Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena

adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak

mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan

lingkungan. Pengertian seseorang tentang penyakit gangguan jiwa berasal dari

apa yang diyakini sebagai faktor penyebabnya yang berhubungan dengan

biopsikososial.

Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan

sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku

dan koping yang efektif, konsep diri yang positif dan kesetabilan emosional

(Videbeck, 2008). Seseorang dikatakan memiliki ciri-ciri sehat jiwa jika

mampu beradaptasi diri secara konstruktif pada kenyataan, mendapat

kepuasan dari usahanya, lebih puas memberi dari pada menerima dan bebas

(relative) dari cemas (Direja, 2011).

Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2017 menunjukkan

bahwa beban yang ditimbulkan gangguan jiwa sangat besar, dimana terjadi

global burden of disease akibat masalah kesehatan jiwa mencapai (8,1%),

memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental,

sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan (25%)

penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu

1
2

selama hidupnya. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2007 di

Indonesia, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan jiwa secara nasional

mencapai (5,6%) dari jumlah penduduk, dengan kata lain menunjukkan bahwa

pada setiap 1000 orang penduduk terdapat empat sampai lima orang menderita

gangguan jiwa.

Berdasarkan data RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2017

tersebut bahwa data pertahun di Indonesia yang mengalami gangguan jiwa

selalu meningkat. Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di

provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta (24,3%),diikuti Nagroe Aceh

Darussalam (18,5 %), Sumatera Barat (17,7 %), NTB (10,9 %), Sumatera

Selatan (9,2 %) dan Jawa Tengah (6,8%). Di kota Makassar, pasien

mengalami gangguan kejiwaan tahun 2018 yakni 492 penderita

Salah satu gangguan jiwa yang dimaksud adalah skizofrenia.

Skizofrenia merupakan penyakit neurologis yang mempengaruhi persepsi

klien, cara berfikir, bahasa, emosi perilaku sosialnya. Hingga sekarang belum

ditemukan penyebabnya (etiologi) yang pasti mengapa seseorang menderita

skizofrenia. Dari penelitian - penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan

faktor tunggal penyebab skizofrenia, menurut penelitian mutakhir penyebab

skizofrenia antara lain: faktor genetik (keturunan), virus atau infeksi lain

selama kehamilan yang dapat mengganggu perkembangan otak janin,

menurunnya autoimun yang mungkin disebabkan infeksi selama kehamilan

(auto antibody) dan kekurangan gizi yang cukup berat, terutama pada trimester

kehamilan ( malnutrisi). (Yosep, 2007).


3

Gejala umum dari skizofrenia yaitu gangguan sensori persepsi, persepsi

adalah proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari dan

dimengerti pengideraan atau sensasi : proses penerimaan rangsang. Dimana

terdapat dua jenis utama masalah persepsual yaitu Halusinasi dan ilusi.

Halusinasi yang didefinisikan sebagai hilangnya kemampuan manusia dalam

membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia

luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada

objek atau rangsangan yang nyata.

Halusinasi dapat terjadi pada kelima indera sensoris utama yaitu:

pendengaran terhadap suara biasanya paling sering terjadi pada gangguan

skizofrenia, visual terhadap pengelihatan, sedangkan halusinasi sentuhan

(taktil) dapat terjadi pada gangguan mental yang diakibatkan penyalahgunaan

kokain, halusinasi pengecap terhadap rasa seperti darah, urine dan feses dan

halusinasi penghidu terhadap bau (Rasmun, 2009).

Salah satu jenis halusinasi yang dimaksud adalah halusinasi

pendengaran (auditif, akustik) yang dijumpai dapat berupa bunyi mendengung

atau suara bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar

sebagai sebuah kata atau kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut

ditunjukkan pada penderita sehingga tidak jarang penderita bertengkar dengan

suara-suara tersebut. Suara tersebut dapat dirasakan berasal dari jauh atau

dekat, bahkan mungkin datang dari tiap bagian tubuhnya sendiri. Suara bisa

menyenangkan, menyuruh berbuat baik, tetapi dapat pula berupa ancaman,

mengejek, memaki atau bahkan yang menakutkan dan kadang-kadang


4

mendesak atau memerintah untuk berbuat sesuatu seperti membunuh dan

merusak( Yosep, 2007).

