Anda di halaman 1dari 34

KONSEP HALUSINASI

Dosen Pengampuh: Ibu Sri Wahyuni

Disusun

Kelompok VIII

1. Indria Putri Utina 1901055

2. Vivi Sri Utami Gobel 19010

3. Yanti Tongka 19010


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)

MUHAMMADIYAH MANADO

PRODI KEPERAWATAN

T.A 2019/2020

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas ijin, rahmat,
dan limpahannya sehingga kami mampu meneyelesaikan penyusunan tugas ini dengan baik dan
tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “Konsep Halusinasi” .Terselesaikan nya pembuatan
nmakalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak karenanya kami mengucapkan banyak
terimakasih kepada seluruh pihak yang membantu dan terlibat.Makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, namun demikian selaaku penyusun kami telah berupaya semaksimal mungkin
untuk menyusun makalah ini dan oleh karenanya, dengan hati terbuka kami menerima segala
masukan dan saran untuk makalah ini.Akhir kalimat kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

BAB III PENUTUP


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut WHO (World Health Organization), masalah gangguan jiwa di dunia ini sudah
menjadi masalah yang semakin serius. Paling tidak, ada satu dari empat orang di dunia ini
mengalami gangguan jiwa. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia ini
ditemukan mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data statistik, angka pasien gangguan jiwa
memang sangat mengkhawatirkan (Yosep, 2007).

Menurut UU Kesehatan Jiwa No.3 Tahun 1966, Kesehatan Jiwa adalah suatu keadaan
yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang
dan perkembangan ini selaras dengan dengan orang lain. Sedangkan menurut American Nurses
Associations (ANA) keperawatan jiwa merupakan suatu bidang khusus dalam praktek
keperawatan yang menggunakan ilmu perilaku manusia sebagai ilmu dan penggunaan diri
sendiri secara terapeutik sebagai caranya untuk meningkatkan, mempertahankan, memulihkan
kesehatan jiwa.

Di Rumah Sakit Jiwa di Indonesia, sekitar 70% halusinasi yang dialami oleh pasien
gangguan jiwa adalah halusinasi pendengaran, 20% halusinasi penglihatan, dan 10% adalah
halusinasi penghidu, pengecapan dan perabaan. Angka terjadinya halusinasi cukup tinggi.
Berdasarkan hasil pengkajian di Rumah Sakit Jiwa Medan ditemukan 85% pasien dengan kasus
halusinasi. Menurut perawat di Rumah Sakit Grhasia Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
khususnya di ruang kelas III rata- rata angka halusinasi mencapai 46,7% setiap bulannya
(Mamnu’ah, 2010).

Gangguan orientasi realita adalah ketidakmampuan individu untuk menilai dan berespon
pada realita. Klien tidak dapat membedakan rangsangan internal dan eksternal, tidak dapat
membedakan lamunan dan kenyataan. Klien juga tidak mampu untuk memberikan respon yang
akurat, sehingga tampak perilaku yang sulit dimengerti. Halusinasi adalah penyerapan (persepsi)
panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua panca indera dan
terjadi disaat individu sadar penuh (Depkes dalam Dermawan dan Rusdi, 2013)

Halusinasi pendengaran adalah klien mendengar suara-suara yang tidak berhubungan


dengan stimulasi nyata yang orang lain tidak mendengarnya (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Sedangkan menurut Kusumawati (2010) halusinasi pendengaran adalah klien mendengar suara-
suara yang jelas maupun tidak jelas, dimana suara tersebut bisa mengajak klien berbicara atau
melakukan sesuatu.

Berdasarkan hasil laporan Rekam Medik (RM) Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta,
didapatkan data dari bulan Januari sampai Februari 2014 tercatat jumlah pasien rawat inap 403
orang. Sedangkan jumlah kasus yang ada pada semua pasien baik rawat inap maupun rawat jalan
kasus halusinasi mencapai 5077 kasus, perilaku kekerasan 4074 kasus, isolasi sosial: menarik
diri 1617 kasus, harga diri rendah 1087 kasus dan defisit perawatan diri 1634 kasus. Berdasarkan
latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan tindakan keperawatan pada klien yang
mengalami gangguan halusinasi.

