Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi.
Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung,
tapi yang paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat
yang agak sempurna. Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan
pasien sedih atau yang dialamatkan pada pasien itu. Akibatnya pasien bisa
bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat
seperti bersikap dalam mendengar atau bicara keras-keras seperti bila ia
menjawab pertanyaan seseorang atau bibirnya bergerak-gerak. Kadang-kadang
pasien menganggap halusinasi datang dari setiap tubuh atau diluar tubuhnya.
Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya bersifat tiduran,
ancaman dan lain-lain.
Persepsi merupakan respon dari reseptor sensoris terhadap stimulus
esksternal ,juga pengenalan dan pemahaman terhadap sensoris yang
diinterpretasikan oleh stimulus yang diterima. Jika diliputi rasa kecemasan
yang berat maka kemampuanmuntuk menilai realita dapat terganggu. Persepsi
mengacu pada respon reseptor sensoris terhadap stimulus. Persepsi juga
melibatkan kognitif dan pengertian emosional akan objek yang dirasakan.
Gangguan

persepsi

dapat

terjadi

pada

proses

sensori

penglihatan,

pendengaran, penciuman, perabaan dan pengecapan.


Menurut May Durant Thomas (1991) halusinasi secara umum dapat
ditemukan pada pasien gangguan jiwa seperti: Skizoprenia, Depresi, Delirium
dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alcohol dan substansi
lingkungan. Berdasarkan hasil pengkajian pada pasien dirumah sakit jiwa
Medan ditemukan 85% pasien dengan kasus halusinasi. Sehingga penulis
merasa tertarik untuk menulis kasus tersebut dengan pemberian Asuhan
keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi.

1.2 Tujuan
Tujuan Umum

Penulisan makalah ini adalah : Mahasiswa dapat memberikan Asuhan


Keperawatan jiwa dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi.
Tujuan khusus :
1. Untuk mengidentifikasi permasalahan yang muncul pada klien selama
memberikan asuhan keperawatan gangguan persepsi sensori: halusinasi
dan berusaha menyelesaikan masalah tersebut.
2. Menggambarkan hasil pengkajian keperawatan
3. Mendiskripsikan diagnosa keperawatan yang muncul.
4. Mendiskripsikan intervensi yang dilakukan

BAB II
KONSEP DASAR
2.1 Pengertian
a Persepsi

Beberapa pengertian persepsi menurut para ahli :


1. Persepsi adalah proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu
disadari dan dimengerti penginderaan/sensasi : proses penerimaan
rangsang. ( Harber, Judith, 1987 ).
2. Persepsi mengacu pada identifikasi dan interpretasi awal dari suatu
stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui pancaindra.
(Stuart, 2007). Jadi, gangguan persepsi adalah ketidakmampuan
manusia dalam membedakan antara rangsang yang timbul dari sumber
internal seperti pikiran, perasaan, sensasi somatik dengan impuls dan
stimulus eksternal dengan maksud bahwa manusia masih mempunyai
kemampuan dalam membandingkan dan mengenal mana yang
merupakan respon dari luar dirinya.
Manusia yang mempunyai ego yang sehat dapat membedakan antara
fantasi dan kenyataaan. Mereka dalam menggunakan proses pikir yang
logis, membedakan dengan pengalaman dan dapat memvalidasikan
serta mengevaluasinya secara akurat. Jika ego diliputi rasa kecemasan
yang berat maka kemampuan untuk menilai realitas dapat terganggu.
Persepsi mengacu pada respon reseptor sensoris terhadap stimulus
eksternal. Misalnya sensoris terhadap rangsang, pengenalan dan
pengertian akan perasaan seperti : ucapan orang, objek atau pemikiran.
Persepsi melibatkan kognitif dan pengertian emosional akan objek yang
dirasakan.
Gangguan persepsi dapat terjadi pada proses sensoris dari pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan. Gangguan ini dapat
bersifat ringan, berat, sementara atau lama ( Harber, Judith, 1987 ).

b Halusinasi
Perubahan persepsi sensori adalah suatu keadaan dimana seseorang
mengalami perubahan dalam jumlah dan pola dari stimulus yang mendekat
( yang diprakarsai secara internal atau eksternal ) disertai dengan suatu
pengurangan berlebih-lebihan, distorsi atau kelainan berespon terhadap
setiap stimulus ( Towsend, 1998 ).