Menurut (Thomas 1991 dalam Nasution, 2003) halusinasi dapat terjadi

pada klien dengan gangguan jiwa seperti skizofrenia, depresi atau keadaan

delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan

alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek

samping dari berbagai pengobatan yang meliputi obat anti depresi atau obat-

obatan halusinogenik dimana pengobatan itu akan mengakibatkan perubahan

pada neurotransmiter dan reseptor dari sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi

zat neurokimia dopamin dan serotinin.

Beberapa perubahan tersebut akan mempengaruhi alam pikir, perasaan

dan perilaku serta gejala-gejala positif dan negatif dan bila ditemukan pula

perubahan pada anatomi otak pasien terutama pada penderita kronis,

perubahannya ada pada perubahan lateral ventrikel, atrofi korteks bagian

depan dan atrofi otak kecil (cerebelum). Halusinasi dapat juga terjadi pada

saat keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi

(menarik diri), perubahan sensorik seperti kebutaan dan adanya permasalahan

pada pembicaraan karena pada seseorang dengan gangguan tersebut bisa

membayangkan hal-hal yang tidak mungkin terjadi.

Respon klien akibat terjadinya halusinasi dapat berupa curiga,

ketakutan perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri,

kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat

membedakan keadaan nyata dan tidak nyata (Yosep, 2010).


5

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menulis

Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan

Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran Di Polik Jiwa Rumah

Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar”

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada pasien dengan gangguan

persepsi sensori Halusinasi Pendengaran di Polik Jiwa Rumah Sakit Wahidin

Sudirohusodo Makassar ?

C. Tujuan Studi Kasus

Adapun tujuan studi kasus pada penelitian ini adalah untuk

mendapatkan gambaran penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan

gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran di Polik Jiwa Rumah Sakit

Wahidin Sudirohusodo Makassar, antara lain :

1. Penerapan pengkajian pada Pasien dengan gangguan persepsi sensori

halusinasi pendengaran

2. Perumusan diagnosa keparawatan pada Pasien dengan gangguan persepsi

sensori halusinasi pendengaran

3. Penyusunan intervensi keperawatan pada Pasien dengan gangguan

persepsi sensori halusinasi pendengaran

4. Penerapan implementasi keperawatan pada Pasien dengan gangguan

persepsi sensori halusinasi pendengaran

5. Penerapan hasil evaluasi asuhan keperawatan pada Pasien dengan

gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran.


6

D. Manfaat Penulisan

1. Penulis

Dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman nyata

penulis dalam memberikan Asuhan Keperawatan Jiwa dengan gangguan

persepsi sensori halusinasi pendengaran.

2. Profesi Keperawatan

Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan lainnya dalam

melaksanakan asuhan keperawatan jiwa dengan gangguan persepsi sensori

halusinasi pendengaran, sehingga klien mendapatkan tindakan asuhan

keperawatan yang cepat, tepat dan optimal

3. Instansi

1. Rumah Sakit

Sebagai bahan pertimbangan oleh Rumah Sakit untuk membuat

kebijakan dalam meningkatkan kualitas pelayanan asuhan keperawatan

jiwa dengan gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran.

2. Pendidikan

Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas

pendidikan keperawatan khususnya pada klien dengan gangguan

persepsi sensori halusinasi pendengaran dan menambah pengetahuan

bagi para pembaca.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Halusinasi

1. Pengertian Halusinasi

Halusinasi adalah persepsi tanpa dijumpai adanya rangsangan dari

luar. Walaupun tanpak sebagai sesuatu yang “Khayal”, Halusinasi

sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang “

Teresepsi “ ( Yose, 2017).

Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau polah stimulus

yang datang disertai gangguan respon yang kurang, berlebihan, atau

distorsi terhadap stimulus tersebut (Nanda-I, 2015)

Halusinasi merupakan bentuk gangguan Persepsi dimana individu

mengalami Kehilangan kemampuan dalam membedakan rangsangan

internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien dengan

diagnose halusinasi, 70 % mengalami halusinasi dan 30% mengalami

Waham. Dari klien yang mengalami waham ditemukan 35%-nya

mengalami halusinasi. Klien skizofrenia dan psikotik lain, 20%

mengalami campuran halusinasi pendengaran dan penglihatan (Stuart dan

Sundeen, 2016).