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Halusinasi

a. Pengertian

1. Skizofrenia

Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area, fungsi
individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realita,
merasakan dan menunjukan emosi dan berperilaku dengan sikap yang tidak dapat diterima secara
sosial Skizofrenia sebagai suatu sindrom yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam
penyebab, antara lain keturunan, pendidikan yang salah, maladaptif, tekanan jiwa, penyakit
badani seperti lues otak, dan penyakit lain yang belum di ketahui. Akhirnya timbul pendapat
bahwa skizofrenia itu suatu gangguan psikomatis, atau merupakan manifestasi somatik dan
gangguan psikogenetik. tetapi pada skizofrenia justru kerusakannnya adalah untuk menentukan
mana yang primer dan mana yang sekunder, mana yang merupakan penyebab dan mana yang
hanya akibatnya saja.

Skizofrenia merupakan penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran,
persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu. Gejala skizofrenia dibagi dalam
dua kategori pertama yaitu gejala positif atau gejala nyata, yang mencangkup waham, halusinasi,
dan diagnosis, bicara dan perilaku yang tidak teratur, serta gejala negative atau gejala samar
seperti, efek datar, tidak memiliki kemauan, dan menarik diri dari masyarakat dan memiliki rasa
yang tidak nyaman (videback, 2008)

2. Halusinasi

Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori atau suatu objek tanpa adanya rangsangan dari luar,
gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh panca indra. Halusinasi merupakan suatu gelaja
gangguan jiwa yang seseorang mengalami perubahan sensori persepsi, serta merupakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, perabaan dan penciuman. Seseorang merasakan stimulus yang
sebetulnya tidak ada. Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana pasien
mengalami perubahan sensori persepsi: merasakan sensasi PALSU berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan dan penghidupan . Pasien merupakan setimulus yang sebenarnya tidak
ada. pasien merasa ada suara padahal tidak ada stimulus suara. Melihat bayangan orang atau
suatu yang menentukan padahal tidak ada bayangan tersebut. Membaui bau-bauan padahal tidak
sedang makan apapu. Merasakan sensasi rabaan padahal tidak ada apapun dalam permukaan
kulit. (Nurjanah, 2008)

Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau stimulus yang datang disertai gangguan respon
yang kurang, berlebihan, atau distorsi terhadap stimulus tersebut (Nanda-1, 2012).

a. Etiologi

1. Faktor predisposisi menurut Yosep (2011)

2. Faktor perkembangan

Perkembangan klien yang terganggu misalnya kuranganya mengontrol emosi dan keharmonisan
klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi hilang percaya diri.

3. Faktor sosialkultural

Seseorang yang merasa tidak terima di lingkungan sejak bayi akan membekas di ingatannya
sampai dewasa dan ia akan merasa di singkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkunganya

4. Faktor biokimia
Adanya stress yang berlebihan yang di alami oleh seseorang maka di dalam tubuhnya akan di
hasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia sehingga menjadi ketidak
seimbangan asetil kolin dan dopamine.

5. Faktor psikologis

Tipe kepribadian yang lemah tidak bertanggung jawab akan mudah terjerumus pada penyelah
guna zat adaptif. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam
nyata.

6. Pola genetik dan pola asuh

Hasil studi menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat berpengaruh
pada penyakit ini.

b. Faktor presipitasi

Penyebab halusinasi dapat di lihat dari lima dimensi menurut (Yosep, 2011).

1. Dimensi fisik

Halusinasi dapat di timbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa,
pengguanaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan waktu tidur
dalam waktu yang lama.

