Anda di halaman 1dari 24

TINJAUAN PUSTAKA

LIMFADENITIS / LIMFADENOPATI

PEMBIMBING :

dr. Arifiyah, Sp.A


dr. Hery, Sp.A
dr. R. Setyadi, Sp.A

DISUSUN OLEH:

Marsya Nursyifani 030.15.109

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 27 JULI 2020 – 20 AGUSTUS 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat,
rahmat dan karunia-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka
ini yang berjudul “Limfadenitis / Limfadenopati” dengan baik dan tepat waktu.
Tinjauan pustaka ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik stase ilmu
kesehatan anak RSUD Budhi Asih periode 27 Juli 2020 – 20 Agustus 2020.
Dalam menyelesaikan tinjauan pustaka ini penulis mendapatkan bantuan
dan bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada seluruh pihak terkait.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih memiliki kekurangan,
maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari semua pihak agar tinjauan pustaka ini dapat menjadi lebih baik lagi. Semoga
pembuatan tinjauan pustaka ini dapat memberikan manfaat, yaitu menambah ilmu
pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk rekan-rekan kedokteran
maupun paramedis lainnya dan masyarakat pada umumnya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................2
2.1 Definisi.........................................................................................2
2.2 Epidemiologi................................................................................2
2.3 Etiologi.........................................................................................3
2.4 Faktor Risiko................................................................................6
2.5 Klasifikasi....................................................................................6
2.6 Patofisiologi.................................................................................7
2.7 Penegakkan Diagnosis.................................................................8
2.7.1 Anamnesis..............................................................................8
2.7.2 Pemeriksaan Fisik.................................................................10
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang........................................................14
2.7.4 Limfadenitis TB pada anak...................................................15
2.8 Diagnosis Banding.....................................................................16
2.9 Tatalaksana................................................................................17
2.9 Komplikasi.................................................................................18
2.10 Prognosis..................................................................................19
BAB III KESIMPULAN...........................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang1,2,3

Limfadenopati adalah gejala penyakit yang ditandai dengan


pembengkakan limfonodus (kelenjar getah bening). Pembesaran kelenjar getah
bening (KGB) yang abnormal terjadi bila besar KGB diameternya lebih dari 10
mm.
Secara klinis limfadenopati dapat dibedakan menjadi limfadenopati
lokalisata dan limfadenopati generalisata. Limfadenopati lokalisata didefinisikan
sebagai pembesaran KGB hanya pada satu region saja, sedangkan limfadenopati
generalisata apabila pembesaran KGB terjadi pada dua atau lebih region yang
berjauhan dan simtetris.
Kejadian limfadenopati pada anak paling sering disebabkan oleh penyakit
self limiting disease karena infeksi virus (sebagian besar virus tetapi sering pula
bakteri) bukan oleh penyakit serius seperti lymphoma, acquired
immunodeficiency syndrome atau meta stase kanker, oleh karena itu, penting bagi
kami untuk dapat menyingkirkan diagnosis penyakit-penyakit berbahaya tersebut
dengan banyaknya limfadenopati karena self-limiting disease. Pada Negara
berkembang penyebab tersering dari limfadenopati adalah infeksi tuberculosis,
demam typhoid, trypanosomiasis, leishmaniasis, schistosomiasis, filariasis dan
infeksi jamur.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi 4,5,6

Limfadenopati merupakan pembesaran kelenjar getah bening dengan


ukuran lebh besar dari 1 cm2. Limfadenopati didiefinisikan sebagai abnormalitas
ukuran atau karakter kelenjar getah bening. Terabanya kelenjar getah bening
supraklavikula, iliak, atau poplitea dengan ukuran berapapun dan terabanya
kelenjar epitroklear dengan ukuran lebih besar dari 5 mm merupakan abnormal.
Limfadenitis adalah peradangan pada kelenjar getah bening yang terjadi
akibat terjadinya infeksi dari suatu bagian tubuh maka terjadi pula pada kelenjar
getah bening regioner dari lesi primer.

2.2 Epidemiologi7

Usia adalah faktor penting dalam mengkarakterisasi epidemiologi


limfadenopati, dan dengan demikian, dapat dibagi menjadi anak-anak dan orang
dewasa. Anak-anak lebih sering memiliki penyebab limfadenopati jinak.  Sebuah
studi oleh Knight PJ et al.  239 anak-anak yang menjalani biopsi node perifer dan
menemukan bahwa etiologi yang paling umum dicatat adalah hiperplasia reaktif
dari etiologi yang tidak diketahui, diikuti oleh infeksi granulomatosa, kanker, dan
limfadenopati dermatopatik.