Halusinasi adalah gangguan Persepsi sensori dari suatu obyek

tanpa adanya rangsangan dari luar, gangguan Persepsi sensori ini meliputi

seluruh panca indra. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan

7
8

jiwa yang pasien mengalami perubahan sesnsori Persepsi, serta meraskan

sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau

penciuman. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada.

2. Klasifikasi

Menurut deden darmawan (2015) Halusianasi terdiri dari delapan jenis.

Penjelasan secara Detail mengenai kerasteristik dari setiap jenis halusinasi

adalah sebagai berikut:

a. Halusinasi pendengaran ( Auditif, Akustik)

Paling serig dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara

bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar

sebagai sebuah kata atau kalimat yang bermakna. Biasanya suara

tersebut ditunjukan pada penderita sehingga tidak jarang penderita

bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut.

b. Halusinasi penglihatan ( visual, Optik)

Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (Penyakit organik).

Biasanya sering muncul bersama dengan penurunan kesadaran,

menimbulkan rasa takut akibat gambaran – gambaran yang

mengerikan.

c. Halusinasi penciuman (Olfaktorik)

Halusinasi ini biasanya berupa penciuman sesuatu bauh tertentu dan

dirasakan tidak enak, melambangakan rasa bersalah pada penderita.

Bau dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap penderita

sebagai suatu kombinasi moral.


9

d. Halusinasi Pengecapan ( Gustatorik)

Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi

penciuman. Penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi gastorik

lebih jarang dari halusinasi gustatorik.

e. Halusinasi Perabaan (Tgaktil)

Merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada ulat yang bergerak

dibawah kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis dan skizofrenia.

f. Halusinasi Seksual, ini termasuk halusinasi raba.

Penderita merasa diraba dan diperkosa sering pada skizoprenia dengan

waham kebesaran terutama mengenai organ-organ.

g. Halusinasi Viseral

Timbulnya perasaan tertentu didalam tubuhnya.

1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa

pribadinya sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai

dengan kenyataan yang ada. Sering pada skizofrenia dan sindrom

lobus parientalis. Misalnya sering merasa dirinya terpecah dua.

2) Derealisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkunganya

yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala

sesuatu yang dialaminya seperti dalam impian.

3. Tanda- tanda dan gejala halusinasi

Menurut Muhith A (2015), perilaku klien yang berkaitan dengan

halusinasi adalah sebagai berikut :

a. Bicara, senyum, dan ketawa sendiri.


10

b. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, dan

respon verbal yang lambat.

c. Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindari diri dari

orang lain.

d. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang

tidak nyata.

e. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.

f. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik

dan berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.

g. Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan

lingkungannya), dan takut.

h. Sulit berhubungan dengan orang lain.

i. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung, jengkel dan marah.

j. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.

k. Tampak tremor dan berkeringat, perilaku

4. Etiologi halusinasi

a. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi merupakan faktor risiko yang mempengaruhi jenis

dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk

mengatasi stres. Diperoleh baik dari klien maupaun keluarganya.

Faktor predisposisi dapat meliputi :


11

1) Faktor Perkembangan

Jika tugas perkemabangan mengalami hambatan dan hubungan

intrapersonal terganggu, maka individu akan mengalami stres dan

kecemasan

2) Faktor Sosiokultural

Berbagi faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang

merasa disingkirkan sehingga orang tersebut merasa kesepian di

lingkungan yang membesarknya.

3) Faktor Biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika

seseorang mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam

tubuhnya akan dihasilkan zat yang dapat bersifat halusinogenik

neurokimia seperti buffofenon dan dimethytranferase ( DMP ).

