Anda di halaman 1dari 52

LATAR BELAKANG

Keperawatan Jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan


mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada fungsi yang terintegrasi. Sistem
pasien atau klien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau
komunitas. (Stuart, 2007).
Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal (4) disebutkan setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
Definisi sehat menurut kesehatan dunia World Health Organization (WHO) adalah
suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas
dari penyakitatau kecacatan.
Manusia akan beradaptasi terhadap keseimbangan melalui mekanisme
penanganan yang dipelajari pada masa lampau. Apabila manusia berhasil beradaptasi
dengan masa lampau, berarti ia telah mempelajari aktivitas mekanisme penanganan
yang adekuat untuk beradaptasi terhadap kesulitan yang lebih kompleks dimasa
mendatang dan bisa menyebabkan terjadinya keadaan yang mernpunyai pengaruh
buruk terhadap kesehatan jiwa atau gangguan jiwa.
Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan utama diberbagai Negara
maju, modern dan industri. Menurut penelitian WHO, prevalensi gangguan jiwa
adalah 100 jiwa/1000 penduduk. Data statistik yang dikemukakan oleh WHO (1990)
menyebutkan bahwa setiap saat 2 – 3 % dari penduduk di dunia berada dalam keadaan
membutuhkan pertolongan serta pengobatan untuk suatu ganguan jiwa.
Hasil riset WHO diperkirakan pada setiap saat, 450 juta orang diseluruh dunia
terkena dampak permasalahan jiwa, saraf, maupun perilaku dan jumlahnya terus
meningkat. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa satu dari lima orang dewasa pemah
mengalami gangguan jiwa dari jenis biasa sampai yang serius (Rizki, 2012).
Data yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2006
menyebutkan bahwa diperkirakan 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan
kejiwaan, dari tingkat ringan hingga berat. Sebaiknya, Departemen Kesehatan
menyebutkan jumlah penderita gangguan jiwa berat sebesar 2,5 Juta jiwa, yang
diambil dari data RSJ seIndonesia (Ahmad, 2009).

1
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI

I. Kasus (Masalah Utama)


Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan
(stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal
tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2001).
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera
(Isaacs, 2002). Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera
tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan
dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya
rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan
dari dalam diri individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang
tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Nasution,
2003).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra
tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi
melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).
Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien
merasa melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak
ada sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2005).
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart,
2007). Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara manusia, hewan atau mesin,
barang, kejadian alamiah dan musik dalam keadaan sadar tanpa adanya rangsang
apapun (Maramis, 2005). Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi
yang berkisar dari suara sederhana sampai suara yang berbicara mengenai klien
sehingga klien berespon terhadap suara atau bunyi tersebut (Stuart, 2007).
Dari beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli mengenai halusinasi
di atas, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa halusinasi adalah persepsi
klien melalui panca indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan
yang nyata. Sedangkan halusinasi pendengaran adalah kondisi dimana pasien
mendengar suara, terutamanya suara-suara orang yang sedang membicarakan apa
yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

2
II. Proses Terjadinya Masalah
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
A. Faktor Predisposisi
Klien dengan gangguan halusinasi mengalami abnormalitas
perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis
yang maladaptif. Adanya lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik
berhubungan dengan perilaku psikotik dan beberapa zat kimia di otak yang
bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan dimethytranferase
(DMP). Secara Psikologis keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan
yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau
tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien. Klien mengalami stress dan
kecemasan,serta hubungan interpersonalnya terganggu. Kondisi sosial budaya
mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial
budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai
stress.

B. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah
adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna,
putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah
koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.

2. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

3
3. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

Gejala Halusinasi
Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah
sebagai berikut:
1. Bicara sendiri.
2. Senyum sendiri.
3. Ketawa sendiri.
4. Menggerakkan bibir tanpa suara.
5. Pergerakan mata yang cepat
6. Respon verbal yang lambat
7. Menarik diri dari orang lain.
8. Berusaha untuk menghindari orang lain.
9. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
10. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
11. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.
12. Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.
13. Sulit berhubungan dengan orang lain.
14. Ekspresi muka tegang.
15. Mudah tersinggung, jengkel dan marah.
16. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
17. Tampak tremor dan berkeringat.
18. Perilaku panik.
19. Agitasi dan kataton.
20. Curiga dan bermusuhan.
21. Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
22. Ketakutan.
23. Tidak dapat mengurus diri.
24. Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.

4
C. Jenis-Jenis Halusinasi
Menurut Stuart (2007) halusinasi terdiri dari tujuh jenis, yaitu sebagai berikut
1. Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara
berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas
berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara
dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana
klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu
kadang dapat membahayakan.
2. Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,
gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias yang
menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.
3. Penciuman
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses
umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu
sering akibat stroke, tumor, kejang, atau dimensia.
4. Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
5. Perasa
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas.
Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6. Cenestetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri,
pencernaan makan atau pembentukan urine.
7. Kinistetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

D. Fase halusinasi
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia
(2001) setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:
1. Fase I :

5
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau
tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan
mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
2. Fase II :
Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan
sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem
saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut
jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori
dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
3. Fase III :
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan
dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah
dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan
terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
4. Fase IV :
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak
mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu
berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.

E. Rentang respon halusinasi.


Menurut Stuart dan Laraia (2001), halusinasi merupakan salah satu respon
maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi. Rentang respon
tersebut digambarkan pada gambar di bawah ini.

