Anda di halaman 1dari 11

TUGAS INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) HALUSINASI

Di susun Oleh
RIDHO PAJRI
2020207209214

KELOMPOK KELAS RS KOTA

PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU

TAHUN 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN YANG MENGALAMI

GANGGUAN JIWA DENGAN HALUSINASI

A. Latar Belakang
Menurut WHO (World Health Organization), masalah gangguan jiwa di dunia ini sudah
menjadi masalah yang semakin serius. Paling tidak, ada satu dari empat orang di dunia ini
mengalami gangguan jiwa. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia ini
ditemukan mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data statistik, angka pasien gangguan
jiwa memang sangat mengkhawatirkan (Yosep, 2007).
Menurut UU Kesehatan Jiwa No.3 Tahun 1966, Kesehatan Jiwa adalah suatu keadaan
yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari
seseorang dan perkembangan ini selaras dengan dengan orang lain. Sedangkan menurut
American Nurses Associations (ANA) keperawatan jiwa merupakan suatu bidang khusus
dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu perilaku manusia sebagai ilmu dan
penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai caranya untuk meningkatkan,
mempertahankan, memulihkan kesehatan jiwa.
Di Rumah Sakit Jiwa di Indonesia, sekitar 70% halusinasi yang dialami oleh pasien
gangguan jiwa adalah halusinasi pendengaran, 20% halusinasi penglihatan, dan 10% adalah
halusinasi penghidu, pengecapan dan perabaan. Angka terjadinya halusinasi cukup tinggi.
Berdasarkan hasil pengkajian di Rumah Sakit Jiwa Medan ditemukan 85% pasien dengan
kasus halusinasi. Menurut perawat di Rumah Sakit Grhasia Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta khususnya di ruang kelas III rata- rata angka halusinasi mencapai 46,7% setiap
bulannya (Mamnu’ah, 2010).
Gangguan orientasi realita adalah ketidakmampuan individu untuk menilai dan berespon
pada realita. Klien tidak dapat membedakan rangsangan internal dan eksternal, tidak dapat
membedakan lamunan dan kenyataan. Klien juga tidak mampu untuk memberikan respon
yang akurat, sehingga tampak perilaku yang sulit dimengerti. Halusinasi adalah penyerapan
(persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua panca
indera dan terjadi disaat individu sadar penuh (Depkes dalam Dermawan dan Rusdi, 2013)
Halusinasi pendengaran adalah klien mendengar suara-suara yang tidak berhubungan
dengan stimulasi nyata yang orang lain tidak mendengarnya (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Sedangkan menurut Kusumawati (2010) halusinasi pendengaran adalah klien mendengar
suara-suara yang jelas maupun tidak jelas, dimana suara tersebut bisa mengajak klien
berbicara atau melakukan sesuatu.
Berdasarkan hasil laporan Rekam Medik (RM) Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta,
didapatkan data dari bulan Januari sampai Februari 2014 tercatat jumlah pasien rawat inap 403
orang. Sedangkan jumlah kasus yang ada pada semua pasien baik rawat inap maupun rawat
jalan kasus halusinasi mencapai 5077 kasus, perilaku kekerasan 4074 kasus, isolasi sosial:
menarik diri 1617 kasus, harga diri rendah 1087 kasus dan defisit perawatan diri 1634 kasus.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan tindakan keperawatan
pada klien yang mengalami gangguan halusinasi

1. Pengertian Halusinasi
Persepsi adalah proses akhir dari pengamatan oleh proses pengindraan. Sensori adalah
mekanisme mekanisme neurologis yang terlibat dalam pengindraan. Gangguan persepsi
sensori diantaranya adalah halusinasi. Halusinasi diantaranya merasakan sensasi berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan tanpa stimulus nyata (Keliat,
2011).

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan


internal (pikiran ) dan rangsangan ekternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau
pendapat tentang lingkungan tanpa objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien
mendengarkan suara padahal tidak ada orang yang berbicara ( Kusumawati & Hartono
2010).

Halusinasi pendengaran atau akustik adalah kesalahan dalam mempersepsikan suara


yang di dengar klien. Suara bisa menyenangkan, ancaman, membunuh dan merusak
(Yosep, 2007).

Berdasarkan pengertian halusinasi pendengaran diatas penulis menyimpulkan bahwa


halusinasi pendengaran adalah kesalahan mempersepsikan rangsangan yang diterima oleh
klien melalui indra pendengarannya yang sebenarnya rangsangan tersebut tidak ada, tidak
nyata dan tidak dapat dibuktikan.

