Anda di halaman 1dari 60

JUDUL

Laporan Kasus

Syok Septik + Acute Kidney Disease

Oleh :

Indra Rukmana Bangsawan

NIM. 1910912310065

Pembimbing

dr. Oldi Dedya Sp.PD

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Desember, 2020
Laporan Kasus

Diabetes Melitus Tipe II + Chronic Kidney Disease + Efusi Pleura

Bilateral

Oleh
Ummu Hasri Ainun, S. Ked

Pembimbing

dr. Oldi Dedya, Sp.PD

Banjarmasin, November 2019


Telah setuju diajukan

.……………………….
dr. Oldi Dedya, Sp.PD

Telah selesai dipresentasikan

.………………………
dr. Oldi Dedya, Sp.PD

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN.............................................................. ii

DAFTAR ISI......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................... 3

BAB III LAPORAN KASUS............................................................... 27

BAB IV PEMBAHASAN.................................................................... 46

BAB V PENUTUP................................................................................ 50

DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 52

iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sepsis adalah penyakit yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh

disregulasi respon imun terhadap infeksi.1 Sepsis telah digunakan untuk

menggambarkan efek bakteri terhadap tubuh (dekomposisi atau membusuk)

selama lebih dari 2000 tahun. Hingga saat ini sepsis masih menjadi masalah besar

bagi dunia kesehatan. Sepsis dan syok sepsis menjadi penyebab mortalitas dan

morbiditas utama di unit intensif care (ICU). Peningkatan tingkat keparahan

penyakit berkaitan langsung dengan peningkatan insidens gagal organ. Beberapa

pasien dengan sepsis meninggal karena gagal jantung akut sedangkan kebanyakan

pasien lain dengan sepsis meninggal karena disfungsi dan gagal organ multipel.

Gagal nafas merupakan penyebab terbanyak dari dampak sepsis serta syok septik.

Hal tersebut sering berkelanjutan menjadi acute respiratory distress syndrome

(ARDS), acute kidney injury (AKI), disseminated intravascular coagulation

(DIC), ensefalopati dan delirium, hipotensi serta syok juga merupakan akibat

lanjut dari sepsis. Gagal organ multipel/ multiple organ dysfunction syndrome

(MODS) membutuhkan perawatan intensif yang lama karena angka mortalitasnya

berkisar antara 27- 100%, tergantung dari jumlah dan tingkat keparahan organ

yang terkena.2 Pada 20% sampai 30% dari semua pasien yang mengalami sepsis,

fokus infeksi awal ada di saluran urogenital. Salah satu penyebab infeksinya

adalah urosepsis, sedangkan penyebab urosepsis yang paling sering adalah


2

penyakit obstruktif pada saluran kemih seperti batu, anomali, stenosis, atau

tumor.3

Gangguan ginjal akut atau acute kidney injury (AKI) pada pasien sepsis

yang dirawat di ruang intensif biasanya berada dalam kondisi klinis yang lebih

kritis. Mereka mempunyai risiko kematian yang tinggi, hari perawatan yang lebih

lama dengan biaya yang jauh lebih besar, terutama bila disertai MODS. Kematian

pasien AKI dengan sepsis (septik-AKI) terjadinya bisa sampai 70% bila dibanding

dengan pasien AKI tanpa sepsis (45%).4 Penanganan awal yang efektif pada

obstruksi atau penyebab dan fokus mengendalikan infeksi serta memperbaiki

perfusi organ dapat mengurangi mortalitas.3

Pada laporan kasus ini akan dibahas pasien an Tn. SH usia 69 tahun yang

datang ke IGD RSUD Ulin dengan keluhan penurunan kesadaran. Pasien di

diagnosa syok septik dan acute kidney disease

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada laporan

kasus ini adalah bagaimana pendekatan klinis pada kasus syok septik dan AKD?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahu gambaran

klinis pada kasus syok septik dan AKD agar dapat menjadi tambahan wawasan

dalam penanganan penyakit tersebut.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sepsis

a. Definisi

Sepsis merupakan disfungsi organ akibat gangguan regulasi respons tubuh

terhadap terjadinya infeksi.7 Kondisi sepsis merupakan gangguan yang

menyebabkan kematian. Syok sepsis merupakan abnormalitas sirkulasi dan

metabolisme seluler.

Sepsis oleh konsensus American College of Chest Physician and Society of

Critical Medicine (ACPP/SCCM Consensus Conference) tahun 1992,

didefinisikan sebagai respons inflamasi karena infeksi. Menurut konsensus ini,

definisi sepsis dapat ditegakkan apabila terdapat 2 atau lebih kriteria SIRS

(systemic inflammatory response syndrome) ditambah dengan adanya bukti

infeksi.6

Namun saat ini, kriteria tersebut dinilai kurang tepat untuk mendefinisikan

sepsis. Berdasarkan European Society of Intensive Care Medicine’s and the

Society of Critical Care Medicine’s Third International Consensus Definitions for

Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3) tahun 2016, kriteria sepsis harus mencakup

tiga elemen sepsis, yaitu infeksi, respons tubuh, dan disfungsi organ. Sepsis

adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh disregulasi

respons tubuh terhadap infeksi. Disfungsi organ sendiri dinilai dengan skor SOFA

(Sequential/Sepsis-related Organ Failure Assessment) ≥2 poin.8 Untuk skrining

pasien yang dicurigai sepsis, dapat digunakan kriteria qSOFA (quick SOFA)

3
4

Syok septik didefinisikan sebagai sepsis disertai gangguan abnormal sirkulasi

dan metabolisme, ditandai hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor

untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) 65 mmHg dan serum laktat

>2 mmol/L (18 mg/dL) meskipun dengan resusitasi cairan yang adekuat.7

b. Etiologi

Patogen Predisposisi
Bakteri Gram Negatif DM, Limfoproliferatif, prosedur invasive,
neutropenia, sepsis berhubungan kateter
Bakteri Gram Positif Sepsis berhubungan kateter, neutropenia,
luka bakar, gangguan limfoproliferatif
Jamur Neutropenia, antibiotic spektrum luas

Mikroorganisme yang biasa didapatkan pada kultur adalah sebagai berikut :

Escherecia coli Saluran kencing, infeksi abdomen


Streptococcus pneumoniae Pneumonia, meningitis
Staphylococcus aureus Kulit, jarungan lunak, luka,
osteomyelitis, septik artritis,
pneumonia, endocarditis, alat alat
intravascular
Streptokokus pyogenes Selulitis, necrotizing fasciitis
Streptokokus milleri groub Pus, abses, hati, abdomen
Stafilokokkus koagulase negative Prostetik persendian/katub jantung,
akses infus
Candida albican Neutropenia, operasi abdomen, infus
vena sentral

c. Derajat Sepsis

1. SIRS, ditandai dengan ≥ 2 gejala berikut :

- Hipertermia/hipotermia (>38.3°C/<35.6°C)

- Takipneu ( RR > 20 x/menit)

- Takikardi (HR > 100 x/menit)

- Leukositosis > 12000/mm atau leukopenia < 4000/mm

- Sel imatur >10%


5

2. Sepsis, Infeksi disertai sirs

3. Sepsis berat, sepsis yang disertai dengan MODS/MOF (multi organ

disfunction syndrome / multi organ failure), hipotensi, oligouri bahkan

anuri.

4. Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90mmHg atau penurunan

tekanan sistolik > 40 mmHg)

5. Syok septik

Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai

hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat

resusitasi cairan dan disertai hipoperfusi jaringan.

d. Faktor Risiko

1. Usia

Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik

dibandingkan usia tua.19 Orang kulit hitam memiliki kemungkinan peningkatan

kematian terkait sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif mereka terbesar dalam

kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45 sampai 54 tahun. Pola yang sama

muncul di antara orang Indian Amerika / Alaska Pribumi. Sehubungan dengan

kulit putih, orang Asia lebih cenderung mengalami kematian yang berhubungan

dengan sepsis di masa kecil dan remaja, dan kurang mungkin selama masa dewasa

dan tua usia. Ras Hispanik sekitar 20% lebih mungkin dibandingkan kulit putih

untuk meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan sepsis di semua

kelompok umur. 16 14 Gambar 2. Angka kematian akibat sepsis berdasarkan

umur pada ras tertentu Dikutip dari kepustakaan 16

2. Jenis kelamin
6

Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang

berhubungan dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok ras / etnis.