Rentang Respon Neurobiologis


Respon adaptif Respon maladaptif
 Pikiran logis  Distorsi pikiran  Gangguan
(pikiran kotor) pikir/difusi
 Persepsi akurat  Ilusi  Halusinasi
6
 Emosi konsisten  Reaksi Emosi  Perilaku
dengan pengalaman berebihan atau disorganisasi
kurang
 Perilaku sesuai  Prilaku aneh dan  Isolasi sosial
tidak biasa

Rentang Respon Halusinasi ( Stuart & Sundeen, 2007 )


Rentang respon neurobiologi pada gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
 Pikiran logis
Yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.
 Persepsi akurat
Yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului oleh
perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang ada di
dalam maupun di luar dirinya.
 Emosi konsisten
Yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek keluar disertai banyak
komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama.
Perilaku sesuai: perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian
masalah masih dapat diterima oleh norma-norma social dan budaya umum
yang berlaku.
 Hubungan sosial harmonis
Yaitu hubungan yang dinamis menyangkut hubungan antar individu dan
individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerjasama.
 Proses pikir kadang terganggu (ilusi)
Yaitu menifestasi dari persepsi impuls eksternal melalui alat panca indra
yang memproduksi gambaran sensorik pada area tertentu di otak kemudian
diinterpretasi sesuai dengan kejadian yang telah dialami sebelumnya.
 Emosi berlebihan atau kurang
Yaitu menifestasi perasaan atau afek keluar berlebihan atau kurang.
 Perilaku tidak sesuai atau biasa
Yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian
masalahnya tidak diterima oleh norma – norma social atau budaya umum
yang berlaku.

7
Perilaku aneh atau tidak biasa: perilaku individu berupa tindakan nyata
dalam menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial
atau budaya umum yang berlaku.
 Menarik diri
Yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain.
 Isolasi sosial
Yaitu menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam berinteraksi.
Berdasarkan gambar diketahui bahwa halusinasi merupakan respon persepsi
paling maladaptif. Jika klien sehat, persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan
menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca
indra (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), sedangkan
klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun
sebenarnya stimulus itu tidak ada.

F. Mekanisme koping
1. Regresi: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
2. Proyeksi: menjelaskan prubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
3. Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal.

Masalah psikososial dan lingkungan: masalah berkenaan dengan ekonomi, pekerjaan,


pendidikan dan perumahan atau pemukiman.
Aspek medik: diagnosa medik dan terapi medik

8
III. Pohon Masalah

Pohon Masalah Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi (Keliat, 2005)

A. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


1. Masalah keperawatan
 Perubahan persepsi sensori : halusinasi
2. Data yang perlu dikaji
a. Data subjektif
 Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin
membunuh, ingin membakar atau mengacak-acak lingkungannya.
 Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan
stimulus nyata.
 Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata.
 Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus.
 Klien merasa makan sesuatu.
 Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya.
 Klien takut pada suara/ bunyi/ gambar yang dilihat dan didengar.
 Klien ingin memukul/ melempar barang-barang.

9
b. Data objektif
 Klien mengamuk, merusak dan melempar barang-barang, melakukan
tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya.
 Klien berbicara dan tertawa sendiri saat dikaji.
 Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu.
 Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu.
 Disorientasi.
 Konsentrasi rendah
 Pikiran cepat berubah-ubah

IV. Diagnosa keperawatan


Gangguan sensori persepsi : Halusinasi (dengar)

V. Rencana tindakan keperawatan


Terlampir

10
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
SETIAP HARI

Proses keperawatan
Kondisi klien
Klien mengatakan mendengar sesuatu . Klien merasa takut pada suara itu dan
bersikap seperti mendengar sesuatu. Kemudian klien berlari kesana kemari. Seteleh itu
klien mengalami disorientasi, konsentrasi rendah dan pikiran cepat berubah-ubah.

Diagnosa keperawatan
Gangguan sensori persepsi : Halusinasi (dengar)

Tujuan umum :
Klien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya.

Tujuan khusus:

TUK 1 :
Klien dapat membina hubungan saling percaya.

TUK 2 :
Klien dapat mengenal halusinasinya.

TUK 3 :
Klien dapat mengontrol halusinasi.

TUK 4 :
Klien mendapat sistem pendukung keluarga dalam mengontrol halusinasinya.

TUK 5:
Klien dapat memanfaatkan obat dalam mengontrol halusinanya.

11
Proses Pelaksanaan Tindakan
ORIENTASI
1. Salam terapeutik
"Selamat pagi, perkenalkan nama saya Tedi Ruswandi, Saya biasa dipanggi Tedi.
Saya dari STIKES BANTEN. Saya disini dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu
dari jam 08.00 s/d 13.00 WIB. Kalau boleh tahu nama bapak siapa dan senang
dipanggil siapa?. Tujuan Saya disini menyelesaikan sesuatu yang bapak rasakan, kita
selesaikan bersama – sama ya Pak?”
2. Evaluasi
"Bagaimana perasaan Bapak saat ini?. Bagaimana tidurnya semalam, Pak?. Ada
keluhan tidak? Apakah Bapak masih mendengar sesuatu yang orang lain tidak
mendengar?”
3 Kontrak
“Apakah bapak tidak keberatan untuk mengobrol dengan saya? Menurut bapak
sebaiknya kita ngobrol tentang suara dan sesuatu yang selama ini bapak dengar tetapi
tidak tampak wujudnya? Berapa lama kira-kira kita ngobrol? Bapak mau berapa
lama?bagaimana kalau 15 manit? Bisa? Tempatnya mau dimana pak?. Bagaimana
kalo kita berbincang – bincangnya ditaman?”.

KERJA
1. Coba ceritakan suara-suara apa yang sering didengar?
2. Suara yang seperti apa yang didengar?
3. Kapan saja suara itu terdengar?
4. Berapa kali suara itu terdengar?
5. Pada saat sedang melakukan apa suara itu muncul?
6. Bagaimana perasaan ketika suara-suara itu muncul?
7. Bagaimana kalau kita belajar cara-cara mencegah suara-suara yang muncul?
8. Bagaimana kalau Bapak mengisi jadwal kagiatan harian cara menghardik?

12
TERMINASI
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
Evaluasi klien (subjektif)
Bagaimana perasaan Bapak setelah berkenalan dengan Saya?”. ”Coba Bapak
ceritakan, suara apa yang sering didengar!”. ”Apakah Bapak dapat mengetahui suara
seperti apa yang didengar?”. ”Kapan dan berapa kali suara itu terdengar?”. ”Pada saat
Bapak sedang melakukan apa suara itu terdengar?”. ”Bagaimana perasaan Bapak
ketika suara itu muncul?”. ”Apakah Bapak sudah bisa cara menghardik?”. ”Apakah
Bapak sudah mengisi jadwal harian cara menghardik?”
Evaluasi Perawat (objektif setelah reinforcement)
"Setelah kita ngobrol tadi, cobak bapak simpulkan pambicaraan kita tadi?”
”Coba sebutkan cara untuk mencegah suara itu agar tidak muncul lagi.”