2.Dimensi emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat di atasi merupakan
penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa printah memaksa dan
menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut sehingga dengan kondisi
tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

3. Dimensi Intelektual

Dalam dimensi intelektual ini merangsang bahwa individu dengan halusinasi akan
memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari
ego sendiri untuk melawan implus yang menekan, namum merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengembil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi sosial

Klien mengaggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata itu sangatlah membahayakan, klien
asik dengan halusinasinya. Seolah-olah dia merupakan tempat akan memenuhi kebutuhan akan
interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak di dapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi di jadikan system kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika sistem halusinasi
berupa ancaman, dirinya maumpun orang lain. Oleh karna itu aspek penting dalam melakukan
intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan
pengalam interpersonal yang memuaskan, serta menguasakan klien tidak menyendiri sehingga
klien selalu berinteraksi dengan lingkungan dan halusinasi tidak langsung.

5. Dimensi spiritual

Klien mulai dengan kemampuan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan
jarang berupaya secara spiritual untuk menysucikan diri. Ia sering memaki takdir tetapi lemah
dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan
takdirnya memburuk.

c. Tanda dan Gejala

Menurut (Yosep, 2011) yaitu:

1.Halusinasi pendengaran

Data Subyektif:

a) Mendengar sesuatu menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya


b) Mendengar suara atau bunyi
c) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
d) Mendengar seseorang yang sudah meninggal
e) Mendengar suara yang mengancam diri klien atau orang lain atau yang membahayakan
a) Mengarahkan telinga pada sumber suara
b) Bicara atau tertawa sendiri
c) Marah marah tanpa sebab
d) Menutup telinga mulut komat kamit
e) Ada gerakan tangan
2. Halusinasi penglihatan

Data subyektif:

a) Melihat orang yang sudah meninggal


b) Melihat makhluk tertentu
c) Melihat bayangan
d) Melihat sesuatu yang menakutkan
e) Melihat cahaya yang sanat terang
Data obyektif:
1) Tatapan mata pada tempat tertentu
2) Menunjuk kea rah tertentu
3) Ketakutan pda objek yang dilihat
4) halusinasi penghidup Data subyektif:
a) Mencium sesuatu seperti bau mayat, darah, bayi, fase, bau masakan, dan parfum yan
menyengat
b) Klien mengatakan sering mencium bau sesuatu
Data obyektif:
1) Ekspresi wajah seperti sedang mencium
2) Adanya gerakan cuping hidung
3) Mengarahkan hidung pada tempat tertentu
3. Halusinasi peraba

Data subyektif:

a) Klien mengatakan seperti ada sesuatu di tubuhnya


b) Merasakan ada sesuatu di tubuhnya
c) V Merasakan ada sesuatu di bawah kulit

d) Merasakan sangat panas, atau dingin

e) Merasakan tersengat aliran litrik Data obyektif:


1) Mengusap dan menggaruk kulit

2) Meraba permukaan kulit

3) Menggerak gerakan badanya

4) Memegangi terus area tertentu

d. Halusinasi pengecap Data subyektif:

a) Merasakan seperti sedang makan sesuatu

b) Merasakan ada yang dikunyah di mulutnya Data obyektif:

1) Seperti mengecap sesuatu

2) Mulutnya seperti mengunyah

3) Meludah atau muntah

e. Halusinasi Chenesthetic dan kinestetik Data subyektif:

a) Klien mengatakan tubuh nya tidak ada fungsinya


b) Merasakan tidak ada denyut jantung

c) perasaan tubuhnya melayang laying Data obyektif:

1) klien menatap dan melihati tubuhnya sendiri

2) klien memegangi tubuhnya sendiri

3. Jenis halusinasi

Menurut Yusuf (2015) jenis halusinasi dibagi menjadi 5 yaitu:

a. Halusinasi pendengaran (audiktif, akustik)

Paling sering di jumpai dapat beruba bunyi mendenging atau bising yang tidak mempunyai arti,
tetapi lebih sering mendengar sebuah kata atau kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut
di tunjukan oleh penderita sehingga penderita tidak jarang bertengkar dan berdebat dengan suara-
suara tersebut.