2. Jenis-Jenis Halusinasi
Jenis halusinasi antara lain menurut Stuart (2007).
1) Halusinasi pendengaran
Karakteristik ditandai dengan suara, terutama suara –suara orang,biasanya klien
mendengar suara orang sedang berbicara apa yang sedang dipikirkan dan
memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2) Halusinasi penglihatan
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya,
gambaran geometrik, gambaran kartun dan/atau panorama yang luas dan kompleks.
Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3) Halusinasi pengidu
Karakteristik di tandai dengan adanya bau busuk,amis dan bau yang menjijikan seperti
darah urine atau feses. Kadang–kadang bau harum. Biasanya berhubungan dengan
stroke tumor kejang dan dementia.
4) Halusinasi peraba
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang
terlihat contoh merasa sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
5) Halusinasi pengecap
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk,amis dan
menjijikan,merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
6) Halusinasi kenestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui
vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
3. Tingkatan/Fase Halusinasi
Halusinasi berkembang melalui empat fase menurut Stuart (2007),yaitu
sebagai berikut :
1) Fase Pertama
Disebut juga dengan fase comforting yaitu fase menyenangkan .Pada tahap ini masuk
dalam golongan nonpsikotik . Karakteristik dari fase ini adalah klien mengalami stress,
cemas, perasaan perpisahan, atau bersalah, kesepian yang memuncak dan dapat di
selesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan , cara ini
menolong sementara.
Perilaku klien meliputi tersenyum atau tertawa tidak sesuai, menggerakan bibir tanpa
suara, penggerak mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asik dengan
halusinasinya dan suka menyendiri.
2) Fase ke dua
Disebut dengan fase condemming yaitu halusinasi menjadi menjijikan.Termasuk dalam
psikotik ringan. Karakteristik dari fase ini pengalaman sensori yang menjijikan dan
menakutkan kecemasan meningkat, melamun dan berfikir sendiri jadi dominan. Mulai
ada bisikan yang tidak jelas, klien tidak ingin orang lain tahu dan dapat mengontrolnya.
3) Fase ke tiga
Adalah fase controlling yaitu pengalaman sensori menjadi kuasa.Termasuk dalam
gangguan psikotik. Karakteristik difase ini bisikan, suara, isi halusinasi semakin
menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya
terhadap halusinasinya .
Perilaku klien difase ini kemampuan dikendalikan halusinasinya, rentang perhatian
lainya beberapa menit dan detik. Tanda-tanda fisik berup klien berkeringat, tremor, dan
tidak mampu memantau perintah.
4) Fase ke empat
Adalah fase conquering atau panik yaitu klien kabur dengan halusinasinya. Termasuk
dalam psikotik berat. Karakteristik difase ini halusinasi berubah menjadi mengancam ,
memerintah dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang control, dan
tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain dilingkungan.
Perilaku klien difase ini adalah perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap
perintah kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

4. Rentang Respon Neuro Biologis, Schizoferinia dan Gangguan Psikotik


Menurut (Stuart & Laraia, 2009) halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif
individu yang berada dalan rentang respon neurobiologis. Ini merupakan respon persepsi
paling maladaptif. Jika klien sehat, persepsinya akurat mampu mengidentifikasi dan
menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui pancaindra
(pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, peraban), klien dengan halusinasi
mempersepsikan suatu stimulus pancaindra walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak
ada. Rentang respon tersebut dapat digambarkan seperti dibawah ini ( Muhith, 2015 ):
1) Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya yang
berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu
masalah akan dapat memecakan maslah tersebut respon adaptif :
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada keyantaan.
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli.
d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.
2) Respon psikososial
Respon psikososial meliputi :
a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang yang menimbulkan gangguan.
b. Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena ransangan panca indra.
c. Emosi berlebihan atau berkurang
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran.
e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain.
3) Respon maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, adapun respon
maladaptif meliputi :
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak
diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang tidak
realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan sesuatu yang tidak teratur. Isolasi sosial adalah
kondisi yang dialamai oleh individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain
dan sebagai suatu kecelakaan yang negatif mengancam.

B. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi menurut (Yosep, 2011)
a. Faktor perkembangan
Perkembangan klien yang terganggu misalnya kurangnya mengontrol emosi dan
keharmonisan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah
frustasi ,dan hilang percaya diri.
b. Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak terima di lingkungan sejak bayi akan membekas
diingatkanya sampai dewasa dan di akan merasa disingkirkan kesepian dan tidak
percaya pada lingkungan.
c. Faktor Biokimia
Adanya stres yang berlebihan yang dialami oleh seseorang maka di dalam tubuhnya
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia buffofeno dan
dimetytranferase sehingga terjadi ketidak seimbangan asetilkolin dan dopamin.
d. Faktor psikologis
Tipe kepribadian yang lemas dan tidak bertanggung jawab akan mudah terjerumus pada
penyalah gunaan zat adiktif. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dari alam nyata
menuju alam khayal.
e. Faktor genetik dan pola asuh
Hasil studi menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.