2. Tindak lanjut klien (apa yang perlu dilatih oleh klien sesuai hasil)

" Kalau suara-suara itu muncul lagi, silakan bapak coba cara tersebut! Bagaimana
kalau kita buat jadwal latihannya. Mau jam berapa saja latihannya?”
(Masukkan kegiatan latihan menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian
klien)

3. Kontrak yang akan datang (topik, waktu dan tempat)


"Bapak bagaimana kalau besok kita ngobrol lagi tentang cara berbicara dengan orang
lain saat suara-suara itu muncul? Kira-kira waktunya kapan ya? Bagaimana kalau
besok jam 9.30 WIB, bisa? Kira-kira tempat yang enak ngobrol besok di mana ya, apa
masih di sini atau cari tempat yang nyaman? Sampai jumpa besok .

13
DAFTAR PUSTAKA

TIM CMHN , www.google keperawatan jiwa,pada klien halusinasi.com,


Nasution 2003, Izzudin 2005, Stuart and sundeen 2007, keliat 2006, hamid 2000,
Laraia 2001.
Azizah, L.M. 2011. Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik Klinik. Edisi 1.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Damaiyanti, M. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa, Samarinda : Refika
Aditama.
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan
Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan.Jakarta: Salemba
Medika.
Keliat, Budi Anna. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN
(Basic Course). Jakarta: EGC
Kusumawati & Hartono. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
Maramis, W.F. 2005. Ilmu Kedokteran Jiwa (Edisi 9). Surabaya: Airlangga
University Press.
Trimelia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Jakarta: Trans Info
Media.

14
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

I. Kasus (Masalah Utama)


Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis bisa di lakukan secara verbal,
di arahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Amatiria, 2012).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan di mana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan (Elshy Pangden Rabba, Dahrianis, 2014).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain dan lingkungan yang timbul sebagai kecemasan dan ancaman (Hadiyanto,
2016)
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditunjukkan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
tingkah laku tersebut. Perilaku kekerasan merupakan suatu tanda dan gejala dari
gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari satu persen (Simatupang, 2010)

II. Proses Terjadinya Masalah


Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
A. Faktor Predisposisi
1. Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi
penganiayaan.

2. Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek
ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.

15
3. Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan yang diterima (permissive).

4. Bioneurologis
Banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan.

B. Faktor Presipitasi
Faktor prespitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti ke lemahan fisik (penyakit fisik),
keputusan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab
perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat,
kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/
pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial
yang provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.

Gejala Perilaku Kekerasan


Gejala perilaku kekerasan menurut Direja (2011) sebagai berikut :
1. Muka merah dan tegang
2. Pandangan tajam
3. Mengatupkan rahang dengan kuat
4. Mengepalkan tangan
5. Jalan mondar-mandir
6. Bicara kasar
7. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
8. Mengancam secara verbal atau fisik
9. Melempar atau memukul benda atua orang lain
10. Merusak barang atau benda
11. Tidak memiliki kemampuan mencegah atau mengendalikan oerilaku
kekerasan

16
C. Rentang respon marah
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan/ kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman
(Stuart dan Sundeen, 1996). Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun
perilaku yang dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfluktuasi sepanjang
rentang adaptif dan maladaptif.
Rentang Respon Marah

Respons Respons
Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Asertif : mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan merasa
lega.
Frustasi : Merasa gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak
realistis.
Pasif : Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
sedang dialami.
Agresif: memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain
dengan ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai. Umumnya
klien masih dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai orang lain.
Kekerasan: sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku kekerasan
ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan, memberi kata-kata
ancaman-ancaman, melukai disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang paling
berat adalah melukai/ merusak secara serius. Klien tidak mampu mengendalikan
diri.

17
D. Mekanisme koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme orang lain. Mekanisme koping
klien sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping
yang konstruktif dalam mengekspresikan marahnya. Mekanisme koping yang
umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displancement,
sublimasi, proyeksi, depresi, dan reaksi formasi.

III. Pohon Masalah

Resiko menciderai diri sendiri, orang lain


dan lingkungan

Perilaku kekerasan

Gangguan Konsep diri Harga Diri Rendah

1. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


a. Masalah keperawatan:
 Perilaku kekerasan / amuk
b. Data yang perlu dikaji
Data Subyektif :
- Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
- Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya
jika sedang kesal atau marah.
- Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
Data Obyektif ;
- Mata merah, wajah agak merah.
- Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
- Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
- Merusak dan melempar barang-barang.

18
-
IV. Diagnosa keperawatan
Resiko Perilaku kekerasan

V. Rencana tindakan keperawatan


Terlampir

19
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
SETIAP HARI

Proses keperawatan
Kondisi klien
Klien datang ke rumah sakit diantar keluarga karena di rumah marah-marah dan
memecahkan piring dan gelas.
Diagnosa keperawatan
Resiko merusak lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan.
Tujuan umum :
Klien dapat mengontrol emosinya.

Tujuan khusus:

TUK 1 :
Klien dapat membina hubungan saling percaya.

TUK 2 :
Klien dapat Mengidentifikasi penyebab marah

Proses Pelaksanaan Tindakan


ORIENTASI
1. Salam terapeutik
 " Selamat pagi, nama saya Budi Anna. Panggil saya suster Budi.
Namanya siapa, senang dipanggil apa? Saya akan merawat Ali.”
2. Evaluasi/ validasi
 “Ada apa di rumah sampai dibawa kemari?”
3. Kontrak
 “Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang hal-hal yang
menyebabkan Ali marah? Mau dimana kita bercakap-cakap?
Bagaimana kalau di kamar perawat? Mau berapa lama?
Bagaimana kalau 10 menit?”

20
KERJA
1. Apa yang membuat Ali membanting piring dan gelas?
2. Apakah ada yang membuat Ali kesal?
3. Apakah sebelumnya Ali pernah marah?
4. Apa penyebabnya? Sama dengan yang sekarang?
5. Baiklah, jadi ada (misalnya 3) penyebab Ali marah-marah.