Suara tersebut dapat di rasakan dari jauh atau dekat, bahkan mungkin datang dari tiap tubuh nya
sendiri. Suara bisa menyenangkan, menyuruh berbuat baik, tetapi dapat pula berupa ancaman,
mengejek, memaki atau bahkan menakutkan dan kadang- kadang mendesak atau memerintah
untuk berbuat sesuatu seperti membunuh atau merusak.
b. Halusinasi penglihatan (Visual, optik)

Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organic). Biasanya muncul bersamaan
dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat gambaran-gambaran yang
mengerikan atau tidak menyenangkan.

c. Halusinasi penciuman (olfaktorik)

Halusinasi ini biasanya mencium sesuatu bau tertentu dan merasakan tidak enak, melambungkan
rasa bersalah pada penderita. Bau ditambah dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap
penderita sebagai suatu kombinasi moral.

d. Halusinasi pengecapan (gustatorik)

Walaupun jarang terjadi biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman, penderita merasa
mengecap sesuatu. Halusinasi gustorik lebih jarang timbang halusinasi gustatorik.

e. Halusinasi raba (taktil)

Merasa diraba, disentuh, ditiup atau merasa ada sesuatu yang bergerak di bawah kulit. Terutama
pada keadaan delirium toksis dan skizofrenia.

4. Tahapan halusinasi

Menurut Kusumawati dan Hartono (2010), tahapan halusinasi terdiri dari 4 fase yaitu:
a. Fase I (Comforting)

Comforting disebut juga fase menyenangkan, pada tahapan ini masuk dalam golongan
nonpsikotik. Karakteristik dari fase ini klien mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan,
perasaan rasa bersalah, kesepian yang memuncak, dan tidak dapat di selesaikan. pada fase ini
klien berperilaku tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakan bibir tanpa suara,
pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asik dengan hausinasinya dan
suka menyendiri.

b. Fase II (Conndeming)

Pengalaman sensori menjijihkan dan menakutkan termasuk dalam psikotik ringan. karakteristik
klien pada fase ini menjadi pengalaman sensori menjijihkan dan menakutkan, kecemasan
meningkat, melamun dan berfikir sendiri menjadi dominan, mulai merasakan ada bisikan yang
tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tau dan klien ingin mengontrolnya. Perilaku klien pada
fase ini biasanya meningkatkan tanda tanda system syaraf otonom seperti peningkatan denyut
jantung dan tekanan darah, klien asyik dengan halusinasinya dan tidak bisa membedakan dengan
realita.

c. Fase III (Controling)

Controlling disebut juga ansietas berat, yaitu pengalaman sensori menjadi berkuasa.
Karakteristik klien meliputi bisikan, suara, bayangan, isi halusinasi semakin menonjol,
menguasai dan mengontrol klien. Tanda-tanda fisik berupa berkeringat, tremor, dan tidak mampu
memenuhi perintah.

d. Fase IV (Conquering)
Conquering disebut juga fase panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya termasuk dalam
psikorik berat. Karakteristik yang muncul pada klien meliputi halusinasi berubah menjadi
mengancam, memerintah dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang control
dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain dan lingkungan.

5. Penilaian terhadap setresor

1. Kognitif: tidak dapat berpikir logis, inkoheren, disorientasi, gangguan memori jangka
pendek maupun jangka panjang, konsentrasi rendah, kekacauan alur pikir, ketidakmampuan
mengambil keputusan, fligh of idea, gangguan berbicara dan perubahan isi pikir

2. Afektif: tidak spesifik, reaksi kecemasan secara umum, kegembiraan yang berlebihan,
kesedihan yang berlarut dan takut yang berlebihan, curiga yang berlebihan dan defensif sensitif

3. Fisiologis: pusing, kelelahan, keletihan, denyut jantung meningkat, keringat dingin,


gangguan tidur, muka merah/tegang, frekuensi napas meningkat, ketidakseimbangan
neurotransmitter dopamine dan serotonine

4. Perilaku: berperilaku aneh sesuai dengan isi halusinasi, berbicara dan tertawa sendiri,
daya tilik diri kurang, kurang dapat mengontrol diri, penampilan tidak sesuai, perilaku yang
diulang-ulang, menjadi agresif, gelisah, negatif, melakukan pekerjaan dengan tidak tuntas,
gerakan katatonia, kaku, gangguan ekstrapiramidal, gerakan mata abnormal, grimacvin, gaya
berjalan abnormal, komat-kamit, menggerakkan bibir tanpa adanya suara yang keluar