Orang dewasa juga memiliki prevalensi keganasan yang rendah. Untuk


mengkarakterisasi lebih lanjut, sebuah penelitian dalam pengaturan praktik
keluarga dimana hanya 3% dari 249 pasien dengan limfadenopati menjalani
biopsi. Dari pasien ini, tidak ada yang ditemukan memiliki penyakit yang
melemahkan. Sebuah penelitian di Belanda juga mengungkapkan bahwa dari 2556
pasien yang mengalami limfadenopati yang tidak jelas kepada dokter keluarga
mereka, 10% dirujuk untuk biopsi, dan hanya 1,1% yang ditemukan terkait
dengan keganasan. Temuan ini dicerminkan oleh dua seri kasus yang diselesaikan

2
di departemen praktik keluarga di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 0 dari 80
pasien dan 3 dari 238 pasien masing-masing memiliki penyebab limfadenopati
ganas.

Limfadenopati dapat lokal dan difus. Sekitar 75% sebagian besar


limfadenopati lokal dan 50% terjadi didaerah kepala dan leher. Limfadenopati
general, yang melibatkan dua atau lebih daerah yang tidak berdekatan, dilaporkan
terjadi pada 25% limfadenopati. Penting untuk diingat bahwa daerah endemik
seperti Afrika Selatan atau India mengalami peningkatan tingkat limfadenopati
karena tuberkulosis, infeksi parasit, dan HIV. Limfadenitis dapat disebabkan oleh
bakteri maupun virus. Limfadenitis tersering disebabkan oleh M. Tuberkulosis.
Limfadenitis Tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau
getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis.

2.3 Etiologi8

Banyak keadaan yang dapat menimbulkan limfadenopati. Limfadenopati


dapat terjadi pada keadaan malignancies (keganasan), infections (infeksi),
autoimmune disorders (kelainan autoimun), miscellaneous and unusual
conditions (lain-lain dan kondisi tak-lazim), dan iatrogenic causes (sebab-sebab
iatrogenik). Berikut ini adalah contoh penyebab dari limfadenopati :

3
Gambar 1. Etiologi limfadenopati13

Limfadenitis tersering disebabkan oleh M. Tuberkulosis. Limfadenitis


Tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening
yang disebabkan oleh basil tuberkulosis.

4
Gambar 2. Etologi limfadenopati generalisata4

Gambar 3. Etiologi limfadenopati regional9

5
2.4 Faktor Risiko9

Faktor risiko untuk penyebab spesifik lain dari limfadenopati dapat


diindikasikan dengan riwayat medis dan bedah, riwayat trauma sebelumnya,
kontak dengan orang yang terinfeksi TBC, pola makanan terutama daging yang
kurang matang atau produk susu yang tidak dipasteurisasi dan obat-obatan
tertentu yang sedang dikonsumsi.

2.5 Klasifikasi 8,10,11

Berdasarkan luas limfadenopati:


a. Generalisata : limfadenopati pada 2 atau lebih regio anatomi
yang berbeda.
b. Lokalisata : limfadenopati pada 1 regio. Dari semua kasus
pasien yang berobat ke sarana layanan kesehatan
primer, sekitar ¾ penderita datang dengan
limfadenopati lokalisata dan 1/4 sisanya datang
dengan limfadenopati generalisata.

Berdasarkan waktu, limfadenitis dapat diklasifikasikan menjadi


limfadenitis akut dan limfadenitis kronik. Limfadenitis kronik biasanya
berlangsung selama 3-6 bulan. Kondisi ini dapat berkembang menjadi kanker.
Pendekatan pembesaran NL pada anak dan dewasa akan berbeda. Pada anak,
pembesaran akan berlangsung signifikan dan proses reaktif berlangsung persisten.
Pada orang dewasa, pembesaran tidak terlalu signifikan. Di sisi lain, pembesaran
NL yang berhubungan dengan kanker lebih banyak ditemukan pada dewasa
daripada anak.