TERMINASI
1. Evaluasi Subyektif
 “Bagaimana perasaan Ali setelah kita bercakap-cakap?”
2. Evaluasi Obyektif
 “Coba sebutkan 3 penyebab Ali marah. Bagus sekali.”
3. Rencana Tindak Lanjut
 “Baiklah, waktu kita sudah habis. Nanti coba Ali ingat lagi,
penyebab Ali marah yang belum kita bicarakan.”
4. Kontrak
 “Nanti akan kita bicarakan perasaan Ali pada saat marah dan cara
marah yang biasa Ali lakukan.Mau dimana kita bicara?
Bagaimana kalau kita disini? Kira-kira 30 menit lagi ya. Sampai
nanti.”

21
DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, D. & Rusdin, (2013). Keperawatan Jiwa: konsep dan kerangka


kerja asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.
Elshy Pangden Rabba, Dahrianis, S. P. R. (2014). Hubungan Antara Pasien
Halusinasi Pendengaran Terhadap Resiko Perilaku Kekerasan Di Ruang Kenari RS.
Khusus Daerah Provinsi Sul-Sel, 4, 470-475
Gustop Amatiria (2010). Pengaruh Terapi Token Ekonomi Pada Kemampuan
Mengontrol Perilaku Kekerasan Pada Pasien Gangguan Jiwa Di RSJ Provinsi
Lampung
Hadiyanto, H. (2016). Hubungan Antara Terapi Modalitas Dengan Tanda
Dan Gejala Perilaku Kekerasan Pada pasien skizofrenia Di Ruang Rawat Inap RSJ.
Prof. dr. Soerojo Magelang.
Asmadi, 2010. Konsep Dasar Keperawatan, Edisi I. Jakarta : EGG
Keliat dan akemat, 2010, Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa,
Jakarta: EGC

22
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH

I. Kasus (Masalah Utama)


Harga diri rendah adalah Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa
gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri, perasaan tidak
berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang
negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri (Yosep, 2010).
Sedangkan menurut (Depkes RI, 2000 dalam Nurarif & Hardhi, 2015, p.
55) Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk
kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya,
pesimis, tidak ada harapan dan putus asa.

II. Proses Terjadinya Masalah


Berbagai faktor penyebab terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang yaitu :
A. Faktor Predisposisi
Menurut (Fitria 2009, p. 6) Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah
kronik adalah penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain,
ideal diri yang tidak realistis.
B. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya
sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami
kegagalan, serta menurunnya produktivitas. (Fitria,2009, p.6)

Gejala Halusinasi
Menurut Fitria (2009 h 6 ; Yosep, 2014 h 264) perilaku-perilaku seperti dibawah
ini diantaranya :
1. Mengkritik diri sendiri
2. Perasaan tidak mampu
3. Pandangan hidup yang pesimistis
4. Tidak menerima pujian
5. Penurunan produktifitas
6. Penolakan terhadap kemampuan diri
7. Kurang memperhatikan perawatan diri

23
8. Berpakaian tidak rapi
9. Selera makan berkurang
10. Tidak berani menatap lawan bicara
11. Lebih banyak menunduk
12. Bicara lambat dengan nada suara lemah
13. Merusak/melukai orang lain
14. Merusak diri: harga diri rendah menyokong klien untuk mengakhiri hidup
15. Menarik diri dari realitas, cemas, panik, cemburu, curiga, halusinasi
16. Sulit bergaul
17. Menunda keputusan

C. Jenis-Jenis Halusinasi
1. Situasional
Harga diri rendah situasional dalam Wilkinson, Ahern (2009)
didefinisikan sebagai suatu perkembangan persepsi negatif terhadap harga
diri individu sebagai respon terhadap situasi tertentu misalnya akibat
menderita suatu penyakit, kondisi ini dapat disebabkan akibat adanya
gangguan citra tubuh, kegagalan dan penolakan, perasaan kurang
penghargaan, proses kehilangan, dan perubahan pada peran sosial yang
dimiliki.

2. Kronik
Menurut Fitria (2012) menyatakan bahwa gangguan konsep diri:
harga diri rendah kronis biasanya sudah berlangsung sejak lama yang
dirasakan pasien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Sedangkan menurut
Nurarif dan Hardhi (2015, p. 55) harga diri rendah kronis merupakan
evaluasi diri/ perasaan negatif tentang diri sendiri atau kemampuan diri
yang berlangsung lama.

24
D. Rentang respon halusinasi.
Prabowo, (2014 hal 109) menjelaskan rentang respon adaptif dan
maladaptif klien dengan harga diri rendah adalah :
1. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapinya.
a. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang
positif dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan
dapat diterima.

b. Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai


pengalaman yang positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari
hal-hal positif maupun yang negatif dari dirinya.
2. Respon maladaptive
Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu ketika dia
tidak mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi.
a. Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai
dirinya negatif dan merasa dirinya lebih rendah dari orang lain.

b. Kerancuan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas


sehingga tidak memberikan kehidupan dan mencapai tujuan.

c. Depersonalisasi (tidak mengenal diri) yaitu mempunyai

kepribadian secara intim.

Respon adaptif Respon maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan


Depersonalisasi
Diri positif rendah identitas

Sumber : Keliat, 1999 dalam Fitria 2009, h6.


Skema 1.2 Rentang Konsep Diri

25
III. Pohon Masalah
IV.
Isolasi sosial : menarik diri

Gangguan konsep diri: Harga diri


Core Problem
rendah

Gangguan citra tubuh


Pohon Masalah Gangguan konsep diri: Harga diri rendah

A. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


1. Masalah keperawatan
 Harga Diri Rendah
2. Data yang perlu dikaji
a. Data subjektif
 Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa,
bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu
terhadap diri sendiri
 Ekspresi wajah kosong.
 Tidak ada kontak mata.
 suara pelan dan tidak jelas.

b. Data objektif
 Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.
 Apatis
 Ekspresi sedih
 Afek tumpul
 Menyendiri.
 Berdiam diri di kamar
 Banyak diam

26
IV. Diagnosa keperawatan
Harga Diri Rendah

V. Rencana tindakan keperawatan


Terlampir

27
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
SETIAP HARI

Proses keperawatan
Kondisi klien
 Mengkritik diri sendiri.
 Perasaan tidak mampu.
 Pandangan hidup yang pesimis
 Penurunan produktifitas
 Penolakan terhadap kemampuan diri
 terlihat dari kurang memperhatikan perawatan diri
 Berpakaian tidak rapih.
 Selera makan kurang
 tidak berani menatap lawan bicara.
 Lebih banyak menunduk.