Laki-laki 27% lebih mungkin untuk mengalami kematian terkait sepsis. Namun,

risiko untuk pria Asia itu dua kali lebih besar, sedangkan untuk laki-laki Amerika

Indian / Alaska Pribumi kemungkinan mengalami kematian berhubungan dengan

sepsis hanya 7%.

3. Ras

Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit hitam dan

terendah di antara orang Asia. 16 Age-specific rate-ratios for sepsis-associated

death by race/ethnicity category in the United States, 1999 to 2005. Non-Hispanic

whites were used as the referent group. AI/AN = American Indian/Alaska Native.

4. Penyakit komorbid

Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan tubuh

(gagal ginjal kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan alkohol) lebih umum

pada pasien sepsis non kulit putih, dan komorbiditas kumulatif dikaitkan dengan

disfungsi organ akut yang lebih berat.

5. Genetik

Polimorfisme umum dalam gen untuk lipopolysaccharide binding protein

(LBP) dalam kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan

peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis dan, lebih jauh lagi, mungkin

berhubungan dengan hasil yang tidak menguntungkan. Penelitian ini mendukung

peran imunomodulator penting dari LBP di sepsis Gram-negatif dan menunjukkan

bahwa tes genetik dapat membantu untuk identifikasi pasien dengan respon yang

tidak menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif.


7

6. Terapi kortikosteroid

Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan kerentanan

terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan dengan dosis steroid

dan durasi terapi. Meskipun bakteri piogenik merupakan patogen yang paling

umum, penggunaan steroid kronis meningkatkan risiko infeksi dengan patogen

intraseluler seperti Listeria, jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis

yang dihasilkan dari sebuah respon host sistemik terhadap infeksi mengakibatkan

sepsis.

7. Kemoterapi

Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat membedakan

antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat, seperti sel-sel darah,

sel-sel kulit. Orang yang menerima kemoterapi 17 beresiko untuk terkena infeksi

ketika jumlah sel darah putih mereka rendah. Sel darah putih adalah pertahanan

utama tubuh terhadap infeksi. Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah

umum setelah menerima kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap

infeksi dapat menjadi serius dengan cepat. sepsis merupakan penyebab utama

kematian pada pasien kanker neutropenia.

8. Obesitas

Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien

dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell Griffin, et al.

didapatkan hasil bahwa obesitas pada tahap stabil kesehatan secara independen

terkait dengan kejadian sepsis di masa depan. Lingkar pinggang adalah prediktor

risiko sepsis di masa depan yang lebih baik daripada BMI. Namun pada penelitian

Kuperman EF, et al diketahui bahwa obesitas bersifat protektif pada mortalitas


8

sepsis rawat inap dalam studi kohort, tapi sifat protektif ini berhubungan dengan

adanya komorbiditas resistensi insulin dan diabetes.

e. Patofisiologi

Perjalanan terjadinya sepsis merupakan mekanisme yang kompleks, antara

mikroorganisme penginfeksi, dan imunitas tubuh manusia sebagai penjamu . Saat

ini sepsis tidak hanya dipandang sebagai respon inflamasi yang kacau tetapi juga

meliputi ketidakseimbangan proses koagulasi dan fibrinolisis . Hal ini merupakan

mekanisme – mekanisme penting dari patofisiologi sepsis yang dikenal dengan

kaskade sepsis. Mikroorganisme penyebab sepsis terutama bakteri gram negatif

dapat melepaskan endotoksinnya ke dalam plasma yang kemudian akan berikatan

dengan Lipopolysaccarida binding protein ( LBP ). Kompleks yang terbentuk dari

ikatan tersebut akan menempel pada reseptor CD 14 yeng terdapat dipermukaan

monosit, makrofag, dan neutrofil, sehingga sel – sel tadi menjadi teraktivasi.

Makrofag, monosit, makrofag, dan netrofil yang teraktivasi inilah yang

melepaskan mediator inflamasi atau sitokin proinflamatory seperti TNF α dan IL -

11 1β , IL – 2 , IL – 6, interferon gamma , platelet activating factor ( PAF ) ,

dimana dalam klinis akan ditandai dengan timbulnya gejala – gejala SIRS. Sitokin

proinflamasi ini akan mempengaruhi beberapa organ dan sel seperti di

hipotalamus yang kemudian menimbulkan demam, takikardi, dan takipneu .

Terjadinya hipotensi dikarenakan mediator inflamasi juga mempengaruhi dinding

pembuluh darah dengan menginduksi proses sintesis Nitrit oxide ( NO ) . Akibat

NO yang berlebih ini terjadi vasodilatasi dan kebocoran plasma kapiler, sel – sel

yang terkait hipoksia yang bila berlangsung lama terjadi disfungsi organ, biasanya

hal ini sering terjadi bila syok septik yang ditangani dengan baik. Selain respon
9

inflamasi yang sistemik, sepsis juga menimbulkan kekacauan dari sistem

koagulasi dan fibrinolisis . Paparan sitokin proinflamasi ( TNF – α , IL - 1β , IL –

6 ) juga menyebabkan kerusakan endotel, akibatnya neutrofil dapat migrasi,

platelet mudah adhesi ke lokasi jejas. Rusaknya endotel yang berlebihan ini akan

mengekpresikan atau mengaktifasikan TF, yang kita ketahui dapat menstimulasi

cascade koagulasi dari jalur ekstrinsik memproduksi trombin dan

fibrin.Pembentukan trombin selain menginduksi perubahan fibrinogen menjadi

fibrin, juga memiliki efek inflamasi pada sel endotel, makrofag, dan monosit

sehingga terjadi pelepasan TF, TNF – α yang lebih banyak lagi . Selain itu

trombin juga menstimulasi degranulasi sel mast yang kemudian meningkatkan

permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran kapiler. Bila sistem

koagulasi teraktivasi secara otomatis tubuh juga akan mengaktifasi sistem

fibrinolisis untuk mencegah terjadinya koagulasi yang berlebihan. Akan tetapi

dalam sepsis, TNF – α mempengaruhi system 12 antikoagulasi alamiah tubuh

yang mengganggu aktivitas dari antitrombin III , protein C , protein S , Tissue

Factor Protein Inhibitor ( TFPI ) dan Plasminogen Activator Inhibitor – I ( PAI – I

) sehingga bekuan yang terbentuk tidak dapat didegradasi . Akibatnya formasi

fibrin akan terus tertimbun di pembuluh darah , membentuk sumbatan yang

mengurangi pasokan darah ke sel sehingga terjadi kegagalan organ.

f. Diagnosis 3,6

Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi

mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apus gram dari buffy

coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme. Spesimen darah, urin,

dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses dan lesi kulit yang
10

terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apus untuk menentukan

organisme.
11

Gambar 1. Alur diagnosis syok septik

Tabel 1.1 Kriteria qSOFA

Kriteria qSOFA

1 Laju pernapasan ≥22 x/menit

2 Gangguan status mental

3 Tekanan darah sistolik ≤100 mmHg

Tabel 2 Skor SOFA


12

Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan

tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil

ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Anak yang menderita harus

dirawat di ruang rawat intensif yang mampu melakukan pemantauan secara

intensif serta kontinu diukur tekanan vena sentral, tekanan darah, dan cardiac

output.

g. Diagnosis

Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis


yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut
status hemodinamik.
1. Riwayat
Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau
nosokomial dan apakah pasien imunokompromis. Rincian yang harus
diketahui meliputi paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya di
tempat kerja, penggunaan alkohol, seizure, hilang kesadaran, medikasi dan
penyakit dasar yang mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu.
Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
13

