Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN JIWA PADA

PASIEN PERUBAHAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI

OLEH :

1. AGUS DAHLIA 6. MEGA RAHMAWATI


2. ANDRIANI OLIVIA 7. CAHAYA PURBA
3. ARMA SILABAN 8. EVENICHA SINURAYA
4. INDAH PUTRI 9. ROY WILSON
5. MARIA MANULLANG 10.

STIKES SANTA ELISABETH MEDAN


PRODI NERS TAHAP AKADEMIK
T.A 2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia yang diberikan pada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Dalam penyusunan makalah ini kami
tidak lupa untuk mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah
membantu kami dalam menyusun makalah ini. Dalam kesempatan ini kami
mengucapkan terimakasih kepada Suster Imelda Derang, S.Kep., Ns., M.Kep
selaku dosen pembimbing kami yang telah memberikan kesempatan, saran serta
masukan untuk kami dalam mengikuti dan menyelesaikan tugas makalah ini.

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna
baik dari teknik penulisan maupun materi. Oleh karena itu kami mengharapkan
saran dan kritik yang membangun agar kami dapat memperbaikinya.

Akhir kata, kami mengucapkan banyak terimakasih dan semoga makalah


ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Oktober 2017


Penulis

Kelompok 5
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa menurut WHO adalah berbagai karakteristik positif yang


menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan
kedewasaan kepribadiannya. Kesehatan jiwa menurut UU Kesehatan Jiwa No. 3
yaitu suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual,
emosional secara optimal dari seseorang, dan perkembangan ini berjalan selaras
dengan orang lain.
Persepsi masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa adalah sesuatu yang
mengancam juga harus diluruskan. Selama ini keluarga masih beranggapan bahwa
penanganan penderita gangguan jiwa adalah tanggung jawab pihak Rumah Sakit
Jiwa saja, padahal faktor yang memegang peranan penting dalam hal perawatan
penderita adalah keluarga serta masyarakat di sekitar penderita gangguan jiwa
tersebut.
Menurut WHO atau World Health Organization menyebutkan bahwa
prevalensi masalah keperawatan jiwa saat ini cukup tinggi, 25% dari penduduk
dunia pernah menderita masalah kesehatan jiwa, 1% di diantaranya adalah
gangguan jiwa berat. Potensi seseorang mudahterserang gangguan jiwa memang
tinggi, setiap saat 450 juta orang diseluruh dunia terkena dampak permasalahan
jiwa, saraf, maupun perilaku. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat
diseluruh dunia adalah gangguan jiwa berat yaitu Skizofrenia.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2007 (Depkes RI,
2007) menyebutkan 14,1% penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dari
ringan hingga berat. Data dari 33 rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia
menyebutkan hingga kini jumlah penderita jiwa berat mencapai 2,5 juta orang.
Indonesia memiliki prevalensi sekitar 11% dari total penduduk dewasa
(Anggraeni Devi, 2013).
Dari survei awal yang dilakukan (Laporan Rekam Medik Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, 2009), diketahui jumlah pasien penderita
gangguan jiwa yang dirawat di Rumah sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara
pada tahun 2009 berkisar 14.306 jiwa, dari jumlah tersebut 1929 pasien dirawat
inap, 12.377 pasien dirawat jalan, dan 1581 pasien yang dirawat inap mengalami
halusinasi.
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata (Kusumawati, 2010).
Halusinasi dibedakan dari distorsi atau ilusi yang merupakan tanggapan salah dari
rangsang yang nyata ada. Menurut Stuart dan Sundeen (1995), 70% pasien
mengalami jenis halusinasi audiotorik, 20% halusinasi visual, 10% halusinai
pengecapan, taktil dan penciuman. Pasien merasakan halusinasi sebagai sesuatu
yang amat nyata, paling tidak untuk suatu saat tertentu.
Gejala umum pada penderita halusinasi yaitu bicara, senyum, dan tertawa
sendiri, menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, dan respon
verbal yang lambat, menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindari
diri dari orang lain, tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan
yang tidak nyata.