Diagnosa keperawatan
Gangguang konsep diri : harga diri rendah

Tujuan umum :
Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal.

Tujuan khusus:

TUK 1 :
Klien dapat membina hubungan saling percaya.

TUK 2 :
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.

TUK 3 :
Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.

28
TUK 4 :
Klien dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

TUK 5:
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuannya.

TUK 6:
Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

Proses Pelaksanaan Tindakan


ORIENTASI
 ”Selamat pagi, Perkenalkan nama saya Agung Nugroho, biasa dipanggil Agung, saya
mahasiswa keperawattan UKSW yang sedang praktik diruangan ini., Bagaimana
keadaan ibu hari ini ?”
 ”Bagaimana, kalau kita bercakap-cakap tentang kemampuan dan kegiatan yang pernah
ibu lakukan? Setelah itu kita akan nilai kegiatan mana yang masih dapat ibu
dilakukan. Setelah kita nilai, kita akan pilih satu kegiatan untuk kita latih.”
 ”Dimana kita duduk ? Bagaimana kalau di ruang tamu ? Berapa lama ? Bagaimana
kalau 20 menit ?”

KERJA
 ”Ibu, apa saja kemampuan yang ibu miliki? Bagus, apa lagi? Saya buat daftarnya ya!
Apa pula kegiatan rumah tangga yang biasa ibu lakukan? Bagaimana dengan
merapihkan kamar? Menyapu ? Wah, bagus sekali ada lima kemampuan dan kegiatan
yang ibu miliki.”
 ”Ibu dari lima kegiatan/kemampuan ini, yang mana yang masih dapat dikerjakan di
rumah sakit ? Coba kita lihat, yang pertama bisakah, yang kedua.......sampai 5
(misalnya ada 3 yang masih bisa dilakukan). Bagus sekali ada 3 kegiatan yang masih
bisa dikerjakan di rumah sakit ini.”
 ”Sekarang, coba ibu pilih satu kegiatan yang masih bisa dikerjakan di rumah sakit
ini. Oh yang nomor satu, merapihkan tempat tidur?Kalau begitu, bagaimana kalau
sekarang kita latihan merapikan tempat tidur ibu ”. Mari kita lihat tempat tidur ibu
Coba lihat, sudah rapikah tempat tidurnya?”

29
 ”Nah kalau kita mau merapikan tempat tidur, mari kita pindahkan dulu bantal dan
selimutnya. Bagus! Sekarang kita angkat spreinya, dan kasurnya kita balik.”
 ”Nah, sekarang kita pasang lagi spreinya, kita mulai dari arah atas, ya bagus !.
Sekarang sebelah kaki, tarik dan masukkan, lalu sebelah pinggir masukkan. Sekarang
ambil bantal, rapihkan, dan letakkan di sebelah atas/kepala. Mari kita lipat selimut,
nah letakkan sebelah bawah/kaki. Bagus!”
 ”Ibu sudah bisa merapihkan tempat tidur dengan baik sekali. Coba perhatikan bedakah
dengan sebelum dirapikan? Bagus.”
 ”Coba ibu lakukan dan jangan lupa memberi tanda MMM (mandiri) kalau ibu lakukan
tanpa disuruh, tulis B (bantuan) jika diingatkan bisa melakukan, dan ibu ibu (tidak)
melakukan.”

TERMINASI
 ”Bagaimana perasaan ibu setelah kita bercakap-cakap dan latihan merapikan tempat
tidur ? Yah, ternyata ibu banyak memiliki kemampuan yang dapat dilakukan di rumah
sakit ini. Salah satunya, merapikan tempat tidur, yang sudah ibu praktekkan dengan
baik sekali. Nah kemampuan ini dapat dilakukan juga di rumah setelah pulang.”
 ”Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian. Ibu mau berapa kali sehari
merapikan tempat tidur? Bagus, dua kali yaitu pagi-pagi jam berapa ? Lalu sehabis
istirahat, jam 16.00.”
 ”Besok pagi kita latihan lagi kemampuan yang kedua. Ibu masih ingat kegiatan apa
lagi yang mampu dilakukan di rumah selain merapihkan tempat tidur? Ya bagus, cuci
piring.. kalu begitu kita akan latihan mencuci piring besok jam 8 pagi di dapur
ruangan ini sehabis makan pagi Sampai jumpa ya.”

30
DAFTAR PUSTAKA

Fitria Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Fitria, N. 2012. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan &
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP). Jakarta: Salemba Medika.
Purwaningsih, Wahyu. Karlina, Ina. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta:
Nuha Medika Press.

Dermawan, Deden dan Rusdi. (2013) Keperawatan jiwa; konsep dan kerangka kerja

asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing

Keliat,Budi A. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2. Jakarta: EGC.

31
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

I. Kasus (Masalah Utama)


Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien
mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan mekanisme
individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara menghindari interaksi
dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, dkk. 2009).
Isolasi soaial adalah pengalaman kesendirian seorang individu yang diterima sebagai
perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi yang negatif atau mengancam
(Wilkinson, 2007).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang
lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam ( Twondsend, 1998 ). Atau suatu
keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak
mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak,
tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Budi Anna Kelliat,
2006 ). Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain, menghindari hubungan dengan orang lain ( Pawlin, 1993 dikutip Budi Kelliat,
2001). Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi
terjadinya perilaku isolasi sosial. (Budi Anna Kelliat, 2006).

II. Proses Terjadinya Masalah


Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:

32
A. Faktor Predisposisi
1. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi,
akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat
pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin
hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan
kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak
aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa
ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada
orang lain maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat
sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan sebagai
objek

2. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga


Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
a. Sikap bermusuhan/hostilitas
b. Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
c. Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
d. Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang
tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan
masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.
e. Ekspresi emosi yang tinggi
f. Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan
yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)

33
3. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti
anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.

4. Factor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden
tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang
menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot
apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi
kembar dizigot persentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan
struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.

34
B. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal, meliputi:
1. Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya
penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang
dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh,
dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi
sosial.