5. Sosial: ketidak mampuan untuk berkomunikasi, acuh dengan lingkungan, penurunan


kemampuan bersosialisasi, paranoid, personal hygiene jelek, sulit berinteraksi dengan orang lain,
tidak tertarik dengan kegiatan yang sifatnya menghibur, penyimpangan seksual dan menarik diri.
6. Psikopatologi

Proses terjadinya halusinasi diawali dari atau dengan orang yang menderita halusinasi akan
menganggap sumber dari hasilnya berasal dari lingkungan atau stimulus eksternal (Yosep, 2011).
Pada fase awal masalah itu menimbulkan peningkatan kecemasan yang terus dan sistem
pendukung yang kurang akan menghambat atau membuat persepsi untuk membedakan antara
apa yang dipikirkan dengan perasaan sendiri menurun.

Meningkatnya pada fase Comforting, klien mengalami emosi yang berlanjut seperti cemas,
kesepian, perasaan berdosa dan sensorinya dapat dikontrol bila kecemasan dapat diatur. Pada
fase ini klien cenderung merasa nyaman dengan halusinasinya. Pada fase conderming klien
mulai menarik diri. Pada fase controlling klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya
berhenti. Pada fase conquering klien lama kelamaan sensorinya terganggu, klien merasa
terancam dengan halusinasinya terutama bila tidak menuruti perintahnya

Biologi Faktor Predisposisi Psikologi

Stresor Presipitasi

Sosial budaya

Sifat
Asal

Waktu

Jumlah

Penilaian Terhadap Stresor

Kognitif Afektif Fisiologis perilaku sosial Sumber-sumber Koping

Kemampuan Personal Dukungan Sosial Aset Materi Keyakinan positif Mekanisme


Koping

Construtive Destructive

Rentang Respon

Respon adaptif Respon maladaptif

7. Rentang Respon

Gambar II.2 Rentang respon


Adaptif Maladaptif

a. Pikiran logis

b. Persepsi akurat

c. Emosi konsistensi dengan Pengalaman

d. Perilaku cocok

e. Hubungan social humoris

a. proses pikir terganggu


b. Ilusi

c. Emosi berlebihan

d. Perilaku yang tidak biasa

e. Menarik diri

a. Waham, Halusinasi

b. Kerusakan proses emosi

c. Perilaku tidak terorganisasi

d. Isolasi sosial
Respon adaptif berdasarkan rentang respon halusinasi menurut (Yusuf, Rizki & Hanik, 2015)
Meliputi:

a. Pikiran logis berupa pendapat atau pertimbangan yang dapat di terima akal.

b. Persepsi akurat berupa pandangan dari seseorang tentang sesuatau peristiwa secara
cermat dan tepat sesuai perhitungan.

c. Emosi konsisten dengan pengalaman berupa ke mantepan perasaan jiwa yang timbul
sesuai dengan peristiwa yang pernah di alami.

d. Perilaku sesuai dengan kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan dengan individu
tersebut di wujudkan dalam bentuk gerak atau ucapan yang tidak bertentangan denagn moral.

e. Hubungan sosial dapat di ketahui melalui hubungan seseorang dengan orang lain dalam
pergaulan di tengah masyarakat.

2. Respon maladaptif

Respon maladaptif berdasarkan rentang respon halusinasi menurut (Yusuf, Rizki & Hanik, 2015)
meliputi:

a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh di pertahankan walaupun tidak di
yakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial.

b. Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa persepsi yang salah terhadap
rangsangan.
c. Tidak mampu mengontrol emosi berupa ketidak mampuan atau menurunya kemampuan
untuk mengalami kesenangan, kebahagiaan, keakraban, dan kedekatan.

d. Ketiak teraturan perilaku berupa ketidak selarasan antara perilaku dan gerakan yang di
timbulkan.

e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang di alami oleh individu karna orang lain
menyatakan sikap yang negativ dan mengancam.

