PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus
yang nyata Keliat, (2011) dalam Zelika, (2015). Sedangkan Menurut WHO,
kesehatan jiwa bukan hanya tidak ada gangguan jiwa, melainkan
mengandung berbagai karakteristik yang positif yang menggambarkan
keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan
kepribadiannya.
Data dari Departemen Kesehatan tahun 2009, jumlah penderita
gangguan jiwa di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 28 juta orang,
dengan kategori gangguan jiwa ringan 11,6 persen dan 0,46 persen
menderita gangguan jiwa berat. Hasil penelitian WHO di Jawa Tengah tahun
2009 menyebutkan dari setiap 1.000 warga Jawa Tengah terdapat 3 orang
yang mengalami gangguan jiwa. Sementara 19 orang dari setiap 1.000
warga Jawa Tengah mengalami stress Depkes RI, (2009) dalam Zelika,
(2015). Data kunjungan rawat inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta
pada bulan Januari - April 2013 didapat 785 orang.
Pasien dengan halusinasi menempati urutan pertama dengan angka
kejadian 44 persen atau berjumlah 345 orang, pasien isolasi sosial
menempati urutan kedua dengan angka kejadian 22 persen atau berjumlah
pasien 173 orang, pasien dengan resiko perilaku kekerasan menempati
urutan ketiga dengan angka kejadian 18 persen atau berjumlah pasien 141
orang pasien, pasien dengan harga diri rendah menempati urutan keempat
dengan angka kejadian 12 persen atau berjumlah 94 orang, sedangkan
pasien dengan waham, defisit perawatan diri 4 persen atau 32 orang Zelika,
2015.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas dan sebagai tugas
untuk memahami keperawatan jiwa yang harus dikuasai 5 kompone salah
satunya halusinasi, maka kelompok di berikan tugas untuk membahas
masalah gangguan jiwa dengan halusinasi. Oleh karena itu kelompok
diberikan tugas dalam bentuk makalah yang berjudul Laporan Pendahuluan,
Asuhan Keperawatan dan Strategi Pelaksanaan 1 pada Kasus Halusinasi
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Laporan Pendahuluan, Asuhan Keperawatan pada Asuhan
keperawatan Ny. A dengan Halusinasi?
1.3 Tujuan
Mengetahui dan memahami Laporan Pendahuluan, Asuhan
Keperawatan pada Asuhan keperawatan Ny. A dengan Halusinasi.
1.4 Manfaat
1.Bagi penulis
Dengan dibuatnya makalah ini penulis dapat mengerti dan menulis
makalah dengan baik dan benar.
2. Bagi pembaca
Makalah ini diharapkan bagi pembaca dapat memahami dan lebih
mengerti tentang halusinasi dan masalah keperawatannya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.2 Etiologi
Menurut Stuart dan Laraia (2001) dalam Pambayun (2015), faktor-faktor
yang menyebabkan klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah
sebagai berikut :
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-
kromosom tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang
menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam
tahap penelitian. Anak kembar identik memiliki kemungkinan
mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami
skizofrenia, sementara jika dizigote, peluangnya sebesar 15%.
Seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia
berpeluang 15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang
tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak
yang abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal,
khususnya dopamin, serotonin, dan glutamat.
1) Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak
seimbang dengan kadar serotonin.
2) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat
menjadi faktor predisposisi skizofrenia.
3) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
skizofrenia antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang
pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tak berperasaan,
sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.
2. Faktor Presipitasi
1) Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima
dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
2) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
3) Kondisi kesehatan, meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat
sistem syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan.
4) Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di
rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan
hidup, pola aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan
orang lain, isolasi social, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja,
kurang ketrampilan dalam bekerja, stigmatisasi, kemiskinan,
ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
5) Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah,
putus asa, tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri,
merasa punya kekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak
seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya
kernampuan sosialisasi, perilaku agresif, ketidakadekuatan
pengobatan, ketidakadekuatan penanganan gejala.
2. Menggunakan obat.
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat
ketidakseimbangan neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin).
Untuk itu, klien perlu diberi penjelasan bagaimana kerja obat dapat
mengatasi halusinasi, serta bagairnana mengkonsumsi obat secara
tepat sehingga tujuan pengobatan tercapai secara optimal. Pendidikan
kesehatan dapat dilakukan dengan materi yang benar dalam pemberian
obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan secara tuntas dan
teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana
penanganan klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan
kemampuan keluarga. Hal ini penting dilakukan dengan dua alasan.