2. Stressor Biokimia
a. Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik
serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
b. Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO
adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya
MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
c. Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien
skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena
dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun
penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah
laku psikotik.
d. Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala
psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel
otak.

3. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial


Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat
interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.

4. Stressor Psikologis

Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan


individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang

35
ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk
mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan
berhubungan pada tipe psikotik.

Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena ego tidak


dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang berasal dari
luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk
mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara
hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan
psikologis individu terhambat.

Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai usaha
mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang
mengancam dirinya. Strategi koping yang sering digunakan pada masing-
masing tingkah laku adalah sebagai berikut:

a. Tingkah laku curiga: proyeksi

b. Dependency: reaksi formasi

c. Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi

d. Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial

e. Manipulatif: regrasi, represi, isolasi

f. Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi,


represi dan regrasi.

Gejala Isolasi Sosial


1. Bicara, senyum dan tertawa sendiri.
2. Menarik diri dan menghindar dari orang lain
3. Tidak dapat membedakan tidak nyata dan nyata
4. Tidak dapat memusatkan perhatian
5. Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya).

36
III. Pohon Masalah

Resiko perubahan persepsi sensori:


halusinasi

Isolasi sosial: Menarik diri Core Problem

Gangguan konsep diri: Harga diri


rendah

B. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


1. Masalah keperawatan
 Isolasi sosial: menarik diri
2. Data yang perlu dikaji
a. Data subjektif
 Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa,
bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu
terhadap diri sendiri

b. Data objektif
 Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.

IV. Diagnosa keperawatan


Isolasi sosial: menarik diri

V. Rencana tindakan keperawatan


Terlampir

37
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
SETIAP HARI

Proses keperawatan
Kondisi klien
 Mengkritik diri sendiri.
 Perasaan tidak mampu.
 Pandangan hidup yang pesimis
 Penurunan produktifitas
 Penolakan terhadap kemampuan diri
 terlihat dari kurang memperhatikan perawatan diri
 Berpakaian tidak rapih.
 Selera makan kurang
 tidak berani menatap lawan bicara.
 Lebih banyak menunduk.

Diagnosa keperawatan
Isolasi sosial: menarik diri

Tujuan umum :
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi.

Tujuan khusus:

TUK 1 :
Klien dapat membina hubungan saling percaya.

TUK 2 :
Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri.

TUK 3 :
Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain.

38
TUK 4 :
Klien dapat melaksanakan hubungan sosial.

TUK 5:
Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain.

TUK 6:
Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga.

Proses Pelaksanaan Tindakan


ORIENTASI
 ”Selamat pagi, Perkenalkan nama saya Agung Nugroho, biasa dipanggil Agung, saya
mahasiswa keperawattan UKSW yang sedang praktik diruangan ini., Bagaimana
keadaan ibu hari ini ?”
 ”Bagaimana, kalau kita bercakap-cakap tentang kemampuan dan kegiatan yang
pernah ibu lakukan? Setelah itu kita akan nilai kegiatan mana yang masih dapat ibu
dilakukan. Setelah kita nilai, kita akan pilih satu kegiatan untuk kita latih.”
 ”Dimana kita duduk ? Bagaimana kalau di ruang tamu ? Berapa lama ? Bagaimana
kalau 20 menit ?”

KERJA
 ”Ibu, apa saja kemampuan yang ibu miliki? Bagus, apa lagi? Saya buat daftarnya ya!
Apa pula kegiatan rumah tangga yang biasa ibu lakukan? Bagaimana dengan
merapihkan kamar? Menyapu ? Wah, bagus sekali ada lima kemampuan dan kegiatan
yang ibu miliki.”
 ”Ibu dari lima kegiatan/kemampuan ini, yang mana yang masih dapat dikerjakan di
rumah sakit ? Coba kita lihat, yang pertama bisakah, yang kedua.......sampai 5
(misalnya ada 3 yang masih bisa dilakukan). Bagus sekali ada 3 kegiatan yang masih
bisa dikerjakan di rumah sakit ini.”
 ”Sekarang, coba ibu pilih satu kegiatan yang masih bisa dikerjakan di rumah sakit
ini. Oh yang nomor satu, merapihkan tempat tidur?Kalau begitu, bagaimana kalau

39
sekarang kita latihan merapikan tempat tidur ibu ”. Mari kita lihat tempat tidur ibu
Coba lihat, sudah rapikah tempat tidurnya?”
 ”Nah kalau kita mau merapikan tempat tidur, mari kita pindahkan dulu bantal dan
selimutnya. Bagus! Sekarang kita angkat spreinya, dan kasurnya kita balik.”
 ”Nah, sekarang kita pasang lagi spreinya, kita mulai dari arah atas, ya bagus !.
Sekarang sebelah kaki, tarik dan masukkan, lalu sebelah pinggir masukkan. Sekarang
ambil bantal, rapihkan, dan letakkan di sebelah atas/kepala. Mari kita lipat selimut,
nah letakkan sebelah bawah/kaki. Bagus!”
 ”Ibu sudah bisa merapihkan tempat tidur dengan baik sekali. Coba perhatikan
bedakah dengan sebelum dirapikan? Bagus.”
 ”Coba ibu lakukan dan jangan lupa memberi tanda MMM (mandiri) kalau ibu lakukan
tanpa disuruh, tulis B (bantuan) jika diingatkan bisa melakukan, dan ibu ibu (tidak)
melakukan.”

TERMINASI
 ”Bagaimana perasaan ibu setelah kita bercakap-cakap dan latihan merapikan tempat
tidur ? Yah, ternyata ibu banyak memiliki kemampuan yang dapat dilakukan di rumah
sakit ini. Salah satunya, merapikan tempat tidur, yang sudah ibu praktekkan dengan
baik sekali. Nah kemampuan ini dapat dilakukan juga di rumah setelah pulang.”
 ”Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian. Ibu mau berapa kali sehari
merapikan tempat tidur? Bagus, dua kali yaitu pagi-pagi jam berapa ? Lalu sehabis
istirahat, jam 16.00.”
 ”Besok pagi kita latihan lagi kemampuan yang kedua. Ibu masih ingat kegiatan apa
lagi yang mampu dilakukan di rumah selain merapihkan tempat tidur? Ya bagus, cuci
piring.. kalu begitu kita akan latihan mencuci piring besok jam 8 pagi di dapur
ruangan ini sehabis makan pagi Sampai jumpa ya.”