9. Penatalaksanaan Medis

Terapi farmakologi untuk pasien jiwa menurut Kusumawati & Hartono (2010) adalah:

a. Anti psikotik

Jenis : Clorpromazin (CPZ), Haloperidol (HLP)

Mekanisme kerja : Menahan kerja reseptor dopamin dalam otak sebagai penenang,
penurunan aktifitas motoric, mengurangi insomnia, sangat efektif untuk mengatasi: delusi,
halusinasi, ilusi, dan gangguan proses berfikir.

Efek samping :

1) Gejala ekstrapiramidal seperti berjalan menyeret kaki, postur condong kedepan, banyak
keluar air liur, wajah seperti topeng, sakit kepala dan kejang.

2) Gastrointestinal seperti mulut kering, anoreksia, mual, muntah, berat badan bertambah.
3) sering berkemih, retensi urine, hipertensi, anemia, dan dermatitis.

b. Anti Ansietas

Jenis : Atarax, Diazepam (chlordiazepoxide)

Mekanisme kerja : Meradakan ansietas atau ketegangan yang berhubungan


dengan situasi tertentu.

Efek samping :

1) Pelambatan mental, mengantuk, vertigo, bingung, tremor, letih, depresi, sakit kepala,
ansietas, insomnia, bicara tidak jelas.

2) Anoreksia, mual, muntah, diare, kontipasi, kemerahan, dan gatal- gatal.

c. Anti Depresan

Jenis : Elavil, asendin, anafranil, norpamin, ainequan, tofranil, ludiomil, pamelor, vivacetil,
surmontil.

Mekanisme kerja : Mengurangi gejala depresi, penenang. Efek samping :

1) Tremor, gerakan tersentak-sentak, ataksia, kejang, pusing, ansietas, lemas, dan insomnia.

2) pandangan kabur, mulut kering, nyeri epigastrik, kram abdomen, diare, hepatitis, icterus

3) retensi urine, perubahan libido, disfungsi erelsi.


d. Anti Manik

Jenis : Lithoid, klonopin, lamictal

Mekanisme kerja : Menghambat pelepasan scrotonin dan

mengurangi sensitivitas reseptor dopamine

Efek samping : sakit kepala, tremor, gelisah, kehilangan

memori, suara tidak jelas, otot lemas, hilang koordinasi.

e. Anti Parkinson

Jenis : Levodova, trihexpenidyl (THP)

Mekanisme kerja : Meningkatkan reseptor dopamine untuk

mengatasi gejala parkinsonisme akibat penggunaan obat antipsikotik,

menurunkan ansietas, iritabilitas.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Kegiatan perawatan
dalam melakukan pengkajian keperawatan ini dalah dengan mengkaji klien dan keluarga klien
tentang tanda gejalan serta factor penyebab, memfalidasi data dari klien (kusumawati & Hartono,
2010)
Sedangkan tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan, atau
masalah klien. Data yang di kumpulkan meliputi biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.

Cara pengkajian lain berfokus pada 5 (lima) aspek, yaitu fisik, emosional, intelektual, sosial dan
spiritual (Yosep, 2011). Untuk dapat menjaring data yang di perlukan, umumnya di kembangkan
formulir pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar memudahkan dalam pengkajian. Isi
pengkajian meliputi: Identitas klien, keluhan utama atau alasan masuk, faktor predisposisi, faktor
presipitasi, pemicu tanda dan gejala, hambatan.

Data pengkajian keperawatan jiwa dapat di kelompokan menjadi pengkajian perilaku, faktor
predisposisi, faktor resipitasi, penilaian terhadap setresor, sumber koping dan kemampuan
koping yang di miliki klien (Stuart, 2007).

Menurut Stuart (2007) data yang di peroleh dari pengkajian dapat pula di kelopokan menjadi dua
yaitu data subjektif dan data objektif yang mana data di temukan secara nyata di peroleh mulai
dari observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat. Sadangkan data subjektif merupakan
data yang di sampaikan secara lisan baik oleh klien maupun dari keluarga klien serta di peroleh
melalui wawancara antara perawat dengan klien dan keluarga.