Terkait dengan tingginya prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup
tinggi maka sangat dibutuhkan pemberian standar asuhan keperawatan yang tepat
dan benar serta maksimal kepada masing-masing pasien gangguan persepsi:
halusinasi untuk menghadapi masalahnya dan meminimalkan resiko yang terjadi.
Untuk mengetahui lebih lanjut masalah yang terjadi pada pasien perlu dikaji lebih
lanjut tentang gangguan persepsi sensori: halusinasi pada pasien. Seperti, perawat
perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya halusinasi yang dialami
oleh pasien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu
terjadi halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi.
Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi
terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk mencegah
terjadinya halusinasi (Yosep, 2009). Hal ini menunjukan bahwa pengaruh
pelaksanaan standar Asuhan Keperawatan halusinasi akan mempengaruhi
kemampuan kognitif dan psikomotorik pasien dalam mengontrol halusinasinya.
1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Agar mahasiswa/i Ners Tahap Akademik tingkat III semester V STIKes


Santa Elisabeth Medan mampu menyusun Asuhan Keperawatan Gangguan Jiwa
Pada Klien Dengan Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi.

1.2.2 Tujuan Khusus

Agar mahasiswa/i Ners Tahap Akademik tingkat III semester V STIKes


Santa Elisabeth Medan mampu :

1. Agar mahasiswa/i Ners tahap akademik tingkat III STIKes Santa Elisabeth
Medan mampu melakukan dan memahami pengkajian keperawatan jiwa
2. Agar mahasiswa/i Ners tahap akademik tingkat III STIKes Santa Elisabeth
Medan mampu merumuskan dan memahami diagnosa keperawatan jiwa
3. Agar mahasiswa/i Ners tahap akademik tingkat III STIKes Santa Elisabeth
Medan mampu menyusun intervensi keperawatan jiwa
4. Agar mahasiswa/i Ners tahap akademik tingkat III STIKes Santa Elisabeth
Medan mampu melakukan implementasi keperawatan jiwa
5. Agar mahasiswa/i Ners tahap akademik tingkat III STIKes Santa Elisabeth
Medan mampu melakukan evaluasi keperawatan jiwa
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Halusinasi

2.1.1 Defenisi Halusinasi

Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien


mengalami perubahan sensori persepsi serta merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penciuman. Pasien merasakan
stimulus yang sebetulnya tidak ada.(Yusuf AH, 2015)

Menurut Maramis (2005), Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan


persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Suatu penerapan panca indera tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan
yang dialami persepsi melalui panca indera tanpa stimulus eksteren : persepsi
palsu. (Prabowo Eka, 2014).

2.1.2 Jenis Halusinasi

Halusinasi terdiri dari beberapa jenis, dengan karakteristik tertentu,


diantaranya :

a. Halusinasi Pendengaran (akustik, audiotorik) : gangguan stimulus dimana


pasien mendengar suara-suara terutama suara-suara orang, biasanya pasien
mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi Penglihatan (visual) : stimulus visual dalam bentuk beragam
seperti bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan
atau panorama yang luas dan kompleks. Bayangan bias bisa
menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi Penghidu (olfaktori) : gangguan stimulus pada penghidu, yang
ditandai dengan adanya bau busuk, bau amis dan bau yang menjijikkan
seperti : darah, urine, atau feses. Kadang-kadang terhidu bau harum.
Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang, dan dementia.
d. Halusinasi Peraba (taktil, kinaestatik) : gangguan stimulus yang ditandai
dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat.
Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau
orang lain.
e. Halusinasi Pengecap (gustatorik) : gangguan stimulus yang ditandai
dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan.
f. Halusinasi Sinestetik (menurut Yosep Iyus, 2007): gangguan stimulus
yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
(Prabowo Eka, 2014).

2.1.3 Etiologi

a. Faktor Predisposisi

Menurut yosep ( 2009 ) faktor predisposisi yang menyebabkan halusinasi


adalah :

1. Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu misalnya , rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sejak
kecil , mudah frustasi , hilang percaya diri , dan lebih rentan terhadap
strees .
2. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan , kesepian , dan tidak percaya pada lingkungannya .
3. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa . Adanya strees
yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia . Akibat strees
yang berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmiter otak .
4. Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan pasien dalam mengambil keputusan yang tepa demi
masa depannya. Pasien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam
nyata menuju alam hayal .
5. Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitiaan menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia . Hasil study menunjukkan
bahawa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
pada penyakit ini .

b. Faktor presipitasi

Menurut stuart dan sundeen yang diikuti oleh jallo (2008)

Faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah .


1. Faktor Biologi
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menganggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk
diinterprestasikan
2. Strees Lingkungan
Ambang toleransi terhadap strees yang berinteraksi terhadap streesor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku
3. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
strees .

2.1.4 Tanda dan gejala

1. Bicara, senyum, dan tertawa sendiri


2. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, dan respon
verbal yang lambat
3. Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindari diri dari
orang lain
4. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang tidak
nyata
5. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah
6. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik dan
berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya
7. Curiga, bermusuhan ,merusak (diri sendiri,orang lain dan lingkungannya),
dan takut
8. Sulit berhubungan dengan orang lain
9. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung, jengkel dan marah
10. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat
11. Tampak termor dan berkeringat, perilaku panic, agitasi dan kataton
(Prabowo Eko,2014)

2.1.5 Rentang Respon Halusinasi

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada


dalam rentang respon neurobiologist (Stuart & Laraia, 2001). Ini merupakan
respon persepsi paling maladaptif. Jika individu yang sehat persepsinya akurat,
mampu mengidentifikasi dan menginterprestasikan stimulus berdasarkan
informasi yang diterima melalui panca indera (pendengaran, penglihatan,
penghidu, pengecapan, dan perabaan), pasien dengan halusinasi mempersepsikan
suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada.
Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu hal
mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang
diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Pasien mengalami ilusi jika interpretasi
yang dilakukannya terhadap stimulus panca indera tidak akurat sesuai stimulus
yang diterima. Rentang respon halusinasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Adaptif Maladaptif

Pikiran logis Kadang proses pikir tidak Gangguan proses


terganggu berpikir/waham
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Emosi tidak stabil Kesukaran proses
dengan pengalaman emosi
Perilaku cocok Perilaku tidak biasa Perilaku tidak
terorganisasi
Hubungan sosial Menarik diri Isolasi sosial
harmonis

2.1.6 Tahapan Halusinasi

Tahap Karakteristik Perilaku Pasien


Tahap 1(Fase 1. Mengalami a) Tersenyum,
Comforting) ansietas, tertawa sendiri
Memberi rasa nyaman, kesepian, rasa b) Menggerakkan
tingkat ansietas sedang bersalah dan bibir tanpa suara
secara umum, ketakutan c) Pergerakan mata
halusinasi merupakan 2. Mencoba yan cepat
suatu kesenangan berfokus pada d) Respon verbal
pikiran yang yang lambat
dapat e) Diam dan
menghilangkan berkonsentrasi
ansietas
3. Pikiran dan
pengalamana
sensori masih
ada dalam
kontrol
kesadaran (jika
kecemasana
dikontrol)
Tahap II (Fase 1. Pengalaman a) Peningkatan
Condemming) sensori SSO, tanda-
menyalahkan, tingkat menakutkan tanda ansietas,
kecemasan berat, 2. Mulai merasa peningkatan
secara umum kehilangan denyut jantung,
halusinasi kontrol pernapasan dan
menyebabkan rasa 3. Merasa tekanan darah
antipati dilecehkan oleh b) Rentang
pengalaman perhatian
sensori tersebut menyempit
4. Menarik diri dari c) Konsentrasi
orang lain dengan
5. Non psikotik pengalaman
sensori
d) Kehilangan
kemampuan
membedakan
halusinasi dan
realita
Tahap III (Fase 1. Pasien menyerah a) Perintah
controling) dan menerima halusinasi ditaati
Mengontrol tingkat pengalaman b) Sulit
kecemasan berat, sensorinya berhubungan
pengalaman sensori 2. Isis halusinasi dengan orang
tidak dapat ditolak lagi menjadi antraktif lain
3. Kesepian bila c) Rentang
sensori berakhir perhatian hanya
4. Psikotik beberapa
detik/menit
d) Gejala sisa
ansietas berat,
berkeringat,
tremor, tidak
mampu
mengikuti
perintah
Tahap IV (Fase 1. Pengalam sensori a) Perilaku teror
conquering) menjadi ancaman akibat panik
Menguasai tingkat 2. Halusinasi dapat b) Potensi tinggi
kecemasan panik berlangsung untuk bunuh diri
secara umum diatur selama berapa atau membunuh
dan dipengaruhi oleh jam atau hari c) Tindakan
waham 3. Psikotik kekerasan,
agitasi, menarik
diri atau
ketakutan
d) Tidak mampu
berespon
terhadap
perintah yang
kompleks
e) Tidak mampu
berespon
terhadap lebih
dari satu orang