4) Faktor Psikologis

Hubungan intrapersonal yang tidak harmonis serta adanay peran

ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan

menagkibatkan stres dan kecemasan yang tinggi dan berakhir

pada gangguan orientasi realitas

5) Faktor Genetik Gen

Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang

tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi

menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan

yang sangat berpengaruh pada penyakit ini


12

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi yaiutu stimulus yang dipersepsikan oleh individu

sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi

ekstra untuk menghadapinya. Adanya rangsangan dari lingkunagan,

seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak

komunikasi, objek yang ada di lingkungan, dan juga suasana sepi atau

terisolasi seringg menjasi pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut

dapat meningkatkan stres dan kecemasan yang merangsang tubuh

mengeluarkan zat halusinogenik

5. Rentang Respon Halusinasi

a. Tahap I ( Non – psikotik )

Pada tahap ini, halusinasi mamapu memberikan rasa nyaman pada

klien, tingkat orientasi sedang. Secara unum pada tahap ini merupakan

hal yang menyenangkan bagi klien.

Karakteristik :

1) Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan

2) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilagkan

kecemasan

3) Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam kontrol

kesadaran.

Perilaku yang muncul :

1) Tersenyum atau tertawa sendiri

2) Menggerakkan bibir tanpa suara


13

3) Pergerakan mata yang cepat

4) Respon verbal rambat, diam, dan berkonsentrasi

b. Tahap II ( Non – psikotik )

Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami

tingkat kecemasan berat. Secara umum hausinasi yang ada dapat

menyebabkan antipati.

Karakteristik :

1) Pengalaman sensori menakutkan atau merasa dilecehkan oleh

pengalaman tersebut

2) Mulai merasa kehilangan kontrol

3) Menarik diri dari orang lain

Prilaku yang muncul :

1) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan TD

2) Perhatian terhadap lingkunagn menurun

3) Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun

4) Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinai dan

realita

c. Tahap III ( Psikotik )

Klien biasanya tidak dapat mengontrol didinya sendiri, tingkat

kecemasnan berat, dan halusiansi tidak dapat ditolak lagi.

Karakteristik :

1) Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya

2) Isi halusinasi menjadi atraktif


14

3) Klien menjasi kesepian bila pengalaman sensorinya berakhir

Prilaku yang muncul :

1) Klien menuruti perintah halusinasi

2) Sulit berhubungan dengan orang lain

3) Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat

4) Tidak mampu emngikuti perintah yang nyata

5) Klien tampak temor dan berkeringat

d. Tahap IV ( Psikotik )

Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat

panik.

Prilaku yang muncul :

1) Risiko tinggi mencederai

2) Agitasi / kataton

3) Tidak mampu merespons rangsang yang ada

6. Pohon masalah
15

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :

a. Menciptakan lingkungan yang terapeutik

Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan

pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di

lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi knntak mata,

kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi

baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar

atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila

akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di

beritahu tindakan yang akan di lakukan.

Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang

perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas,

misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan

permainan.

b. Melaksanakan program terapi dokter

Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan

rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya

secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat

yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.

c. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah

yang ada.
16

Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat

menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya

halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada.

Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien

atau orang lain yang dekat dengan pasien.

d. Memberi aktivitas pada pasien

Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik,

misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan

ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan

memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun

jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.

e. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses keperawatan

Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data

pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses

keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila

sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi

bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas.

Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan

menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada.

Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan

petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran

yang di berikan tidak bertentangan.


17

B. Konsep Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Halusinasi Pendengaran

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dan dasar utam dari proses

keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan

perumusan kebutuhan, atau masalah klien. Data yang dikumpulkan

meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Data pada

pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokan menjadi faktor

predisposisi, faktor presipitasi, penilai terhadap trensor, sumber koping,

dan kemapuan koping yang dimiliki klien. Stuart dan larai (2015) dalam

budi anna keliat.

Data yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi dua macam,

seperti berikut ini :

a. Data objektif yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan

melalui observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat.

b. Data subjektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh klien

dan keluarga. Data ini diperoleh melalui wawancara perawat kepada

klien dan keluarga.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah diagnosis yang dibuat oleh perawat

profesional yang menggambarkan tanda dan gejala yang menunjukkan

masalah kesehatan yang dirasakan klien dimana berdasarkan pendidikan

dan pengalaman mampu menolong klien (Nurjannah 2005).