1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau


instrumentasi.
2. Hipotensi, oliguria atau anuria.
3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas.
4. Perdarahan.
2. Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien
neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus
meliputi pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital. Pemeriksaan tersebut akan
mengungkap abses rektal, perirektal, dan/ atau perineal, penyakit dan/atau
abses inflamasi pelvis, atau prostatitis.
3. Uji laboratorium
meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung diferensial, urinalisis,
gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi
hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan foto dada. Biakan
darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan. Lakukan
pengecatan Gram di tempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular,
ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap 3) biakan
darah harus diperoleh dalam periode 24 jam. Volume sampel sering terdapat
kurang dari 1 bakterium/ml pada dewasa (pada anak lebih tinggi). Ambil 10-20 ml
per sampling pada dewasa (1-5 ml pada anak) dan inokulasikan dengan tryptlcase
soy broth dan thloglycolate soy broth. Waktu sampel untuk puncak demam
intermiten, bakteremia dominan 0,5 jam sebelum puncak demam. Jika terapi
antibiotik sudah dimulai, beberapa macam antibiotik dapat dideaktivasi di
laboratorium klinis.
Tergantung pada status klinis pasien dan risiko terkait, penelitian dapat
juga mengunakan foto abdomen, CT Scanning, MRI, ekokardiografi, dan/atau
punksi lumbal.
4. Temuan Laboratorium Lain
Sepsis awal. leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia,
dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Neutrofil mengandung granulasi toksik,
badan Dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis
14

respirator. Hipoksemia dapat dikoreksi dengan oksigen. Penderita diabetes dapat


mengalami hiperglikemia. Lipid serum meningkat.
Selanjutnya. Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin,
penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIG.
Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver)
meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi serum laktat. Asidosis
metabolik (peningkatan anion gap) terjadi setelah alkalosis respirator Hipoksemia
tidak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik dapat
menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.
Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah gejala SIRS dan
beratnya proses penyakit."
Komplikasi:
- Sindrom distres pernapasan dewasa (ARDS, adult respiratory disease
syndrome)
- Koagulasi intravaskular diseminata (DIG, disseminated intravascular
coagulation)
- Gagal ginjal akut (ARF, acute renal failure)
- Perdarahan usus
- Gagal hati
- Disfungsi sistem saraf pusat
- Gagal jantung
- Kematian
Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada SIRS dan sepsis
dalam penelitian berbeda adalah 19% untuk disfungsi CNS, 2-8% untuk
ARDS, 12% untuk gagal hati, 9-23% untuk ARF, dan 8-18% untuk DIG.
Pada syok septik, ARDS dijumpai pada sekitar 18%, DIG pada
38%, dan gagal ginjal 50%.
h. Tatalaksana6

1. Inisiasi Resusitasi

Hal-hal yang perlu diselesaikan dalam 3 jam pertama antara lain:

1. Ukur serum laktat


15

2. Ambil darah untuk dikultur

3. Antibiotik spektrum luas

4. Berikan cairan kristaloid 30 mL/kgBB. untuk hipotensi atau serum laktat ≥4

mmol/L

Hal-hal yang perlu diselesaikan dalam 6 jam pertama antara lain:

1. Berikan vasopressor (untuk hipotensi yang tidak merespons terhadap resusitasi

cairan untuk mencapai MAP ≥65 mmHg)

2. Jika terjadi hipotensi arterial yang persisten walaupun sudah resusitasi cairan

atau laktat ≥4 mmol/L: „ Ukur central venous pressure (CVP) „ Ukur saturasi

oksigen vena sentral

3. Ulangi pemeriksaan laktat Target yang ingin dicapai selama 6 jam pertama

resusitasi antara lain:

- Central venous pressure (CVP) 8–12 mm Hg

- Mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mm Hg

- Produksi urin ≥0,5 mL/kgBB/hr

- Saturasi oksigen vena sentral 70%

2. Terapi Antimikrobial Dini

Rekomendasi surviving sepsis campaign terkini adalah untuk memberikan

antibiotik intravena dalam 1 jam setelah diagnosis syok septik. Untuk infeksi berat

saluran pernapasan, dapat diberikan kombinasi terapi betalaktam (extended

spectrum) dengan aminoglikosida ataupun klorokuinolon untuk P. aeruginosa.

Kombinasi betalaktam dengan makrolid dapat diberikan pada pasien syok septik

dengan infeksi Streptococcus pneumonia. Kombinasi terapi empirik tidak boleh

lebih dari 3-5 hari. Total durasi antibiotik sesuai kultur 7-10 hari.
16

3. Vasopressor Dan Inotropik

Penggunaan vasopressor untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP) 65

mmHg. Norepinefrin merupakan pilihan pertama. Vasopresin 0,03 units/menit

dapat ditambahkan untuk menaikkan MAP atau menurunkan dosis norepinefrin.

Dopamin dapat digunakan sebagai vasopressor alternatif hanya pada kondisi

tertentu seperti pasien dengan risiko rendah takiaritmia dan bradikardia. Fenilefrin

tidak direkomendasikan kecuali terdapat artimia serius dengan pemakaian

norepinefrin dan kombinasi obat inotropik/vasopresor gagal mencapai target

MAP. Dopamin dosis rendah tidak digunakan untuk proteksi ginjal.10 Sebagai

inotropik dapat digunakan dobutamin dosis sampai dengan 20 mcg/kg/ menit atau

kombinasi dengan vasopresor jika terdapat disfungsi miokard dan hipoperfusi

menetap.

4. Nutrisi

Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,

glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan

penumpukan laktat, serta kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin.

Selain itu, terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia, dan proses katabolisme protein.

Kecukupan nutrisi: kalori, asam amino, asam lemak, vitamin, dan mineral perlu

sedini mungkin.

5. Kortikosteroid

Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison 50 mg bolus

IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik menghasilkan

penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Pada keadaan tanpa syok,

kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan.


17

.2 Acute Kidney Disease (AKD)

a. Definisi

Acute Kidney Disease (AKD) didefinisikan sebagai Acute Kidney Injuy (AKI)

stage 1 atau lebih yang masih timbul sampai lebih dari 7 hari hingga kurang dari 3

bulan setelah terjadinya AKI pertama kali.

AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga 6 minggu) laju filtrasi

glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal

untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit. Acute Dialysis Quality Initia- tive (ADQI)

yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002

sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi

kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan

penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan

patologi gangguan ginjal


18

i. Faktor Risiko

Pemahaman terhadap faktor resiko yang dimilki individu dapat membantu

untuk mencegah terjadinya AKI. Hal ini terutama berguna di rumah sakit, dimana

bisa dilakukan penilaian faktor resiko terlebih dahulu sebelum adanya paparan

seperti operasi atau adiministrasi agen yang berpotensi nefrotoksik. 8

Tabel 3. Faktor resiko AKI : Paparan dan susceptibilitas pada AKI nonspesifik

menurut KDGIO 2012

Akhirnya, sangat penting untuk menyaring pasien yang mengalami paparan

untuk mencegah AKI, bahkan disarankan untuk selalu menilai resiko AKI sebagai

bagian dari evaluasi awal admisi emergensi disertai pemeriksaan biokimia. 11

Monitor tetap dilaksanakan pada pasien dengan resiko tinggi hingga resiko pasien

hilang
19

j. Klasifikasi10,11

Klasifikasi berdasarkan Etiologi AKI secara klasik dibagi menjadi 3

kelompok utama berdasarkan lokasi kelainan patofisiologi, yaitu sebelum ginjal

(55%); berdasarkan lokasi kelainan patofisiologi, yaitu sebelum ginjal (55%);

Tabel 4. Klasifikasi RIFLE menurut the acute dialysis quality initiative

(ADQI)

Tabel 5. Klasifikasi AKIN (acute kidney injury network

k. Patofisiologi

Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI) :

1. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)

2. Penyakit intrinsik ginjal (renal)

3. Obstruksi renal akut (post renal)


20

- Bladder outlet obstruction (post renal)

- Batu, trombus atau tumor di ureter

1. Gagal Ginjal Akut Pre Renal (Azotemia Pre Renal)

Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta

berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut

akan terganggu dimana arteriol afferent mengalami vasokonstriksi, terjadi

kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini

disebut prerenal atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum terjadi kerusakan

struktural dari ginjal.

Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intrarenal

menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh berbagai

macam obat seperti ACEI, NSAID terutama pada pasien – pasien berusia di atas

60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-

renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi,

penggunaan diuretic, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa pada

pasien usia lanjut dapat timbul keadaan – keadaan yang merupakan resiko GGA

pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskuler),

penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. Sebuah penelitian

terhadap tikus yaitu gagal ginjal ginjal akut prerenal akan terjadi 24 jam setelah

ditutupnya arteri renalis.

2. Gagal Ginjal Akut Intra Renal (azotemia Intrinsik Renal)

Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari beberapa penyakit

parenkim ginjal. Berdasarkan lokasi primer kerusakan tubulus penyebab gagal

ginjal akut inta renal, yaitu :


21

1. Pembuluh darah besar ginjal

2. Glomerulus ginjal

3. Tubulus ginjal : nekrosi tubular akut

4. Interstitial ginjal

Gagal ginjal akut intra renal yang sering terjadi adalah nekrosi tubular akut

disebabkan oleh keadaan iskemia dan nefrotoksin. Pada gagal ginjal renal terjadi

13 kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular akut. Dimana

pada NTA terjadi kelainan vascular dan tubular. Pada kelainan vaskuler terjadi: •

peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang menyebabkan

sensitifitas terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan gangguan

otoregulasi. • terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan

sel endotel vaskular ginjal, yang mengakibatkan peningkatan A-II dan ET-1 serta

penurunan prostaglandin dan ketersediaan nitric oxide yang berasal dari endotelial

NO-sintase. • peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan

interleukin-18, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intraseluler

adhesion molecule-1 dan P-selectin dari sel endotel, sehingga peningkatan

perlekatan sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan

peningkatan radikal bebas oksigen. Kesuluruhan proses di atas secara bersama-

sama menyebabkan vasokonstriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan

GFR.

3.Sepsis-associated AKI

Merupakan penyebab AKI yang penting terutama di Negara berkembang.

Penurunan LFG pada sepsis dapat terjadi pada keadaan tidak terjadi hipotensi,

walaupun kebanyakan kasus sepsis yang berat terjadi kolaps hemodinamik yang
22

memerlukan vasopressor. Sementara itu, diketahui tubular injury berhubungan

secara jelas dengan AKI pada sepsis dengan manifestasi adanya debris tubular dan

cast pada urin. 14 Efek hemodinamik pada sepsis dapat menurunkan LFG karena

terjadi vasodilatasi arterial yang tergeneralisir akibat peningkatan regulasi sitokin

yang memicu sintesis NO pada pembuluh darah. Jadi terjadi vasodilatasi arteriol

eferen yang banyak pada sepsis awal atau vasokontriksi renal pada sepsis yang

berlanjut akibat aktivasi sistem nervus simpatis, sistem renin-angiotensus-

aldosteron, vasopressin dan endothelin. Sepsis bisa memicu kerusakan endothelial

yang menghasilkan thrombosis microvascular, aktivasi reaktif oksigen spesies

serta adesi dan migrasi leukosit yang dapat merusak sel tubular renal.

4. . Gagal Ginjal Akut Post Renal

Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA.

GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi

intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein

( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis ureter

oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik ( keganasan

pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor,

hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). GGA postrenal terjadi bila

obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter bilateral, atau obstruksi

pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi.

Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan aliran

darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh

prostaglandin-E2. Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran

darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh tromboxane-A2 dan A-II. Tekanan
23

pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai menetap. Fase ke-3 atau

fase kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang makin menurun dan penurunan

tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran darah ginjal

setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari

normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor -

faktor pertumbuhan yang menyebabkan fibrosis interstisial ginjal.

l. Diagnosis

1. Pendekatan Diagnosis

Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang

telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan

tersebut memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada

PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini

antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan

klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada

AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai.

Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula

berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan

penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah

pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi.

2. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan fisik dan penunjang adalah untuk membedakan pre-renal,

renal dan post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gagal ginjal akut diperiksa:

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyebabnya

seperti misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi


24

kulit, infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat

kencing batu.

2. Membedakan gagal ginjal akut dengan kronis misalnya anemia dan ukuran

ginjal yang kecil menunjukkan gagal ginjal kronis.

3. Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal

yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien rawat

selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan

adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada GGA berat dengan

berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat

menimbulkan edema, bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau

edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis

metabolic dengan kompensasi pernapasan Kussmaul. Umumnya manifestasi

GGA lebih didominasi oleh factor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya.

4. Assessment pasien dengan AKI

a. Kadar kreatinin serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa

berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat

mengukur secara tepat LFG karena tergantung dari produksi (otot), distribusi

dalam cairan tubuh, dan ekskresi oleh ginjal

b. Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator yang

spesifik untuk gagal ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-

nilai biokimia darah. Walaupun demikian, volume urin pada GGA bisa

bermacam-macam, GGA prerenal biasanya hampir selalu disertai oliguria

c. Petanda biologis (biomarker). Syarat petanda biologis GGA adalah mampu

mendeteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan


25

teknik pemeriksaannya. Petanda biologis diperlukan untuk secepatnya

mendiagnosis GGA. Petanda biologis ini adalah zat-zat yang dikeluarkan oleh

tubulus ginjal yang rusak, seperti interleukin 18, enzim tubular, N-acetyl-B-

glucosamidase, alanine aminopeptidase, kidney injury molecule 1. Dalam satu

penelitian pada anak-anak pasca bedah jantung terbuka gelatinaseassociated

lipocain (NGAL) terbukti dapat dideteksi 2 jam setelah pembedahan, 34 jam

lebih awal dari kenaikan kadar kreatinin.

3. Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi

glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI

prerenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang

transparan. AKI postrenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif,

walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen

atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat

mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown”

granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan

pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis

tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast

pada nefritisinterstitial.

Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin

(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat

mengarahkanpada penentuan tipeAKI.


26

Kelainan analisis urin dapat dilihat pada tabel 6

m. Tata laksana

Perbaikan Status Cairan

Bila terdapat kekurangan cairan pada pasien dengan risiko atau sudah

mengalami gagal ginjal akut, sebaiknya resusitasi dilakukan dengan cairan

kristaloid isotonik seperti cairan salin normal dan ringer laktat. Pengobatan

dengan diuretik tidak disarankan untuk mencegah gagal ginjal akut, kecuali bila

terbukti adanya kelebihan cairan tubuh. Furosemid digunakan untuk


27

mengeluarkan cairan pada saat ginjal masih berespon dengan obat ini. Respon

ginjal terhadap furosemid dapat dikatakan sebagai tanda prognosis yang baik.

Perbaikan Tekanan Darah

Perbaikan tekanan darah dilakukan dengan target mean arterial

pressure minimal 65 mmHg. Penggunaan dopamine dalam dosis rendah (≤ 5

mcg/kgBB/menit) tidak dianjurkan karena hanya memberikan efek sementara

perbaikan fisiologis ginjal dan tidak memberikan keuntungan klinis berikutnya.

[14]

Perbaikan Kadar Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa

Hiperkalemia berat (≥ 6.5 mmol/L) atau dengan perubahan EKG (contoh:

gelombang T tinggi) dapat diberikan 5-10 unit insulin dengan dextrose agar

terjadi pergerakan kalium ke intrasel. Kalsium glukonas (10 mL pada konsentrasi

10%) diberikan dalam 5 menit secara intravena, digunakan untuk stabilisasi

membran sel dan menurunkan risiko aritmia. Hiperkalemia juga dapat diatasi

dengan penggunaan sodium polystyrene sulfonate atau furosemide.