Perubahan persepsi sensori adalah suatu keadaan dimana individu atau


kelompok beresiko mengalami perubahan dalam jumlah, pola atau
interpretasi stimulus yang datang ( Carpenito, 1998 ).
Perubahan persepsi sensori adalah tanggapan indera terhadap rangsangan
yang datang dari luar berupa rangsangan penglihatan, penciuman,
pendengaran, pengecapan, perabaan ( Soewadi, 1999 ).
Gangguan persepsi sensori ditandai oleh adanya halusinasi. Beberapa
pengertian halusinasi di bawah ini di kemukakan oleh beberapa ahli :
1. Halusinasi adalah penerapan tanpa adanya rangsang pada panca indera
seorang pasien yang terjadi dalam keadaan bangun, dasarnya mungkin
organik, fungsional, psikotik atau histerik ( W.F Maramis, 2005 ).
2. Halusinasi adalah kesan atau pengalaman sensori yang salah ( Stuart,
2007 ).
3. Halusinasi adalah persepsi sensorik yang salah di mana tidak terdapat
stimulus sensorik yang berkaitan dengannya, yang dapat berwujud
pengindraan kelima indra yang keliru ( Arif, 2006 ).
4. Halusinasi adalah bila rangsang dari luar terhadap indera itu tidak nyata
tetapi penderita yakin kalau itu ada ( Soewadi, 1999 ).
5. Halusinasi adalah persepsi yang salah terjadi tanpa adanya stimulus
6.

eksternal ( Stuart dan Laraia, 2002 ) dikutip oleh Bambang Triwahono.


Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan
(stimulus)

misalnya

penderita

mendengar

suara-suara,

bisikan

ditelinganya padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu ( Hawari,
2001 ).
Dari beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli mengenai
halusinasi, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
halusinasi adalah persepsi sensori klien terhadap lingkungan tanpa ada
stimulus yang nyata sedangkan halusinasi penglihatan adalah persepsi
indera penglihatan yang salah tanpa adanya stimulus eksternal yang
nyata.
2.2 Etiologi Halusinasi
Halusinasi dapat terjadi pada klien dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia,
depresi atau keadaan delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan
dengan penggunaan alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi dapat juga
terjadi dengan epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik.

Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan
yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik,
sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi
sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat
keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi,
perubahan sensorik seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya
permasalahan pada pembicaraan.
Penyebab halusinasi secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor
yang mempengaruhinya seperti faktor biologis, psikologis, sosial budaya dan
stressor pencetusnya adalah stress lingkungan, biologis, pemicu masalah
sumber-sumber koping dan mekanisme koping.
2.3 Patofisiologi Halusinasi
Stuart dan Sundeen (1998), mengemukakan dua teori tentang halusinasi, yaitu
a. Teori biokimia
Respon metabolik terhadap stress yang mengakibatkan pelepasan zat
halusinogen pada sistem limbik otak, atau terganggunya keseimbangan
neurotransmiter di otak.
b. Teori psikoanalisa
Halusinasi merupakan pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar
yang di tekan yang kemungkinan mengancam untuk timbul.
2.4 Gejala Halusinasi
Seseorang yang mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-gejala
yang khas. Menurut H.G. Morgan ( 1998 ) bahwa gejala halusinasi adalah :
1. Mendengar pikirannya sendiri
2. Mendengar
suara-suara
yang
berargumentasi,
mengomentari
perbuatannya.
3. Somatic passivity : pengalaman bahwa ada kekuatan dari luar yang
mempengaruhi tubuhnya.
4. Pikiran ditarik keluar, disisipi atau diinterupsi oleh pengaruh luar.
5. Pikiran yang dipancarkan (disiarkan) atau percaya bahwa orang lain juga
demikian.
6. Perasaan, impuls dorongan dirasakan diatur dari luar.
Sedangkan menurut Yani ( 2005 ), gejala halusinasi adalah :
1. Bicara, senyum, tertawa sendiri.
2. Menggerakkan bibir tanpa suara.
3. Pergerakan mata yang cepat.
4. Respon verbal lambat.