Pengkajian di lakukan penulis pada klien Ny. S pada tanggal 22 Mei sampai tanggal 24 Mei
2017 di ruang Nakula RSUD Banyumas. Berdasarkan hasil pengkajian di peroleh data klien
datang ke ruang Nakula RSUD Banyumas pada tanggal 10 Mei 2017 di antar oleh keluarganya
untuk di rawat. Dari pengkajian data yang di dapatkan data subjektif,

keluarga klien mengatakan bahwa klien pada saat di ruamh sering menyendiri, melamun, sering
ngomong sendiri kalo malam hari, kadang bicara nglantur dan suka memberantakin rumah.
Gejala ini berlangsung pada tanggal 3 Mei 2017 klien bertingkah laku tidak seperti biasanya.
Faktor predisposisi yang mendukung munculnya masalah pada Ny. S yaitu keluarga klien
mengatakan sudah 4x di rawat di Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas pada bulan November
2015 tetapi proses penyembuhannya kurang maksimal karna tidak mengonsumsi obat secara
teratur dan lingkungan yang kadang membuat klien kambuh dari penyakitnya. Faktor presipitasi
yang terjadi pada klien yaitu kepikiran anaknya yang akan masuk kuliah karna faktor ekonomi
dan ada masalah dengan suaminya. Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam
membedakan rangsangan intelektual (pikiran) dan rangsangan eksternal perubahan sensori
persepsi: merupakan sensasi palsu berupa penglihatan, pengecapan, perabaan, pnghidu, dan
pendengaran (Direja, 2011).

Menurut Yosep (2011) karateristik perilaku yang dapat di tunjukan klien dan kondisi halusinasi
berupa seseorang yang merasakan meliputi mendengar suara-suara, paling sering adalah suara
orang, klien berbicara sendiri, senyum dan tertawa sendiri berbicara kacau dan kadang tidak
masuk akal, tidak bisa membedakan hal yang nyata dan tidak nyata, menarik diri dan
menghindar dari orang lain, perasaan curiga, takut, gelisah, bingung, dan kontak mata kosong.

Tanda dan gejala menurut Direja (2010) klien pada halusinasi cenderung menarik diri, sering di
dapatkan duduk terpaku, pada pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara
sendiri, secara tiba-tiba marah dan menyerang orang lain, gelisah atau melakukan gerakan seperti
sedang menikmati sesuatu.

Pada saat pengkajian hambatan yang di alami penulis terhadap klien adalah kurang kooperatif,
klien tanpak gelisah dan sering tidak konsentrasi saat di tanya. Klien sering mengalihkan topik
pembicaraan dan klien sering bicara ngelantur dan tidak terkontrol klien tidak mengatahui bahwa
yang di alaminya adalah sebuah halusinasi yang merupakan salah satu penyakit gangguan jiwa.
Kemudian penulis memberikan pengetahuan tentang pengertian halusinasi kepada klien dan
tanda gejalan seseorang mengalami halusinasi serta mengajaknya cara menghilangkan suara
yang tidak tanpak wujudnya.
Adanya fase halusinasi yang di alami klien pun menjadi salah satu faktor penghambat dalam
pengkajian. Klien mengalami fase conquering atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya.
Klien yang sepenuhnya sudah di kuasai dan menimbulkan kepanikan dan ketakutan. Karateristik
halusinasi berubah menjadi mengancam, memerintah, dan memarahi klien. Klien menjadi takut,
tidak berdaya, hilang kontrol dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di
lingkungan.