Gagal ginjal akut juga dapat menyebabkan asidosis yang perlu dikoreksi

dengan menggunakan bikarbonat.

Diet dan Kontrol Gula Darah

Pasien harus merestriksi asupan kalori dan protein. Total energi yang

disarankan untuk diberikan adalah 20 – 30 kkal/kgBB/hari. Total protein yang

disarankan untuk diberikan:

 0.8 – 1.0 gr/kgBB/hari pada gagal ginjal akut tanpa dialisis

 1.0 – 1.5 gr/kgBB/hari pada gagal ginjal akut dengan atau memerlukan

dialisis
28

 Maksimum 1.7 gr/kgBB/hari pada gagal ginjal akut dengan continous

renal replacement therapy (CRRT)

Pasien juga harus membatasi asupan garam dan cairan. Pada pasien yang

mengalami hiperkalemia, pasien juga harus menjalani diet rendah kalium.

Hemodialisis

Terapi pengganti ginjal seperti cuci darah pada gagal ginjal akut dilakukan

secara segera (cito) apabila terdapat kondisi gagal ginjal akut yang mengancam

nyawa, seperti:

 Kelebihan cairan yang tidak dapat ditangani dengan obat-obatan

 Asidosis yang tidak dapat ditangani dengan obat-obatan

 Perikarditis atau pleuritis uremikum

 Keracunan dan intoksikasi, seperti keracunan lithium dan intoksikasi

alkohol

Gagal ginjal akut umumnya reversibel sehingga hemodialisis dapat

dihentikan bila sudah tidak diperlukan lagi


29

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Tn. SH

Umur : 69 tahun

Agama : Islam

Suku : Banjar

Pekerjaan : Freelance

Alamat : Jalan Arjuna 6 Banjarmasin

MRS : 17 November 2020

RMK : 0414523

B. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis dengan keluarga pasien pada

tanggal 23 November 2020.

1. Keluhan Utama : Tidak bisa kencing

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


30

Pasien datang ke IGD RSUD Ulin Banjarmasin dengan keluhan penurunan

kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Penurunan kesadaran

dirasakan perlahan-lahan. Awalnya penderita tidak nafsu makan dan pasien

hanyar berbaring. Pasien sebelumnya dirawat inap karena penurunan fungsi ginjal

karena pembesaran prostat dan dirancanakan untuk operasi namun diunda,

sehingga pasien dipulangakn. Pasien mengalami tidak bisa buang air kecil sejak 2

hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien mengeluh BAK cenderung

sulit dan tidak tuntas sejak 2 bulan terakhir, pasien BAK di pampers sehari bisa

mencapai 5-6 pampers. Pasien mengeluhkan demam yang dirasakan 2 hari

sebelum masuk rumah sakit. Pasien kesulitan menelan sejak terkena stroke 10

tahun yang lalu sehingga sulit makan maupun minum. Tidak ada kejang, tidak ada

muntah, pasien mengaku ada merasa mual. Pasien menderita hipertensi sejak 10

tahun yang lalu

Riwayat penyakit dahulu :Stroke (+) Diabete melitus (-)

Riwayat penyakit keluarga : Hipertensi (-) Diabetes Melitus (-)

Riwayat alergi : Tidak ada

Riwayat imunisasi : Pasien mengaku tidak ada imunisasi baru-

baru ini

Hobi : Tidak ada yang spesifik

Olahraga : Pasien jarang berolahraga

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Kebiasaan makan : 3 kali sehari, teratur


31

Merokok : Tidak Merokok

Minum alkohol : Tidak minum alkohol

Hubungan Seks : Menikah 1x dan memiliki 2 anak


32

C. Pemeriksaan Fisik

1. Status generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : somnolen, GCS E3V4M5

Antropometri : BB = 48 kg, TB = 165 cm

Status Gizi : IMT = 18,1 kg/m2, Kurang

2. Tanda vital

Tekanan Darah : 80/40 mmHg

Denyut Nadi : 73 kali/menit

Frekuensi Nafas : 23 kali/menit, reguler

Temperatur Aksila : 36.5 oC

SpO2 : 90% on room air

3. Kulit

Inspeksi : Turgor kulit lambat, ptekie (-),hematom(-),kuku

utuh dalam batas normal,rambut tidak mudah

rontok terdistribusi merata ikterik(-)

Palpasi : Nodul (-), atrofi (-), sclerosis (-), turgor skin (+)

4. Kepala dan leher

Inspeksi : Bentuk kepala normosefali, sikatrik (-),

pembengkakan leher (-)

Palpasi : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-), nyeri

tekan pada tiroid dan KGB (-)


33

Auskultasi : Bruit (-)

Pemeriksaan lain : JVP normal (5+ 2 CmH2O), kaku kuduk (-)

5. Telinga

Inspeksi : Serumen (+/+) minimal, infeksi (-/-)

Palpasi : Nyeri mastoid (-/-), massa (-)

6. Hidung

Inspeksi : Mukosa hidung kemerahan (-/-), perdarahan (-/-).

Palpasi : Nyeri (-)

7. Rongga mulut dan tenggorokan

Inspeksi :Tidak terdapat hiperemis, leukoplakia maupun

kelainan lain pada rongga mulut, gigi lengkap.

Palpasi : Nyeri (-), massa (-)

8. Mata

Inspeksi : Sklera ikterik (-), konjungtiva pucat (-/-), refleks

pupil (+/+), diameter pupil 2 mm isokor, produksi

air mata cukup.

9. Toraks

Inspeksi : Bentuk dada normal, gerakan dinding dada simetris,

pernapasan irama reguler, tumor (-).

Palpasi : Fremitus fokal pada kedua lapang paru terdapat

penurunan.

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi :Suara nafas vesikular, ronki (-), wheezing (-)


34

10. Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra.

Perkusi : Batas Kiri : ICS V linea midclavicula sinistra

Batas Kanan : ICS IV linea parasternal dextra

Auskultasi : S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

11. Abdomen

Inspeksi : abdomen datar, supel (+), striae (-), hernia (-), distensi (-)

Auskultasi : peristaltik usus (+), bruit (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-), shifting dullness (+)

- - -
- - -
- - -
Liver span 8 cm , hepatomegaly (-), splenomegaly (-), lien

tidak teraba

Perkusi :

T T T
T T T
T T T
12. Punggung

Inspeksi : Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)

Palpasi : Nyeri (-), gybus (-), tumor (-)

13. Ekstremitas

Inspeksi : Gerak sendi normal, deformitas (-), pembengkakan

(-/-)

Palpasi : Krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-).


35

Akral hangat + + Edema - -

+ + - -

14. Alat kelamin dan rektum

Tidak terdapat nyeri, tidak terdapat luka, priuritus (-), terdapat ulkus

decubitus grade 1 pada gluteus maximus

15. Neurologi

Hasil : Tremor (-/-) motorik (+)

16. Bicara

Hasil : disartria (+), afasia (-), apraxia (-)


36

D. Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium 17 November 2020 (10:19:39)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


GINJAL

Ureum 381 0-50 Mg/dl


0.72-1.25
Kreatinin 9.67 mgdl

ELEKTROLIT
Natrium 128 136-145 Meq/L
Kalium 7.0 3.5-5.1 Meq/L
Clorida 112 98-107 Meq/L
HATI DAN PANKREAS
SGOT 55 5-34 U/l