5. Menarik diri dan menghindar dari orang lain.


6. Tidak dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nya
7. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah.
8. Perhatian dengan lingkungan kurang
9. Sulit berhubungan dengan orang lain.
10. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung, jengkel dan marah.
11. Tidak mampu mengikuti perintah perawat.
12. Tampak tremor dan berkeringat.
13. Perilaku panik agitasi atau katakon
14. Tidak dapat mengurus diri sendiri.
2.5 Klasifikasi Halusinasi
Halusinasi dapat diklasifikasikan menjadi 7 macam ( Stuart dan Laraia, 2001,
hal 409 )
1. Halusinasi pendengaran : mendengar suara-suara atau bisikan paling
sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai
kata-kata yang jelas berbicara tentang klien. Pikiran yang terdengar
dimana klien mendengar perkataan bahwa pasien disuruh untuk
melakukan sesuatu yang kadang-kadang dapat membahayakan.
2. Halusinasi penglihatan : stimulus visual dalam bentuk kelihatan cahaya,
bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau
menakutkan seperti melihat monster.
3. Halusinasi penciuman : membaui bau-bauan tertentu umumnya bau-bauan
yang tidak menyenangkan.
4. Halusinasi pengecapan : Merasakan sesuatu yang tidak nyata seperti rasa
darah, urine, feses.
5. Halusinasi perabaan : mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa
stimulus yang jelas.
6. Halusinasi Cenesthetic : merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di
vena atau arteri, pencernaan makanan.
7. Halusinasi Kinesthetic : merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa
bergerak.
2.6 Manifestasi Klinis
Tahapan halusinasi terdiri dari empat fase ( Stuart dan Laraia, 2001 hal 424 ) :
1. Fase I : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian,
rasa bersalah dan takut dan mencoba untuk berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau
tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan
mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.

2. Fase II : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai


lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya
dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda
sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung,
pernapasan dan tekanan darah, asyik dengan pengalaman sensori dan
kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
3. Fase III : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi
dan menyerah pada halusinasi tersebut. Disini klien sukar berhubungan
dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah.
4. Fase IV : Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri,
tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks, tidak mampu
berespon lebih dari 1 ( satu ) orang.
2.7 Rentang respon halusinasi.
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada
dalam rentang respon neurobiologi. Ini merupakan respon persepsi paling
maladaptif.

Jika

klien

yang

sehat

persepsinya

akurat,

mampu

mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi


yang diterima melalui panca indera, maka klien dengan halusinasi
mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya stimulus
itu tidak ada.
Berikut ini, rentang respon neurobiologis dimana halusinasi merupakan salah
satu respon maladaptif dari persepsi.
Respon Adaptif Respon Maladaptif
1. Pikiran logis.
2. Persepsi akurat.
3. Emosi konsisten dengan pengalaman.
4. Perilaku sesuai.
5. Berhubungan sosial.
6. Distorsi pikiran.
7. Ilusi.
8. Reaksi emosi berlebihan atau kurang.
9. Perilaku aneh/ tidak biasa.
10. Menarik diri.
11. Gangguan pikir / delusi.
12. Halusinasi.
13. Sulit berespon emosi.
14. Perilaku disorganisasi
15. Isolasi sosial.

Rentang Respon Neurobiologi (Stuart, 2007 : 241)


1. Pikiran Logis : ide yang berjalan secara logis dan koheren.
2. Persepsi Akurat : persepsi akurat yaitu proses diterimanya rangsang
melalui panca indera yang didahului oleh perhatian ( attention ) sehingga
individu sadar tentang sesuatu yang ada di dalam maupun di luar dirinya.
3. Emosi konsisten : manifestasi perasaan yang konsisten atau afek keluar
disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung lama.
4. Perilaku sesuai : perilaku individu berupa tindakan nyata dalam
penyelesaian masalah masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
budaya umum yang berlaku.
5. Hubungan Sosial : hubungan yang dinamis menyangkut hubungan antar
individu dan individu dan kelompok dalam bentuk kerjasama.
6. Proses pikir kadang terganggu ( ilusi ) : misinterpretasi dari persepsi
impuls eksternal melalui alat panca indera yang memproduksi gambaran
sensorik pada area tertentu di otak kemudian diinterpretasi sesuai kejadian
yang telah dialami sebelumnya.
7. Emosi yang berlebihan atau kurang : manifestasi perasaan atau afek keluar
berlebihan atau kurang.
8. Perilaku tidak sesuai atau tidak biasa : perilaku individu berupa tindakan
nyata dalam penyelesaian masalahnya tidak diterima oleh norma-norma
sosial atau budaya umum yang berlaku.
9. Menarik diri : percobaan untuk menghindari interaksi huungan dengan
orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain.
10. Waham : keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau dibuktikan
dengan realitas.
11. Pengobatan Halusinasi
Pengobatan pada pasien halusinasi yaitu :
a. Chlorpromazine (CPZ)
CPZ adalah derivat yang mempunyai khasiat dan bekerja pada susunan
saraf pusat, yaitu mendepresi sub kortikal SSP yang menimbulkan efek
psikotropik, sedasi, anti emetik dan dapat menekan refleks batuk.
Penghambatan pada hipothalamus dapat mempengaruhi mekanisme
pengaturan suhu. CPZ digunakan dalam penanganan psikosis akut atau
kronis yang meliputi skizofrenia dan fase manik pada gangguan depresi
manik.
Efek Samping : Efek samping yang dapat terjadi pada pemakaian CPZ
meliputi efek sedasi, pusing, pingsan, hipotensi orthostatik, palpitasi,

