Gambar 2. UKK pada skrofuloderma
(a) Plak dan nodul dengan ulkus ditengah disertai sikatrik. (b) Dua
ulkus pada dinding dada midklavikularis dan aksila dengan sinus di
bawah ulkus.10

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologis Foto Thoraks Pada Posisi Posterior-Anterior
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mencari fokal infeksi terutama yang
berasal dari paru.7
2. Uji Kulit Tuberkulin
Uji tuberkulin dilakukan untuk mendeteksi respon imun terhadap
Mycobacterium tuberculosis. Protein Mycobacteriun tuberculosis
disuntikkan intradermal sebanyak 5IU (0,1 ml) dibagian anterior lengan
atas. Reaksi maksimal terjadi 48-72 jam setelah disuntikkan. Reaksi positif

6
berupa indurasi eritem batas tegas dengan diameter lebih dari 10 mm. Pada
pasien infeksi human imunodeficiency virus (HIV), diameter lesi ≥ 5 mm
sudah dinyatakan positif. Pada pasien yang sudah pernah mendapat vaksin
Bacille Calmette-Guerin (BCG), lesi dengan diameter 15 mm dinyatakan
positif.7
3. Pemeriksaan Basil Tahan Asam
Pemeriksaan mikroskopik untuk menemukan basil tahan asam
dilakukan pewarnaan spesimen kulit dengan cara Ziehl-Neelsen.
Pemeriksaan ini harus dilakukan jika pada anamnesis dan pemeriksaan
fisik mengarah diagnosis TB kutis. Hasil positif jika ditemukan 104 bakteri
per milimeter.11

Gambar 3. Pewarnaan Ziehl Neelsen pada kasus skrofuloderma 12

4. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi sangat penting dalam diagnosis TB kutis.
Pemeriksaan histopatologik memiliki karakteristik granuloma dengan sel
epitelioid, sel raksasa Langhan, dan limfosit. Klasifikasi dan diagnosis
varian TB kulit dibangun berdasarkan gambaran distribusi granuloma pada
dermis, nekrosis, dan perubahan spesifik epidermal. Pemeriksaan
histopatologi skrofuloderma memperlihatkan gambaran granuloma
tuberkuloid.13

7
Gambar 4. Histopatologi skrofuloderma tampak gambaran granuloma tuberkuloid 13

H. Diagnosis Banding
Manifestasi klinis skrofuloderma memiliki kesamaan dengan beberapa
penyakit seperti limfadenitis Guma sifilis, aktinomikosis, hidradenitis
supuratif.7
1. Aktinomikosis
Penyakit ini disebabkan Actinomyces israelii. Aktinomikosis ditandai
dengan lesi granulomatosa dan fibrosis, yang pecah membentuk abses dan
beberapa sinus. Tanda khas dijumpai granul sulfur di daerah abses. Lesi
sering di wajah dan leher, lebih jarang di dinding dada atau abdomen.
Gambaran klinis aktinomikosis sama dengan skrofuloderma, akan tetapi
dapat dibedakan dengan tidak ada granul sulfur serta hasil negatif untuk
hifa jamur pada skrofuloderma.13
2. Guma sifilis
Lesi granulomatosa sifilis terutama ditemukan pada kulit dan tulang.
Lesi kutaneus berupa nodul kemerahan yang dapat terjadi di mana saja.
Nodul pecah membentuk ulkus punch out. Pada proses penyembuhan
terbentuk sikatrik atrofi. Gambaran klinis skrofuloderma juga menyerupai
guma sifilis namun dapat dibedakan dari pemeriksaan serologi negatif
terhadap sifilis.13
3. Hidradenitis supuratif
Hidradenitis supuratif adalah nodul eritematosa, nyeri, dan terdapat di
kelenjar apokrin seperti ketiak, inguinal, perianal dan kulit areolar yang
membentuk abses. Pada proses penyembuhan terbentuk fibrosis yang

8
dalam. Proses berulang dapat menyebabkan peningkatan jaringan parut
dan pembentukan sinus serta pembatasan gerakan anggota badan yang
terkena. Hidradenitis supuratif dan skrofuloderma dibedakan dari hasil
negatif terhadap mikroorganisme.13

a b c

Gambar 5. Diagnosis Banding Scrofuloderma


(a) aktinomikosis pada regio cervikofasial. 6 (b) Guma sifilis: tipe nodululseratif, bewarna
merah kecoklatan, krusta, ulkus dengan tepi serpiginosa. (c) Hidradenitis suppurativa.
terdapat penonjolan multipel, lipatan sikatrik di sekitar kulit dan sinus.12

4. Ulkus karena Penyebab lain


Pada Skrofuloderma memiliki gambaran klinis ulkus yang khas,
dimana proses penyembuhan dari ulkus skrofuloderma adalah
terbentuknya sikatrik yang berawal dari dalam (central) ulkus, berbeda
dengan ulkus yang lain dimana penyembuhannya berawal dari sisi sisi tepi
ulkus.