18

Menurut Keliat (2006), pohon masalah pada halusinasi dapat

mengakibatkan klien mengalami kehilangan kontrol pada dirinya,

sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

Hal ini terjadi jika halusinasi sudah sampai pada empat fase, dimana klien

mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh isi halusinasinya.

Masalah yang menyebabkan halusinasi itu adalah isolasi sosial, maka klien

menjadi menarik diri dari lingkungan. Hal ini sesuai dengan data pada

pengkajian Pasien dimana pada klien ditemukan masalah isolasi sosial

menarik diri yang ditandai dengan klien terlihat menyendiri dan jarang

berinteraksi dengan orang lain, serta dari data catatan perawat saat pertama

kali klien masuk, klien sering marah tiba-tiba, hal ini mengarah pada

permasalahan resiko perilaku kekerasan. Berdasarkan masalah – masalah

tersebut, maka disusun pohon masalah yaitu isolasi sosial (menarik diri)

sebagai penyebab, gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran atau

lihat sebagai core problem, dan resiko perilaku kekerasan yang diarahkan

pada lingkungan sebagai akibat (Rasmun, 2009).

Penulis mengangkat diagnosa keperawatan utama gangguan

persepsi sensori: halusinasi pendengaran pada Pasien sebagai prioritas

masalah utama yang didukung dengan data subyektif yaitu klien

mengatakan mendengar suara-suara bisikan untuk mengajaknya berbicara

bersama, suara yang terdengar biasanya laki-laki kadang juga perempuan,

suara itu muncul 1 hari bisa pada pagi, siang dan malam hari pada saat

mau tidur dan saat klien sendiri, frekuensi sering kira-kira 7 menit, klien
19

juga tidak merasa takut jika suara itu muncil malah ditanggapinya. Data

objektif klien tampak bingung, lesu, melamun, diam saja, ada kontak mata

serta bicara sendiri dan kadang tertawa sendiri.

3. Intervensi Keperawatan

Rencana tindakan keperawatan terdiri dari tiga aspek yaitu tujuan

umum, tujuan khusus, dan rencana tindakan kepeerawatan. Tujuan umum

berfokus pada peneyelesaian permasalahan dari diagnose tertentu. Tujuan

khusus berfokus pada peneyelesaian etiologi dari diagnose tertentu. Tujuan

khusus merupakan kemampuan klien yang harus dicapai atau dimiliki

klien.

Untuk melaksanakan tindakan keperawatan maka perlu ditulis

perencanaan asuhan keperawatan kepada pasien berdasarkan data objektif

data subjektif yang melibatkan pasien da keluarganya, mentetapkan

tindakan keperawatan dan membuat alas an mengapa tindakan

keperawatan itu dilakukan.

Tujuan dalah perubahan perilaku klien yang diharapkan oleh

perawat setelah tindakan berhasil dilakukan. Kriteria tujuan (standar V

asuhan keperawatan) meliputi : rumusan singkat dan jelas, dan disusun

berdasarkan diagnosisis keperawatan, spesifik, dapart diukur/ diobservasi,

realities/ dapat dicapai, terdiri dari subjek, perilaku, pasien, kondisi, dan

kriteria tujuan.
20

Rumusan tujuan terdiri dari subjek, predikat, hasil, criteria dan time

(SPHKT), subjek, predikat/perilaku dan kriteria (SPK) dan spesifik,

measurable, achievable, reasonable and time (SMART).

Tindakan keperawatan atau implementasi merupakan suatu

tindakan yang dilakukan langsung kepada klien, keluarga, dan komunitas

berdasarkan rencana keperawatan yang dibuat. Perawat kesehatan jiwa

membuat rencana tindakan/ intervensi keperawatan bertyujuan spesifik

dan unik untuk setiap kebutuhan klien.

Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik

yang diharapkan dari klien dan/ atau tindakan yang harus dilakukan oleh

perawat. Intervensi/ reencana tindakan harus spesifik dan dinyatakan

dengan jelas dimulai dengan kata kerja aksi/ kalimat perintah. (Doengoes,

2016)

Rencana keperawatan mencakup perumusan diagnosis, tujuan serta

rencana tindakan yang telah distandarisasi (keliat dan akemat, 2016). Pada

dasarnya tindakan keperawatan terdiri dari observasi,dan pengawasan

(monitoring), terapi keperawatan , pendidikan kesehatan, dan kolaborasi

(Nurjanah I, 2017)

4. Implementasi

Tindakan keperawatan merupakan standar dari asuhan keperawatan

yang berhubungan dengan aktivitas keperawatan professional yang

dilakukan oleh perawatan, dimana implementasi dilakukan pada pasien,


21

keluarga dan komunitas berdasarkan rencana keperawatan yang dibuat.

(Damayanti M, dkk,2015).

Dalam mengimplementasikan intervensi, perawata kesehatan jiwa

menggunakan intervensi yang luas yang dirancang untuk mencegah

penyakit dan meningkatkan, mempertahankan, dan memulihkan kesehatan

fisik dan mental. Kebutuhan klien terhadap pelayanan keperawatan dan

dirancang pemenuhan kebituhannya melalui standar pelayanan dan asuhan

keperawatan. Pedoman tindakan keperawatan dibuat untuk tindakan pada

klien baik secara individual, kelomopok maupun yang terkait dengan ADL

(Activity Daily Living). Dengan adanya perincian kebutuhan waktu,

diharapkan setiap perawatg memiliki jadwal harian untuk masing-masing

klien sehingga waktu kerja perawat menjadi lebih evektif dan efesien

(Keliat dan Akemat, 2016).

5. Evaluasi

Evaluasi adalah fase akhir dalam proses keperawatan. Dengan cara

evaluasi, perawat dapat memberikan pendapat pada kuantitas dan kualitas

asuhan yang diberikan. Evaluasi adalah aktivitas terus menerus yang

memainkan peran penting selama seluruh fase proses keperawatan.

Evaluasi kontinu asuhan adalah satu-satunya cara menentukan apakah

asuhan yang diperlukan telah mencapai hasil yang sesuai. Terminasi

hubungan perawatan yang berarti diakhiri dengan wawancara pemulangan,

yang secara jelas berfungsi evaluatif.


22

Hasil evaluasi yang penulis dapatkan sesuai dengan kriteria

evaluasi yang penulis buat. Evaluasi yang dapat penulis capai antara lain

pada tujuan khusus yang pertama yaitu klien dapat membina hubungan

saling percaya. Hasil evaluasi yang penulis dapatkan sesuai dengan kriteria

evaluasi meliputi data subyektifnya terhadap tindakan keperawatan yang

telah dilaksanakan, respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan

yang telah dilaksanakan, analisis ulang atas data subjektif dan objektif

untuk menyimpulkan apakah maslah masih tetap atau muncul maslah baru

atau ada data yang kontraindikasi dengan masalah yang ada dan

perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien.
23

BAB III

METODE STUDI KASUS

A. Jenis dan Desain Studi Kasus

Desain yang digunakan adalah studi kasus ini untuk

mendapatkan gambaran penerapan asuhan keperawatan pada pasien

dengan Persepsi sensorik halusinasi pendengaran di Polik Jiwa Rumah

Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar

B. Subyek Studi Kasus

Subyek studi kasus adalah pasien halusinasi pendengaran

sebanyak 2 orang klien dan 1 perawat dengan memenuhi syarat kriteria

inklusi dan eksklusi, antara lain :

1. Kriteria inklusi :

a. Pasien jiwa dengan Halusinasi pendengaran

b. Sudah diberikan perawatan minimal 1 minggu

c. Dapat berkolaborasi dan berinteraksi

d. Bersedia jadi responden

e. Usia pasien diatas 15 tahun

2. Kriteria Ekslusi :

a. Sulit berkomunikasi

b. Tidak hadir pada saat penelitian

23
24

C. Fokus Studi

Fokus studi pada studi kasus ini adalah pengendalian gangguan

persepsi sensorinya khususnya halusinasi pendengaran

D. Definisi Operasional Fokus Studi Kasus

1. Halusinasi adalah penyerapan tanpa adanya rangsang apapun pada

panca indra sesorang pasien yang terjadi dalam keadaan sadar atau

bangun, dasarnya mungkin organik, psikotik ataupun histerik,

gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang

sebenarnya tidak terjadi dalam suatu penghayatan yang dialami

seperti suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimuli ekstern;