6
2.6 Patofisiologi12
Sistem limfe merupakan suatu jalan tambahan tempat cairan dapat
mengalir dari ruang interstisial ke dalam darah sebagai transudat di mana
selanjutnya ia berperan dalam respon imun tubuh. Secara umum sistem limfatik
memiliki tiga fungsi yaitu: 1) Mempertahankan konsentrasi protein yang rendah
dalam cairan interstisial sehingga protein-protein darah yang difiltrasi oleh kapiler
akan tertahan dalam jaringan, memperbesar volume cairan jaringan dan
meninggikan tekanan cairan interstitial. Peningkatan tekanan menyebabkan
pompa limfe memompa cairan interstisial masuk ke kapiler limfe membawa
protein berlebih yang terkumpul tersebut. Jika sistem ini tidak berfungsi maka
dinamika pertukaran cairan pada kapiler akan menjadi abnormal dalam beberapa
jam hingga menyebabkan kematian, 2) Absorpsi asam lemak, transpor lemak dan
kilus (chyle) ke sistem sirkulasi, 3) Memproduksi sel- sel imun (seperti limfosit,
monosit, dan sel-sel penghasil antibodi yang disebut sel plasma). Patogen yang
masuk akan dikenali oleh sel dendritik melalui struktur polisakarida, glikolipid,
lipoprotein, asam nukleat, dan nukleotida untuk kemudian ditransportasikan
menuju ke nodus limfe terdekat. Antigen yang berada pada nodus limfe akan
menginisiasi respon imun yang dimediasi sel T dengan menstimulasi berbagai
sitokin proinflamasi. Respon terhadap sel T akan menstimulasi sitokin lain yang
membuat sel B mengalami kemotaksis dan proliferasi pada bagian germinal nodus
limfe. Sel B akan menghasilkan immunoglobulin, seperti IgG1, IgG3, dan IgG4,
untuk membunuh dan mengekspulsikan patogen.
Nodus limfoid mempersiapkan lingkungan tempat limfosit akan menerima
paparan pertamanya terhadap antigen asing (virus, bakteri, jamur) yang akan
mengaktivasi limfosit untuk melaksanakan fungsi imunitas. Perubahan anatomi
yang bisa terjadi pada sistem limfe leher akibat suatu reaksi patologis dapat
berupa: 1) Defek pada kelenjar akibat kerusakan struktur normal kelenjar limfe
oleh sel-sel metastatik, 2) Pembesaran kelenjar bisa terjadi karena hiperplasia atau
deposit sel-sel inflamasi, atau metastasis, 3) Obstruksi saluran limfe akibat infeksi
ataupun metastasis yang kemudian menyebabkan kongesti dan melebarnya

7
saluran limfe, 4) Pergeseran letak akibat proses metastasis yang mendesak saluran
limfe, 5) Kolateralisasi, bisa merupakan akibat lanjut obstruksi.

2.7 Penegakan Diagnosis


2.7.1 Anamnesis13
 Usia dan lamanya pembesaran KGB

Kemungkinan penyebab limfadenopati pada anak akibat keganasan sangat


rendah dan akan meningkat seiring bertambahnya usia. Kelenjar getah bening
teraba pada periode neonatal dan sebagian besar anak sehat mempunyai kelenjar
getah bening servikal, inguinal, dan aksila yang teraba. Sebagian besar penyebab
limfadenopati pada anak adalah infeksi atau penyebab yang bersifat jinak.
Limfadenopati yang berlangsung kurang dari 2 minggu atau lebih dari 1 tahun
tanpa progresivitas ukuran mempunyai kemungkinan sangat kecil bahwa
etiologinya adalah keganasan

 Riwayat Pajanan

Pajanan binatang dan gigitan serangga, penggunaan obat, kontak penderita


infeksi dan riwayat infeksi rekuren penting dalam evaluasi limfadenopati
persisten. Pajanan setelah bepergian dan riwayat vaksinasi penting diketahui
karena dapat berkaitan dengan limfadenopati persisten, seperti tuberkulosis,
tripanosomiasis, scrub typhus, leishmaniasis, tularemia, bruselosis, sampar, dan
anthrax. Pajanan rokok, alkohol, dan radiasi ultraviolet dapat berhubungan dengan
metastasis karsinoma organ dalam, kanker kepala dan leher, atau kanker kulit.
Pajanan silikon dan berilium dapat menimbulkan limfadenopati. Penderita
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) mempunyai beberapa
kemungkinan penyebab limfadenopati; risiko keganasan, seperti sarkoma Kaposi
dan limfoma maligna non-Hodgkin meningkat pada kelompok ini. Riwayat
keganasan pada keluarga, seperti kanker payudara atau familial dysplastic nevus
syndrome dan melanoma, dapat membantu menduga penyebab limfadenopati.