takikardi, sindroma pada mulut, kemerahan pada mukosa, vesikel lidah


kotor, gigi tanggal, pandangan kabur, konstipasi, retensi urine, ejakulasi
tertahan. CPZ juga menyebabkan efek samping ekstra piramidal yang
meliputi parkinsonisme, distonia, diskinesia. Gangguan hormonal dapat
terjadi yaitu menstruasi tidak teratur, ginekomastia, penurunan libido,
peningkatan nafsu makan, berat badan meningkat, edema glikosuria,
hiperglikemia atau hipoglikemia. Reaksi hipersensitif pada beberapa orang
menimbulkan efek/gejala-gejala jaundice, gatal-gatal pada kulit, petechia,
dermatitis dan reaksi anafilaktif.
b. Haloperidol (HLP)
HLP adalah obat antipsikotik derivat yang khasiatnya hampir sama dengan
derivat fenotiazin (CPZ). Kemungkinan terjadinya efek samping
ekstrapiramidal lebih tinggi dibandingkan obat golongan fenotiazin
sedangkan efek sedatif dan hipotensi kurang dibandingkan dengan jenis
obat transequalizer yang lain. Mekanisme tepatnya yaitu mendepresi
susunan saraf pusat pada tingkat subkortikal mid brain dan batang otak.
Efek anti emetik juga terjadi. Haloperidol biasanya digunakan pada
psikosa akut dan kronis, fase manik pada psikosis manik-depresi dan
psikoreaktif.
Efek Samping : Efek samping HLP serupa dengan CPZ, perbedaannya
terletak pada efek samping hipotensi orthostatik lebih ringan, sedang efek
samping reaksi ekstra lebih berat. Efek samping pada SSP meliputi
parkinsonisme, gelisah, ataksia, hiperfleksi, kortikolis dan kardive
diskenesia. Efek otonomi dapat terjadi, mulut kering (hipersalivasi),
konstipasi (diare), reaksi urine diaporesis (dosis berlebihan). Pada darah,
dapat terjadi leukopenia, leukositosis, anemia. Pada saluran napas, terjadi
laringospasme,

bronkhospasme,

peningkatan

kedalaman

napas,

bronchopneumonia, depresi pernapasan. Pada endokrin, menstruasi tidak


teratur, nyeri pada payudara, ginekomastia, impotensi. Pada kulit,
kemerahan, rambut rontok. Dapat juga terjadi anoreksia, mual, muntah,
jaundice, penurunan kadar kolesterol darah.
c. Trihexyphenidil (THP)

THP adalah obat yang sering dipakai sebagai penyerta pemberian obat anti
psikotik jenis fenotiazin dan butirofenon karena khasiatnya merelaksasi
otot polos dan spasmodik.
Efek samping : Efek samping yang umum terjadi : mulut kering, pusing,
pandangan kabur, midriasis, fotofobia, mual, nervous, konstipasi,
mengantuk, retensi urine. Pada SSP dapat terjadi : bingung, agitasi,
delirium, manifestasi psikotik, euforia, reaksi hipersensitif : glaukoma
parotitis.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1.
Menciptakan lingkungan yang terapeutik.
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien
akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara
individual dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di
sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau
emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien,
bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya
hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di
lakukan. Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat
merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan
realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan
2.

permainan.
Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan
rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara
persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di
berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang
ada. Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat
menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi
serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga
dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat
dengan pasien.
4. Memberi aktivitas pada pasien

Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya


berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat
membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk
hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan
memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas

lain

dalam

proses

perawatan

Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien
agar

ada

kesatuan

pendapat

dan

kesinambungan

dalam

proses

keperawatan, misalnya dari percakapan dengan pasien di ketahui bila


sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila
ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat
menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam
permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di
beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan
pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Menurut Stuart ( 2007 ), berbagai aspek pengkajian sesuai dengan pedoman
pengkajian umum, pada formulir pengkajian proses keperawatan. Pengkajian
meliputi beberapa faktor antara lain :
1. Faktor predisposisi
Meliputi faktor perkembangan, sosio kultural, psikologi, genetik dan
biokimia. Jika tugas perkembangan terhambat dan hubungan interpersonal
terganggu, maka individu akan mengalami stres dan kecemasan. Berbagai
faktor di masyarakat dapat membuat seseorang merasa terisolasi dan