I. Tatalaksana
Scrofuloderma dikaitkan dengan infeksi sistemik yang telah menyebar ke
kulit secara sekunder, sehingga secara umum penatalaksanaan scrofuloderma
sama dengan tuberkulosis organ lain. Terapi bertujuan untuk mencapai
kesembuhan, menghindari kekambuhan, dan mencegah munculnya bakteri
yang resistan terhadap obat. Kemoterapi merupakan terapi pilihan, tetapi
tindakan tambahan mungkin diperlukan. vaksin terhadap M. tuberculosis
sedang dalam pengembangan.14
Pemberian obat antituberkulosis (OAT) jangka panjang dengan minimal
dua jenis obat diindikasikan untuk kasus scrofuloderma. Terapi

9
antituberkulosis standar terdiri dari Isoniazid (5 mg / kg setiap hari) ditambah
Rifampin (600 mg / kg setiap hari). Isoniazid dan rifampisin minimal diberikan
selama 9 bulan, namun dapat dipersingkat menjadi 6 bulan jika empat obat
diberikan selama fase awal (2 bulan pertama). Obat tersebut yaitu Etambutol
(25 mg / kg setiap hari) dan / atau Streptomisin (10–15 mg / kg setiap hari) dan
/ atau Pyrazinamide (15–30 mg / kg setiap hari). Panduan terapi
antituberkulosis dijelaskan dalam tabel 1.10
Tabel 1. Panduan Pemberian OAT pada Scrofuloderma 14
PILIHAN 1 PILIHAN 2
PILIHAN 3
OAT INISIAL LANJUTAN INISIAL LANJUTAN LANJUTAN
9 BLN
8 MG 16 MG 2 MG 6 MG 16 MG
Rifampisin Tiap hari 2-3x/minggu Tiap hari Tiap hari Tiap hari 3x/minggu
10mg/Kg
Isoniazid Tiap hari 2-3x/minggu Tiap hari Tiap hari Tiap hari 3x/minggu
5mg/Kg
Pyrazinamid Tiap hari Tiap hari Tiap hari 3x/minggu
30mg/kg
Ethambutol Tiap hari Tiap hari 2x/minggu 3x/minggu
15mg/kg
Atau
Streptomisin
15mg/kg
Lama pemberian obat adalah 6 bulan kecuali pada pasien dengan infeksi HIV, yang mana terapi
diberikan selama 9 bulan.
Bukti perubahan kultur tidak dapat diharapkan pada sebagian besar kasus TB kulit
OAT: Obat Anti Tuberculosis; MG: Minggu; BLN: Bulan

Di Indonesia OAT disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis


tetap (KDT) dan bentuk kombipak, yaitu paket obat lepas yang terdiri dari
isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol dalam kemasan blister.
Pemakaian OAT kombinasi dosis tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang
pengawas menelan obat (PMO).15
Intervensi bedah sangat membantu pada kasus skrofuloderma karena
mengurangi morbiditas dan mempersingkat lama kemoterapi . Selain itu sitokin
seperti interleukin 2, interferon gamma, interleukin 12, dan granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor dapat membantu mengendalikan
patogen intraseluler dan dengan demikian mempersingkat durasi terapi dan
mencegah resistensi obat. Obat imunomodulator thalidomide dapat digunakan

10
sebagai obat tambahan untuk mengurangi efek respon inflmasi yang mengikuti
pengobatan infeksi multibasiler.14

Tabel 2. Panduan OAT KDT 15

Tahap Intensif Tahap Lanjutan


setiap hari 3 kali sepekan
Berat badan
selama 56 hari selama 16 pekan
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Panduan OAT Kombipak 15

Dosis per hari/kali


Tahap Lama Jumlah
terapi terapi INH Rifampisin Pirazinamid Etambutol minum obat
@300mg @450mg @500mg @250mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

J. Prognosis
Prognosis skrofuloderma bonam karena skrofuloderma dapat sembuh
spontan tetapi dalam waktu yang sangat lama (bertahun-tahun) sebelum lesi
secara sempurna ditutupi oleh jaringan parut.9

K. Edukasi
Edukasi dan pencegahan yang dapat dilakukan pada pasien skrofuloderma
adalah sebagai berikut:16
1. Menerapkan cara hidup sehat dengan menjaga kebersihan diri dan
lingkungan, baik pada pasien maupun pada anggota keluarga.
2. Menjaga nutrisi yang baik guna meningkatkan daya tahan tubuh
3. Menjalani pengobatan secara teratur