8
 Gejala yang menyertai

Gejala seperti fatigue, malaise, dan demam, sering menyertai


limfadenopati servikal dan limfositosis atipikal pada sindrom mononukleosis.
Demam, keringat malam, dan penurunan berat badan lebih dari 10% dapat
merupakan gejala limfoma B symptom. Pada limfoma Hodgkin, B symptom
didapatkan pada 8% penderita stadium I dan 68% penderita stadium IV. B
symptom juga didapatkan pada 10% penderita limfoma non-Hodgkin. Gejala
artralgia, kelemahan otot, atau ruam dapat menunjukkan kemungkinan adanya
penyakit autoimun, seperti artritis reumatoid, lupus eritematosus, atau
dermatomiositis. Rasa nyeri timbul ketika terjadi pembesaran KGB yang cepat
meningkat dalam ukuran maupun konsistensinya. Nyeri biasanya hasil dari proses
peradangan atau supurasi, tapi nyeri juga mungkin hasil dari pendarahan ke dalam
pusat nekrotik nodus yang ganas.

Penderita limfadenitis bisa asimptomatik. Tetapi, pada umumnya


pasien akan mengeluhkan pembesaran dari lokasi kelenjar getah bening dengan
warna kemerahan, nyeri lokal, dan demam. Keluhan juga dapat disertai
menggigil, mual, diare, atau anoreksia. Pada Limfadenitis TB terdapat
pembesaran KGB, nyeri tekan dijumpai pada infeksi bakteri, eritema, teraba
hangat, bila terdapat fluktuasi maka dapat dipertimbangkan diagnosis abses.
Pada TB, onset dalam minggu/bulan, bisa terbentuk scrofuloderma.

9
Gambar 4. Alur diagnosis limfadenopati4

2.7.2 Pemeriksaan Fisik13,14,15,16

Pada pemeriksaan fisik dilakukan identifikasi lokasi yang benar, dan


gambaran rinci mengenai ukuran, bentuk, ciri-ciri dan jumlah kelenjar yang
terlibat harus dicatat, termasuk konsistensi, mobilitas, nyeri tekan, suhu, fluktuasi,
kepadatan, dan perlekatan dengan jaringan sekitar. Penemuan penting termasuk
ada tidaknya penyakit gigi, lesi orofaring, atau kulit, penyakit mata, pembesaran
kelenjar lain, dan tanda-tanda penyakit sistemik lainnya, termasuk
hepatosplenomegali dan lesi kulit.14
 Karakter dan ukuran kelenjar getah bening
Kelenjar getah bening yang keras dan tidak nyeri meningkatkan

10
kemungkinan penyebab keganasan atau penyakit granulomatosa. Limfoma
Hodgkin tipe sklerosa nodular mempunyai karakteristik terfiksasi dan terlokalisasi
dengan konsistensi kenyal. Limfadenopati karena virus mempunyai karakteristik
bilateral, dapat digerakkan, tidak nyeri, dan berbatas tegas. Limfadenopati dengan
konsistensi lunak dan nyeri biasanya disebabkan oleh inflamasi karena infeksi.
Pada kasus yang jarang, limfadenopati yang nyeri disebabkan oleh perdarahan
pada kelenjar yang nekrotik atau tekanan dari kapsul kelenjar karena ekspansi
tumor yang cepat.13
Nyeri
Rasa nyeri timbul ketika terjadi pembesaran KGB yang cepat meningkat
dalam ukuran maupun konsistensinya. Nyeri biasanya hasil dari proses
peradangan atau supurasi, tapi nyeri juga mungkin hasil dari pendarahan ke dalam
pusat nekrotik nodus yang ganas. Pada pembesaran KGB oleh infeksi virus,
umumnya bilateral lunak dan dapat digerakkan. Bila ada infeksi oleh bakteri,
kelenjar biasanya nyeri pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan dapat
fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari
sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan
terjadinya abses. Bila limfadenopati disebabkan keganasan, tanda-tanda
peradangan tidak ada, kelenjar akan keras dan tidak dapat digerakkan oleh karena
terikat dengan jaringan di bawahnya
Konsistensi
Konsistensi atau kualitas KGB yang keras seperti batu mengarahkan
kepada keganasan, padat seperti karet ke arah limfoma, lunak mengarah ke proses
infeksi, dan fluktuasi menunjukkan telah terjadinya abses atau pernanahan.
Adanya kelenjar yang lunak, mudah ditekan dan bergerak bebas lebih mengarah
ke jinak. Istilah " shotty " mengacu pada kelenjar kecil seperti gotri di bawah
kulit, seperti yang ditemukan dalam kelenjar di servikal anak-anak dengan
penyakit virus.15
Fiksasi
Sekelompok KGB yang merasa terhubung dan tampaknya bergerak
sebagai satu unit dikatakan membentuk suatu anyaman (terfiksir). Kelenjar