2. Diagnose Keperawatan

a. Akibat : Risiko perilaku kekerasan

b. Masalah utama : Gangguan persepsi: Halusinasi pendengaran

c. Etiologi : Defisit perawatan Diri

3. Pohon Masalah

Gambar III. 3 Pohon Masalah

Resiko perilaku mencedeai diri


core problem

Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah

4. Intervensi

Menurut Yosep (2011), yaitu:

a. Gangguan sensori persepsi: Halusinasi

a) Tujuan umum

Klien dapat mengontrol halusinasi

b) Tujuan khusus
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya

b) Klien dapat mengenal halusinasinya

c) Klien dapat mengontrol halusinasinya

d) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi

e) Klien dapat memanfaatkan obat secara teratur

c) Intervensi

a) Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan komunikasi


terapeutik

b) Sapa klien dengan sopan

c) Perkenalkan diri dengan sopan

d) Tanyakan nama klien dengan lengkap

e) Jelaskan tujuan pertemuan

f) Tunjukan sikap empati


g) Observasi tingkah laku klien terkait halusinasi

h) Bantu klien mengenal halusinasinya

i) Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika halusinasi

j) Diskusikan manfaat yang dilakukan klien dan beri pujian pada klien

b. Risiko perilaku kekerasan

a) Tujuan umum

Klien dapat mengontrol atau mencegah perilaku kekerasan baik secara fisik, sosial, verbal,
spiritual.

b) Tujuan khusus

a) Bina hubungan sling percaya

b) Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan

c) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan


d) Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan

c) Intervensi

a) Bina hubungan saling percaya dengan menerapkan komunikasi terapeutik

b) Bantu klien mengungkapkan perasaanya

c) Bantu klien untuk mengungkapkan tanda perilaku kekerasan

d) Diskusikan dengan klien keuntungan dan kerugian perilaku kekerasan

e) Diskusikan dengan klien cara mengontrol perilaku kekerasan

f) Ajatkan klien mempraktekancara mengontrol perilaku kekerasan, beri


pujian klien

c. Defisit perawatan diri

a) Tujuan Umum:

a) Klien tidak mengalami masalah defisit perawatan diri.

b) Tujuan Khusus
a) Klien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri

b) Klien mampu melakukan berhias secara baik

c) Klien mampu melakukan makan dengan baik

d) Klien mampu melakukan eliminasi secara mandiri

c) Intervensi

a) Melatih klien cara perawatan kebersihan diri

b) Membantu klien latihan berhias

c) Melatih klien makan secara mandiri

d) Mengajarkan klien melakukan BAB/BAK secara mandiri

5. Implementasi

Tndakan keperawatan (implementasi) dilakukan berdasarkan rencana yang telah dibuat.


Tindakan keperawatan dibuat dan dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi klien saat ini.
Perawat bekerja sama dengan klien, keluarga, dan tim kesehatan lain dalam melakukan tindakan
keperawatan (Stuart, 2013).

6. Evaluasi

Evaluasi adalah suatu proses penilaian berkesinambungan tentang pengaruh intervensi


keperawatan dan program pengobatan terhadap status kesehatan klien dan hasil kesehatan yang
di harapkam (Stuart, 2013).

DAFTAR PUSTAKA

Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, dan Hanik Endang Nihayati, 2015, Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa, Salemba Medika, Jakarta

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Amplikasi Penulisan LaporanPendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan. Jakarta: Salemba Medika.

Iyus, Yosep. 2007. Keperawatan Jiwa, Edisi 1. Jakarta: Refika Aditama.

Iyus, Yosep. 2011. Keperawatan Jiwa, Edisi 4. Jakarta: Refika Aditama

Kusumawati, Farida dan Yudi Hartono. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.

Nurjanah, S. 2008. Penyuluhan Pertanian Madya Pasbangluhtan. BPTP.Yogyakarta.

Stuart, Gail Wiscarz. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta. EGC

Videbeck, Sheila L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.Jakarta: EG

S. N. Ade Herma Direja. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Nuha Medika.

Willy F. Maramis, Albert A. Maramis Penerbit: Airlangga university press ISBN: 978-979-1330-
56-5 Tahun terbit: 2009.
Yusuf, Ahmad Dkk. 2015.Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Nanda, 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Buku Kedokteran:
EGC.

Dermawan, R., & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Mamnuah, Nurjanah, I., Prabandari, Y. S., & Marchira, C. R. (2016). Literature Reviw of Mental
Health Recovery in Indonesia. GSTF Journal of Nursing and Health Care (JNHC) Vol.3 No.2,
June, 20-25

Anda mungkin juga menyukai