11
4. Pencarian atau pengobatan terhadap tersangka sumber penularan di
lingkungan perlu dilakukan. Sumber infeksi dalam anggota keluarga harus
diobati agar tidak memberikan infeksi berulang. Seluruh anggota keluarga
disarankan untuk dilakukan pemeriksaan sputum, radiologi dada, dan uji
tuberkulin

12
BAB III

PENUTUP

Skrofuloderma merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis atau mikobakteria atipikal lain seperti M.Bovis dan
M. Avium yang mengenai subkutan. Penyakit ini berasal dari penyebaran kuman
dari suatu fokus infeksi ke jaringan luar sehinga menimbulkan kerusakan kulit.
Tempat predileksinya antara lain daerah parotis, submandibula, dan
supraklavikula dan mungkin bilateral.
Penegakan diagnosis skrofuloderma dilakukan dengna anamnesis dan
pemeriksaan klinis yang dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Manifestasi
klinis skrofuloderma bervariasi bergantung pada lamanya penyakit. Pada tahap
awal dijumpai nodul subkutan, batas tegas, mudah digerakkan dan asimtomatik
yang kemudian membesar dan menjadi abses dingin. Selanjutnya akan terjadi
perforasi abses sehingga terbentuk ulkus dan sinus. Sikatriks terbentuk pada
proses penyembuhan. Baku emas untuk diagnosis tuberkulosis kutis adalah
pemeriksaan biakan.
Secara umum penatalaksanaan scrofuloderma sama dengan tuberkulosis
organ lain. Isoniazid (5 mg / kg setiap hari) ditambah Rifampin (600 mg / kg
setiap hari) minimal diberikan selama 6 bulan. Pada fase awal (2 bulan pertama)
diberikan obat tambahan yaitu Etambutol (25 mg / kg setiap hari) dan / atau
Streptomisin (10–15 mg / kg setiap hari) dan / atau Pyrazinamide (15–30 mg / kg
setiap hari). Meskipun kemoterapi merupakan terapi pilihan tetapi pemberian
sitokin dan imunomodulator serta tindakan pembedahan dapat diberikan untuk
mempercepat durasi terapi. Scrofuloderma dapat sembuh spontan tetapi dalam
waktu yang sangat lama (bertahun-tahun) sebelum lesi secara sempurna ditutupi
oleh jaringan parut.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. Tuberkulosis Kutis. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin. Editor: Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Edisi V.
cetakan V. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal
64-72.
2. Jawas FA, Martodihadjo Soenarko, dkk. Skrofuloderma. Dalam : Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Vol. . Surabaya : Airlangga University
Press, 2007. Hal 56-60.
3. Soebono, Hardyanto. Tuberkulosis Kutis. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit. Editor
: Marwali Harahap. Cetakan I. Jakarta : Hipokrates, 2000. Hal 27-29.
4. James WD, Berger TG, Elston DM. Mycobacterial Disease. In : Andrews’
Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 10 th Edition. USA : Elsevier
Inc., 2006. Chapter 16
5. Barakbah J, Pohan SS, Sukonto H, dkk. Skrofuloderma. Dalam : Atlas
Penyakit Kulit dan Kelamin. Cetakan V. Surabaya : Airlangga University
Press, 2007. Hal 23-24.
6. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : EGC, 2003. Hal
148-149.
7. Yates VM. Mycobacterial Infection. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. London:
Blackwell; 2010.
8. Ramos-e-Silva M, Ribeiro de Castro MC. Mycobacterial Infections. In:
Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Dermatology. 3rd ed.
Philadelphia: Saunders; 2012:1228–35.
9. Sethi A. Tuberculosis and Infections with Atypical Mycobacteria, In: Wolff,
K. Goldsmith, LA. Katz, SI. Gilchrest, BA. Paller, AS. and Leffell, DJ.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Ed, Vol 2. New
York:McGraw-Hill; 2012.p: 2231-35.
10. Wolf K, Johnson RA. Fitzpatrick’s in Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology: Bacterial Infection Involving The Skin. 6th ed. New York:
McGraw-Hill; 2009:671-76.

14
11. Kumar S, Bhatia R, Surana SS, Mehra KS, Bhatnagar R. Scrofuloderma:
Cutaneous tuberculosis. A Case report. Sch J Med Case Rep 2014;2(7):432-
434.
12. Andriani PI. Pendekatan Klinis Infeksi Tuberkulosis pada Kulit. CDK
2014;41(8): 584-588.
13. Kar S, Krishnan A, Gangane N, Preetha K. Scrofuloderma - A Case Series
from Rural India. Indian J Tuberc 2011 Oct;58(4):189-195.
14. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York:
McGraw-Hill; 2008:1769-78.
15. Asik S, Carmelia B, Sudijanto K. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011:23-5.
16. Nurman J, Setyanto DB. Skrofuloderma pada Anak: Penyakit yang
Terlupakan? Laporan Kasus. Saripediatri. 2010 August;12(2): 108-15

15

Anda mungkin juga menyukai