11
tersebut dapat berupa jinak (misalnya, tuberkulosis, sarkoidosis atau
lymphogranuloma venereum) atau ganas (misalnya, karsinoma metastasis atau
limfoma).15
Pada anak, kelenjar getah bening berukuran lebih besar dari 2 cm disertai
gambaran radiologi toraks abnormal tanpa adanya gejala kelainan telinga, hidung,
dan tenggorokan merupakan gambaran prediktif untuk penyakit granulomatosa
(tuberkulosis, cat scratch disease, atau sarkoidosis) atau kanker (terutama
limfoma). Tidak ada ketentuan pasti mengenai batas ukuran kelenjar yang menjadi
tanda kecurigaan keganasan. Ada laporan bahwa ukuran kelenjar maksimum 2 cm
dan 1,5 cm merupakan batas ukuran yang memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk
menentukan ada tidaknya keganasan dan penyakit granulomatosa.16

 Lokasi limfadenopati
a. Limfadenopati oksipital dan pre aurikular
Kelenjar kecil didaerah ini umum terjadi pada bayi, tetapi tidak pada anak
yang lebih besar dan, jika tidak ada gejala lain, kelenjar ini dapat dianggap
sebagai temuan normal. Perlu dilakukan pemeriksaan kulit kepala karena eksim,
folikulitis, dan infestasi dapat menyebabkan kelenjar besar di daerah ini.16
b. Limfadenopati servikal
Kelenjar ini lebih sering ditemukan pada anak lebih dari dua tahun.
Limfadenopati servikal sangat umum dan secara jelas menunjukkan jika terdapat
infeksi pernapasan atas. Karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan telinga, rongga
mulut, dan gigi yang lengkap untuk mencari tanda-tanda infeksi atau peradangan.
Seperti hal nya dengan kelenjar getah bening oksipital, limfadenopati serviks juga
dapat disebabkan oleh eksim, infeksi, atau infestasi. Lokasi ini merupakan lokasi
yang umum untuk limfoma.16
c. Limfadenopati supraklavikular
Limfadenopati pada lokasi ini sering mengarah kekeganasan (terjadi
hingga 75% dari nodus di lokasi ini). Pembesaran kelenjar getah bening supra-
klavikula sisi kiri (Virchow's node) umumnya dikaitkan dengan keganasan perut,
terutama neuroblastoma. Adenopati supraklavikula sisi kanan sering terjadi

12
dengan adanya keganasan mediastinum atau tiroid.16
d. Limfadenopati aksilaris
Nodus aksila kecil relative sering terjadi dan biasanya disebabkan oleh
infeksi atau dermatitis pada ekstremitas atas. Limfoma sering ditemukan pada
daerah ini maka penilaian lebih lanjut disarankan.16
e. Limfadenopati inguinalis
Limfadenopati pada lokasi ini bias anya tidak memiliki etiologi spesifik
kecuali nodus lebih besar dari 3 cm tetapi bias terdapat limfoma yang disertai
adenopati pada lokasi ini. Infeksi local seperti luka trauma yang terinfeksi atau
paronikia juga dapat menyebabkan pembesaran nodus inguinalis.16

Gambar 5. Lokasi kelenjar getah bening

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang17

Pemeriksaan laboratorium awal adalah pemeriksaan darah perifer lengkap


dan laju endap darah. Mononukleosis infeksiosa memiliki cirri limfositosis
dengan limfosit atipikal. Trombositopenia dan peningkatan enzim hati umum
ditemukan pada penyakit EBV. Kultur dari lesi kulit yang terinfeksi dan eksudat
tonsil harus diperiksakan. Ditemukannya Streptokokus grup A dari orofaring