kesepian yang mengakibatkan kurangnya rangsangan dari eksternal. Stres


yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan sistem neurotransmiter.
Hubungan interpersonal tidak harmonis. Peran ganda bertentangan sering
mengakibatkan kecemasan dan stres.
2. Faktor presipitasi
Berbagai stressor dapat mengakibatkan timbulnya halusinasi, hubungan
interpersonal masalah psikososial dapat meningkatkan kecemasan dan
stres sebagai pencetus terjadinya halusinasi.
3. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, rasa tidak
aman, gelisah, bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian, tidak
mampu mengambil keputusan, bicara inkoheren, bicara sendiri, tidak
membedakan yang nyata dengan yang tidak nyata.
4. Mekanisme koping
Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
Proyeksi : mencoba menjelaskan gangguan

persepsi

dengan

mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.


Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus

internal. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.


5. Status Mental
Pemeriksaan status mental merupakan contoh representatif kehidupan
psikologis pasien dan sejumlah observasi dan kesan perawat pada saat itu.
Pemeriksaan ini terdiri atas beberapa elemen seperti penampilan,
pembicaraan, aktivitas motorik, interaksi selama wawancara, alam
perasaan, afek, persepsi, isi pikir, proses pikir, tingkat kesadaran, memori,
tingkat konsentrasi dan berhitung, penilaian, dan daya tilik diri. ( Stuart,
2007 ).
6. Kebutuhan persiapan pulang
3.2 Pohon Masalah
Agar penentuan pohon masalah dapat dipahami dengan jelas, penting untuk
memperhatikan tiga komponen yang terdapat pada pohon masalah, yaitu
penyebab ( causa ), masalah utama ( core problem ), dan akibat ( effect ).
( Keliat, 2006 ).
3.3 Diagnosa Keperawatan
1. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan
dengan halusinasi

2. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik


diri.
3. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
4. Defisit perawatan diri : Mandi / kebersihan diri berhubungan dengan
ketidak mampuan dalam merawat diri.
5. Perubahan proses pikir : Waham somatis berhubungan dengan harga diri
rendah kronis
3.4 Intervensi
1. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan
dengan halusinasi
Tujuan Umum :
Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya
4. Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol halusinasinya
5. Klien dapat menggunakan obat untuk mengontrol halusinasinya
Kriteria Evaluasi :
Klien dapat :
1. Mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal
2. Menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat halusinasi, cara
memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif bagi klien
untuk digunakan
3. Menggunakan keluarga untuk mengontrol halusinasi dengan cara sering
berinteraksi dengan keluarga
4. Menggunakan obat dengan benar
Intervensi :
1. Bina Hubungan saling percaya
a. Salam terapeutik
b. Perkenalkan diri
c. Jelaskan tujuan interaksi
d. Ciptakan lingkungan yang tenang
e. Buat kontrak yang jelas
2. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya

3. Dengarkan ungkapan klien dengan empati


4. Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap (waktu
disesuaikan dengan kondisi klien)
5. Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan
dengan halusinasi
6. Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan menggambarkan
tingkah laku halusinasi
7. Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak
menimbulkan halusinasi, isi, waktu, frekuensi
8. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat alami
halusinasi.
9. Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang
mengalami halusinasi.
10. Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi
11. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara memutuskan
halusinasi yang sesuai dengan klien
12. Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok
13. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami
halusinasi
14. Lakukan kunjungan rumah : Diskusikan dengan keluarga tentang :
a. Halusinasi klien
b. Cara memutuskan kelompok
c. Cara merawat anggota keluarga halusinasi
d. Cara memodifikasi lingkungan untuk menurunkan kejadian halusinasi
e. Cara memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan pada saat
mengalami halusinasi
15. Diskusikan dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol
halusinasi
16. Bantu klien menggunakan obat secara benar
2. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
Tujuan Umum : Klien mampu mengontrol halusinasinya.
Tujuan Khusus :
1. Klien mampu membina hubungan saling percaya.
2. Klien mampu mengenal prilaku menarik dirinya, misalnya
menyebutkan perilaku menarik diri
3. Klien mampu mengadakan hubungan/sosialisasi dengan orang lain :
perawat atau klien lain secara bertahap.
4. Klien dapat menggunakan keluarga
kemampuan berhubungan dengan orang lain.