2.1.7 Mekanisme Koping

1) Retensi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk


menanggulangi ansietas, hanya mampu sedikit energi yang tertinggal
untuk aktivitas hidup sehari-hari sehingga klien malas menjadi malas
untuk beraktifitas
2) Proyeksi yaitu mencoba menjelaskan perubahan suatu persepsi dengan
berusaha untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain
3) Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal

2.1.8 Pohon Masalah


Resiko Perilaku Kekerasan Effect

Perubahan Sensori Persepsi : Halusinasi Cor Problem

Isolasi Sosial : Menarik Diri Causa

2.1.9 Penatalaksanaan

Pengobatan harus secepat mungkin harus diberikan, disini peran keluarga


sangat penting karena setelah mendapatkan perawatan di RSJ pasien dinyatakan
boleh pulang sehingga keluarga mempunyai peran yang sangat penting didalam
hal merawat pasien, menciptakan lingkungan keluarga yang konduksif dan
sebagai pengawas minum obat.

a) Farmakoterapi

Neuroleptika dengan dosis efektif bermanfaat pada penderita skizoprenia yang


menahun, hasilnya lebih banyak jika mulai diberi dalam dua tahun penyakit.
Neuroleptika dengan dosis efektif tinggi bermanfaat pada penderita dengan
psikomotorik yang meningkat.

b) Terapi Kejang Listrik

Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grandma


secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektroda yang dipasang
pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan padas skizoprenia
yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi
kejangl istrik 4-5 joule/detik.
c) Psikoterapi dan Rehabilitasi

Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena


berhubungan dengan praktis dengan maksud mempersiapkan pasien kembali
kemasyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk mendorong pasien bergaul
dengan orang lain, pasien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya pasien
tidak mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik,
dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti terapi
modalitas yang terdiri dari:

1) Terapi aktifitas
 Terapi music
Focus: mendengar, memainkan alat music, bernyanyi yaitu menikmati
dengan relaksaksi music yang disukai pasien.
 Terapi Seni
Focus: untuk mengekspresikan perasaan melalui berbagai pekerjaan seni.
 Terapi Menari
Focus pada ekspresi perasaan melalui gerakan tubuh
 Terapi Relaksasi
Belajar dan praktek relaksasi dalam kelompok rasional untuk koping atau
perilaku mall adaptif/deskritif, meningkatkan partisipasi dan kesenangan
pasien dalam kehidupan.
2) Terapi Social
Pasien belajar bersosialisasi dengan pasien lain.
3) Terapi Kelompok
 Terapi group (kelompok teraupetik)
 Terapi aktifitas kelompok
 TAK stimulasi presepsi : halusinasi
Sesi 1: mengenal halusinasi
Sesi 2: mengontrol halusinasi dengan menghardik
Sesi 3: mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan
Sesi 4: mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap
Sesi 5: mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat
 Terapi Lingkungan
Suasana rumah sakit dibuat seperti didalam keluarga.
(Prabowo, 2014)

2.2. Proses Keperawatan Halusinasi

2.2.1 Pengkajian

1. Faktor Predisposisi

 Faktor perkembangan
 Faktor sosiokultural
 Faktor biokimia
 Faktor psikologis
 Faktor genetik dan pola asuh