13
menimbulkan kecurigaan limfadenitis servikal disebabkan oleh streptokokus
namun hal tersebut bukan merupakan criteria diagnostic pasti. Kultur darah harus
dilakukan dari anak dengan tanda-tanda dan gejala sistemik bakteremia.
Pemeriksaan serologi untuk EBV dan B. henselae (cat-scratch disease) dilakukan
jika terdapat indikasi. Pemeriksaan yang paling dapat diandalkan untuk diagnosis
infeksi EBV adalah IgM terhadap kapsid virus. Antibodi heterofil juga bernilai
diagnostic namun tes ini tidak dapat diandalkan pada anak di bawah 4 tahun
dengan mononucleosis infeksiosa.
Pemeriksaan diagnostik lanjutan untuk limfadenopati dilakukan
berdasarkan faktor risiko spesifik yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan
fisis. Rontgen toraks, kultur tenggorokan, titer antistreptolisin O, dan pemeriksaan
serologis untuk CMV, toksoplasmosis, sifilis, tularemia, Brucella, histoplasmosis,
dan koksidioidomikosis mungkin diperlukan tergantung ada tidaknya indikasi.
Pada limfadenopati regional inguinal harus dilakukan penilaian terhadap traktus
genitalia dan sediaan untuk pemeriksaan harus diambil. Tes kulit intradermal
untuk tuberculosis dapat dilakukan dengan menggunakan tes Mantoux standar (5
tuberkulin unit), yang juga dapat memberikan hasil positif pada infeksi
mikobakteri atipikal. Aspirasi diindikasikan pada kelenjar limfe yang mengalami
inflamasi akut, ditemukan adanya fluktuasi, khususnya Jika berukuran lebih dari3
cm dan tidak berespons terhadap terapi antibiotik.
Pemeriksaan ultrasonografi atau compuled tomography dapat berguna
dalam menentukan luasnya limfadenopati dan apakah massa bersifat padat, kistik,
alasuppuratif dengan pembentukan abses. Pus dari lesi yang ditemukan adanya
fluktuasi harus diperiksa dengan pewarnaan Gram dan bakteri tahan asam dan
dilakukan kultur untuk bakteriaerob, anaerob dan mikobakteri. Biopsi harus
dilakukan jika dicurigai suatu limfoma karena ditemukan kelenjar bersifat keras,
sulit digerakkan jaringan sekitar, tidak nyeri tekan, dan ditemukan adanya gejala
atau tanda sistemik. Jika diagnosis tetap tidak dapat ditegakkan dan limfadenopati
menetap walaupun telah diberikan terapi antibiotic terhadap dugaan adanya S.
aureus dan streptokokus grup A, maka sebaiknya dilakukan biopsi eksisi seluruh
nodul. Tindakan ini bersifat kuratif untuk limfadenitis mikobakteri non

14
tuberkulosa. Sediaan biopsi harus dikirimkan untuk pemeriksaan histopatologi,
pewarnaan Gram, bakteri tahan asam, Giemsa, periodic acid-Schiff, pewarnaan
perak Warthin-Starry (B. henselae), dan pewarnaan perak metenamin. Kultur
untuk bakteri aerob, anaerob, mikobakteri, dan jamur harus dilakukan.

Gambar 6. Indikasi dilakukannya biopsi24

2.7.4 Limfadenitis TB pada Anak


Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial atau sering disebut dengan
skrofula, merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling sering
terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan kasus timbul 6-9
bulan setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi beberapa kasus dapat timbul
bertahun-tahun kemudian. Lokasi pembesaran KGB paling sering ialah di servikal
enterior, submandibula, supraklavikula, inguinal dan daerah aksila.
Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium awal
penyakit. Sifatnya kenyal, tidak keras, discrete, biasanya tidak nyeri tetapi dapat
nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi dengan jaringan dibawah atau
diatasnya. Limfadenitis ini paling sering unilateral, tetapi jika bilateral dapat
terjadi karena pembuluh limfatik di daerah dada dan leher bawah saling
bersilangan. Uji tuberkulin biasanya positif. Diagnosis definitif memerlukan
pemeriksaan histologis dan bakteriologis yang diperoleh melalui biopsi.22

15
2.8 Diagnosis Banding18,19

Untuk limfadenopati general dapat di pikirkan kearah juvenile arthritis


idiopatik, sistemik lupus eritematous, efek samping obat, seperti penggunaan
fenitoin atau pengobatan antiepilepsi lainnya, allopurinol, isoniazid, obat
antitiroid, dan primetamin. Kemudian pada pembesaran kelenjar getah bening
yang tidak nyeri, tidak terinflamasi dan padat juga dapat dipikirkan kearah
leukemia, limfoma, dan neuroblastoma.