dalam

mengembangkan

Kriteria Evaluasi :
1. Klien dapat dan mau berjabat tangan. Dengan perawat mau
menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk
bersama.
2. Klien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri.
3. Klien mau berhubungan dengan orang lain.
4. Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat berhubungan secara
bertahap dengan keluarga.
Intervensi :
1. Bina hubungan saling percaya
a. Buat kontrak dengan klien
b. Lakukan perkenalan
c. Panggil nama kesukaan
d. Ajak klien bercakap-cakap dengan ramah
2. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tandatandanya
serta beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaan penyebab
klien tidak mau bergaul/menarik diri
3. Jelaskan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
yang mungkin jadi penyebab.
4. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan
5. Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan.
6. Perlahan-lahan serta klien dalam kegiatan ruangan dengan melalui
tahap-tahap yang ditentukan
7. Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai
8. Anjurkan klien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari
9. Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan klien mengisi waktunya
10. Motivasi klien dalam mengikuti aktivitas ruangan.
11. Beri pujian atas keikutsertaan dalam kegiatan ruangan.
12. Lakukan kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya dengan
keluarga.
13. Diskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab
dan cara keluarga menghadapi.
14. Dorong anggota keluarga untuk berkomunikasi.
15. Anjurkan anggota keluarga secara rutin menengok klien minimal sekali
seminggu
3. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan Umum : Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara
bertahap
Tujuan Khusus :
Klien dapat :

1.
2.
3.
4.
5.

Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki


Menilai kemampuan diri yang dapat dipergunakan
Klien mampu mengevaluasi diri
Klien mampu membuat perencanaan yang realistik untuk dirinya
Klien mampu bertanggung jawab dalam tindakan

Kriteria Evaluasi :
1.
2.
3.
4.
5.

Klien dapat menyebut minimal 2 aspek positip dari segi fisik.


Klien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan.
Klien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan.
Klien mampu memulai mengevaluasi diri.
Klien mampu membuat perencanaan yang realistik sesuai dengan

kemampuan yang ada pada dirinya.


6. Klien bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai
dengan rencana.
Intervensi :
1. Dorong klien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada dirinya
dari segi fisik.
2. Diskusikan dengan klien tentang harapan-harapannya.
3. Diskusikan dengan klien keterampilannya yang menonjol selama di
4.
5.
6.
7.
8.

rumah dan di rumah sakit.


Berikan pujian.
Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh klien.
Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh klien.
Diskusikan strategi koping yang efektif bagi klien.
Bersama klien identifikasi stressor dan bagaimana penialian klien

terhadap stressor.
9. Jelaskan bahwa keyakinan klien terhadap stressor mempengaruhi
pikiran dan perilakunya.
10. Bersama klien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak
realistik
11. Bersama klien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki
12. Tunjukkan konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok.
13. Diskusikan koping adaptif dan maladaptif.
14. Diskusikan kerugian dan akibat respon koping yang maladaptif.
15. Bantu klien untuk mengerti bahwa hanya klien yang dapat merubah
dirinya bukan orang lain.
16. Dorong klien untuk merumuskan perencanaan/tujuannya sendiri (bukan
perawat).
17. Diskusikan konsekuensi dan realitas dari perencanaan/tujuannya.
18. Bantu klien untuk menetpkan secara jelas perubahan yang diharapkan

19. Dorong klien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang


sesuai potensi yang ada pada dirinya.
20. Beri kesempatan kepada klien untuk sukses.
21. Bantu klien mendapatkan bantuan yang diperlukan.
22. Libatkan klien dalam kegiatan kelompok.
23. Tingkatkan perbedaan diri pada klien didalam keluarga sebagai individu
yang unik.
24. Beri waktu yang cukup untuk proses berubah.
25. Beri dukungan dan reinforcement positip

untuk

membantu

mempertahankan kemajuan yang sudah dimiliki klien


4. Defisit perawatan diri : Mandi / kebersihan diri berhubungan dengan
ketidak mampuan dalam merawat diri.
Tujuan Umum : Klien mampu melaksanakan perawatan diri dengan baik
sehingga penampilan diri adekuat.
Tujuan Khusus :
Klien mampu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Menjelaskan arti, tujuan, tanda-tanda kebersihan diri


Mengidentifikasi kebersihan dirinya
Menjelasakan cara-cara membersihkan dirinya
Melakukan perawatan diri dengan bantuan perawat
Melakukan perawatan diri secara mandiri
Memberdayakan sistem pendukung untuk meningkatkan perawatan diri.

Kriteria Evaluasi :
Klien mampu :
1. Menyebutkan arti kebersihan diri.
2. Menyebutkan tujuan kebersihan diri ( untuk memelihara kesehatan
tubuh dan badan terasa segar/nyaman ).
3. Menyebutkan tanda-tanda kebersihan diri : kulit tidak ada daki dan
tidak berbau, rambut tidak ada ketombe, kutu, tidak ada bau dan tersisir
rapi, kuku pendek dan bersih, mulut/gigi tidak bau, genitalia tidak gatal
dan mata tidak ada kotoran.
4. Menilai keadaan kebersihan dirinya.
5. Menyebutkan cara-cara membersihkan diri dari rambut sampai kaki.
6. Mendemonstrasikan cara membersihkan diri secara benar dengan
bantuan perawat.
7. Melakukan perawatan diri secara mandiri dengan benar dan tersusun
jadwal kegiatan untuk kebersihan diri.