SGPT 11 0 – 55 U/l

DIABETES

Gula darah sewaktu 126 <200.00 Mg/dl

HEMATOLOGI

Hemoglobin 11.4 14,00 – 18,00 g/dl

Leukosit 12.5 4.00 – 10.5 ribu/uL

Eritrosit 4.31 4,00 – 5,30 juta/uL

Hematokrit 33.9 37,00 – 47,00 vol%

Trombosit 417 150 – 450 ribu/uL

RDW-CV 16.9 12,1 – 14,0 %


MCV, MCH, MCHC
MCV 78.7 75,0 – 96,0 fl
MCH 26.5 28,0 – 32,0 Pg
37

MCHC 33.6 33,0 – 37,0 %


HITUNG JENIS
0,0-1,0
Basofil % 0,4 %

Eosinofil% 0.2 2,50-7,00 %

Neutrofil % 80.1 50,0-81,0 %


Monosit% 6.9 2.0-8.0 %
Limfosit% 12.4 2,0-8,0 %
Basofill # 0,05 <1,00 ribu/uL
Eosinofil # 0,02 <3,00 ribu/uL
Neutrofil # 10.03 2.50-7.00 mg/dl
Limfosit# 1.55 1,25-4,00 ribu/uL
Monosit# 0.87 0.30-1.00 ribu/uL

HEMOSTASIS

Hasil PT 11.3 9.9-13.5 detik

INR 1.10 -

Control normal PT 10.8 -

Hasil APTT 33.1 22.2-38.0 Detik

Control normal APTT 24.8 -

Hasil pemeriksaan laboratorium 17 November 2020 (14:38:36)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

GAS DARAH

Suhu 36,6 celcius

pH 7.179 7.350-7.450

PCO2 20.9 35.0-45.0 mmHg


38

TCO2 8.0 22.0-29.0 mEq/L

PO2 184.0 80.0-100.0 mmHg


HCO3 7.8 22.0-26.0 mEq/L
O2 Saturasi 99.0 75.0-99.0 %
Base excess (BE) -21.0 -2.0-3.0 mEq/L
%FIO2 37 %

Hasil Pemeriksaan laboratorium 17 November 2020 (21:10:51)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
GAS DARAH

Suhu 36,5 celcius

pH 7.297 7.350-7.450

PCO2 18.9 35.0-45.0 mmHg

TCO2 10.0 22.0-29.0 mEq/L

PO2 131.0 80.0-100.0 mmHg


HCO3 9.3 22.0-26.0 mEq/L
O2 Saturasi 99.0 75.0-99.0 %
Base excess (BE) -17.0 -2.0-3.0 mEq/L
%FIO2 29 %
GINJAL
Ureum 257 0-50 Mg/dl

Kreatinin 6.57 0.72-1.25 mgdl

ELEKTROLIT
Natrium 131 136-145 Meq/L
Kalium 5.6 3.5-5.1 Meq/L
Clorida 110 98-107 Meq/L
39

Hasil pemeriksaan laboratorium 18 November 2020


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
URINALISA
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
Berat Jenis 1.020 1.005-1.030
pH 6.0 5.0-6.5
Keton Negatif Negatif

Protein-Albumin Negatif Negatif

Glukosa Negatif Negatif

Negatif Negatif
Bilirubin
2+ Negatif
Darah Samar
Negatif Negatif
Nitrit
0.1 0.1-1.0
Urobilinogen
3+ Negatif
Lekosit

SEDIMEN URIN
>100 0-3 /LPB
Lekosit
Eritrosit 5-10 0-2 /LPB

1+ 1+
Epithel
Negatif Negatif
Kristal
Negatif Negatif
Silinder
3+ Negatif
Bakteri
Negatif Negatif
Lain-lain

Hasil pemeriksaan laboratorium 19 November 2020


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
GINJAL

Ureum 246 0 – 50 mg/dl


40

Creatinin 4.40 0,72 – 1,25 mg/dl

Asam urat 11.3 3.5-7.2 mg/dl

HATI DAN PANKREAS

Total protein 6.0 6.0-7.8 g/dl

Albumin 2.9 3.2-4.6 g/dl

Globulin 3.1 2.2-2.6 g/dl

Hasil pemeriksaan laboratorium 20 November 2020

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMOSTASIS

Hasil PT 51.8 9.9-13.5 detik

INR 5.33 -

Control normal PT 11.4 -

Hasil APTT 50.4 22.2-38.0 Detik

Control normal APTT 26.1 -

D-Dimer 2.10 <0.22 Mg/L

HATI DAN PANKREAS

Biliriubin total 0.57 0.20-1.20 Mg/dl

Bilirubin Direk 0.33 0.00-0.20 Mg/dl

Bilirubin Indirek 0.24 0.20-0.80 Mg/dl

GINJAL

Ureum 88 0 – 50 mg/dl

Creatinin 1.70 0,72 – 1,25 mg/dl


41

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 21 November 2020

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HATI DAN PANKREAS
Albumin 2.9 3.2-4.6 g/dl
SGOT 24 5-34 U/l

SGPT 24 0 – 55 U/l

Hasil Pemeriksaan laboratorium tanggal 22 November 2020

GINJAL

Ureum 72 0 – 50 mg/dl

Creatinin 1.35 0,72 – 1,25 mg/dl

Hasil Pemeriksaan laboratorium tanggal 23 November 2020

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 9.0 14,00 – 18,00 g/dl

Leukosit 13.2 4.00 – 10.5 ribu/uL

Eritrosit 3.43 4,00 – 5,30 juta/uL

Hematokrit 28.0 37,00 – 47,00 vol%

Trombosit 284 150 – 450 ribu/uL

RDW-CV 15.2 12,1 – 14,0 %


MCV, MCH, MCHC
MCV 81.6 75,0 – 96,0 fl
MCH 26.2 28,0 – 32,0 Pg
42

MCHC 32.1 33,0 – 37,0 %


HITUNG JENIS
Basofil % 0,2 0,0-1,0 %

Eosinofil% 1,4 2,50-7,00 %

Neutrofil % 82.1 50,0-81,0 %


Monosit% 6.4 2.0-8.0 %
Limfosit% 9,9 2,0-8,0 %
Basofill # 0,02 <1,00 ribu/uL
Eosinofil # 0,18 <3,00 ribu/uL
Neutrofil # 10.82 2.50-7.00 mg/dl
Limfosit# 1.31 1,25-4,00 ribu/uL
Monosit# 0.87 0.30-1.00 ribu/uL
HEMOSTASIS

Hasil PT 64.4 9.9-13.5 detik

INR 6.38 -

Control normal PT 11.4 -

Hasil APTT 72.9 22.2-38.0 Detik

Control normal APTT 26.1 -

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 24 November 2020

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

GINJAL

Ureum 62 0 – 50 mg/dl

Creatinin 1.00 0,72 – 1,25 mg/dl


43

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 25 November 2020

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMOSTASIS

Hasil PT 11.4 9.9-13.5 detik

INR 1.01 -

Control normal PT 10.8 -

Hasil APTT 22.3 22.2-38.0 Detik

Control normal APTT 24.8 -

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 27 November 2020

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

GINJAL

Ureum 49 0 – 50 mg/dl

Creatinin 1.00 0,72 – 1,25 mg/dl

Hasil USG Urologi 26 November 2020

Ren Dextra : Ukuran normal, intensitas echocortex


homogen normal, tak tampak batu/kista/ectasis
Ren Sinistra : Ukuran normal, intensitas
echocortex homogen normal, tak tampak
kista/batu/ectasis
Vesica Urinaria : dinding menebal, tak tampak
massa/batu, distended
Prostat : volume 54 cc, tak tampak kalsifikasi

Kesimpulan :
44

1. Prostat hyperplasy vol 54 cc


2. Tak tampak batu/obstruksi renal

Hasil foto thorax AP 19 November 2020

- Tampak corakan bronkovaskular kasar


- Tidak tampak pelebaran kedua pleural space
- Kedua diafragma licin dan tidak mendatar
- Cor, CTR >0.5, Kalsifikasi arcus aorta (+)
- Sistema tulang yang tervisualisasi intak
Kesan : Bronkitis, Cardiomegaly dengan aortoskelrosis.
45

EKG (17 November 2020)

-Frekuensi = 68 reguler
-Irama = Sinus
- Axis Frontal = Normoaksis
-Gel P = normal
- Gel QRS = normal
- Gel Q = Terdapat Q patologis di sadapan III AVF
- Segmen ST = Normal
- Gel T = normal
Kesimpulan : OMI Inferior
E. Diagnosis Kerja