Gambar 7. Diagnosis banding Limfadenopati pada pasien anak9

16
Gambar 8. Gambaran klinis limfadenopati jinak dan keganasan23

2.9 Tatalaksana20

Evaluasi dan pengobatan limfadenopati berdasarkan etiologi, sebagaimana


ditentukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Banyak pasien dengan
adenopati servikal memiliki riwayat yang kompatibel dengan infeksi virus dan
tidak memerlukan intervensi. Jika dicurigai infeksi bakteri, diindikasikan
pengobatan antibiotik yang mencakup setidaknya streptokokus dan stafilokokus.
Apabila pasien resisten terhadap antibiotik oral, seperti yang ditunjukkan oleh
pembengkakan dan demam yang persisten, membutuhkan antibiotic antistaphy-
lococcal IV. Jika tidak ada respons dalam 1-2 hari atau jika ada tanda-tanda
obstruksi jalan napas atau toksisitas yang signifikan, CT atau USG leher harus
dilakukan. Jika terdapat nanah, disedot yang dipandu dengan menggunakan CT
atau USG, atau jika luas, mungkin memerlukan sayatan dan drainase. Nanah harus
diperiksa menggunakan pewarnaan gram dan kultur. Jika disebabkan oleh TB
maka diberikan OAT.
Ukuran nodus yang terlibat harus didokumentasikan sebelum perawatan.
Kegagalan untuk mengurangi ukuran dalam 10-14 hari juga menunjukkan
perlunya evaluasi lebih lanjut, yang mungkin termasuk jumlah sel darah lengkap
dengan diferensial; Virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, Toxoplasma, dan titer
penyakit awal kucing; antistreptolysin O atau tes serogologis anti-DNA se; tes
kulit tuberkulin; dan foto thoraks.

17
Jika studi ini tidak bersifat diagnostik, konsultasi dengan penyakit
menular atau spesialis onkologi mungkin bermanfaat. Biopsi harus
dipertimbangkan jika ada demam persisten atau tidak jelas, penurunan berat
badan, keringat malam, lokasi supraklavikula, massa mediastinum, nodus keras,
Atau fiksasi nodus ke jaringan di sekitarnya. Biopsi juga dapat diindikasikan jika
ada peningkatan ukuran dari awal dalam 2 minggu, tidak ada penurunan ukuran
dalam 4-6 minggu, atau tidak ada regresi menjadi "normal" dalam 8-12 minggu,
atau jika terdapat tanda dan gejala baru.

2.10 Komplikasi18
Dapat terjadi infeksi akut yang disebabkan oleh S. aureus dan Group A
Streptococcus, terbentuknya abses, selulitis, dan sepsis. Abses adalah suatu
penimbunan nanah yang terjadi akibat suatu infeksi bakteri. Jika bakteri
menyusup kedalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi. Sel-sel darah
putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi akan bergerak
ketempat infeksi dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah
putih yang mati inilah yang membentuk nanah, mengisi rongga tersebut. Selulitis
adalah suatu penyebaran infeksi bakteri kedalam kulit dan jaringan di bawah kulit.
Sepsis adalah kondisi medis serius dimana terjadi peradangan pada seluruh tubuh
akibat infeksi yang berpotensi berbahaya atau mengancam nyawa.

2.11 Prognosis21

Prognosis limfadenitis sangat bergantung pada patogen penyebab dan


pemberian terapi mengingat setiap patogen memiliki tahapan perkembangan
penyakit yang berbeda.

18
BAB III
KESIMPULAN

Limfadenopati merupakan pembesaran kelenjar getah bening dengan


ukuran lebh besar dari 1 cm2. Sedangkan, Limfadenitis didefinisikan peradangan
pada kelenjar getah bening yang terjadi akibat terjadinya infeksi dari suatu bagian
tubuh maka terjadi pula pada kelenjar getah bening regioner dari lesi primer.
Limfadenopati dapat terjadi pada keadaan malignancies (keganasan), infections
(infeksi), autoimmune disorders (kelainan autoimun), miscellaneous and unusual
conditions (lain-lain dan kondisi tak-lazim), dan iatrogenic causes (sebab-sebab
iatrogenik).
Berdasarkan luas, limfadenopati dibagi menjadi Generalisata
limfadenopati dan Lokalisata limfadenopati. Berdasarkan waktu, limfadenitis
dapat diklasifikasikan menjadi limfadenitis akut dan limfadenitis kronik.
Langkah diagnostik dimulai dari penggalian anamnesis yang mendalam,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yang relevan. Keberhasilan tata
laksana limfadenopati tergantung pada keberhasilan diagnosis penyebabnya. Jika
limfadenopati dan limfadenitis ini terus terjadi dapat menyebabkan komplikasi
seperti terbentuknya abses, selulitis, dan sepsis.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland W. A. N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Terjemahan