persepsi palsu

2. Persepsi merupakan tanggapan indera terhadap rangsangan yang

datang dari luar, dimana rangsangan tersebut dapat berupa

rangsangan penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecapan dan

perabaan. Interpretasi (tafsir) terhadap rangsangan yang datang dari

luar itu dapat mengalami gangguan sehingga terjadilah salah tafsir

(missinterpretation). Salah tafsir tersebut terjadi antara lain karena

adanya keadaan afek yang luar biasa, seperti marah, takut, excited

(tercengang), sedih dan nafsu yang memuncak sehingga terjadi

gangguan atau perubahan persepsi

3. Halusinasi pendengaran (akustik, auditorik), pasien itu mendengar

suara yang membicarakan, mengejek, menertawakan, atau

mengancam padahal tidak ada suara di sekitarnya.


25

E. Instrumen Penelitian

Instrument pengumpulan data yang digunakan dalam studi kasus ini

adalah observasi yang mencakup mengenai :

1. Pedoman kuesioner digunakan dengan menggali data informasi

2. Pedoman wawancara

3. Studi dokumentasi

F. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada studi kasus ini dengan cara

wawancara, mengisi lembar kuesioner yang telah dibuat dengan diikuti

dengan observasi langsung dengan pasien kemudian mengikuti lembar

observasi studi dokumentasi digunakan untuk melengkapi data yang

diperoleh penulis pada status pasien riwayat pengobatannya.

G. Lokasi Waktu Studi Kasus

1. Lokasi studi kasus

Studi kasus ini akan dilaksanakan di Polik Jiwa Rumah Sakit

Wahidin Sudirohusodo Makassar

2. Waktu studi kasus

Studi kasus ini dilakukan pada Mei s/d Juli 2020

H. Analisa Data dan Penyajian Data

Dalam penelitian ini analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah teknik analisis data reduction (reduksi data), data display

(Pengkajian data) dan conclusion drawing/ferification (penarikan

simpulan).
26

Ketiga proses ini terjadi terus menerus salam pelaksanaan penelitian,

baik pada periode pengumpulan maupun setelah data terkumpul

seluruhnya.

1. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan dan informasi verbal dari subjek

studi kasus. Peneliti melakukan reduksi data sejak proses

pengumpulan data hingga menyisihkan data (informasi) yang tidak

relevan.

2. Penyajian data merupakan pendeskripsian sekumpulan informasi

yang tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan

kesimpulan dan pengembalikan tindakan. Data-data yang telah

diolah kemudian disajiakn dalam bentuk teks naratif, dirancang

guna menggabungkan informasi yang tersusun jelas dan mudah

dipahami.

3. Penarikan kesimpulan

Dilakukan untuk mengorganisir data-data yang diperoleh di dalam

wawancara, observasi, dokumentasi dan lain-lain sehingga

dihasilkan sesuatu yang bermakna. Teknik analisis yang digunakan

adalah teknik kualitatif, yaitu data dianalisis sesuai dengan tujuan

studi yang sudah ditentukan sesuai prosedur tindakan hingga tujuan

tindakan yang direncanakan selesai dilakukan


27

I. Etika Studi Kasus

1. Informed Consent

Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan partisipan

dengan memberikan lembar persetujuan yang diberikan sebelum

penelitian dilakukan. Tujuan informed consent adalah agar

partisipan mengerti maksud data tujuan penelitian, mengetahui

dampaknya, jika partisipan bersedia maka mereka mendatangani

lembar persetujuan dan jika partisipan tidak bersedia maka peneliti

harus menghormati hak pasien

2. Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan dicantumkan nama

responden pada format pengumpulan data (kuisioner) yang diisi

oleh responden, tapi lembar tersebut hanya diberi kode tertentu.

3. Confidentiality

Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari subjek dijamin

oleh peneliti.

Anda mungkin juga menyukai