2. Faktor presipitasi
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi
serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak
untuk diinterprestasikan.
b. Stres lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan.
c. Prilaku
Respon pasien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman,
gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan serta tidak dapat membedakan nyata dan tidak nyata.
a) Dimensia fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik, seperti kelelahan yang luar
bisas, penggunaan obat-obatan demam hingga delerium, intoksikasi alkohol dan
kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b) Dimensia emosi
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi dari halusinasi dapat berupa perintah
memaksa dan menakutkan. Pasie tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut
hingga dengan kondisi tersebut pasien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c) Dimensia intelektual
Dalam dimensi intelektualini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan
memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinas merupakan
usaha dari ego sendiri untukmelawaninflus yang menekan, namun suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatiaan pasien dan
tak jarang akan mengontrol semua prilaku pasien.
d) Dimensial sosial
Pasien mengalami gangguan interaksi sosia; dalam fase awal dan comforting, pasien
mengatakan bahwa hidup bersosialisasi dialamnyata sangat membahyakan. Pasien
asik dengan halusinasinya, seolah-olah iya tempat memenuhi kebutuhan akan
interaksi sosial
e) Dimensia spiritual
Secara spiritual halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas, tidak bermakna,
hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara sepiritual untuk menyucukan
diri, irama sirkadiannya terganggu (Damayanti, 2012 : 57-58)

3. Penilaian Stressor
Tanda dan Gejala Halusinasi (Satrio,dkk,2015)
Data subjektif, pasien mengatakan :
a. Mendengar suara-suara atau kegaduhan
b. Mendengar suara yang mengajakbercakap-cakap
c. Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu
d. Melihat bayangan-bayangan
e. Mencium bau-bauan
f. Merasakan rasa seperti darah,urin atau feses
g. Merasa takut atau senang dengan halusinasinya.
Data Objektif
a. Bicara atau tertawa sendiri
b. Marah-marah tanpa sebab
c. Mengarahkan telinga kearah tertentu
d. Menutup telinga
e. Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
f. Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.
g. Mencium sesuatu seperti membaui bau-bauan tertentu
h. Menutup hidung
i. Sering meludah
j. Muntah
k. Menggaruk-garuk permukaan kulit.

Gejala dan Tanda Mayor menurut SDKI


Subjektif :
a. Mendengar suara bisikan atau melihat bayangan
b. Merasakan sesuatu melalui indera perabaan,penciuman,perabaan, atau pengecapan.
Objektif :
a. Bersikap seolah melihat, mendengar, mengecap, meraba, atau mencium sesuatu.
b. Melamun
c. Mondar-mandir
d. Bicara sendiri.

4. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologi termasuk :
a. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali seperti pada
perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah proses informasi dan
upaya untuk menanggulangi ansietas.
b. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada orang lain
karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya untuk menjelaskan
keracunan persepsi).
c. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis,
reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stressor, misalnya
menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun

5. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menaggapi stresor

C. POHON MASALAH
Dengan Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran
Resiko Perilaku Kekerasan

Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi pendengaran

Isolasi Social

Harga Diri Rendah

( Satrio, Dkk,2015 )

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan merupakan suatu penilaiaan klinis mengenai respons klien terhadapan
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung actual
maupun potensial ( PPNI, dalam Satrio, Agus, Yuliza F, 2018 )
Diagnosa yang dapat ditegakkan yaitu :
Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran

E. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Perencanaan Keperawatan ada 2 yaitu : Rencana tindakan keperawatan berdasarkan standar
operasional prosedur ( SOP ) dan rencana keperawatan terdiri dari TUK (Keliat,2014)
1. Diagnosa
Gangguan Sensosi Persepsi : Halusinasi ( Pendengaran )
a. Tujuan
TUK 1 : Klien dapat mengenal halusinasi nya dan latih menghardik halusinasi
b. Kriteria hasil
Setelah 1x pertemuan, pasien mampu membina hubungan saling percaya dengan
perawat dengan kreteria :
- Klien menyatakan mengalami halusinasi
- Klien menyebutkan halusinasi yang dialaminya ( isi, waktu, frekuensi, situasi dan
kondisi yang menimbulkan halusinasi )
- Klien menyatakan yang dilakukan saat halusinasi muncul
- Klien menyampaikan apa yang dilakukan untuk mengatasi perasaan tersebut
- Klien menyampaikan dampak yang akan dialami bila klien menikmati halusinasinya.
- Klien mampu mengenal cara baru untuk mengontrol halusinasi.
c. Intervensi
Bina hubungan saling percaya dengan klien
1. Diskusikan dengan klien tentang halusinasi yang dialami
-Tanyakan apakah mengalami sesuatu ( halusinasi dengar )
-Katakana bahwa perawat percaya klien mengalami hal yang sama.
-Katakan bahwa ada klien yang mengalami hal yang sama
-Katakan bahwa perawat akan membantu klien
2. Klien tidak sedang berhalusinasi klarifikasi tentang adanya pengalaman halusinasi,
diskusikan dengan klien :
- Isi, waktu, dan frekuensi yang terjadi halusinasi ( pagi, siang, sore malam, atau sering
dan kadang – kadang.
- Situasi dan kondisi yang menimbulkan atau tidak menimbulkan halusinasi.
3. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi dan beri
kesempatan untuk mengungkapkan ( marah, takut, sedih, senang, atau cemas )
4. Diskusikan dengan klien apa yang dilakukan untuk mengatasi perasaan tersebut
-Jika cara yang digunakan bersifat adaftif beri pujian
-Jika cara yang digunakan maladatif diskusikan kerugian cara tersebut
5. Jelaskan cara menontrol halusinasi : menghardik, obat, bercakap – cakap dan
melakukan kegiatan.
6. Latih cara mengontrol halusinasi dengan menghardik
-Katakana pada diri sendiri bahwa “ini tidak nyata, saya tidak mau dengar.
-Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan menghardik, beri pujian

TUK 2 : klien dapat mengontrol dengan obat


a. Kriteria Hasil :
Setelah 2x pertemuan, klien mampu :
-Klien mampu menyampaikan kemampuan menghardik
-Klien mampu menyampaikan/memperaktekkan cara minum obat
b. Intervensi
1. Evaluasi kegiatan menghardik beri pujian
2. Latih cara mengontrol halusinasi dengan obat jelaskan : jenis, cara, dosis,
frekuensi, cara.
3. Kontinitas minum obat masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan menghardik
dan minum obat.

TUK 3 : klien dapat mengontrol dengan bercakap – cakap


a. Kriteria hasil :
Setelah 3x pertemuan, klien mampu :
-Klien mampu menyampaikan kemampuanmenghardik dan minum
obat
-Klien mampu menyampaikan/memperaktekkan cara bercakap – cakap
-Klien mampu merencanakan/jadwal bercakap – cakap
b. intervensi
1. Evaluasi kegiatan menghardik dan minum obat, beri pujian
2. Jelaskan cara bercakap – cakap dan melakukan kegiatan untuk mengontrol
halusinasi :
-Meminta orang lain untuk bercakap – cakap
-Menyampaikan manfaat bercakap – cakap
3. Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan menghardik, minum obat dan
bercakap – cakap

TUK 4 : klien dapat mengontrol dengan melakukan aktifitas terjadwal


a. Kriteria hasil :
Setelah 4x pertemuan, klien mampu :
-Klien mampu menyampaikan kemampuan menghardik, minum obat dan bercakap –
cakap
-Klien mampu menyampaikan dan memperaktekkan aktifitas yang dapat dilakukan
-Klien mampu merencanakan / menjadwalkan aktifitas yang akan dilakukan
b. Intervensi.
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik, minum obat, dan bercakap – cakap. Beri
pujian
2. Latih cara mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan harian ( mulai 2
kegiatan )
-Diskusikan dengan klien kegiatan yang dapat dilakukan
-Anjurkan klien memilih 2 kegiatan untuk dilatih
-Latih 2 cara yang dipilih
3. Masukan jadwal kegiatan untuk latihan menghardik, minum obat, bercakap –
cakap serta kegiatan harian
-Evaluasi kegiatan latihan menghardik, minum obat , bercakap – cakap dan
kegiatan harian. Beri pujian
-Latih kegiatan harian.

F. DAFTAR PUSTAKA
Damayanti, Mukripah & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa, Bandung:
Refika Aditama

Keliat, Budu Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. EGC:


Jakarta.

Keliat, Budu Anna. 2004. Keperawatan Jiwa Terapi Aktifitas Kelompok. EGC:
Jakarta.

Kusumawati, Farida & Hartono, Yudi. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa,
Jakarta : Salemba Medika.

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi, Bandung : Refika Aditama

Stuart, G. W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5. Jakarta: EGC.

Muhith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta: Andi.

Anda mungkin juga menyukai