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka


dapat ditegakkan diagnosis penyakit pasien ini adalah:

1. Syok Condition dt sepsis


2. Penurunan kesadaran
2.1 ensefalopati sepsis
2.2 uremic ensefalopati
3. AKI stage III dd acute superimposed on CKD dengan komplikasi
hiperkalemi
Akut : ensefalopati uremua dt sepsis
Kronik : 3.1 pyelonephritis kronik
3.2 obstruksi saluran kencing dt BPH dd maligna
1. Hiponatremia
2. Hiperkalemia

Resume Data Dasar


46

Anamnesis Keluhan Utama: penurunan


kesadaran
Penurunan kesadaran sejak 1 hari
SMRS. Penurunan kesadaran
dirasakan perlahan. Sebelumnya
pasien tidak nafsu makan dan
hanya berbaring di tempat tidur.
Pasien tidak BAK sudah 2 hari
sebelum masuk rumah sakit.
Sebelumnya pasien kesulitan
BAK dan tidak tuntas. Hipertensi
(+) sejak 10 tahun yang lalu.
Stroke (+) 10 tahun yang lalu.
Riwayat penyakit serupa pada
keluarga disangkal, HT(-), DM
(-).

Pemeriksaan Fisik 17/11/2020)


GCS E3V4M5
TD 90/60 mmHg
RR 23x/menit
T 36,5°C
HR 98 x/menit
Konjungtiva pucat (-/-)
Thorax : gerakan dada simetris,
perkusi timpani, fremitus vokal
(+), Ronki (-), Wheezing (-)
Abdomen : Timpani, Shifting
Dullness (-)
Ekstremitas : Pitting Edema (-)
akral hangat (+/+)
Pemeriksaan Penunjang LABORATORIUM
17/11/2020
Ureum 381 mg/dl, Kreatinin
9.67mg/dl, natrium 128 mEq/L,
Kalium 7.0 mEq/L. clorida 112
47

mEq/L, SGOT 55 U/1, HB 11.4,


leukosit 12.5 ribu/uL, hematokrit
33.9 vol%, RDW-CV 16.9%,
MCV 78.7 fl, MCH 26.5 Pg,
MCHC 33.6%, eosinophil%
0.2%, neutrophil% 80.1%,
Limfosit% 12.4%, neutrophil#
10.03mg/dl, pH 7.179, PCO2
20.9 mmHg, TCO2 8.0 mEq/L,
PO2 184.0 mmHg, HCO3 7.8
mEq/L, Base excess -21.0
mEq/L
RADIOLOGI
USG Urologi (26/11/2020)
Ren Dextra : Ukuran normal,
intensitas echocortex homogen
normal, tak tampak
batu/kista/ectasis
Ren Sinistra : Ukuran normal,
intensitas echocortex homogen
normal, tak tampak
kista/batu/ectasis
Vesica Urinaria : dinding
menebal, tak tampak massa/batu,
distended
Prostat : volume 54 cc, tak
tampak kalsifikasi
Kesimpulan :
1. Prostat hyperplasy vol
54 cc
2. Tak tampak
batu/obstruksi renal

Daftar Masalah
Berdasarkan data-data diatas, didapatkan daftar masalah
DAFTAR MASALAH
No Masalah Data Pendukung
48

S: penurunan kesadaran 1
hari sebelum masuk rumah
sakit.
O:
GCS : E3V4M5
Syok condition dt
1 TD : 90/60 mmHg
sepsis
RR: 23 x/menit
HB: 11.4
Leukosit : 12.5 ribu/uL
Ureum : 381 mg/dl
Kreatinin : 9.67 mg/dl
S: Penurunan kesadaran sejak
Penurunan kesadaran 1 hari sebelum masuk rumah
1. Septik sakit, mual, tidak nafsu
ensefalopati makan
2
2. Uremic O: Leukosit : 12.5 ribu/uL
ensefalopati Ureum : 381 mg/dl
  Kreatinin : 9.67 mg/dl

S: tidak bisa BAK sejak 2


hari yang lalu
3. AKI stage III
O: Kreatinin : 9.67
GFR: 5.1
4. Hiponatremi O : Natrium 126 Meq/L

5. Hiperkalemi O : Kalium 7.9 Meq/L


49

Rencana Awal
No Masalah Rencana Rencana Rencana Rencana edukasi
diagnosis terapi monitoring
1. Syok Condition Kultur -IVFD NS Evaluasi TTV Edukasi pasien dan
dt sepsis darah 1000cc Cek keluarga tentang
-inj keseimbanga penyakit
cefotaxime n cairan pasien,komplikasi,target
2x1g tatalaksana.
-drip NE jika
MAP <65

2. Penurunan Urine -O2 NRM 10 Cek tanda Edukasi pasien dan


kesadaran lengkap lpm vital keluarga tentang
2.1 ensefalopati EKG HD cito jika Cek penyakit
sepsis CT Scan MAP >70 keseimbanga pasien,komplikasi,target
2.2 uremic Kepala mmHg n cairan tatalaksana.
ensefalopati
3. AKI stage III USG IVFD NS Evaluasi Edukasi pasien dan
urologi 1000cc tanda vital keluarga tentang
Monitor urin penyakit
output pasien,komplikasi,target
Cek kreatinin tatalaksana.
4. Hiponatremi IVFD NaCl Cek elektrolit Edukasi pasien dan
0,9% 500cc keluarga tentang
penyakit
pasien,komplikasi,target
tatalaksana.
5. Hiperkalemi -Ca Glukonat cek elektrolit Edukasi pasien dan
10cc keluarga tentang
-Insulin 10IU penyakit
50

-D40% 20tpm pasien,komplikasi,target


tatalaksana.

Follow Up dan Rencana Lanjutan

Tgl (Okt) 17-18/11/2020 19-20/11/2020 21-22/11/2020 23-24/11/2020


Subjektif
Penurunan + + - +
kesadaran
Mual/ muntah +/- +/- -/- -/-
Lemas + + + -
BAB/BAK +/- +/- +/+ -
Nafsu makan - - + +
Objektif
Kes / GCS Delirium / 345 Stupor / 463 CM/ 456 CM/ 456
TD (mmHg) 80/40 90/60 100/60 110/80
Nadi (x/mnt) 73 98 90 85
RR (x/mnt) 23 20 20 20
T (oC) 36.5 36.5 36.5 36.8
SpO2 (%) 90% 99% + nc 4 lpm 95% nc 2lpm 99%
Conjunctiva -/- -/- -/- +/-
anemis / sklera
ikterik
Thorax: -/+/+/- -/+/+/- -/+/+/- -/+/+/-
retraksi /
sonor /
vesikuler /
suara tambahan
Abdomen: -/+/-/- -/+/-/+ -/+/-/+ -/+/-/+
Distensi/
BU/Nyeri
tekan/shifting
51

dullness
Extremitas: +/- +/+ +/+ +/+
Akral hangat
Edema
Motorik: 4/4 4/4 4/4 4/4
Ekstremitas
superior D/S

Ekstremitas
inferior D/S 4/4 4/4 4/4 4/4

Assessment
1. Syok
1. Syok 1. Syok
1. Syok condition condition dt
condition dt condition dt
dt sepsis sepsis
sepsis sepsis
2. Penurunan 2. Penurunan
2. Penurunan 2. Penurunan
kesadaran kesadaran
kesadaran kesadaran
2.1 ensefalopati 2.1
2.1 ensefalopati 2.1 ensefalopati
sepsis ensefalopati
sepsis sepsis
2.2 uremic sepsis
2.2 uremic 2.2 uremic
ensefalopati 2.2 uremic
ensefalopati ensefalopati
3. aku stage III dd ensefalopati
3. aku stage III 3. aku stage III
acute 3. aku stage III
dd acute dd acute
superimposed on dd acute
superimposed on superimposed
CKD superimposed
CKD on CKD
4. hiponatremi on CKD
4. hiponatremi 4. hiponatremi
5.hiperkalemi 4. hiponatremi
5.hiperkalemi 5.hiperkalemi
5.hiperkalemi