Huriawati Hartanto. Edisi pertama. Jakarta : EGC. Hal : 181
2. Ferrer, Robert. Lymphadenopathy: Differential diagnosis and evaluation.
2008. Diunduh dari http://www.aafp.org/afp/1998/1015/p1313.html pada
tangggal 28 Juli 2020
3. Vikramjit SK, Richard HS, Gary JS. Lymphadenopathy. 2012 diunduh
dari http://emedicine.medscape.com/article/956340-overviewpadatanggal
28 Juli 2020
4. Kliegman RM. Geme II JWT, Blum NJ. Shah SS, Tasker RC, Wilson KM.
Nelson Textbook of Pediatrics. Philadephia 21st ed : Elsevier. 2020.
10335-40
5. Clevenbergh, P., et al. Limph Node Tuberkulosis in patients from Regions
with Varying Burdens of Tuberculosis and Human Immunodeficiency
Virus (HIV) Infection.Oiginal Article Presse Med.2010;e223-230.
6. Rasyid SR, Wulan AJ, Prabowo AY, Djausal A. Diagnosis dan
Tatalaksana Limfadenopati. Majority.2018;7(3): 261
7. Maini R, Nagalli S. Lymphadenopathy. StatPearls Publising.NCBI.2020
8. Bazemore AW. Smucker DR. Lymphadenopathy and malignancy. Am
Fam Physician. 2012;66:2103-10
9. Marchdante K, Kliegman R. Nelson Essentials of Pediatrics ed 8. 2015.
US: Elsevier. 403-7
10. Fletcher RH. Evaluation of peripheral lymphadenopathy in adults
[Internet]. 2010 Sep [cited 2011 Jan 27]. Available from:
www.uptodate.com.
11. Zeppa P, Cozzolino I. Lymph Node FNC. Cytopathology of Lymph Nodes
and Extranodal Lymphoproliferative Processes. Monogr Clin Cytol. 2018;
23: 19–33.

20
12. Tirto WS. Limfatik drainase pada tumor kepala dan leher. Dalam:
Kumpulan naskah simposium bedah kepala leher, Jakarta: FKUI- RSUPN
Cipto Mangunkusumo; 2010. p 12-20.
13. Oehadian A. Pendekatan Diagnosis Limfadenopati. Bandung: Continuing
Medical Education; CDK-209/vol. 40; no. 10, 2013. Hal. 729
14. Marckdante, KJ., Kliegman, RM., Jenson, HB., Behrman, RB. Nelson
Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Ed 6. Singapore: Elsevier. 2014
15. Suradhipa W, Ariawati K. Pendekatan Klinis Limfadenopati Pada Anak.
Ilmu Kesehatan Anak Universitas Usayana. 2015. 1- 28
16. Hambleton L, Sussens J, Hewitt M. Lymphadenopathy in Children and
Young People. Pediatrics and Child Health. 2015;26(2):63-7
17. Nelson, Behrman, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi
Keenam vol 1. Jakarta : EGC, 2011.
18. Marcdante KJ. Kliegman RM. Nelson Essentials of Pediatrics 8ed.
Philadelphia. Elsevier. 2019
19. Friedmann AM. Evaluation and Management of Lymphadenopathy in
Children. Journal Of The American Academy Of Pediatrics. Februari
2008;29(2);53-60
20. Richard L, Tower II, Bruce MC. Lymphadenopathy. Dalam: kliegman
RM, Stanton BF, schor NF, geme II JW, Behrman RE. nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier saunders; 2011. H. 1724
21. Patridge E, Steele RW. Lymphadenitis [Internet]. New York: Medscape;
2019 Available from: https://emedicine.medscape.com/article/960858-
overview Diakses pada 2 Agustus 2020
22. Subuh M. Waworuntu W. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana
TB Anak. Kementrian Kesehatan RI. 2016. 23
23. Abba AA, Khalil MZ. Clinical approach to lymphadenopathy. Annals of
Negerian Medicine 2012;6:11-7.
24. Sahai S. Lymphadenopathy. Pediatric in Review 2013;34(5):216-27.

21

Anda mungkin juga menyukai