Pertama keluarga adalah sistem di mana klien berasal. Pengaruh sikap
keluarga akan sangat menentukan kesehatan jiwa klien. Klien mungkin
sudah mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara
kuat, klien bisa mengalami kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi.
Alasan kedua, halusinasi sebagai salah satu gejala psikosis bisa
berlangsung lama (kronis), sekalipun klien pulang ke rumah, mungkin
masih mengalarni halusinasi. Dengan mendidik keluarga tentang cara
penanganan halusinasi, diharapkan keluarga dapat menjadi terapis
begitu klien kembali ke rumah. Latih pasien menggunakan obat secara
teratur:
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
a. Clorpromazine ( CPZ, Largactile ), Warna : Orange
Indikasi:
Untuk mensupresi gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala –
gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik
depresi, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa
kecil.
Cara pemberian:
Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan
intramuskuler. Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti
peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari. Dosis ini
dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat dilakukan satu
kali pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari. Bila gejala
psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara perlahan – lahan
sampai 600 – 900 mg perhari.
Kontra indikasi:
Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma,
keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan penderita yang
hipersensitif terhadap derifat fenothiazine.
Efek samping:
Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi
orthostatik, mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore pada
wanita, hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida.
Intoksikasinya untuk penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi
menyebabkan gejala penurunan kesadaran karena depresi susunan
syaraf pusat, hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan
perubahan gambaran irama EKG. Pada penderita psikosa jarang
sekali menimbulkan intoksikasi.
b. Haloperidol ( Haldol, Serenace ), Warna : Putih besar
Indikasi:
Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de la
tourette pada anak – anak dan dewasa maupun pada gangguan
perilaku yang berat pada anak – anak.
Cara pemberian:
Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi menjadi 6 – 15
mg untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 -5 mg
intramuskuler setiap 1 – 8 jam, tergantung kebutuhan.
Kontra indikasi:
Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson,
hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping:
Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah,
gejala ekstrapiramidal atau pseudoparkinson. Efek samping yang
jarang adalah nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala
gangguan otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi,
reaksi hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam
dosis melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemahan otot atau
kekakuan, tremor, hipotensi, sedasi, koma, depresi pernapasan.
c. Trihexiphenidyl ( THP, Artane, Tremin ), Warna: Putih kecil
Indikasi:
Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala
skizofrenia.
Cara pemberian:
Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah ( 12,5
mg ) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis
ditingkatkan 25 mg dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg
setiap kali suntikan, tergantung dari respon klien. Bila pemberian
melebihi 50 mg sekali suntikan sebaiknya peningkatan perlahan –
lahan.
Kontra indikasi:
Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat, hipersensitif
terhadap fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap
phenotiazine. Intoksikasi biasanya terjadi gejala – gejala sesuai
dengan efek samping yang hebat. Pengobatan over dosis ; hentikan
obat berikan terapi simtomatis dan suportif, atasi hipotensi dengan
levarteronol hindari menggunakan ephineprine ISO, (2008) dalam
Pambayun (2015).
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
3. Perencanaan Keperawatan
a. Tujuan Keperawatan Jiwa pada Pasien:
1) Pasien mampu mengidentifikasi jenis halusinasi
2) Pasien mampu mengidentifikasi isi halusinasi
3) Pasien mampu mengidentifikasi waktu halusinasi
4) Pasien mampu mengidentifikasi frekuensi halusinasi
5) Pasien mampu mengidentifikasi siruasi yang menimbulkan
halusinasi
6) Pasien mampu mengidentifikasi respon terhadap halusinasi
7) Pasien mampu mengontrol halusinasi (menghardik, berbincang
dengan orang lain, melakukan kegiatan yang terjadwal, minum
obat secara teratur) dan memasukkannya kedalam jadwal
kegiatan harian
b. Tujuan Keperawatan Jiwa pada Keluarga:
1) Keluarga mampu mengungkapkan masalah yang dirasakan
dalam merawat pasien
2) Keluarga mampu menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
halusinasi, jenis halusinasi yang dialami pasien beserta proses
terjadinya halusinasi
3) Keluarga mampu menjelaskan dan mempraktekkan cara merawat
pasien halusinasi
4) Keluarga mampu membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk
minum obat (discharge planning)
b. Tindakan Keperawatan Jiwa pada Pasien:
1) Identifikasi jenis halusinasi pasien
2) Identifikasi isi halusinasi pasien
3) Identifikasi waktu halusinasi pasien
4) Identifikasi frekuensi halusinasi pasien
5) Identifikasi siruasi yang menimbulkan halusinasi
6) Identifikasi respon pasien terhadap halusinasi
1) Latih pasien cara kontrol halusinasi dengan cara menghardik,
berbincang dengan orang lain, melakukan kegiatan yang
terjadwal, minum obat secara teratur, dan bimbing untuk
memasukkannya kedalam jadwal kegiatan harian.