8. Keluarga mampu menyebutkan cara meningkatkan kebersihan diri klien


dan keluarga dapat membantu/terlibat aktif dalam memelihara
kebersihan diri.
Intervensi :
1. Dorong klien untuk menyebutkan arti, tujuan dan tanda-tanda
kebersihan diri
2. Diskusikan tentang arti, tujuan, tanda-tanda kebersihan diri.
3. Dengarkan keluahan klien dengan penuh perhatian dan empati.
4. Berikan pujian apabila klien menyebutkan secara benar.
5. Bantu klien menilai kebersihan dirinya.
6. Berikan pujian atas kemampuan klien menilai dirinya.
7. Dorong klien menyebutkan alat-alat dan cara membersihkan diri.
8. Diskusikan tentang alat-alat dan cara membersihkan diri.
9. Menjelasakan cara-cara membersihkan diri
10. Melakukan perawatan diri dengan bantuan perawat.
11. Demonstrasikan pada klien cara-cara membersihkan diri.
12. Bimbing
klien
mendemonstrasikan
kembali
cara-cara
membersihkandiri.
13. Dorong klien membersihkan diri sendiri dengan bantuan.
14. Melakukan perawatan diri secara mandiri.
15. Berikan kesempatan klien untuk membersihkan diri sendiri secara
bertahap sesuai dengan kemampuan.
16. Dorong klien mengungkapkan manfaat yang dirasakan setelah
membersihkan diri
17. Beri penguatan positif atas perawatan klien
18. Bimbing klien membuat jadwal kegiatan untuk membersihkan diri
19. Bimbing klien membersihkan diri sesuai jadwal secara mandiri
20. Monitor kemampuan klien membersihkan diri sesuai jadwal
21. Diskusikan dengan keluarga tentang ketidakmampuan klien dalam
merawat diri.
22. Diskusikan cara membantu klien membersihkan diri.
23. Libatkan keluarga dalam perawatan kebersihan diri klien.
a. Menyediakan alat-alat.
b. Membantu klien membersihkan diri.
c. Memonitor pelaksanaan jadwal
24. Beri pujian
5. Perubahan proses pikir : Waham somatis berhubungan dengan harga diri
rendah kronis

Tujuan Umum : Klien mampu berhubungan dengan orang lain tanpa


merasa rendah diri.
Tujuan Khusus :
1.
2.
3.
4.
5.

Klien dapat memperluas kesadaran diri.


Klien dapat menyelidiki dirinya.
Klien dapat mengevaluasi dirinya.
Klien dapat membuat rencana yang realistis.
Klien mendapat dukungan keluarga yang meningkatkan harga dirinya.

Kriteria Evaluasi :
1. Klien dapat menyebutkan kemampuan yang ada pada dirinya setelah 1
kali pertemuan.
2. Klien dapat menyebutkan kelemahan yang dimiliki dan tidak menjadi
halangan untuk mencapai keberhasilan.
3. Klien dapat menyebutkan cita-cita dan harapan yang sesuai dengan
kemampuannya setelah 1 kali pertemuan.
4. Klien dapat menyebutkan keberhasilan yang pernah dialami setelah 1
kali pertemuan.
5. Klien dapat menyebutkan kegagalan yang pernah dialami setelah 4 kali
pertemuan.
6. Klien dapat menyebutkan tujuan yang ingin dicapai setelah 1 kali
pertemuan.
7. Klien dapat membuat keputusan dan mencapai tujuan setelah 1 kali
pertemuan.
8. Keluarga dapat menyebutkan tanda-tanda harga diri rendah :
a. Mengatakan diri tidak berharga.
b. Tidak berguna dan tidak mampu.
c. Pesimis.
d. Menarik diri dari realita
9. Keluarga dapat berespon dan memperlakukan klien dengan harga diri
rendah secara tepat setelah 2 kali pertemuan.
Intervensi :
1. Diskusikai dengan klien kelebihan yang dimiliknya.
2. Diskusikan kelemahan yang dimilik klien.
3. Beritahu klien bahwa manusia tidak ada yang sempurna, semua
memiliki kelebihan dan kekurangan.
4. Beritahu klien bahwa kekurangan bisa ditutup dengan kelebihan yang
dimiliki.
5. Anjurkan klien untuk lebih meningkatkan kelebihan yang dimiliki.
6. Beritahukan klien bahwa ada hikmah dibalik kekurangan yang dimiliki.