Planning
Kultur darah Konsul urologi Sitologi urin Sitologi urin
HD Cito untuk Daftar USG USG urologi
pertimbangan HD urologi Lacak K/S
O2 NRM 10 lpm lanjutan Cek kimia darah, k/s urin
Post loading NS Cek Ureum ginjal, cek DR, PT,
1000cc kreatinin elektrolit APTT, INR
Inj Omeprazol Lacak K/S
1x1g Diet Renal 1800 darah, K/S urin Diet renal
Inj cefotaxime kkal/hari 1800 kkal/hari
2x1g IVFD NaCl Diet renal 1800 IVFD NaCl
52

1000cc/24 jam
kkal/hari
Drip Ne Inf Renxamin 1000cc/24 jam
IVFD NaCl
Koreksi 200cc/24jam Inf Renxamin
1000 cc/24 jam
Hiperkalemia 3 Inj cefoperazone 1 botol/hari
Inf Renxamin 1
siklus 1gr/12jam Inj
botol/hari
Ca Gluconas Inj Moxifloxacin Cefoperazone
Inj
10cc 1x400mg 1gr/12 jam
Cefoperazone
Insulin 10% + Inj Omeprazole Inj
1gr/12 jam
D40% 20tpm 1x 40mg Omeprazole
Inj Omeprazole
PO Kalitake 3x5g 1x 40mg
1x 40mg
PO Nabic Vit K 3x10mg
Vit K 3x10mg
3x500mg

BAB IV

PEMBAHASAN.

Pasien Tn. SH, 69 tahun pada anamnesis didapatkan pasien datang ke IGD

dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Penurunan kesadaran dirasakan perlahan. Pasien awalya tidak nafsu makan dan

hanya berbaring di tempat tidur. Pasien mengalami tidak bisa buang air kecil sejak

2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien mengeluhkan sulit untuk

BAK dan merasa tidak tuntas sejak 2 bulan terkahir. Pasien BAK di pampers dan

sehari bisa mencapai 5-6 pampers. Pasien mengeluhkan demam yang dirasakan 2

hari sebelum masuk rumah sakit. Tidak ada muntah, tidak ada kejang, pasien

mengaku merasa mual. Pasien kesulitan menelan sejak terkena stroke 10 tahun

yang lalu sehingga sulit makan maupun minum. Pasien sebelumnya dirawat inap
53

karena penurunan fungsi ginjal karena pembesaran prostat dan dirancanakan

untuk operasi namun ditunda, sehingga pasien dipulangkan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium, pasien tampak

lemas, pemeriksaan kulit, kepala, leher, mata, telinga, dalam batas normal.

Kecuali pada pemeriksaan thorax didapatkan pergerakan dinding dada asimetris,

fremitus vokal menurun, perkusi redup diseluruh lapang paru, auskultasi terdapat

ronki basah pada basal paru. Pemeriksaan abdomen terdapat shifting dulllness

serta ektremitas superior dan inferior terdapat pitting edema.

Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium tanggal 17

November 2020 didapatkan Ureum 381 mg/dl, kreatinin 9.67 mg/dl, natrium 128

mEq/L, kalium 7.0 mEq/L, Klorida 112 mEq/L, SGOT 55 U/I, HB 11.4g/dl,

leukosit 12.5 ribu/uL, hematokrit 33.9 vol%, RDW-CV16.9%, MCV 78.7fl, MCH

26.5pg, MCHC 33.6%.

Pada pemeriksaan USG urologi didapatkan penebalan dinding vesika

urinaria dan tidak ditemukan adanya batu, kista, atau ektasis. Tidak ada

pembesaran renal dextra maupun sinistra, intensitas echocortex homogen normal,

dan tidak tampak ada batu/kista/ektasis. Prostat tampak membesar dengan volume

54 cc.

Kriteria diagnosis sepsis berdasarkan European Society of Intensive Care

medicine’s and the society of Critical Care medicine’s third international

consensus definition for sepsis and septic shock tahun 2016, kriteria sepsis harus

mencakup tiga elemen sepsis yaitu infeksi, respons tubuh, dan disfungsi organ.

Disfungsi organ dapat dinilai dengan skor SOFA (sequential/sepsis-related organ

failure assessment) sedangkan untuk skrining pasien yang dicurigai sepsis dapat
54

menggunakan kriteria qSOFA (quick SOFA). Pada pasien ini untuk screening

menggunakan skor qSOFA didapatkan hasil 3 poin, sedangkan untuk skor SOFA

didapatkan 6 poin yang mana berarti pada pasien ini prediksi mortalitasnya

sebesar 33.3%.

Pada pasien ini mengalami syok karena tekanan darah pasien adalah 80/40

mmHg. Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah

(sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sitolik lebih dari

40mmHg) disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi, meski telah dilakukan

resusitasi secara adekuat atau perlu vasopressor untuk mempertahankan darah dan

perfusi organ.

Pada pasien ini terjadi penurunan kesadaran yang dapat disebabkan oleh

ensefalopati. Ensefalopati merupaka kondisi disfungsi otak yang global dan dapat

menyebabkan terjadinya perubahan kesadaran, tingkah laku, dan kejang.

Ensefalopati uremik dapat diseabkan oleh gagal ginjal aku ataupun kronis. Urea

berasal dari hasil katabolsme protein. Bila terjadi AKI atau CKD, kadar urea akan

meningkat dengan cepat karena ginjal tidak mampu membuang limbah dan cairan

berlebih. Akibatnya, penumpukan urea dalam darah pun terjadi atau disebut

uremia. Uremia dapat memicu gangguan neurotransmitter di dalam otak, seperti

penurunan kadar GABA (gamma-aminobutyric acid). Sehingga terjadi uremik

ensefalopati.

Penangan syok adalah resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam

pertama. Tindakan mencakup Airway (a), Breathing (b), Circulation (c),

oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.


55

Pemantau terhadap tekanan arteri rata-rata atau Mean Arterial Pressure (MAP)

>65 mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam.

Oksigenasi merpakan tindakan awal yang sangat menolong. Oksigenasi

bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di

darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di

jaringan. Pada pasien ini dilakukan pemasangan oksigen no-breathing oxygen

face mask (NRM) sebanyak 10 lpm

Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik

kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor

kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap

pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan

ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi

urin, dan membaiknya penurunan kesadaran.

Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi

dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami

hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara titrasi untuk

mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor

dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5

mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit.


56

BAB V

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Telah dilaporkan seorang pasien Tn. SH berusia 62 tahun. Pasien dating

dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran terjadi 1 hari

sebelum masuk rumah sakit. Penurunan kesadaran dirasakan perlahan-lahan.

Awalnya penderita tidak nafsu makan dan pasien hanyar berbaring. Pasien

sebelumnya dirawat inap karena penurunan fungsi ginjal karena pembesaran

prostat dan dirancanakan untuk operasi namun diunda, sehingga pasien

dipulangakn. Pasien mengalami tidak bisa buang air kecil sejak 2 hari sebelum

masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien mengeluh BAK cenderung sulit dan tidak

tuntas sejak 2 bulan terakhir, pasien BAK di pampers sehari bisa mencapai 5-6

pampers. Pasien mengeluhkan demam yang dirasakan 2 hari sebelum masuk

rumah sakit. Pasien kesulitan menelan sejak terkena stroke 10 tahun yang lalu
57

sehingga sulit makan maupun minum. Tidak ada kejang, tidak ada muntah, pasien

mengaku ada merasa mual. Pasien menderita hipertensi sejak 10 tahun yang lalu

Tatalaksana pertama pada pasien ini adalah menggunakan prinsip ABC,

pasien dipasang O2 NRM 10 lpm dan mengembalikan keseimbangan cairan

dengan memberikan IVFD NS 1000cc. apabila tekanan darah tidak kunjung naik

maka dilakukan drip NE jika MAP<65.

Anda mungkin juga menyukai