40
DAFTAR PUSTAKA

Fitria Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Fitria, N. 2012. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan &
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP). Jakarta: Salemba Medika.
Purwaningsih, Wahyu. Karlina, Ina. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta:
Nuha Medika Press.

Dermawan, Deden dan Rusdi. (2013) Keperawatan jiwa; konsep dan kerangka kerja

asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing

Keliat,Budi A. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2. Jakarta: EGC.

Budi Anna Keliat. 2009. Model praktik keperawatan professional jiwa. Jakarta. ECG

Yosep Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Jakarta. ECG

41
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. Kasus (Masalah Utama)


Perawatan Diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan
sesuai dengan kondisi kesehatannya. (Depkes, 2000 dalam Wibowo, 2009).
Poter, Perry (2005), dalam Anonim (2009), mengemukakan bahwa Personal
Higiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang
untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Wahit Iqbal Mubarak (2007), juga
mengemukakan bahwa higiene personal atau kebersihan diri adalah upaya seseorang
dalam memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memperolah kesejahteraan
fisik dan psikologis.
Seseorang yang tidak dapat melakukan perawatan diri dinyatakan mengalami
defisit perawatan diri. Nurjannah (2004), dalam Wibowo (2009), mengemukakan
bahwa Defisit Perawatan Diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting).
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), dalam Anonim(2009), Kurang
Perawatan Diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan
kebersihan untuk dirinya.
Pasien yang mengalami gangguan jiwa kronik seringkali tidak memperdulikan
perawatan diri. Hal ini menyebabkan pasien dikucilkan dalam keluarga dan
masyarakat (Keliat, 2009).
Klien dengan gangguan jiwa hampir semuanya mengalami defisit perawatan
diri. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan dan ketidakberdayaan yang
berhubungan dengan keadaannya sehingga terjadilah defisit perawatan diri (Muslim,
2010).

II. Proses Terjadinya Masalah


Beberapa faktor yang dapat menyebabkan Defisit Perawatan Diri adalah:
A. Faktor Predisposisi
1. Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu

42
2. Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri

3. Kemampuan realitas turun Klien gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang
kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri

4. Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.


Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri

B. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi defisit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri. (Depkes, 2000, dalam Anonim, 2009) Sedangkan Tarwoto dan
Wartonah (2000), dalam Anonim(2009), meyatakan bahwa kurangnya perawatan diri
disebabkan oleh :
1. Kelelahan fisik
2. Penurunan kesadaran

Gejala Defisit Perawatan Diri


Menurut Depkes (2000), dalam Anonim (2009), tanda dan gejala klien dengan
defisit perawatan diri yaitu:
1. Fisik
a. Badan bau, pakaian kotor
b. Rambut dan kulit kotor
c. Kuku panjang dan kotor
d. Gigi kotor disertai mulut bau
e. Penampilan tidak rapi

2. Psikologi

43
a. Malas, tidak ada inisiatif
b. Menarik diri, isolasi diri
c. Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina

3. Sosial
a. Interaksi kurang
b. Kegiatan kurang
c. Tidak mampu berperilaku sesuai norma
d. Cara makan tidak teratur
e. Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK) di sembarang tempat
f. Gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri

Selain itu, tanda dan gejala tampak pada pasien yang mengalami Defisit
Perawatan Diri adalah sebagai berikut:

a. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, serta kuku panjang dan kotor
b. Ketidakmampuan berhias/berpakaian, ditandai dengan rambut acakacakan,
pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki
tidak bercukur, pada pasien perempuan tidak berdandan
c. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai oleh kemampuan
mengambil makan sendiri, makan berceceran dan makan tidak pada
tempatnya
d. Ketidak mampuan eliminasi secara mandiri, ditandai dengan BAB/BAK
tidak pada tempatnya, dan tidak membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK (Keliat, 2009).

Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka akhirnya dapat juga


menimbulkan penyakit fisik seperti kelaparan dan kurang gizi, sakit infeksi saluran
pencernaan dan pernafasan serta adanya penyakit kulit, atau timbul penyakit yang
lainnya (Harist, 2011).

C. Jenis-Jenis Halusinasi
Menurut Nanda (2012), jenis perawatan diri terdiri dari:
1. Defisit perawatan diri: mandi

44
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.

45
2. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas berpakaian dan berhias untuk diri sendiri

3. Defisit perawatan diri : makan


Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
secara mandiri

4. Defisit perawatan diri : eliminasi/toileting


Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri.

D. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon


Maladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan diri Tidak melakukan


diri seimbang tidak seimbang perawatan diri

E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor
meliputi status sosialekonomi, keluarga, jaringan interpersonal, organisasi yang
dinaungi oleh lingkungan sosial yang lebih luas, juga menggunakan kreativitas untuk
mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian, musik, atau tulisan (Stuart and
Sundeen, 1998 dalam Lili Kadir, 2018).

46
III. Pohon Masalah

Resiko Tinggi Isolasi Sosial Effect

Defisit Perawatan Diri Core Problem

Harga Diri Rendah Causa

Pohon Masalah Defisit perawatan Diri ( Fitria.2009 ).

A. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


1. Masalah keperawatan
 Defisit Perawatan Diri

2. Data yang perlu dikaji


a. Data subjektif
 Pasien merasa lemah
 Malas untuk beraktivitas
 Merasa tidak berdaya.

b. Data objektif
 Rambut kotor, acak acakan
 Badan dan pakaian kotor dan bau
 Mulut dan gigi bau.
 Kulit kusam dan kotor
 Kuku panjang dan tidak terawatt

IV. Diagnosa keperawatan


Defisit Perawatan Diri

V. Rencana tindakan keperawatan


Terlampir

47
48
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
SETIAP HARI

Proses keperawatan
Kondisi klien
Tn. H terlihat duduk di salah satu sudut ruangan sambil menggaruk-garuk kepala yang
terlihat kotor, rambut sebahu dan tidak tertata rapi. Pakaian yang digunakan Tn. H tidak
terpasang dengan benar dan terlihat banyak robekan. Kuku jari tangan terlihat hitam dan
panjang. Gigi Tn.H terlihat kotor dan mulut Tn. H mengeluarkan bau.