7. Diskusikan dengan klien ideal dirinya : Apa harapan selama di RS,


rencana klien setelah pulang dan apa citacita yang ingin dicapai.
8. Beri kesempatan klien untuk berhasil.
9. Beri reinforcement positip terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
10. Bantu klien mengidentifikasikan kegiatan atau keinginan yang berhasil
dicapai
11. Kaji bagaimana perasaan klien dengan keberhasilan tersebut
12. Bicarakan kegagalan yang pernah dialami klien dan sebab-sebaba
kegagalan.
13. Kaji bagaimana respon klien terhadap kegagalan tersebut dan cara
mengatasi
14. Jelaskan pada klien bahwa kegagalan yang dialami dapat menjadi
pelajaran untuk mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi dimasa yang
akan datang.
15. Bantu klien merumuskan tujuan yang ingin dicapai.
16. Diskusikan dengan klien tujuan yang ingin dicapai dengan kemampuan
klien.
17. Bantu klien memilih prioritas tujuan yang mungkin dapat dicapainya.
18. Beri kesempatan kepada klien untuk melakukan kegiatan yang telah
dipilih
19. Tunjukkan keterampilan atau keberhasilan yang telah dicapai klien.
20. Ikutsertakan klien dalam kegiatan aktivitas kelompok.
21. Beri reinforcement.
22. Diskusikan dengan keluarga tanda-tanda harga dirirendah.
23. Anjurkan setiap anggota keluarga untuk mengenal dan menghargai
kemampuan tiap anggota keluarga.
24. Diskusikan dengan keluarga cara berespons terhadap klien dengan
harga diri rendah seperti menghargai klien, tidak mengejek, tidak
menjauhi.
25. Anjurkan pada keluarga untuk memberikan kesempatan berhasil pada
klien.
26. Anjurkan keluarga untuk menerima klien apa adanya.
27. Anjurkan keluarga untuk melibatkan klien dalam setiap pertemuan
keluarga.

BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas mengenai halusinasi dan pelaksanaan asuhan
keperawatan terhadap pasien, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi
ditemukan adanya
perilaku menarik diri sehingga perlu dilakukan
pendekatan secara terus menerus, membina hubungan saling percaya yang
dapat menciptakan suasana terapeutik dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan yang diberikan.
2. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien khususnya dengan
halusinasi, pasien sangat membutuhkan kehadiran keluarga sebagai system
pendukung yang mengerti keadaaan dan permasalahan dirinya. Disamping
itu perawat / petugas kesehatan juga membutuhkan kehadiran keluarga
dalam memberikan data yang diperlukan dan membina kerjasama dalam
member perawatan pada pasien. Dalam hal ini penulis dapat
menyimpulkan bahwa peran serta keluarga merupakan faktor penting
dalam proses penyembuhan klien.
4.2 Saran
1. Dalam memberikan asuhan keperawatan hendaknya perawat mengikuti
langkah-langkah proses keperawatan dan melaksanakannya secara
sistematis dan tertulis agar tindakan berhasil dengan optimal.
2. Dalam menangani kasus halusinasi hendaknya perawat melakukan
pendekatan secara bertahap dan terus menerus untuk membina hubungan

saling percaya antara perawat klien sehingga tercipta suasana terapeutik


dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan.
3. Bagi keluarga klien hendaknya sering mengunjungi klien dirumah sakit,
sehingga keluarga dapat mengetahui perkembangan kondisi klien dan
dapat membantu perawat bekerja sama dalam pemberian asuhan
keperawatan bagi klien.

DAFTAR PUSTAKA
Directorat Kesehatan Jiwa, Dit. Jen Yan. Kes. Dep. Kes R.I. Keperawatan Jiwa.
Teori dan Tindakan Keperawatan Jiwa, Jakarta, 2000
Keliat Budi, Anna, Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan
Jiwa, EGC,Jakarta, 1995
Keliat Budi Anna, dkk, Proses Keperawatan Jiwa, EGC, Jakarta, 1987
Maramis, W.F, Ilmu Kedokteran Jiwa, Erlangga Universitas Press, Surabaya, 1990
Rasmun, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan Keluarga,
CV. Sagung Seto, Jakarta, 2001.
Residen Bagian Psikiatri UCLA, Buku Saku Psikiatri, EGC, 1997
Stuart & Sunden, Pocket Guide to Psychiatric Nursing, EGC, Jakarta, 1998

Anda mungkin juga menyukai