c. Tindakan Keperawatan Jiwa pada Keluarga:
1) Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2) Jelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi, jenis halusinasi
yang dialami pasien beserta proses terjadinya perilaku kekerasan
3) Jelaskan dan praktekkan cara merawat pasien dengan halusinasi
4) Bantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk
minum obat (discharge planning)
5) Jelaskan follow up pasien sesudah pulang
Lampiran
STRATEGI PELAKSANAAN HALUSINASI
SP 1
“Selamat pagi, bolehkah saya kenalan dengan ibu? Nama saya Bethania Cindi.
Panggil saya Lilis. Saya mahasiswa keperawatan Poltekkes. Saya sedang
praktek disini dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB siang. Kalau
boleh saya tau nama ibu siapa dan senang dipanggil siapa?”
“Bagaimana perasaan ibu hari ini ? Bagaimana tidurnya tadi malam? Ada
keluhan atau tidak?”
“Apakah ibu tidak keberatan untuk ngobrol dengan saya? Menurut ibu sebaiknya
kita ngobrol apa ya? Bagaimana kalau kita ngobrol tentang suara dan sesuatu
yang selama ini ibu dengar dan lihat tetapi tidak tampak wujudnya? Berapa lama
kira-kira kita bisa ngobrol? Ibu maunya berapa menit? Bagaimana kalau 10
menit? Bisa?”
“Apakah ibu mendengar suara tanpa ada wujudnya? Apa yang dikatakan suara
itu? Apakah ibu melihat sesuatu /orang/bayangan/makhluk? Seperti apa yang
kelihatan? Apakah terus menerus terlihat dan terdengar, atau hanya sewaktu-
waktu saja? Kapan paling sering ibu melihat sesuatu atau mendengar suara
tersebut? Berapa kali sehari ibu mengalaminya? Pada keadaan apa, apakah
pada waktu sendiri? Apa yang ibu rasakan pada saat mendengar suara itu? Apa
yang ibu rasakan pada saat melihat sesuatu? Apa yang ibu lakukan saat melihat
sesuatu tersebut? Apa yang ibu lakukan saat mendengar suara tersebut?
Apakah dengan cara itu suara dan bayangan tersebut hilang? Bagaimana kalau
kita belajar cara untuk mencegah suara-suara atau bayangan supaya tidak
muncul?
“ Ibu ada 4 cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama, dengan
menghardik suara tersebut. Kedua, minum obat dengan teratur. Ketiga, dengan
cara bercakap-cakap dengan orang lain. Keempat, melakukan kegiatan sesuai
jadwal. Bagaimana kalau kita belajar 1 cara dulu, yaitu dengan menghardik.
Caranya seperti ini, saat suara-suara itu muncul langsung ibu bilang pergi saya
tidak mau dengar..saya tidak mau dengar. Kamu suara palsu. Begitu di ulang-
ulang sampai suara itu tidak terdengar lagi. Coba ibu peragakan! Nah
begitu..bagus! coba lagi! Iya bagus ibu sudah bisa.”
“Bagaima perasaan ibu dengan obrolan kita tadi? Ibu merasa senang tidak
dengan latihan tadi? Setelah kita ngobrol tadi, panjang lebar, sekarang ibu
simpulkan pembicaraan kita tadi? Coba sebutkan cara untuk mencegah suara
agar tidak muncul lagi. Kalau suara-suara itu muncul lagi, silahkan ibu coba cara
tersebut! Bagaimana kalau kita buat jadwal latihannya. Mau jam berapa saja
latihannya?”
“ibu, bagaimana kalau besok kita ngobrol lagi tentang cara minum obat yang
teratur. Kira-kira waktunya kapan ya? Bagaimana kalu besok jam 09.00 WIB,
bisa? Kira-kira tempat yang enak buat kita ngobrol dimana ya, apa masih disini
atau cari tempat yang nyaman? Sampai jumpa besok. Selamat pagi.”