2. faktor Presipitasi

 Biologis
 Stress lingkungan
 Sumber koping

3.Mekanisme Koping

a. Retensi
b. Proyeksi
c. Menarik diri

4. Perilaku halusinasi :

1. Jenis dan isi halusinasi . Data objektif dapat anda kaji dengan cara
mengobservasi perilaku pasien , sedangkan data subjektif dapat anda kaji
dengan melakukan wawancara dengan pasien . Melalui data ini perawat
dapat mengetahui isi halusinasi pasien .
2. Waktu , frekuensi , dan situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi .
Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya
halusinasi yang dialami oleh pasien. Kapan halusinasi terjadi ? Apakah
pagi , siang , atau malam ? Jika mungkin pukul berapa ? Frekuensi terjadi
apakah terus – menerus atau hanya sekali – kali ? Situasi terjadinya apakah
ketika sendiri , setelah terjadi kejadian tertentu ? Hal ini dilakukan untuk
menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya halusinasi , sehingga
pasien tidak larut dengan halusinasinya . Dengan mengetahui frekuensi
terjadinya halusinasinya dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk
mencegah terjadinya halusinasi .
3. Respon terhadap halusinasi . Untuk mengetahui apa yang dilakukan pasien
ketika halusinasi itu muncul . Perawat dapat menanyakan pada pasien hal
yang akan dirasakan atau dilakukan saat halusinasi timbul . Perawat dapat
juga menanyakan pada keluarga atau orang terdekat pasien . Selain itu
dapat juga dengan mengobservasi perilaku pasien saat halusinasi timbul .

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

a. Resiko perilaku kekerasan berhubungan dengan halusinasi


b. Perubahan sensori persepsi: halusinasi berhubungan dengan menarik diri

2.2.3 Tindakan Keperawatan Pada Pasien Halusinasi

a. Membantu Pasien Mengenali Halusinasi

Untuk membantu pasien mengenali halusinasi, perawat dapat


melakukannya cara berdiskusi dengan pasien tentang ini halusinasi (apa yang
didengar atau dilihat), waktu terjadinya halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi,
situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan perasaan pasien saat halusinasi
muncul.

b. Melatih Pasien Mengontrol Halusinasi

Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi perawat dapat


melatih pasien empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi.
Keempat cara tersebut meliputi :

1. Melatih Pasien Menghardik Halusinasi

Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap


halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih
untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak
memerdulikan halusinasinya. Kalau ini bisa dilakukan, pasien akan
mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul.
Mungkin halusinasi tetap ada namun dengan kemampuan ini pasien tidak
akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam halusinasinya.

2. Melatih Bercakap-cakap dengan Orang Lain

Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan


orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi
distraksi, fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke
percakapan yang dilakukan dengan orang lain tersebut.

3. Melatih Pasien Beraktivitas Secara Terjadwal


Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah dengan
menyibukkan diri dengan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas
secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri
yang seringkali mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien yang mengalami
halusinasi bisa membantu untuk mengatasi halusinasinya dengan cara
beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari
dalam seminggu. Tahapan intervensi sebagai berikut :
1. Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi
halusinasi
2. Mendiskusikan aktivitas yang bisa dilakukan oleh pasien
3. Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang
telah dilatih
4. Upayakan pasien mempunyai aktivitas dari bangun pagi sampai tidur
malam, tujuh hari dalam seminggu
5. Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberi peguatan terhadap
perilaku pasien yang positif

4. Melatih Pasien Menggunakan Obat Secara Teratur

Untuk mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih untuk


menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Pasien gangguan
jiwa yang dirawat di rumah sakit seringkali mengalami putus obat sehingga
akibatnya pasien mengalami kekambuhan. Bila kekambuhan terjadi maka
untuk mencapai kondisi seperti semula akan lebih sulit. Untuk itu pasien
perlu dilatih menggunakan obat sesuai program dan berkelanjutan. Berikut
ini tindakan keperawatan agar pasien patuh menggunakan obat:
 Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa
 Jelaskan akibat bila obat tidak digunakan sesuai program
 Jelaskan akibat bila putus obat
 Jelaskan cara mendapatkanm obat/ berobat
 Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5B (benar obat, benar
pasien, benar cara, benar waktu, dan benar dosis).
(Keliat, 2011)
BAB 3