Diagnosa keperawatan
Defisit Perawatan Diri

Tujuan umum :
Klien tidak mengalami defisit perawatan diri.

Tujuan khusus:

TUK 1 :
Klien dapat melakukan kebersihan diri secara mandiri .

TUK 2 :
Klien dapat melakukan berhias/berdandan secara baik.

TUK 3 :
Klien dapat melakukan makan dengan baik.

TUK 4 :
Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri

49
Proses Pelaksanaan Tindakan
ORIENTASI
 Salam terapeutik
“Selamat pagi, perkenalkan nama saya perawat Sinta. Saya adalah Mahasiswa
Keperawatan UPH yang sedang praktek disini. Saya praktek disini selama 4 hari.
Nama kamu siapa ya? Senangnya dipanggil apa? Oh jadi anda senangnya dipanggil
Ny. M saja”.
 Evaluasi/Validasi
“Saya lihat dari tadi Ny. M menggaruk-garuk kepala, gatal ya?”
 Kontrak
Topik: “Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang kebersihan diri?”
Waktu:“Mau berapa lama kira-kira kita ngobrolnya? Oke, jadi Ny. M maunya kita
ngobrol-ngobrolnya selama 20 menit ya”.
Tempat:“Baiklah mau dimana kita ngobrolnya Ny. M? Oh jadi kita ngobrolnya
diruang ini saja ya”.

KERJA
 “Berapa kali Ny. M mandi dalam sehari? Apakah Ny. M sudah mandi hari ini?
Menurut Ny. M apa kegunaannya mandi? Apa alasan Ny. M sehingga tidak bisa
merawat diri? Menurut Ny. M apa manfaatnya kalau kita menjaga kebersihan diri?
Kira-kira tanda-tanda orang yang tidak merawat diri dengan baik seperti apa ya?
badan gatal, mulut bau, apa lagi?
Kalau kita tidak teratur menjaga kebersihan diri masalah apa menurut Ny. M yang
bisa muncul ? Betul ada kudis, kutu, dsb”
 “Menurut Ny. M mandi itu seperti apa? Sebelum mandi apa yang
biasanya Ny. M persiapkan? Benar sekali, Ny. M perlu menyiapkan pakaian ganti
yang bersih, handuk kering, sikat gigi, odol, shampo dan sabun mandi”
 “Menurut Ny. M tempat mandi dimana? Benar sekali kita mandi di kamar mandi,
bagaimana kalau kita ke kamar mandi sekarang? Saya akan bantu melakukannya.
Pertama kita gosok gigi dulu dengan sikat gigi, ambil sikat gigi yang sudah di kasih
odol kemudian sikat gigi dengan gerakan memutar dari atas ke bawah kemudian Ny.
M berkumur-kumur dengan air bersih. Bagus sekali, sekarang Ny. M
buka pakaian, siram seluruh tubuh Ny. M dengan air termasuk rambut dan kepala lalu

50
ambil shampoo sedikit dan gosokkan ke atas kepala Ny. M sampai berbusa lalu bilas
sampai bersih. Bagus sekali Ny. M, sekarang ambil sabun dan gosokan keseluruh
tubuh Ny. M secara merata dan di mulai dari bagian sebelah kanan lalu siram dengan
air sampai bersih, pastikan bersih tidak ada sisa sabun yang menempel. Setelah
selesai di siram dengan air sampai bersih, keringkan tubuh Ny. M dengan handuk
kering yang sudah disiapkan. Bagus sekali Ny. M melakukannya. Selanjutnya Ny. M
menggunakan pakaian bersih yang sudah di siapkan”.

TERMINASI
a. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
 Evaluasi klien/subjektif
“Bagaimana perasaan Ny. M setelah mandi dan mengganti pakaian? Coba Ny.
M sebutkan lagi apa saja cara-cara mandi yang baik yang sudah Ny. M
lakukan tadi? Bagus sekali sekarang Ny. M sudah tahu manfaat dan cara
mandi yang baik”.
 Evaluasi perawat/ objektif
“Ternyata Ny. M masih memiliki kemampuan yang baik dalam menjaga
kebersihan diri. Nah, kemampuan ini dapat dilakukan juga di rumah setelah
pulang ya Ny. M”.
b. Rencana lanjut klien
“Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian. Ny. M Mau berapa kali
sehari mandi dan sikat gigi? Bagus, dua kali yaitu pagi dan sore. Kalau pagi
jam berapa? kalau sore jam berapa? Beri tanda M (mandiri) kalau dilakukan
tanpa disuruh, B (bantuan) kalau diingatkan baru dilakukan dan T (tidak) tidak
melakukan”
c. Kontrak yang akan dating
 Topik: “Baik besok kita akan bertemu kembali untuk latihan berdandan”
 Waktu: “Kalau begitu kita akan latihan berdandan besok jam 9 pagi setelah
Ny. M melakukan kegiatan mandi”
 Tempat : “Ny. M mau kita ketemu dimana? Kita ketemu di dalam kamar Ny.
M besok bagaimana?”

51
DAFTAR PUSTAKA

Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas:
CMHN(Basic Course). Jakarta: EGC
Fitria Nita.2009.Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
Dan Srategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan(LP dan SP).Jakarta:Salemba Medika.
Damaiyanti Mukhripah,dkk.2012.Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung: PT
Refika Aditama
Hoesny, Rezkiyah,.2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Defisit
Perawatan Diri diakses dari http://repositori.uin-alauddin.ac.id/3358/1/Rezkiyah
%20Hoesny.pdf pada 14 Juni 2018
Neri, Silvia,.2018. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan diakses dari
https://www.academia.edu/6822348/STRATEGI_PELAKSANAAN_TINDAKAN_KEP
ERAWATAN_SP-1_Pasien_Defisit_Perawatan_Diri_Pertemuan_Ke-1 pada 14 Juni
2018
Shinzu, Bekti,.2018. Defisit Perawatan Diri LP SP diakses dari
https://www.academia.edu/35135428/Defisit_Perawatan_Diri_LP_SP pada 14 Juni 2018
Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa.
Yogyakarta : Momedia
Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier

52

Anda mungkin juga menyukai