TINJAUAN KASUS

Nn.X Usia 24 tahun tinggal laubaleng berpendidikan SMA Klien masuk


ke rumah sakit prof sumut sejak tanggal 20 september 2017 dirawat diruangan
mawar klien diantar oleh tuan S Yang berusia 54 tahun yang bekerja sebagai
wirasuasta hubungan dengan klien sebagai ayah . klien dibawa ke RSJ Dengan
alasan sejak 12 september 2017 klien tampak bingung , bicara kacau , sering
berbicara sendiri , tertawa sendiri , kadang – kadang mudah marah dan mudah
tersinggung . Nn S Sering juga mendengar suara yang menyuruhnya untuk marah
– marah dan berbicara kasar terhadap orang lain , suara itu muncul pada hari siang
dam malam hari , pada saat pasien sedang sendiri frekuensi 5 menit , klien juga
merasa pening mendengar suara tersebut ,dan kadng – kadang takut , jika suara
itu muncul klien menganggapinya dengan ngomong sendiri dan tertawa sendiri .
dengan melihat kondisi klien , keluarga berusaha memberikan obat yang diberikan
dari rumah sakit sebelumnya dan terkadang keluarga hanya mendiamkannya saja
dan melihat kondisi pasien yang semakin parah . klien sebelumnya pernah
mengalami gangguan jiwa dan sempat dirawat di RSJ , Karena tidak teratur
minum obat akhirnya pasien kambuh lagi . klien tidak pernah mengalami
penganiaian fisik maupun seksual selama sakit serta tidak melakukan kekerasan .
dalam keluarganya tidak adanya mengalami sakit seperti klien . pengalaman klien
yang tidak menyenangkan , saat SMA Klien tidak naik kelas merasa frustasi
menjadi pendiam dan tidak mau melanjutkan sekolahnya lagi , didapatkan hasil
dari keluarga , keluarga mengatakan pada waktu sekolah klien diejek teman –
teman karena klien gemuk , sehingga klien merasa minder dan tidak dapat fokus
pada sekolahnya dan akhirnya tidak naik kelas. Dari hasil pengkajian didapatkan
klien berpenampilan tidak rapi, rambut acak – acakkan , pembicaraan klien kurang
koperatif mau berbicara tetapi hari didahului kontak mata tidak lama , berbicara
lambat , Klien terkadang gelisah , dan aditasi . Dari hasil pemeriksaan didapatkan
TD: 120/80mmHg N:92x/i, Suhu: 36,5 c, P: 20x/i TB: 156cm, BB: 80 kg. Klien
mendapatkan terapi obat yaitu trifloperazine 3x 5 mg , trihexylphenigyl 3 x 2 mg
dan chlorpromozimed 2 x 100 mg ,
BAB 4

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan


rangsangan internal (pikiran) dan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi
atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata.
Halusinasi terdiri dari beberapa jenis, dengan karakteristik tertentu,
diantaranya yaitu halusinasi pendengaran, halusinasi penglihatan, halusinasi
penghidu, halusinasi pengecapan dan halusinasi perabaan.

Faktor penyebab dari halusinasi ada dua yaitu faktor predisposisi dan
presipitasi. Faktor predisposisi yaitu faktor perkembangan, sosiokultural,
biokimia, psikologis, genetika dan pola asuh. Sedangkan pada faktor presipitasi
yaitu biologis, stres lingkungan dan sumber koping.

Tanda dan gejala yang paling umum pada penderita halusinasi yaitu
bicara, senyum, dan tertawa sendiri, menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan
mata yang cepat, dan respon verbal yang lambat, menarik diri dari orang lain, dan
berusaha untuk menghindari diri dari orang lain, tidak dapat membedakan antara
keadaan nyata dan keadaan yang tidak nyata.

Terdapat 4 tahapan atau fase pada penderita halusinasi. Fase pertama disebut
fase comforting, fase kedua disebut condemming, fase ketiga disebut fase
controlling dan fase keempat disebut fase conquering.

Penatalaksanaan pada klien dengan halusinasi dapat dilakukan dengan


farmakoterapi, terapi kejang listrik, psikoterapi dan rehabilitasi serta terapi
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A dkk. (2007). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : EGC

Keliat, B.A dan Wiyono. (2014). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta : EGC

Prabowo, Eko. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta : Medical Book.

Kusumawati, F dan Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :


Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai